Naruto © Masashi Kishimoto
Flowers © White Apple Clock
Chapter: 1, It's The Time
Rate: T
Genre: Romance, Friendship
Main Character: ShikaTema, Slight!NaruHina-SasuSaku
Warning:AU, OoC, typo, gaje, baca 'Maydaysignal' dulu biar lebih ngerti, dll.
DLDR!
Seperti bunga Matahari yang menantikan musim semi tiba. Menghitung hari demi hari melewati musim dingin yang terasa sangat panjang.
Semerbak wangi obat-obatan seolah-olah menjadi sahabatnya. Tak pernah absen untuk terus bermukim di ruangan yang serba putih miliknya. Tubuh ramping yang berbalut jas dokter itu terduduk lemas. Stetoskop yang melingkar di lehernya ia abaikan, membiarkannya mencekik leher jenjangnya yang putih. Jari-jari lentik itu memijit kepalanya, kemudian turun membelai wajahnya yang dewasa.
"Menyebalkan. Baru kali ini aku benar-benar lelah."
Umpatan kecil keluar dari bibirnya yang merah. Kemudian disusul hembusan napas serentak dengan kelopak matanya yang tertutup–menyembunyikan manik teal-nya yang sayu.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pintu mengganggu aktivitas istirahatnya. Pintu terbuka tanpa izin dari yang empunya ruangan. Perlahan menampakkan sosok yang lebih tua darinya–tetapi tetap cantik layaknya remaja berumur belasan.
"Oh, ternyata dokter andalan kita sedang kelelahan," sindir perempuan itu, jarinya meletakkan kacamata ber-frame merah miliknya. Lalu seenaknya duduk di hadapan perempuan bermata teal itu.
"Aku lelah, Karin. Dan kau dengan seenak jidatmu memasuki ruanganku. Bahkan, aku belum mempersilakanmu duduk. Maumu apa, hah?" cerocosnya dengan intonasi yang semakin meninggi di akhir kalimat.
"Ya ampun, Temari. Aku seniormu, hargailah." Uzumaki Karin–perempuan itu–membalas rentetan ucapan Temari dengan memutar matanya bosan.
Temari menggaruk kepala emasnya dengan frustasi. "Oke, kau tidak untuk situasi jika kita sedang berdua. Kalau kau berani mengganggu akan kupanggil baa-san untuk menyeretmu kembali ke Australia."
Karin tergelak, "kaa-san sedang di luar kota. Lagian, dia tidak akan sekejam itu pada anaknya sendiri."
Wanita berumur tiga puluh tahun itu menanggapi Karin dengan hembusan napas kasar. Lalu untuk suasana di antara mereka hening. Sampai Karin kembali mengeluarkan suaranya.
"Hei, Temari. Kudengar ada anak baru di sini. Benar?"
Temari mengangguk. Lalu bangkit dari kursinya. Sepatu hak kecilnya menggema di setiap langkah mencapai jendela ruang kerjanya. Atensinya terpaku pada awan pagi yang bergerak lambat melewati cakrawala biru yang damai.
Suara langkah kaki menyusul, mendekati Temari. Kini Karin sudah berdiri berdampingan dengannya. Menatap langit yang sama. "Ada berapa orang?"
"Sepuluh untuk di divisi yang kubina. Selebihnya, di divisi yang lain. Divisi Administrasi memiliki peminat yang paling sedikit untuk tahun ini. Eksistensi mereka menurun drastis," jawab Temari.
"Yah, mungkin ini ada hubungannya dengan pengunduran diri Hinata." Kekehan halus terdengar dari Karin. "Kau akan menghadirinya kan? Acaranya hari ini, nanti malam."
Temari menoleh pada Karin, menatap sepasang magenta itu dengan antusias. "Tentu saja. Bahkan, aku akan sering ke rumah Hinata untuk menemuinya. Kau tahu, alasannya untuk mengundurkan diri dari die Sechs membuatku sedikit kesal. Benar-benar calon ibu rumah tangga yang berbakti."
"Dia itu hebat," Karin melangkah pergi, kemudian duduk di kursinya kembali. "Aku tidak menyangka kehidupan rumah tangga akan sesusah itu. Sampai-sampai Hinata rela melepaskan karirnya."
"Sudahlah. Itu keputusannya, kita harus menghargainya," Temari menyerahkan secangkir kopi pada Karin. Kopi yang ia ambil dari sudut mejanya. "Mau kopi?"
"Tentu. Bagaimana denganmu?"
Karin menyeruput kopinya. Dan ia melihat Temari sedang menatap mejanya dengan tatapan kosong, jemarinya bergerak asal menyentuh permukaan mejanya. "Aku tidak berminat untuk menikmatinya."
"Sore ini, dia dibebaskan, benar?"
Sebagai respon, Karin hanya mendapatkan anggukan kecil. Ia menghela napasnya kasar. Merasa kali ini suasananya mendadak sendu. "Dan kau akan menjemputnya secara pribadi?"
Karin kembali menerka, lagi-lagi hanya dibalas sebatas anggukan kepala. Suasana hening menyelimuti mereka. Hanya suara deru mesin air-conditioner yang mengisi kekosongan mereka. Perempuan Uzumaki itu hendak menyuarakan kembali pertanyaannya. Namun tertahan di tenggorokan karena mendadak pita suaranya seakan tak berfungsi.
Dia menghargai Temari yang masih menunggu dengan segala kepiluan hati yang menderanya. Dan dia tak mau merusaknya hanya karena sebuah pertanyaan darinya. Menanyakan alasan atas anggukan kepala Temari menurutnya bukanlah hal yang bagus untuk saat ini. Ditambah lagi, Temari sedang lelah karena aktivitasnya. Itu akan memperburuk situasi.
Karin kembali menyeruput kopinya. Sejenak mengamati Temari yang benar-benar lelah. Kemudian berpamitan–yang lagi, lagi, dan lagi, hanya dibalas oleh anggukan kepala.
Sosok rambut magenta itu kini telah menghilang di balik pintu, langkah stiletto-nya perlahan mulai tak terdengar lagi. Rasanya seperti kehilangan satu beban yang menimpa pundaknya. Sungguh, baginya Uzumaki Karin adalah saudara yang paling merepotkan yang ada di dunia.
Alangkah senangnya ia bisa sendirian saat ini, setidaknya ia berharap sejenak saja untuk istirahat. Merelaksasikan otot-ototnya yang menegang selama operasi berlangsung tadi. Tentu saja kau akan merasa pegal jika kau berdiri di tempat yang sama dengan gerakan yang terbatas selama delapan jam–bahkan ia belum ada tidur sejak semalam. Sungguh, ia benci melakukan operasi–bahkan lebih dari saudara magenta-nya yang menyebalkan.
Temari kembali memejamkan matanya, punggungnya bersandar nyaman di kepala kursi. Namun baru beberapa menit beristirahat–
"Astaga, Nara sialan."
–pikirannya tidak bisa diajak kompromi.
Lagi-lagi bayang-bayang Shikamaru menginterupsi. Antusiasmenya terhadap Shikamaru hari ini begitu meluap-luap. Sampai-sampai, Temari membenci dirinya sendiri. Ia kesal. Saat dirinya butuh istirahat dan badannya benar-benar merasa capek, pikirannya memaksa dirinya untuk membayangkan ia memeluk tubuh tegap Shikamaru. Sialnya, berpikir itu butuh tenaga–means, dia akan semakin capek.
Alurnya akan seperti ini: capek, kepikiran Shikamaru, semakin capek, hingga akhirnya ia akan tampil tidak optimal di acara pernikahan Hinata nanti.
Temari sudah berumur tiga puluhan saat ini, otomatis wajahnya mulai timbul kerutan-kerutan halus dan kantung hitam di matanya hasil dari bergadang-menyelesaikan-misi yang setiap harinya datang tiada henti.
Tanpa basa-basi lagi, ia segera meraih kunci mobil dari saku celananya, kemudian melesat keluar dari ruangannya. Persetan dengan kondisinya, ia bisa beristirahat saat massage di salon nanti.
Pagi telah beranjak. Matahari semakin gagah berdiri di langit siang yang mulai terik. Langkah gadis itu begitu ringan menapaki koridor apartemen yang sudah tak asing lagi baginya. Tangan kanannya menggenggam sebuah kantung plastik putih berisi empat snack keripik kentang dan enam botol soda berwarna merah. Bibir merah ranumnya menggumamkan lagu yang tak berlirik. Hingga akhirnya langkah flatshoes biru itu berhenti beradu dengan dinginnya lantai koridor apartemen. Kini, sebuah pintu berdiri di hadapannya–atau yang lebih tepatnya, ia berdiri di depan pintu tersebut.
Tangan kirinya merogoh sesuatu di tas hitam yang ia sandang di bahu kanannya. Mengeluarkan smartphone hitam keluaran terbaru dari sana. Lalu jari-jari itu menghantam tombol-tombol angka di layarnya, memanggil seseorang.
"Moshi-moshi,"sapa seseorang di seberang sana setelah nada sambung berhenti berbunyi.
"Hei, Pinky. Buka pintumu, aku di depan."
"Astaga, Temari!" Gadis itu–yang dipanggil Temari–mengernyitkan dahinya mendengar keterkejutan lawan bicaranya. "Kenapa tidak telepon dulu, baka? Tetap di sana. Ini akan berlangsung sedikit lama."
Sedikit emosi mulai tersulut dari Temari. "Hei, kenapa responmu seperti itu, hah? Kan aku biasanya seperti in–"
–TUT!
KRIET!
Wajah kusut Temari kini luntur sudah setelah melihat pemandangan di depannya. Tidak ada gerakan lebih setelah itu. Ia masih menggenggam plastik putih di tangannya dengan baik–tidak jatuh seperti di drama-drama televisi.
"Maaf menunggumu lama."
Temari bahkan tidak mengindahkan permintaan maaf sepele yang keluar dari bibir Sakura. Ia terlalu shock dengan apa yang ada di depannya.
Haruno Sakura. Seumuran dengannya–tapi ia tahu bahwa perempuan itu begitu polos dan kekanakan. Kini telah beranjak dewasa. Perawakan rambut bubble gum yang kusut dan kemeja putih besar yang transparan, membuat Temari melebarkan senyumannya penuh arti. Tatapannya mengintimidasi tapi terkesan menggodanya.
"Ho, ternyata kau sudah menemukan arti kedewasaan," goda Temari setelah teal-nya menangkap sepasang sepatu yang ia yakini berukuran besar khas lelaki.
Bukannya merona, Sakura malah memutar bosan zamrud-nya sebagai respon. "Apakah dewasa membuatmu berpikir kotor? Masuklah."
Merekapun masuk dan mendudukkan diri mereka di sebuah sofa dengan televisi yang menayangkan sebuah acara reality show. Kepala emas Temari menoleh mengamati sekeliling. "Where's Uchiha?"
Sakura segera bangkit dan berjalan menuju dapur. "In my room, darl."
"For God sake. You've grown up so fast, dear." Temari menggodanya lagi. Tapi naas, kini kepalanya harus berdenyut mendapati sebuah pukulan maut dari gadis musim semi itu.
"Jangan mengada-ada, baka! Dia hanya ingin meminjam printer-ku. Ah, kau ini."
Sakura mendaratkan bokongnya pada sofa, mengambil tempat duduk di sebelah Temari yang sudah mengunyah beberapa potong keripik kentang. Ia mengeluarkan sekaleng soda dan menuangkannya pada gelas yang sudah berisi kubus-kubus es.
"Tumben. Biasanya kau selalu memakai jas putihmu. Sekarang kenapa tidak?"
"Aku lagi free, Jidat."
"Hei, berhenti mengejek jidatku, shannaro!" Sakura kembali melayangkan pukulannya. Kini, tidak hanya di kepala Temari, tapi juga di jidatnya.
"Baka, jangan memukulku!"
Seterusnya, mereka saling mengumpat. Astaga, tidak sadar umur sekali. Saling menarik rambut seperti bocah ingusan saja. Padahal sudah berkepala tiga dan sudah memiliki pekerjaan tetap.
Tapi, inilah yang mereka sebut sebagai teman akrab.
"Sakura, aku pulang dulu."
Suara berat kemudian menginterupsi kegiatan bertengkar Sakura-Temari. Tampak seorang pria bertubuh tegap dengan rambut raven yang menutupi sebelah matanya, berdiri tak jauh dari mereka. Sambil menggenggam setumpuk kertas di sebelah tangannya, ia mendekat dan mengecup sekilas bibir Sakura.
Kini giliran Temari yang memutar matanya bosan. To be honest, Temari agak sedikit jijik di bagian ini–juga jengkel. Temari sepertinya iri, eh?
"Berhenti bermesraan di depanku, pasangan gila," umpat Temari kemudian melayangkan kaleng soda kosong pada pasangan yang bernuansa rona merah jambu tersebut.
Tapi, kalian tahu betapa sigapnya Sakura. Gadis itu menangkis–lebih tepatnya melempar balik–kaleng tersebut pada Temari. "Kau bisa merusak aset Uchiha, Tema-baka!"
Mendengar kalimat itu membuat Temari semakin jengkel. Langsung saja ia meraih sebuah bantal bersarung kuning, berniat untuk melempar lagi ke arah Sakura dan Sasuke. Untung saja Sasuke menghentikannya dengan kata-kata tajam nan dingin khas Uchiha.
"Kau iri? Kalau gitu carilah pasangan."
Kami-sama, ingatkan Temari untuk menahan emosinya atau usahanya ke salon tadi sia-sia.
.
Masih di apartemen Sakura. Empat bungkus keripik kentang habis tak bersisa. Kaleng-kaleng soda kini hanyalah sampah. Kepingan-kepingan kaset meraja-lela menguasai meja. Selaras dengan kondisi ruang tengah yang berantakan seperti kapal pecah.
Namun, bukan berarti kedua sejoli itu–Temari dan Sakura–resah dengan situasi yang tampak tak nyaman. Malah, mereka menikmatinya dengan suguhan tayangan Drama Korea di salah satu stasiun televisi. Sudah empat jam mereka tak beranjak, betah duduk di atas sofa yang nyaman.
Mereka menikmati drama yang mendayu-dayu dalam diam. Jangan salah sangka, mereka seperti ini bukan karena terjadi sebuah cekcok yang menyakiti perasaan. Melainkan, mereka sudah lelah untuk sekedar mengucapkan satu huruf karena sebelumnya mereka tak henti untuk berbicara, tertawa, berteriak, bahkan menangis.
Manik klorofil Sakura tak sengaja melirik kalender yang terletak di nakas sebelah kanan televisi. Ada yang ia lingkari dengan tinta merah. Begitu tebal. Dan saat itulah ia menyadari sesuatu yang sebenarnya cukup penting hari ini.
"Temari," panggil Sakura.
Temari yang masih terfokus dengan adegan pelukan di depannya hanya bergumam sebagai sahutan. "Ada apa?" susulnya.
"Aku baru sadar ini hari penting buat kita."
Tampak dari samping, raut fokus Temari menghilang. Gadis keturunan Suna itu berpikir sejenak, lalu sepersekian menit kemudian menutup matanya dan menghela napas. Tak cepat menjawab, terlebih dulu ia meraih remote televisi dan mematikan televisi tersebut. Lalu mengganti posisi untuk duduk menghadap sahabat pink-nya itu.
"Memang. Kenapa?"
Tangan Sakura berpindah, kini menggenggam tangan sahabatnya semasa SMA itu. "Aku ingin menjemputnya. Ingin menyambutnya dengan pelukan. Ingin bercerita panjang dengannya. Aku merindukannya, Temari."
"Aku juga. Dan kau tahu, aku merasakannya tiga kali lipat meskipun aku yang paling sering membesuknya," balas Temari. Tangannya menyambut genggaman yang semakin mengerat itu.
"Aku ingin melakukan semua itu, tapi aku tidak bisa. Aku ada janji dengan rekan kerjaku. Aku harus bagaimana?" Kerisauan Sakura semakin terlihat jelas. Dengan begitu, semakin besar usaha yang akan Temari lakukan untuk menenangkan gadis Haruno itu.
"Jangan khawatir, Sakura-chan. Ini hanya sebentar, sungguh. Besok kau masih bisa mengunjunginya, kan? Masih ada hari esok."
Gadis itu mengangguk. Kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah memasuki kamarnya. Sementara itu, Temari hanya menunggu di tempatnya sembari merapikan kembali penampilannya. Baik Temari maupun Sakura tahu, ini sudah saatnya.
Saatnya untuk menjemput apa yang telah hilang dalam hidup mereka sejak dua puluh tahun yang lalu. Memeluknya untuk membebaskan rindu dan mendekapnya setelah sekian lama tak menyentuh.
TO BE CONTINUE
Hai-halo-alohaa~ Udah berapa lama? Coba hitung dulu di kalender/digeplak/Maaf ngaret, White sibuk bangeet di sekolaaah T.T
Di chapter ini, emang banyak sesi friendship antara Temari sama Sakura, tapi ini cuma penghantar doang, tehehe. For next chapter, diusahain full ShikaTema meskipun friendshipnya agak nyempil sikit.
Mind to review?