Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : M
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Genre : Romance, hurt/comfort
Selamat membaca!
Love Me One More Time
Chapter 19 : As long as I live
By : Fuyutsuki Hikari
Naruto memeluk dirinya sendiri. Angin yang berembus membuat anak-anak rambutnya berayun, mengikuti arah angin. Wanita itu menyelipkan anak-anak rambutnya ke belakang telinga saat berdiri di halte bus siang ini. Sebuah umpatan pelan lolos dari bibirnya. Ia terlalu sibuk memaki dirinya sendiri hingga tidak sadar beberapa pasang mata menatapnya dengan tatapan mencela.
Demi Tuhan, kenapa langkah kakinya malah membawanya ke tempat sialan ini? Di seberang jalan, berdiri kokoh gedung perkantoran milik Perusahaan Uchiha. Naruto melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang.
Ia berharap Tuhan kembali berbaik hati padanya.
Pengorbanannya dengan Sasuke sudah terlalu besar. Jangan sampai karena kecerobohannya rencana pernikahan mereka gagal total. Hanya satu bulan lagi. Ya, Tuhan, hanya satu bulan lagi dan mereka terbebas dari perjanjian yang dibuat dengan ayah Naruto.
Naruto mulai bimbang. Mungkin lebih baik dia berjalan pergi dan mencari taksi, pikirnya.
Tanpa berpikir panjang ia pun berbalik, melanjutkan perjalanan untuk mencari taksi. Brengsek, kenapa tiba-tiba sulit mendapatkan taksi?
Naruto berdiri di pinggir jalan. Dia mengenakan hotpants dan kemeja polos longgar hari ini. Rambutnya yang sudah melebihi bahu diikat asal seperti ekor kuda. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, terlihat masa bodoh saat beberapa pria bersiul dan menatapnya dengan tatapan tertarik.
Ia semakin kesal. Entah kenapa dia merasa gelisah. Naruto bergeming saat dua orang pria muda mengampirinya dan terus mengajaknya bicara. Ia sudah memberikan delikan tajam penuh peringatan andalannya, namun, sayangnya jurusnya kali ini tidak mempan untuk keduanya
Naruto berbalik, nyaris membentak kasar kedua pria itu, namun, kalimat itu tertahan di ujung lidahnya. Tubuhnya membeku, begitupun dengan tubuh pria yang tengah bersirobok dengannya. Sasuke baru saja selesai makan siang dengan salah satu koleganya. Dia masih mengobrol, membuka pintu restoran dan wanita itu berdiri di sana. Hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini.
Suasana tiba-tiba menjadi hening bagi keduanya.
Mereka mengabaikan orang-orang di sekitarnya.
Rahang Sasuke mengetat saat menyadari calon istrinya tengah digoda oleh dua pria asing. Dengan langkah memburu dan ekspresi mengeras ia berjalan menuju Naruto, menarik pergelangan tangan wanita itu dan membawanya pergi.
"Sasuke?!" panggil Naruto. Namun, pemilik nama itu bergeming. Sasuke terlalu marah untuk menjawab panggilan Naruto saat ini. "Sasuke, kau mau membawaku ke mana?" tanyanya, kalut.
Sasuke masih tidak menjawab. Dia bahkan meninggalkan koleganya di belakang. Amarah membuatnya lupa akan segalanya. Sasuke merogoh saku jasnya untuk mengambil telepon genggamnya. Ia menghubungi seseorang, sementara satu tangannya masih menarik pergelangan tangan kanan Naruto.
Keduanya menunggu untuk beberapa saat hingga lampu untuk pejalan kaki menyala. Mereka menyebrang tanpa kata. Naruto menelan dengan susah payah. Sasuke membawanya ke komplek gedung perkantoran Uchiha.
"Sasuke, apa kau sudah gila?"
Sasuke masih tidak menjawab. Dia mengangguk kecil pada supir pribadinya yang sudah menunggu di depan pelataran gedung. Pria itu membuka pintu penumpang untuk Naruto, sementara Sasuke berjalan memutar dan duduk di kursi pengemudi.
"Kau mau membawaku ke mana?" tanya Naruto. Suaranya sedikit tertahan. Air matanya mulai turun. Sepertinya nasib baik tidak berpihak padanya untuk saat ini. Naruto bingung. Suaranya tertahan di tenggorokannya. Sikap diam Sasuke membuatnya takut. Ekspresi datar pria itu membuat Naruto sulit membaca apa yang ada di dalam pikiran Sasuke.
Lampu merah memaksa Sasuke menghentikan laju kendaraannya. Keheningan yang menggantung membuat Naruto seperti tercekik. Ia kembali memeluk dirinya sendiri dan melempar tatapannya jauh keluar jendela. Udara panas di luar berbanding terbalik dengan suasana di dalam mobil yang terasa sangat dingin. Atau hal itu dikarenakan sikap dingin Sasuke padanya? Entahlah.
"Berapa kali aku katakan padamu untuk berhenti mengenakan pakaian sialan itu!"
Geraman Sasuke memotong keheningan panjang diantara mereka. Ia bahkan memukul setir mobilnya keras, terlihat cemburu dan marah secara bersamaan. Sasuke nyaris tidak bisa mengontrol emosinya saat melihat kedua pria muda tadi. Keduanya berani menggoda Naruto dan menatapnya dengan tatapan menjijikan.
"Berapa kali aku katakan padamu untuk mengenakan pakaian sopan saat keluar rumah?!"
Bentakan itu membuat mulut Naruto bergetar. Amarah Sasuke membuatnya sakit hati. Apa salahnya jika dia memakai pakaian ini? Bukankah sekarang musim panas?
"Bukan salahku jika mereka menggodaku," ujarnya tanpa bisa menatap kedua mata Sasuke. Kekasihnya mendesis, dengan kesabaran menipis dia menekan pedal gas dan kembali mengemudikan kendaraannya menyusuri jalanan Kota Tokyo yang sedikit padat siang ini.
Naruto mengepalkan kedua tangannya. "Aku tidak bermaksud menggoda siapa pun dengan penampilank—"
"Tapi faktanya kau melakukannya!" potong Sasuke. Nadanya satu oktaf lebih tinggi kali ini. Naruto mendengar pria itu mengumpat. Ekspresi kerasnya membuat Naruto ingin turun dari mobil saat ini juga. "Secara tidak sadar kau mengundang pria hidung belang untuk menggoda—"
"Aku tidak berniat seperti itu!" jerit Naruto tidak terima. Tangannya sudah gatal ingin memukul wajah kekasihnya yang hampir satu tahun tidak ditemuinya. Rasa rindu yang selama ini melandanya kini berganti dengan kemarahan yang siap meledak.
Napas Naruto memburu. Dia mendelik pada Sasuke yang tengah mengusap wajahnya kasar. Pria itu kembali mengumpat, lebih pelan kali ini, tapi tetap saja Naruto masih bisa mendengarnya dengan baik. "Aku turun di sini." Itu bukan permintaan, tapi sebuah perintah. "Aku turun di sini!" bentak Naruto, lebih keras kali ini. Namun, Sasuke bergeming. Dia memilih untuk menutup mulutnya rapat dan terus mengendarai mobilnya hingga ke tempat tujuannya.
Sisa perjalanan mereka hanya diisi oleh keheningan panjang. Keduanya memilih diam hingga akhirnya Naruto sadar kemana Sasuke akan membawanya. Wanita itu bergerak gelisah saat mobil Sasuke memasuki komplek perumahan elit yang ditempati oleh keluarga Naruto.
"Sasuke, kau mau membawaku ke mana?" tanyanya. Sasuke bisa menangkap nada takut yang terselip dalam suara kekasihnya itu. "Apa kau sudah gila?" tanyanya, dengan suara tertahan. Air mata Naruto kembali jatuh. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya.
Naruto langsung membanting pintu mobil saat Sasuke menghentikan kendarannya tepat di halaman rumah wanita itu. Tanpa kata ia menghambur keluar, masuk ke dalam rumah, mengabaikan ibu dan ayahnya yang kebetulan sedang berada di rumah.
Minato yang melihat gelagat putrinya yang tidak biasa pun langsung mengintip ke luar jendela. Matanya menyipit saat melihat sosok Sasuke keluar dari mobil dan berjalan menuju kediamannya. Satu alisnya diangkat tinggi. Minato berjalan menuju pintu rumah dan membukanya tepat saat Sasuke akan menekan bel.
Sasuke membungkuk dalam, begitu sopan saat memberi salam pada Minato dan Kushina yang mengintip dari balik punggung suaminya. Kushina masih mengenakan celemeknya, kedua alisnya bertaut saat menatap Sasuke.
Tanpa ekspresi Minato mempersilahkan Sasuke untuk masuk dan duduk sementara Kushina bergegas ke dapur untuk menyiapkan minuman dingin dan makanan ringan.
"Kenapa kau bisa bersama putriku?"
Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada datar. Minato menatap Sasuke tanpa ekspresi. "Selama ini kalian selalu bertemu dibalik punggungku?"
Sasuke menggelengkan kepala dan menjawab dengan suara tenang, "Ini pertama kali kami bertemu setelah perjanjian yang kami buat dengan Anda."
Minato mencebikkan bibir. Dia duduk bertopang kaki, dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau pikir aku akan percaya."
"Hak Anda untuk percaya atau tidak," jawab Sasuke bertepatan dengan Kushina yang datang ke ruang tamu dengan baki berisi minuman dingin dan makanan ringan untuk mereka.
"Lalu kenapa kau bisa bersama putriku?" Kali ini Kushina yang bertanya. Wanita paruh baya itu meletakkan minuman dingin dan makanan ringan yang dibawanya di atas meja, sebelum mengambil tempat untuk duduk di samping kanan suaminya. "Dan kenapa Naruto menangis, kalian bertengkar?"
Sasuke mengambil napas panjang sebelum menjawab. Ekspresi bersalahnya tidak luput dari pengamatan Minato dan Kushina. "Aku bertemu Naruto di depan Restoran K," terangnya, "restoran itu ada di seberang gedung perkantoran Uchiha," sambungnya masih dengan nada tenang yang sama.
Ia menjeda. Kembali mengambil napas. "Aku melihat dua orang pria tengah menggoda dan menatap Naruto dengan tatapn menjijikan." Minato dan Kushina bisa menangkap amarah dalam suara Sasuke kali ini. Tanpa sadar Sasuke mengepalkan kedua tangannya. "Aku sangat marah saat melihat penampilan Naruto dan aku memarahinya."
Sasuke terdiam. Ia menatap Minato dan Kushina secara bergantian. "Aku memarahi putri kalian karena berpakaian terlalu seksi."
"Apa kau menyesal sudah memarahinya?"
"Sebenarnya aku menyesal karena tidak menghajar dua pria itu." Sasuke menjawab pertanyaan Minato dengan sangat tenang. Jujur saja, Minato pun akan bereaksi sama seperti Sasuke pada Naruto. "Maaf, Tuan Minatoo, Nyonya Kushina, aku tidak menyesal karena memarahi Naruto."
Kushina tidak bisa berkata-kata. Sikap posesif Sasuke sama seperti sikap Minato saat muda. "Apa kau lupa dengan perjanjianmu?"
Sasuke menggelengkan kepala.
"Lalu kenapa kau membawa Naruto ke sini?" tanya Minato.
"Aku tidak bisa berbohong pada kalian," jawab Sasuke. "Aku ingin memulai hidup baru dengan Naruto tanpa kecurangan. Aku tidak akan menyesali keputusanku."
Minato menyipitkan mata. "Walau harus kehilangan Naruto?"
Sasuke mengulum senyum tipis, penuh percaya diri. "Aku yakin suatu hari nanti kami bisa meluluhkan hati Anda, Tuan Minato. Aku masih memiliki keyakinan besar untuk mendapatkan putri Anda sebagai pendamping hidupku."
Minato mendengkus keras. Ia melirik istrinya lalu menggelengkan kepala. "Masalahnya, apa putriku tetap mau menikah denganmu setelah kejadian ini?"
Sasuke mengerjapkan mata. Perlu beberapa waktu untuknya mencerna ucapan Minato. "Maksud Anda—" Sasuke tercekat, dia tidak bisa berkata-kata saat Minato mengangguk dan menatapnya sinis.
"Kau boleh menikahi putriku."
Sasuke meninju udara. Dia sama sekali tidak menyangka jika keputusannya membawa Naruto pulang akan berbuah manis. "Anda tidak bisa menarik kembali ucapan Anda, Tuan Minato."
"Kau meragukanku?" Minato menggebrak meja, sementara Kushina terkekeh di samping suaminya itu. Ia menunjuk Sasuke dan berkata keras, "Kau harus bisa menjaga putriku atau aku sendiri yang akan menghajarmu jika Naruto terluka karenamu!"
Sasuke mengangguk, begitu semangat. "Aku akan menjaganya, Tuan Minato. Aku mungkin bukan suami sempurna, tapi aku akan belajar untuk bisa menjadi yang terbaik untuk Naruto dan keluarga kami nanti."
"Ingat Sasuke, itu sebuah janji!"
Sasuke kembali mengangguk penuh semangat.
"Kalau begitu, karena izin dari calon ayah mertuamu sudah turun, kenapa kau tidak naik untuk merayu calon mempelaimu?" ujar Kushina. Wajah Sasuke memucat seketika. "Kenapa ekspresimu seperti itu? Apa kau takut?"
Hening.
"Naruto memang menyeramkan saat marah, tapi aku yakin kau bisa menanganinya dengan baik," kekehnya. "Pergilah, Nak, rayu calon mempelaimu sementara kami menghubungi keluargamu untuk menyampaikan kabar gembira ini."
.
.
.
Untuk beberapa saat Sasuke berdiri tepat di depan pintu kamar Naruto. Tidak sulit menemukan kamar kekasihnya karena wanita itu menggantungkan sebuah papan bertuliskan namanya dengan warna jingga yang mencolok.
Sasuke mengambil napas dalam, lalu melepasnya perlahan. Dia menempelkan telinga pada daun pintu. Dari dalam terdengar isakan pelan. Naruto masih menangis?
Tanpa banyak bicara dia memutar kenop pintu dan masuk ke dalam kamar kekasihnya yang berantakan. Semua bantal berserakan di atas karpet bulu berwarna putih. Semua baju Naruto berhamburan di atas lantai. Sasuke menelan kering, sepertinya Naruto marah besar.
Langkah kakinya membawa Sasuke mendekat ke arah ranjang. Ia hanya memiliki sedikit waktu untuk mengagumi dekorasi kamar kekasihnya yang begitu sederhana. Kamar itu didominasi warna putih, sementara perabotanya didominasi warna hitam.
Kenapa mirip dengan dekorasi kamarku? Batinnya.
"Bu, aku tidak mau membahas hal ini," ujar Naruto. Suaranya teredam. Dia bahkan tidak mau repot menoleh pada sosok yang duduk di sisi ranjangnya saat ini. Naruto berpikir ibunya yang datang untuk menghiburnya.
"Aku bukan ibumu."
Suara itu membuat Naruto terbelalak. Dia langsung mengubah posisinya untuk duduk dan menghadap Sasuke. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya. Naruto menghapus air matanya kasar. "Ayahku bisa marah besar."
Sasuke bergeming. Ia membelai rambut kusut kekasihnya lembut. "Aku hanya ingin melihatmu."
Jawaban Sasuke membuat Naruto menangis keras. Dia melemparkan diri pada pria itu dan memeluknya erat. Naruto mengira ayahnya tidak mengizinkan Sasuke untuk menemuinya lagi. Kesedihan itu membuat dadanya terasa sangat berat.
"Kau bodoh. Benar-benar bodoh." Isak Naruto di bahu Sasuke. "Kenapa harus mengantarku pulang?" keluhnya sembari memukul dada pria itu.
Naruto mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah Sasuke lekat. Mungkin ini kali terakhir dia bisa melihat Sasuke. "Padahal hanya sebentar lagi," cicit Naruto. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan yang nyaris keluar dari tenggorokannya. "Padahal hanya sebentar lagi!" raung Naruto. Wanita itu kembali memukuli Sasuke. "Apa yang lucu?" tanyanya saat pria itu tergelak hebat. "Apa kau senang berpisah denganku?"
"Tunggu!" ujar Sasuke saat melihat kepalan tangan Naruto. Ia mengambil napas untuk mengatur kembali pernapasannya. "Apa kau berpikir ini kali terakhir aku menemuimu?"
Dengan sedih Naruto mengangguk. Wanita itu bergeming saat Sasuke menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya dan mengecup bibirnya sekilas.
"Perjalanan kita baru saja akan dimulai Naruto."
Naruto mengerjapkan mata. Tidak mengerti.
"Ayahmu sudah memberikan restunya."
Satu.
Dua.
Tiga.
Tangis Naruto kembali turun dengan hebat. "Jangan membodohiku!"
"Siapa yang membodohimu?" balas Sasuke. Ia mendekap tubuh kekasihnya erat. "Kita akan menikah. Segera menikah," bisiknya. Sasuke menundukkan kepala untuk mengecup bahu telanjang Naruto. "Setelah menikah, bolehkah aku meminta satu hal darimu?"
Naruto melepaskan pelukannya. "Apa?"
"Selama aku hidup, kau hanya boleh berpakaian seksi untukku," jawab Sasuke. Ekspresi dan nada seriusnya membuat Naruto tertawa keras. "Aku bahkan tidak keberatan jika kau terus telanjang di hadapanku. Hanya di depanku," sambungnya, penuh penekanan.
Naruto masih terkekeh. "Jadi kita akan benar-benar menikah?"
Sasuke mengangguk.
"Kita sudah boleh bertemu?"
Sasuke kembali mengangguk.
"Apa aku boleh mendapatkan satu ciuman?"
Kali ini Sasuke tersenyum lebar. Dia menarik tengkuk kekasihnya dan menyatukan mulut mereka dalam satu gerakan cepat.
Keduanya tengah bergulat lidah, saling melumat saat sebuah suara terdengar di belakang mereka, "Bisakah kalian menunggu hingga malam pertama?"
Sasuke dan Naruto langsung melepaskan diri. Keduanya meloncat turun dari atas ranjang dan tersenyum kikuk menatap Minato.
"Kalian tidak boleh bertemu hingga hari pernikahan kalian," putusnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Sasuke dan Naruto yang berteriak kompak, "Jangan lagi!"
.
.
.
END
Hello…!
Tidak terasa fic ini sudah berjalan hampir dua tahun lamanya. Semua cerita pasti ada awal dan akhir, dan disinilah kisah ini berakhir. Seperti karya-karya saya lainnya, perjalanan fic ini pun tidak bisa dibilang mulus, mulai dari jadwal update yang tidak menentu hingga jalan cerita yang tidak sesuai dengan harapan pembaca.
Namun, inilah saya dengan segala kekurangannya. Semoga pembaca sekalian tidak kapok menunggu dan membaca karya-karya saya lainnya.
Sebagai penutup, saya ucapkan terima kasih untuk semua pembaca yang telah menemani saya dalam perjalanan fic ini. Jika ada kesempatan, saya akan publish epilognya. Xixixi...
Sampai jumpa di karya-karya saya lainnya! (:
Regards,
F.H
#WeDoCareAboutSFN