HAPPY BIRTHDAY KARMA!
25. Di Balik Pintu
Thanks to Hopelessly-Fabulous-Dork, NeverLanderGirl, and Koshiba Kiri for beta!
"Terima kasih sudah mengundangku lagi, Mr. Lovro."
Pada saat penampilan Lotus Orchestra bulan Februari lalu, Nagisa tidak mengikuti jamuan dengan anggota orkestra lainnya; ia terburu-buru pulang karena urusan keluarga. Sang promotor adalah pria yang telah menemukan bakat Nagisa dan memberinya beasiswa ke Austria.
Mr. Lovro menggeleng. "Aku masih ingin bicara lebih banyak denganmu, Shiota. Saat aku memberikanmu beasiswa, aku tahu kau punya potensi, tapi saat ini kau sangat melebihi harapanku. Selain itu, aku juga ingin membicarakan kasus yang mencelakakan ayahmu lebih detil."
"Tentu saja."
Berbeda dengan banyak orang lain, Mr. Lovro tidak sungkan menanyai pembakaran rumah lelang yang menewaskan ayah Nagisa. Pria itu adalah kakak dari pemilik rumah lelang, dan mungkin juga keputusannya memberi Nagisa beasiswa adalah karena merasa bersalah. Walaupun pelaku pembakar gedung lelang telah ditangkap, pria yang mendekati usia pensiun itu masih merasa bertanggung jawab atas Nagisa.
"Tapi, anda tidak perlu terus menerus merasa seperti itu, Mr. Lovro."
"Aku juga mengerti hal itu," ujar Mr. Lovro. Mereka berada di restoran rooftop Rapier Hall, aula pertunjukkan miliknya. "Tapi aku tidak hanya melakukan ini karena rasa bersalah, Shiota. Aku bangga padamu. Kau seperti anakku sendiri."
Nagisa tertegun, sama sekali tidak memperhatikan pelayan yang menawarinya anggur. Telat beberapa detik, baru ia meminta si pelayan mengisi gelasnya dengan anggur putih. Ini pertama kalinya ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Nagisa punya ayah tiri, tapi biarpun hubungan mereka baik, mereka tidak dekat. Ia juga sempat berada di bawah asuhan keluarga Akabane, namun hanya untuk waktu yang singkat, dan pasangan itu sibuk dengan pekerjaan.
"Mungkin kalau kau bisa tinggal lebih lama, akan kuperkenalkan dengan keluargaku."
"Wah, saya mau sekali. Sayangnya mungkin tidak dalam waktu dekat." Melihat tatapan bertanya promotornya, Nagisa tersenyum sopan. "Saat ini saya sedang mencari apartemen lagi di Jepang. Saya ingin mengajak adik angkat saya tinggal bersama."
"Adik angkat...? Bukankah kau sebenarnya diberi tanggung jawab oleh pasangan Akabane sebagai wali-nya?"
"Ah, bagaimana ya...saya sudah merawat Karma saat saya sendiri masih anak-anak, jadi aneh sekali menyebutnya 'anak angkat'..." Sejenak, mereka menikmati anggur, dan membicarakan tahun dan merknya. Tidak lama kemudian, pelayan menyajikan hidangan makan malam mereka, dan percakapan berlanjut. "Tapi anda pasti senang sekali memiliki keluarga, Mr. Lovro?"
"Aku beruntung." Mr. Lovro tersenyum bijak. "Keluarga itu penting. Tapi apakah keluarga yang kita miliki adalah rumah, tidak semuanya seberuntung itu."
Nagisa terdiam lagi sejenak.
"How come?"
"Kita bisa bekerja keras untuk keluarga. Tapi kadang ada orang-orang yang lebih memilih bekerja daripada pulang, karena mereka tidak merasa berada di antara keluarganya seperti di 'rumah'. Anak-anak muda cenderung merasa seperti ini. House is a place to go home, to rest, and to belong. Ini lebih penting dari pada memiliki keluarga utuh dan rumah yang bagus."
Entah kenapa ia semakin mengingat nenek dan Karma. Dan rumah kecil mereka di desa. Dan halaman belakang yang dipenuhi bunga. Lebih dari rumahnya sendiri, Nagisa merasa lebih berada di 'rumah' saat tinggal dengan Karma dan nenek. Sebelum Karma datang, rumah nenek hanya terasa seperti tempat singgah. Ia merasa tidak bisa nyaman dan menyesuaikan diri.
Baru setelah Karma datang, ia memaksa diri dewasa, lebih percaya diri dan berbaur dengan orang-orang di desa, dan berteman dengan Nakamura dan lainnya.
Tapi Nagisa sudah tidak bisa kembali ke desa itu dan menganggapnya 'rumah' lagi. Berbagai hal di sana sudah banyak berubah, teman-temannya juga sudah berpencar ke tempat lain dengan kehidupan yang berbeda. Tapi hanya satu hal—satu orang yang sampai hari ini, hubungannya dengan Nagisa tidak berubah dan membuatnya merasa di rumah.
Setelah beberapa lama di Swiss, bermain ski, menjelajah pegunungan Alpine, memikirkan ini, akhirnya Nagisa mencapai sebuah keputusan yang sebenarnya paling tidak ingin ia pertimbangkan.
"Akabane...san?"
"Nagisa-kun! Tumben sekali kam menghubungi kami! Ada masalah apa lagi? Karma kena skors lagi?"
"Tidak." Nagisa sedikit merona, dan ia berdeham. "Sebenarnya aku sudah merencanakan ini selama beberapa waktu lalu...tapi apakah kalian keberatan kalau aku mengajak Karma pindah denganku ke apartemen yang baru?"
Hening sejenak.
"Bagus sekali, Nagisa-kun! Melamar anak itu harus lewat orang tua!"
Nagisa bagai berski kecepatan tinggi dari puncak gunung salju dan terbakar oleh friksi saking malunya mendengar ini. Tapi dia tidak bisa mengelak. Ia memang sudah menyerah. Nagisa menerima juga perasaan hangat yang ia rasakan untuk Karma, dan tiap memikirkan ini, wajahnya gampang merah dan kemampuan bicaranya menurun.
~.X.~
Cuaca mendingin cukup lambat tahun ini. Tapi seperti biasa, di awal November, pernak-pernik Natal sudah mulai gencar dan kadang orang-orang mengeluhkan departemen perbelanjaan yang memutar lagu Natal di awal November. Video Park Waltz Karma dan Nagisa semakin populer dan tidak jarang orang yang berpapasan dengan Karma akan menanyakan apakah dia yang ada di video itu.
Tiap ada wawancara, Nagisa juga kerap kali ditanyai soal video itu dan ia harus menjelaskan berkali-kali bahwa hal itu benar, berikut penjelasan hubungannya dengan Karma. Tiap kali melihat Nagisa di televisi menjelaskan bahwa ia adalah wali Karma dan menganggapnya sebagai adik, remaja berambut merah itu ingin meninju Tembok Cina sampai hancur.
"Aku punya ide bagus!" seru Yuuma, sepertinya bersimpati pada hubungan Karma dan kakaknya. "Bagaimana kalau Nagisa sengaja tertangkap paparazzi dengan wanita lain? Dengan begitu rumor baru terjadi dan rumor kalian segera lenyap."
Melihat ekspresi Karma, Shuu menggeleng.
"Nanti malah muncul serial killer. Itu bukan ide bagus."
Menjelang liburan musim dingin, karena Shuu, Yuuma, dan Karma satu universitas (beda jurusan), mereka mau tidak mau sering berpapasan di kantin paling belakang area universitas karena paling jauh dan paling sepi. Karma karena ia malas kalau tiap makan malah diwawancarai orang-orang di kampus, Yuuma karena makanan di kantin belakang paling murah, dan Shuu memang pada umumnya tidak suka keramaian. Kadang Hiroto sering mampir ke sana, karena dekat kantin belakang itu adalah kampus lamanya juga, dan penjaga kantin di tempat itu teman lamanya.
"Kalian tutup mulut saja," geram Karma, menusuk-nusuk sushi-nya tak keruan. Tiba-tiba ia memukul meja keras, membuat piring mereka lompat. "Tentu saja. Tentu saja." Ia beranjak dan berjalan pergi. "Kenapa aku tidak berpikir seperti itu?"
"Apalagi ini?" tanya Hiroto, yang mengambil tempat Karma. Shuu langsung melayangkan tatapan sengit padanya. "Dia kenapa lagi? Padahal rumornya juga tidak terlalu sering dibicarakan. Media melindungi Nagisa-sensei kok."
"Hmm, Senpai, kalau kau jadi korban rumor, sepertinya tidak akan berpikir sesantai itu," jawab Yuuma tenang, kembali memakan nasi karenya. Beberapa butir nasi menempel di atas bibirnya. Sontak, Shuu dan Hiroto berbarengan bereaksi;
"Ah, itu di bib—"
Yuuma menjilat bibirnya dan melanjutkan makan. Ia menyadari kedua temannya tadi mau mengatakan sesuatu, dan menoleh pada mereka.
"Hm? Apa tadi? Kalian bilang apa?"
Shuu menghela napas diam, sementara Hiroto sekarang melampiaskan kekesalannya pada sushi milik Karma tadi.
Untuk tiga orang ini, ceritanya masih panjang...
~.X.~
Apartemen baru mereka hanya berjarak sepuluh menit dari kampus Karma ditempuh dengan jalan kaki. Melihat mobil Impala di parkiran depan, pemuda berambut merah itu bergegas naik. Nagisa sedang berada di kamar tidur, berganti pakaian.
Karma mengunci pintu apartemen, lalu pintu kamar tidur mereka. Nagisa duduk di ranjang dengan wajah bingung.
"Aku punya ide," kata Karma, tersenyum lebar. "Aku selesaikan kuliahku di Inggris saja."
"Eh...ah...? Hah...?" Nagisa menelengkan kepala, mengernyit makin bingung. "Kau mau apa?"
"Inggris. Kuliah."
"Untuk apa? Universitasmu sekarang sudah sangat bagus!"
"Mungkin rumor aneh soal video itu akan hilang—atau media bosan, kalau aku pergi beberapa tahun." Karma menjelaskan, meskipun kedengarannya meyakinkan diri sendiri. "Setelah lulus, aku akan melamar ke kantor detektif, lalu—"
"Terserah kau lah." Nagisa berkata dengan dingin, melepas kemejanya dan menarik selimut, lalu berbaring. Wajahnya tampak kesal. Karma menautkan alis, memanjat ke kasur.
"Hei, kenapa kau marah?" tanya Karma bingung, "Aku melakukan ini untuk kita!"
"Hmph." Nagisa memunggungi kekasihnya, merengut. "Apalagi kalau itu."
"Apa masalahmu?"
Nagisa menghela napas, lalu bangkit, duduk untuk menatap Karma lurus-lurus. "Lakukan sesuatu untuk dirimu sendiri, bisa tidak? Tidak usah selalu memikirkanku. Sewaktu Karma bilang mau jadi detektif, aku kira kau tidak mungkin sebegitu seriusnya..."
"Kenapa tidak boleh?" Karma tampak tersinggung. "Aku mau melakukan apa saja untukmu, kenapa Nagisa malah nggak senang?"
"Pertama..." Nagisa melipat tangannya. "Terlalu berlebihan harus pindah kuliah ke luar negeri hanya untuk menghapus rumor. Kedua, aku tidak mau kau melakukan hal seperti ini untukku. Aku juga tidak mau Karma jadi detektif untukku."
"K-Ketiga..." Ia berdeham, "...Aku tidak mau kalau K-K-Karma...terlalu jauh dariku..." Ia berpaling dengan wajah merah.
Karma gemetar, dan tangannya sudah mencengkeram bahu ramping berkulit porselen itu. Nagisa buru-buru kabur dan turun dari kasur, tapi Karma yang lebih tinggi dengan mudah menangkapnya dan menyeretnya naik ke tempat tidur.
"Aaah! Lepaskan aku! Jangan perlakukan aku seperti ini, aku kan lebih tua darimu!" protesnya, memberontak sia-sia. Ia bergidik ketika merasakan Karma menjilati lehernya. "Nnh...? Hentikan!"
Karma malah melingkarkan kedua tangannya rapat di sekeliling Nagisa. Hidungnya menghirup bahu kekasihnya, membuat sensasi yang sangat sensual.
"Salahmu sendiri," bisiknya jahil, lalu membasahi telinga Nagisa dengan lidahnya.
~.X.~
Nagisa bertelungkup sambil memeriksa agendanya. Hampir setengah tahun sejak ia mengajari Karma berdansa di taman, dan ternyata beberapa penontonnya merekam video dan menyebarkannya ke internet. Awalnya tidak banyak yang menyadari bahwa mereka yang ada dalam video itu, tapi saat rumor-rumor semakin kuat, Nagisa mau tidak mau angkat suara. Ia sampai harus menghadiri interview untuk menjelaskan bahwa tidak ada hubungan romantis antara dirinya dan Karma, kecuali hubungan adik kakak dan bahwa ia walinya.
Karma juga sedikit direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan orang-orang di kampus, tapi ia paling tidak suka jika tiap ada interview Nagisa harus menerima pertanyaan itu berulang-ulang, menjelaskan berulang-ulang, dan kalau bukan karena sifat Nagisa yang suka memanjakannya, Karma mungkin akan frustrasi.
"Hnn." Karma berguling ke arahnya, minta dipeluk. Nagisa mengecup pipinya, namun matanya masih sibuk memandangi agenda. "Jadi menurutmu aku tidak perlu melakukan apa-apa soal rumor itu?"
"Tidak."
"Lalu kenapa kau menghindariku?"
"Tidak." Nagisa membalik halaman baru dan menandai beberapa tanggal di bulan Desember. Karma memandangnya sinis, dan Nagisa bisa merasakan itu. "Aku tidak menghindarimu sama sekali, aku hanya sangat sibuk tahun ini."
Tetap saja tatapan itu.
"Mungkin karena kau masih muda dan pikiranmu hanya tentang seks melulu, makanya kau pikir aku jarang menghabiskan waktu denganmu. Padahal paling tidak sebulan sekali kita—"
"Sebulan sekali!" protes Karma menautkan alis. "Tidak harus seks! Misalnya sebelum berangkat bangunkan aku atau cium aku. Atau saat pulang terlalu larut dan aku sudah tidur, lakukan itu..."
Nagisa terdiam, lalu menatap Karma datar. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan tawa, tapi bahunya sudah gemetar. Karma mendengus, wajahnya merah. Dia memang tipe kekasih yang sangat manja dan needy. Saat kecil juga seperti itu. Tapi ini membuat Nagisa sangat senang. Ia merangkak ke arah Karma dan menjatuhkan dirinya ke dada bidang remaja itu, membuat dirinya sendiri nyaman.
"Dasar bayi." Ia tertawa kecil dan mencium tangan Karma sebelum menggenggamnya dan menutup mata.
Karma menggigit bibir bawahnya, wajahnya tampak keras kepala, meskipun merah padam. Ia separuh senang dimanja oleh Nagisa, tapi jika dikatai seperti itu mau tidak mau ia sedikit jengkel juga. Baiklah. Mungkin sedikiiiit senang. Sedikit saja sih. (Baca: sangat senang)
~.X.~
Nagisa menatapnya sendu. "Maafkan aku, Karma. Tapi semua ini sudah berakhir."
Entah kenapa Karma tidak bisa mengeluarkan suaranya.
"Aku telah menemukan cinta sejatiku saat omiai." Di sisi Nagisa seorang pengantin, wajahnya tertutup kain putih tipis. "Kami memilih satu sama lain," ujarnya dan menyingkap kain putih itu.
Muncullah wajah Gakuhou Asano.
Karma terbangun dengan jantung berdebar kencang. Tubuhnya banjir keringat dingin, jantungnya mencelos menyadari bahwa hanya dirinya yang berada di dalam selimut. Tunggu. Kenapa Nagisa tidak ada? Ia sudah mengambil cuti...
Ia mendengar suara dari ruang tengah. Ternyata Nagisa sedang menonton video di televisi. Video itu adalah kenang-kenangan dari rumah nenek. Ulang tahun pertama Karma, penampilan impresi piano Nagisa yang pertama, dan lain-lainnya. Karma beringsut ke sofa, lalu mencium puncak kepala biru langit itu.
"Hei." Nagisa balas mencium pipinya, dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Karma memanjat dari belakang sofa, lalu menggelinding jatuh, meletakkan kepalanya di pangkuan Nagisa. "Lihatlah bayi berambut merah itu, sekarang sudah sebesar ini..." Nagisa pura-pura terisak dramatis, mengelus-elus kepala Karma. "Anakku sudah besar. Aku sudah tua...Waktuku tak lama lagi..."
"Heh..." Karma mencubit pahanya gemas, membuat Nagisa tertawa. Keduanya diam menonton video yang diputar.
Ia baru menyadari bahwa Nagisa juga tampak sangat berbeda. Bukan soal tinggi badan atau hal-hal sejelas itu. Ekspresinya. Nagisa yang memangkunya saat ini lebih sering tertawa dan bercanda. Nagisa yang pernah menjadi kakaknya tampak lebih pendiam. Saat itu ia pasti masih merasa tertekan soal keluarganya, nenek, dan banyak hal lainnya.
Karma berusaha tidak memikirkan bahwa, ah, dirinya mungkin sedikit (cukup banyak) mengubah Nagisa. Bukannya dia berbangga atau apa, dia hanya senang (dan sangat bangga) bisa membuat Nagisa lebih bahagia.
"Hei, Karma?" Karma menoleh menatap biru langit yang menunduk ke arahnya.
"Hm?"
Ia hanya tersenyum lembut dan mencium pipinya lagi. "Hehe, tidak apa-apa."
Karma membenamkan wajah merahnya ke pangkuan Nagisa, merasa jantungnya bisa meledak.
~.X.~
Karma mungkin manja, tapi dia bukannya orang yang sentimental. Nagisa juga begitu. Dirinya sibuk, dan ulang tahunnya selalu saja dihebohkan dengan kejutan dari para penggemar atau murid-muridnya. Karma sendiri hampir setiap tahun diselamati oleh gadis-gadis yang menyukainya dari kejauhan, kadang-kadang mereka cukup berani menjejalkan hadiah ke tangannya dan kabur. Mereka sudah lama tidak merayakan ulang tahun satu sama lain.
"Ne, Shiota-sensei, aku punya pertanyaan." Tsukimori-sensei, guru biola sekolah musik, tiba-tiba menghampirinya. "Pemain terompet kira-kira akan menyukai alat perawatan terompet atau malah bosan menerimanya?"
"Hmm...Menurutku pemain terompet biasanya orangnya periang, mereka pasti senang diberi apa saja. Ada apa?"
"Teman SMA ku dulu, hehe. Dia akan berulang tahun Desember ini."
"Hmm."
"Shiota-sensei sepertinya tidak terlalu tertarik merayakan ulang tahun, ya? Selalu saja melupakan ulang tahunnya sendiri." Wanita itu tertawa. "Suamiku juga seperti itu—yah, kau tahu karena kalian berdua kan maestro—aku juga terlalu sibuk...Tapi temanku pernah sampai putus dengan pacarnya karena tidak pernah merayakan atau menyelamatinya saat ulang tahun!"
Nagisa yang sedang bersiap memakai jasnya terdiam. "Putus?"
"Iya...Jadi aku paling tidak menyelamatinya. Kalau aku sempat aku pasti mengejutkannya dengan hadiah."
"Hm, hubungan yang dinamis itu bagus," komentar Chiaki-sensei. "Tapi kalau terlalu dinamis juga melelahkan." Sepertinya ia teringat kekasihnya yang masih di Perancis.
"Haha! Tapi kan dia pasti terbang ke tempat Chiaki-sensei kalau sampai lupa! Tahun lalu seperti itu, aku sampai kaget..."
"Tolong jangan ingatkan aku..." Chiaki-sensei menyadari Nagisa masih terdiam memegangi sarung tangan putihnya. "Shiota-sensei, berhentilah melamun. Kau harus konsentrasi."
"Ah...iya..." Nagisa menarik napas tajam dan menggeleng. Saat ini ia harus fokus dengan pertunjukan.
~.X.~
Lalu malamnya, dia membuat Karma jengkel. Selesai mandi, Nagisa mendadak bertanya:
"Kau mau hadiah apa?"
Karma yang sedang bermain PSVita tidak mengalihkan pandangan. "Hmm? Hadiah untuk apa?"
"Hadiah ulang tahun," kata Nagisa, sekarang tampak sangat serius. Karma sedikit mengernyit; mata tembaga pucatnya terpaku pada layar PSVita. "Karma? Hei? Kau mau apa?"
"Hardcore make out session."
"Itu kan sudah masuk paket Christmas Eve. Ini untuk ulang tahunmu."
"Paket? Memangnya ini apa? Paket pijat? Hmm...Ulang tahunku diberi paket itu juga saja."
"Eeh? Masa itu saja?" Nagisa menggembungkan pipinya, lalu mondar-mandir di depan sofa. Ini sedikit mengganggu konsentrasi Karma, karena pria itu hanya memakai handuk menutupi pinggul ke bawah. "Mungkin ponsel baru? Tapi ponselmu masih bagus ya. Laptop? Sudah punya. Mustang-mu masih bagus. Ah!" Nagisa tiba-tiba menghadap Karma dan memangku wajahnya di sofa. "Bagaimana kalau kita keliling Eropa?"
Karma menjatuhkan PSVita-nya ke pangkuan, lalu mencengkeram kepala biru langit itu dengan satu tangan.
"Nagisaaa...ada apa ini? Bukankah terakhir kita merayakan ulang tahun itu tiga belas tahun lalu ya? Aku sudah bukan bayi lagi, aku tidak butuh yang seperti itu..."
"Lalu kau mau kado apa?" Nagisa sepertinya tidak paham perkataannya. "Selain diriku," katanya, merengut dengan wajah merah.
Karma terdiam, pikirannya sedang homina akbar. Mungkin ia butuh pengusiran setan. Air Suci. Lingkaran Bintang David. Tiba-tiba lampu Thomas Alpha Edison menyala dalam otak kotornya.
"Bagaimana kalau waktu ulang tahunku kau telanjang lalu pakai celemek seharian dan memanggilku Master—" Karma menutup mulutnya melihat wajah pucat pasi Nagisa yang jelas-jelas merasa jijik.
"H-Hei! Jangan menatapku seperti itu! Kau yang bertanya!"
"Memangnya aku menatapmu bagaimana? Aku...Aku biasa saja."
"Wajahmu itu jelas-jelas mengatakan di mana aku salah membesarkan anak ini, tahu...Tidak usah memaksakan diri memberiku hadiah, yang itu tadi aku hanya bercanda..."
Melihat ekspresi Nagisa yang bagai sedang menerima takdir, Karma buru-buru menarik tangannya.
"Hei...lupakan, tidak perlu melakukan yang kukatakan tadi, oke?"
"Ah? Apa? Memangnya kau tadi bilang apa?"
"Jangan. Lakukan."
"S-Siapa bilang aku akan melakukan itu?"
"Wajahmu yang bilang."
"C-Cuaca cerah hari ini."
"Jangan Terapi Cuaca!"
~.X.~
Toko barang antik saat itu sedang ramai. Karma menunjukkan undangannya pada penjaga pintu yang segera memeriksa daftar. Setelah itu ia harus menyerahkan uang jaminan dan beberapa surat yang sebagian besar identitas. Hanya ada satu barang yang ia inginkan, jadi ia membayar uang jaminan sesuai dengan harga barang yang ingin ia menangkan dalam lelang.
Karma mengambil duduk di kursi peserta. Mata tembaga pucatnya menatap yakin pada etalase ramping yang terpajang di sisi kiri ruangan.
Nagisa sudah memberikan banyak untukku, pikirnya. Mulai sekarang, aku juga...
~.X.~
Agenda tanggal 24 Desember begitu penuh. Nagisa menghadiri berbagai pesta dari pagi hingga malam. Karma menghadiri acara-acara kampusnya, serta bakti sosial hingga malam. Namun dalam pikiran mereka adalah tanggal 25 Desember, besok. Pria biru langit itu akhirnya bisa pulang cukup awal, paling tidak di bawah jam sembilan.
Nagisa membayar taksinya, ia turun di dekat rumah sakit yang dulu sering ia datangi untuk menjenguk nenek. Namun ia berjalan lurus dan memasuki toko kue. Ia membeli cake pudding strawberry, cheesecake blueberry dan pudding mangga.
Apartemennya sudah dinyalakan saat ia tiba. Karma sedang di dalam kamar mandi. Nagisa menyimpan kue-kue itu di dalam lemari es. Ia membuka kancing jasnya, menyambar handuk, dan bergabung dengan Karma di dalam shower.
"H-Hei," sapanya, berdiri dengan canggung di depan pintu kamar mandi. Karma sedang membilas rambutnya, lalu melayangkan senyum nakal padanya. Nagisa mengalihkan pandangan ke cermin yang berembun.
Padahal sudah tak terhitung berapa kali ia melihat pemuda itu tak berbusana. Dari kecil hingga detik ini. Baru akhir-akhir ini ia melihat Karma dengan perasaan yang berbeda.
"Mau kumandiin?"
Nagisa merengut dan menunduk, tapi masuk ke dalam shower box.
"Mau."
~.X.~
Keesokannya Karma terbangun lebih dulu dengan Nagisa di dekapnya. Ia mencium hidung pria itu. Jika pertama kali melihat Nagisa, tidak akan ada yang percaya bahwa wajah mungil seperti porselen itu berusia hampir tiga puluh. Karma memakai celananya, menyelimuti kekasihnya, lalu turun dari ranjang.
Ia membuka pintu kloset, matanya langsung tertuju pada jaket kulit yang ia gantung. Wajahnya sedikit memerah, tapi ia menghembuskan napas, menguatkan diri. Ia mendengar Nagisa terbangun, lebih dulu masuk ke kamar mandi. Karma menyusul dan mencuci muka sementara Nagisa menyikat gigi dengan mata terpejam.
Karma mengira mereka akan sarapan terlebih dahulu, tapi ternyata Nagisa memakai kaos berbahan wol dan jaket serta syal. Karma pun memakai jaketnya.
Matanya melebar melihat Nagisa mengeluarkan kotak cake dari toko kue yang ia kenal. Tentu saja. Tradisi lama ini. Nagisa mengulurkan tangan dan nyengir lebar padanya.
"Terakhir kita melakukan ini, kau masih bisa kugendong," katanya riang, mengunci pintu apartemen mereka.
"Sekarang Nagisa kugendong saja, bagaimana?" Karma tertawa ketika lututnya ditendang pelan. Mereka berpegangan tangan. Tidak menuju parkiran, mereka berjalan ke halte bis.
Lalu mereka menaiki kereta. Karma menguap, meskipun sebenarnya ia pura-pura menguap karena ia butuh menarik napas dalam. Ia merasa sangat gugup. Tangan Nagisa menggenggamnya erat.
Dari stasiun, mereka berjalan ke toko bunga. Nagisa memilih dan merangkai sendiri bunga-bunganya. Kali itu ia merangkai poinsettia dengan baby's breath. Buket rangkaiannya selalu saja istimewa. Mungkin jika Nagisa tidak mengambil jalan musisi, ia sudah menjadi perangkai bunga. Tapi jalan apapun itu, Karma akan tetap menyukainya.
Lalu mereka berjalan ke pemakaman. Di daerah itu salju lebih tebal menumpuk di sisi jalan daripada saat di kota. Pemakaman tidak tampak angker, hanya seperti taman batu bertabur serbuk putih.
Sesampainya di nisan nenek, mereka membersihkan tempat itu dari salju. Karma menyalakan dupa, Nagisa meletakkan buketnya. Mereka diam, mungkin berdoa, mungkin bicara dengan nenek dalam hati. Setelah itu Nagisa mengeluarkan cake-nya. Cake pudding stroberi kesukaan Karma saat kecil. Pudding mangga diletakkan di sebelah buket poinsettia.
"Ah...benar juga." Nagisa tiba-tiba berkata, memecah keheningan lagi. Karma mengangkat wajahnya. Ia merasa pernah melihat senyuman itu. Senyuman yang bersemu dengan kebahagiaan. "Selamat ulang tahun, Karma."
Karma tersenyum lebar.
"Semoga umurmu panjang,"
"...Dan hidupmu bahagia."
Nagisa terdiam, memandangi nisan nenek dengan senyum yang tenang. Karma merasa semakin gugup—ia tidak bisa memakan cake pudding di tangannya. Ia sudah mau meletakkan cake-nya, tapi Nagisa berkata lagi;
"Hei, Karma?"
"Hmm?"
Karma melihat senyuman itu lagi, dan ia ingin meledak saja rasanya. Nagisa tersenyum cerah. Begitu indah. Lebih murni dari salju.
"Terima kasih sudah lahir. Terima kasih juga untuk orang tuamu yang menitipkanmu padaku, dan sudah melahirkanmu. Terima kasih sudah menjadi adikku. Terima kasih sudah menjadi kekasihku. Terima kasih sudah...sudah ada di dunia ini."
Karma menghela napas dan meletakkan cake pudding itu di sebelah pudding mangga nenek, lalu merogoh sakunya untuk mengeluarkan barang yang telah ia incar dalam lelang.
"Kalau begitu pakai ini," katanya, mengeluarkan kotak hitam kecil. Ia mengambil cincin putih perak di dalamnya, dan meletakkannya di telapak tangan Nagisa. Nagisa memandangi cincin itu dengan mata lebar dan wajah bersemu merah.
"Oh," katanya tolol.
Karma mendengus, memicingkan mata, wajahnya sendiri merah. Ia ingin lari saja saat mencuri-curi pandang, melihat Nagisa melepas sarung tangannya, lalu memakai cincin itu dengan wajah polos. Cincin antik itu merupakan perak murni disepuh emas putih, dengan ukiran bunga forget-me-not. Yang membuatnya antik adalah ukiran detil dan realistis bunga tersebut. Tapi bukan itu yang penting bagi Karma.
"Kau juga pakai punyamu?"
Karma melepas sarung tangannya juga dan memamerkan cincin yang sama di jari manisnya, tidak berani menatap wajah Nagisa.
"Hoo." Nagisa manggut-manggut polos, lalu memandangi cincin di jari manisnya sendiri. "Boleh juga."
Mungkin untuk saat ini Karma tidak bisa memamerkannya ke seluruh dunia. Mungkin hari ini pemakaman putih yang menjadi saksi, dan nisan nenek yang mengawasi mereka. Mungkin saat ini mereka hanya bisa menikmati kue-kue sederhana dari toko kue.
Tapi, hari ini, bagaimana pun juga, mereka menikah. Mungkin mereka belum menandatangani surat-surat. Mungkin mereka malah harus pindah lagi untuk membuat semuanya resmi. Tapi hari itu mereka sepakat bahwa ada hal-hal yang tidak bisa mereka hadapi dengan ikatan keluarga, atau persaudaraan. Mereka sepakat bahwa inilah cara bagi mereka untuk menanggung semuanya bersama, secara sama rata. Tidak ada yang harus merasa memimpin, tidak ada yang harus memaksakan diri menahan tangis, tidak ada yang merasa tidak mampu memahami yang lain.
Tiba-tiba pria biru langit itu tertawa kecil, membuat Karma sedikit sakit hati.
"Apa? Corny? Klise?"
"Iya, iya." Nagisa sedikit berlutut di tanah bersalju agar bisa mengecup lembut bibir Karma, dan nyengir seperti anak laki-laki polos, begitu lepas, begitu bebas, seakan tanpa beban.
Karma belum pernah melihat senyuman seperti itu. Karena senyum Nagisa tidak pernah tampak seperti anak-anak meskipun posturnya begitu mungil. Senyumnya selalu berisi syukur dan menahan diri.
Tapi kali ini senyuman itu bisa jadi hadiah ulang tahunnya yang terbaik. Nagisa tersenyum karena ia bahagia. Bahagia saja. Tidak ada perasaan lainnya. Simply happy.
"Ternyata kamu memang sudah bukan bayi lagi ya, Karma."
Mereka tidak peduli. Administrasi, persepsi dunia, bahkan cincin di jari mereka, tidak ada artinya. Bagi Nagisa, kisahnya berawal ketika ia menemukan bayi berambut merah di depan pintu. Karma baru bisa memulai kisahnya sendiri ketika Nagisa meninggalkannya.
"Hmph...Baru percaya..."
Jika pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan baru bersama, maka cincin itu melambangkan sebuah pintu. Kali ini, Karma dan Nagisa, bersama-sama akan memulai kisah baru yang menanti di balik pintu tersebut.
Dan karena itulah, kisah kakak-beradik merah biru harus berakhir sampai di sini.
"Marriage is not a noun; it's a verb. It isn't something you get. It's something you do. It's the way you love your partner everyday." — Barbara De Angelis
End.
Author:
Terima kasih sudah membaca "Baby Karma" sampai sejauh ini! Fanfic ini memang didedikasikan untuk ulang tahun Karma Akabane serta pairing Karma x Nagisa yang tersayang. Juga terima kasih pada para beta yang luar biasa sudah membantu saja menyelesaikan ini. Saya juga senang sekali bisa menulis 'Si bayi berambut merah' dan kakaknya~!
Sebenarnya ada banyak pesan dan kesan yang mau ditulis sama para beta saya, tapi akan saya masukkan ke versi PDFnya nanti kalau sudah keluar XD Untuk sekarang...Sampai jumpa di serial lainnya!
Kindly review if you have the time.
Fairfarren~