.

Moon, Earth, Sun

.

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya tanpa mengambil keuntungan apapun.

Rate : T

Warning : AU, OoC, typo(s), misstypo(s), & many more.

Enjoy!

..

"Jidat." Sebuah kepala pirang melongok dari balik ruangan. Ia tersenyum lebar hingga ujung matanya berkerut. "Tolong, ya."

Sakura pura-pura merengut. Lalu dengan jempol kiri teracung, ia mengambil beberapa map biru dari tangan wanita berambut kuning yang tengah berdiri dengan alis terangkat dan senyum menggoda. Ino—sang Deputy Manager yang bersikeras agar dirinya dipanggil Miss Barbie oleh Sakura—menyerahkan map itu dengan sorot mata jenaka.

"Rajin-rajinlah bekerja, Anak baru."

Nada suara itu membuat Sakura cuma bisa membalas dengan dengusan kecil. Yamanaka Ino, senior semasa sekolah dulu. Gadis cantik itu cukup dekat dengannya bahkan sebelum mereka berdua dipertemukan kembali dalam kantor yang sama. Berawal dari keterlibatan keduanya di pameran seni kemudian berlanjut menjadi sahabat sepermainan. Hubungan mereka bertahan selama beberapa tahun dan akhirnya harus terpisah saat Sakura memutuskan untuk mengambil beasiswa dan melanjutkan pendidikannya ke Aberdeen. Cukup menguntungkan sebenarnya—sebagai seseorang yang masih berstatus sebagai trainer dan ditempatkan ke divisi di mana teman akrab mejadi atasan sendiri. Tentu saja dengan mengabaikan sikap menyebalkan Ino yang kerap menyuruhnya ke sana kemari dengan wajah cengengesan.

Gadis itu menyusuri bangunan megah MUC Corporation dengan langkah tergesa-gesa. Bergabung di sebuah perusahaan multinasional seperti ini membutuhkan kinerja yang tidak main-main. Bisa bergosip sambil menikmati secangkir latte dengan santai saat jam kerja dan tak kena damprat supervisor merupakan mitos di tempat ini. Mereka semua pekerja keras. Pemburu dolar—dimana waktu adalah segalanya. Dan sebagai junior, ia cukup tahu diri untuk tidak mengundang teguran sekecil apapun dari atasan.

Suara gesekan sepatu berhak miliknya semakin beradu dengan lantai keramik yang dipijaknya—tanda ia terburu-buru. Ia melirik arloji dengan nafas memburu. Berkas ini harus segera sampai sebelum meeting dimulai setengah jam lagi ke meja kerja milik Morino-san, manager divisi lima yang galaknya luar biasa. Ia terus melangkah dengan bibir sesekali tersungging paksa pada karyawan yang tampak mondar-mandir keluar masuk ruangan. Beberapa saat kemudian ia pun sampai ke depan ruangan yang ia tuju. Tangannya baru saja akan meraih gagang pintu saat sebuah suara di belakangnya membuatnya serta merta berbalik.

"Itu dari Yamanaka?"

Sakura mengangguk. "Ya, Hatake-san."

Ponsel pria berambut silver itu tiba-tiba berbunyi. Ia berdecak kesal, mengangkat tangannya pada Sakura—memberi kode agar gadis itu tidak beranjak pergi—sebelum menerima panggilan tersebut. "Aku segera ke sana." Ada sedikit nada jengkel di suaranya yang datar. Ia lalu menyentuh-nyentuh layar ponselnya dengan mimik serius sambil menggumam. Entah apa yang ia gumamkan, Sakura sesungguhnya tak peduli. Ia lebih khawatir pada Morino Ibiki yang akan segera memotong lehernya jika map ini tak segera hadir di depan hidung manager itu.

"Maaf, Hatake-san..."

Kakashi menoleh dan memasukkan ponsel ke saku celana hitamnya. Sakura mendesah pelan. Ia yakin pria itu baru sadar ada seorang gadis malang yang sedari tadi menunggunya seperti orang dungu.

"Aku harus menyerahkan ini pada Morino-san dan—"

Kakashi langsung berbalik, berjalan pergi begitu saja, seolah kalimat yang Sakura ucapkan tadi hanya berhembus dan hilang menjadi partikel yang ditiup angin tanpa sempat hinggap di kuping Kakashi.

Sakura terdiam. Dongkol bukan main. Benar-benar orang ini... Apa ia dianggap patung? Jika bukan karena Kakashi menjabat posisi yang jauh lebih tinggi darinya, ia mungkin akan menjewer kupingnya dan mengomel langsung tepat di depan wajahnya.

Tak disangka pria itu tiba-tiba menolehkan kepalanya ke belakang. Dengan kening berkerut heran ia berkata, "Tunggu apa?" tanyanya. "Ibiki ada di ruang rapat. Yamanaka mengutusmu untuk ikut meeting kan?"

Mata gadis itu membulat sempurna. Tak berapa lama ia pun kembali mendesah seiring dengan langkah kakinya yang bergerak cepat mengikuti Kakashi menuju pertemuan. Dasar Ino pemalas...

.

.

.


.

.

.

Sakura membereskan lembaran-lembaran kertas yang ada di hadapannya dengan jantung berdebar. Entah ia harus marah atau berterima kasih kepada Ino karena sudah menyeretnya ke pertemuan ini. Sepanjang meeting berlangsung, ia harus berusaha mati-matian membagi konsentrasinya antara presentasi Kakashi atau sesosok pria dengan setelan abu-abu yang duduk di depan sana dengan gayanya yang berwibawa. Ia menggigit bibir. Mata kelam itu... Dalam waktu sekejap saja, ia merasa sorot tajam itu menusuknya, berusaha mengulitinya hingga lapisan terdalam. Ia bahkan tak bisa menghitung berapa kali sudah pandangan mereka berdua beradu. Dan di saat mata mereka bertemu, sosok itu lalu membuang muka. Kembali tenggelam dalam suasana pertemuan, seolah tak terjadi apa-apa. Memang tak terjadi apa-apa. Mungkin... Setidaknya bagi pria itu. Tapi untuk Sakura?

Gadis itu masih sibuk mengatur semua catatan yang berserak di atas meja dengan wajah menunduk. Rambut panjangnya yang terurai jatuh hingga menutupi sisi wajahnya sengaja ia biarkan. Paling tidak, hal itu dapat meminimalisir rasa canggung yang ia rasakan karena tatapan meneliti yang ditujukan padanya. Ia tidak mengada-ada. Pria itu kini berdiri bersama Kakashi dan petinggi lainnya—berbicara, namun pandangannya sering mengarah ke dirinya.

Uchiha Sasuke. Ia mengeja nama itu dalam hati. Beberapa hari yang lalu, saat ia sendirian di lobi, menunggu lift, suara bariton itu tiba-tiba menyapanya.

"Hinata's little sister?"

Satu pertanyaan dengan senyuman, yang walaupun amat tipis, namun mampu membuat detak jantung Sakura meningkat dua kali lipat lebih cepat. Ia mengagumi pria itu. Sungguh. Bukan karena fisiknya yang rupawan atau karena koceknya yang dalam. Sakura yakin bukan karena hal-hal klise semacam itu. Melainkan karena pria itu mampu bersanding dengan ayahnya sebagai pria yang paling ia kagumi. Hebat bukan? Dan Sakura tidak tahu mengapa itu bisa terjadi.

Dan Hinata. Oh... jangan lupakan dia. Kakak perempuan yang sangat ia hormati. Cantik, lembut, pintar, keibuan, dewasa, dan Sakura merasa ia kebalikan dari itu semua. Semua orang menyukai Hinata. Semua orang membicarakan Hinata. Dan ia bangga—meskipun hanya dikenali sebagai adik Hinata. Kakaknya ibarat mentari. Sedangkan ia seperti bulan, harus meminjam sinarnya hanya agar orang lain dapat melihatnya. Tak mengapa.

Mungkin begitu pula dengan Sasuke.

Dan kenapa ada rasa sesak saat batinnya memikirkan itu?

Sebuah sentuhan lembut di bahunya praktis membuat lamunannya bubar jalan. Rei Gaara kini berdiri di hadapannya dengan ujung bibir sedikit terangkat. Tangannya lalu terulur, mengambil alih kertas-kertas yang ada di genggaman Sakura. "Biar kubawakan."

Sakura tertawa pelan. Boleh saja Gaara terlihat stoik, cenderung dingin malah. Tapi urusan kepedulian, jangan ditanya. Dirinyalah peraih trophy nomor satu. Tubuh menjulang dengan kulit pucat dan surai merahnya yang halus dengan model agak berantakan membuat Gaara menjadi anak baru yang paling banyak ditaksir oleh senior wanita lain. Matsuri, gadis mungil dari divisi empat bahkan memberi pernyataan terang-terangan tentang kecemburuannya pada Sakura. Pemuda ini sama juniornya dengan dirinya di kantor ini. Mereka sama-sama sibuk. Sama-sama banyak kerjaan. Bedanya, Gaara akan tetap mendatanginya, di manapun juga, jika waktu makan siang telah tiba. Dan mereka berdua—kadang bersama Ino—akan beristirahat sembari mengisi perut dan bercengkrama, melupakan rutinitas sejenak. Sahabatnya ini benar-benar tahu cara membuatnya tersenyum.

.

.

.


.

.

.

Sasuke mengamati sepasang manusia di ujung sana dengan kening berkerut. Ia baru saja akan menghampiri gadis itu jika saja sosok berambut merah darah tersebut tak mendahuluinya. Ia mengurungkan niat. Ia hanya ingin bicara... Ralat. Ia ingin bertanya.

"Sasuke, bulan depan jadi atau tidak?"

Sunyi.

"Sasuke?"

"..."

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Kakashi yang tadinya sibuk mencermati laporan di tangannya pun mau tak mau mengangkat kepala, melirik pria itu sekilas lalu mengikuti arah pandangnya dan mendapati Sakura dan Gaara tengah mengobrol sambil tertawa lalu keduanya beranjak meninggalkan ruangan.

Kakashi menautkan alis.

"Ada apa dengan adik Hinata dan temannya?"

Seuntai kalimat itu seolah memencet bel dalam kepalanya. Sasuke langsung memalingkan wajah. Merapikan jas kemudian menenggelamkan satu tangannya ke dalam saku dan bergegas pergi, membiarkan pertanyaan Kakashi berlalu begitu saja.

.

.

.


.

.

.

Ruangan itu telah sepi sejak setengah jam yang lalu, menyisakan dua orang yang masih setia bertahan di meja kerja masing-masing. Seolah berlomba siapa yang lebih dahulu akan tumbang, mereka diam terpaku di depan komputer, sampai akhirnya tinggallah Sakura yang menjadi pemenangnya. Shino, pemuda kalem berkacamata itu pamit dengan anggukan kepala lalu meninggalkan gadis itu sendirian.

Sakura menarik napas panjang dan berat sebelum menghempaskan punggungnya ke kursi. Tangan kanannya memijat pelan batang hidungnya sementara tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. Ia sempat berpikir bahwa lembur merupakan cara efektif untuk mengalihkannya dari hal-hal yang mengganggu pikirannya. Salah besar. Ternyata, pesona Uchiha Sasuke jauh lebih berpengaruh dibanding apapun. Untuk apa memelototi kertas maupun layar berpendar itu, jika otakmu tetap melayang kepadanya.

Semenjak meeting tiga minggu yang lalu, Sakura telah berusaha menepis anggapan bahwa Sasuke menaruh perhatian kepadanya—terlepas karena dia adik Hinata atau bukan. Sakura hanyalah karyawan baru dan demi Tuhan, Sasuke adalah CEO di perusahaan ini. Apa untungnya bagi pria itu untuk terus-menerus menatap dan memandanginya diam-diam. Sangat konyol dan yah—walaupun cukup membuat hatinya senang, namun ia tetap harus realistis dan tahu diri.

Apalagi Ino, dengan kurangajarnya mendukung teori tersebut.

"Aku juga merasa seperti itu," katanya suatu hari. "Ia memperhatikanmu, Sakura."

Gadis pirang itu menyentuh dagu dengan kukunya yang bercat ungu.

"Pasti karena ia belum pernah melihat jidat selebar lapangan bola."

Si Barbie itu pun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut.

Ino sialan.

Setelahnya, ia tak lagi dipusingkan oleh tetek bengek mengenai tingkah polah Sasuke. Ia sudah cukup puas bisa memandangi sang Uchiha dari kejauhan seperti yang ia lakukan sedari dulu. Ia pergi pagi, mengurus berkas, diperintah Ino, makan siang bersama Gaara, membuat laporan, lalu pulang. Ritme kerjanya kembali teratur tanpa ada sesuatu lagi yang mengganjal.

Namun anggapannya ternyata hanya bertahan selama beberapa hari. Hari selanjutnya, Sakura tidak lagi merasa diperhatikan. Namun kini benar-benar diperhatikan. Justru semakin intens. Dan benar saja. Sasuke mulai menyapanya. Esoknya ia mulai menanyakan kabar. Esoknya lagi ia bertanya tentang pekerjaan. Puncaknya, ia mengajak makan siang bersama. Sakura ingat, waktu itu ia senang bukan main hingga nyaris tersedak.

Tak bisa dihindari, Sasuke mulai bertransformasi menjadi sosok yang ia kenal. Perangainya yang menyenangkan tersembunyi di balik wajahnya yang angkuh. Ia tak sediam yang orang-orang bicarakan. Mereka tak pernah kehabisan bahan obrolan. Kondisi keuangan negara, saham, seni, bahkan keluarga. Disitulah Sakura tahu, bahwa Sasuke dan kakaknya, Hinata merupakan alumni dari universitas yang sama di Hamburg. Sasuke bahkan tak keberatan menjadi tutornya, membagi ilmu tentang bisnis atau apapun yang ia tahu.

Perlahan Sakura memejamkan mata dengan telapak tangan menutupi wajah. Dua belas jam di kantor membuat tubuhnya lelah. Kerongkongannya kering dan panas. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia minum. Ia memutuskan untuk mengambil sebotol air mineral di atas meja, namun ketika ia membuka mata, seketika itu juga tubuhnya tersentak dan nyaris terjungkang dari kursi jika tangan itu tak sigap menahan lengannya.

"U-uchiha-san?"

Sasuke menahan tawa seraya membantu menegakkan tubuh gadis itu.

"Maaf mengagetkanmu," tukasnya. "Dan tolong panggil aku dengan nama depanku."

Pria itu berdiri tegap dengan kedua tangan terlipat di dada. "Kenapa belum pulang? Menungguku?" Seringaian kecil tampak di ujung bibir tipisnya.

Wajah Sakura memanas. Ia menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Aku bahkan tidak tahu kau masih di sini."

Sasuke mengangkat sebelah tangannya dan mengusap rambut hitamnya ke belakang. "Ayo. Kuantar kau pulang. Tidak baik untuk kesehatanmu kalau selalu lembur."

Sedetik kemudian, lengannya telah digamit oleh pria itu. Memaksanya dengan halus agar segera bangkit dan mengikuti langkahnya.

Kalau sudah begini, apakah salah jika ia berharap?

.

.

.


.

.

.

"Kosta Browne Pinot Noir Sonoma..." Ia berucap pelan. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit kaki gelas kristal hingga timbul riak kecil di permukaan liquid merah itu. Ia menghela napas sebelum kembali bersuara. "Favoritku..."

Sakura mengangkat wajah dan balik tersenyum. Menyembunyikan raut wajah 'aku tak tahu apa yang kau bicarakan' pada pria di hadapannya. Ia tak bisa berkomentar banyak karena ia bukan penggemar Kosta Pinot? Browne? Apalah namanya itu. Jangankan tahu merk, menyicipinya sedikit saja tak ada minat sama sekali. Terlebih lagi ia tak sudi menghamburkan puluhan ribu yen hanya untuk membayar minuman mahal semacam ini. Ya, sebut saja ia wanita pelosok yang terdampar di sebuah restoran mewah dengan pelayan berseragam dan berpenampilan klimis yang selalu membungkuk hormat padanya. Sasuke yang membawanya ke mari.

Sakura masih bergelut dengan berkas berisi angka laporan bersama Ino, saat Sasuke mendatanginya ke ruangan kerja. Mereka berbincang sesaat dan ketika ia menyebut soal Hinata yang akan pulang dari luar negeri, Sasuke langsung menawarkan untuk dinner bersama—Sasuke, Sakura, dan Hinata—dengan alasan ingin reuni, menemui sahabat lamanya sekaligus kakak dari teman dekatnya di kantor. Teman dekat? Wajah Sakura memerah waktu itu. Sementara Ino hanya bisa menggelengkan kepala dengan raut simpatik—sesuatu yang sangat jarang gadis pirang itu tunjukkan—sembari bergumam pelan. Gumaman yang sakura tak mengerti apa maksudnya.

"Kau naif, Sakura."

"Sakura-chan!" terdengar pekikan dari belakang.

Mereka berdua terkejut, tetapi Sasukelah yang menoleh paling cepat. Dengan senyum lebar ia berdiri menyambut kedatangan Hinata. Gadis lembut itu memeluk Sakura terlebih dahulu dengan erat, setelah itu pandangannya beralih ke arah pria itu.

Ia tertawa hangat. "Sasuke, lama tak berjumpa. Apa kabar?"

"Aku baik-baik saja." Entah hanya perasaan Sakura atau bukan, ia merasa sorot mata pria itu melembut saat menatap kakaknya. "Aku senang bertemu denganmu lagi." Ia menggeser sebuah kursi berornamen lotus emas di sampingnya dan mempersilahkan Hinata untuk duduk.

"Darjeeling tea?" tawar Sasuke pada Hinata. "Dengan satu sendok gula? Itu masih kesukaanmu, kan?"

"Dari mana kau tahu? Dasar." Hinata terkekeh. Sebelah tangannya menyelipkan helai rambut biru gelapnya ke belakang telinga. "Aku senang kau bekerja pada Sasuke, Sakura-chan." Ia menatap adiknya dengan penuh sayang. "Dia sangat baik."

Sakura mengangguk setuju sambil melirik Sasuke. Pria itu terlihat senang. Tidak. Ia bahagia. Benar-benar bahagia. Terlebih saat Sasuke dan kakaknya memulai perbincangan serius. Mereka tertawa bersama. Mengenang saat-saat di kampus beberapa tahun silam. Dan Sakura hanya mampu menatap mereka sambil sesekali mengangguk atau berkata 'ya' jika diperlukan. Selebihnya, ia cuma bertugas menjadi pendengar. Seolah ada dinding transparan yang memisahkan mereka—Ia tahu dirinya sama sekali tidak bisa masuk ke dalam sana. Gadis beriris hijau itu menghela napas. Menunduk menatap motif taplak meja di depannya. Seharusnya ia sadar diri, ia hanya akan menjadi penganggu. Sakura menatap Sasuke sekali lagi. Mata yang biasanya gelap itu kini berbinar, seperti ada cahaya yang melingkupinya. Ia menggigit bibir lalu memalingkan wajah. Tempatnya bukan di sini.

"Sebenarnya aku pulang untuk menyampaikan sesuatu pada adikku." Akhirnya takdir mengasihani gadis patung ini. Sakura menoleh, menunggu kakaknya melanjutkan.

"Sakura-chan, aku sudah tunangan."

Sakura terkesiap lalu dengan cepat memeluk kencang tubuh gadis itu hingga limbung. Ia tak percaya mendengar kabar bahagia secepat ini. Ia nyaris tertawa bahagia namun luntur seketika saat menangkap perubahan di raut wajah Sasuke. Rahangnya sedikit mengatup dan tangannya menggenggam serbet berwarna kuning gading itu dengan erat. Walaupun ia bisa mengelabui Hinata dengan seulas senyum paksa yang terpatri di bibirnya, Sakura tahu pasti bahwa Sasuke... Marah?

Perasaan sesak tiba-tiba menelusup ke dada Sakura.

"Oh, ya?" Ada hela napas terselip di kalimat pria itu "Dengan siapa?"

"Uzumaki Naruto. Teman kuliah dulu. Ingat?"

Sasuke mengangguk kecil, kemudian meraih gelas dan menyesap minumannya sedikit demi sedikit.

Hening sesaat.

"Bagaimana denganmu, Sasuke?"

Sasuke menatap kosong bunga di hadapannya sembari terus menyesap wine-nya perlahan. Ada jeda sejenak sebelum ia meletakkan gelas kaca itu. Ia menyeringai. Cenderung sinis.

"Adikmu belum bilang padamu, kalau aku dekat dengannya?"

Tangan Sakura tiba-tiba digenggam—disambut dengan pekikan tertahan dari Hinata. Kakak polosnya itu lalu tersenyum lebar dan mengucap kata-kata selamat yang tak lagi bisa dipahami Sakura. Ia terkejut. Sesak yang ia rasakan kian menghimpit saat melihat wajah Sasuke. Dingin. Keruh. Sakit. Ia meremas rok hitamnya dengan kencang.

"Apakah kau melakukan ini semua hanya untuk membuatnya cemburu, Sasuke?"

Ia tersenyum getir.

.

.

.

.

.

TBC


Author's note :

Terima kasih kepada BTS-Butterfly, BAP-Blind, Adele-Hello, One Ok Rock-Heartache, & Daughtry-September, yang telah membantu author pemalas ini untuk mengumpulkan mood menyelesaikan fic yang (maunya sih) bergenre drama/hurt-comfort ini. Maaf kalo alurnya berantakan dan kurang nge-feel.

Fic ini spesial buat Kiki kim. Idenya dari dese. Saya hanya bertugas untuk membuatkan cerita plus ngobrak-ngabrik idenya. Sorry ya makk. Jgn lupa baca doa dulu sebelum nge-baca ini. Takutnya semaput T_T

Akhir kata,

Mind to review?