Wish and Dream

Chapter 3

Declaimer : om Masashi Kishimoto

Pair : Tenten x Shikamaru

Tenten x Gaara

Rate : T+

Genre : romance, family, hurt/confort, friendship, crime may be ?

WARNING : hujan typo, banjir OOC, longsor abal, badai gaje, ancur.. etc

Ohayooooo minnaaaaaaaaaaaa…

Saya kembaliiii…! *gak ada yang peduli ! XD

Maaf kalau ceritanya makin angus… baru sembuh dari virus galauu*siapa yang nanya ? :v , jadi maaf banget kalau chapter ini begitu mengecewakan, huhuhuhuuuuu * pancung aja saya ! #ngenez. Saya tak bermaksud menambah timbunan sampah kok. Bener deh, sungguh* garuk2 tanah. Sekali lagi maaf yaaaa.

Kecup dulu ah atu-atu …

Shikadaii : sebenernya udah dibls sih review-nya. Tapi gak apa-apa kan kalau ane ucapin terima kasih lg ? hehe

Siluetmu : hy ….. yoroshikuuuuu….! Makaciiih udah suka,,,! sebisa mungkin saya lanjut kok*ngacung dua jari

Ten nyan : *tersipu* arigatooo ten-san, *mata blink2 , saya pasti lanjut semampu saya…. Saya juga reader, jadi saya tau gimana rasanya di gantung*bener-bener bikin isded. haha :v

Guest : sama-sama,,, ff ini-pun muncul karna saya jarang nemu pair ini, saya gak mau gantung kok guest-san, saya juga takut gantungin anak orang* plakk digampar XD makaciii ripiuww-nya

Nazlia Haibara : terima kasih buat masukannya. *mata berbinar \(*_~)/. Apa sekarang udah rapi ya pengetikannya ?, kayaknya belum*dicekek. aku juga suka crack pair,,, yey kita sama ! kayak ada manis-manisnya*nah loo? Abaikan. Haha

Kirei atsura : Tenten suka yang mana ya ? kita lihat aja deh !*plakk di lempar bulldozer . thanks to review

Sooya : terima kasih sooya-san ,*peluk* ini dia kelanjutannya, semoga gak terlalu mengecewakan ya !

And thanks to all readers whome I love ~(^_~)d

NB : italic for Flashback

~happy reading~

"hiks. Shikamaru… jangan tinggalkan aku" lirihnya, meski kata-kata itu juga berisi pengakuan rindu tersamarkan pada sang ayah.

Tiba-tiba saja Tenten terlonjak kaget. Merasakan ada seseorang memeluknya dari belakang…. Matanya kini membulat sempurna. A-apa yang ?

.

.

.

"tak akan !" terdengar dengan jelas suara familiar itu.

"tak akan pernah, Tenten !" lanjutnya. Gadis yang dipanggil Tenten hanya terdiam. Tak mau bergerak, atau mungkin tak bisa bergerak ?

"gomen ! aku membuatmu menangis" Sosok itu kini melepas pelukannya dan beralih duduk disamping Tenten yang masih diam.

Hening…

hanya semilir angin yang menerpa lembut.

Sosok itu menghela nafas, …

"aku hanya sedikit kesal tadi. Maafkan aku…" katanya lagi. Sosok gadis bercepol dua disebelahnya hanya menghela nafas, setelah memastikan airmatanya terusap bersih.

"kamu kenapa sih ?" akhirnya suara yang dinanti keluar juga dari mulutnya.

Terlihat jelas bagaimana bibir itu mengkrucut dengan pipi yang mengembung kesal. Tapi Shikamaru yang duduk disampingnya tau betul bahwa Tenten tak benar-benar marah padanya. atau bisa di bilang sudah tak marah lagi padanya. dan itu membuatnya lega.

Shikamaru tersenyum lembut. Bukannya menjawab pertanyaan gadis disampingnya, dia malah menggerakan tangannya mengacak-ngacak rambut cepol coklat milik Tenten.

"kau jelek kalau cemberut" dia terkekeh geli.

"biar saja !" ucapnya seraya memalingkan wajah.

Tak ada yang tau bahwa hatinya lega mengetahui Shikamaru masih sama. Tak ada yang tau pula bahwa gadis brunete itu tersenyum dibelakang lawan bicaranya. Yah, dia tau betul, dia takkan pernah bisa marah pada sahabatnya itu, tak akan benar-benar marah. Tak akan pernah bisa. Pun begitu dengan Shikamaru.

Srettt' !

"E-eehhh..?" entahlah sudah yang keberapa kalinya Tenten dibuat terkejut oleh Shikamaru pagi ini. Tanpa aba-aba Shikamaru sudah meraih tangannya, membimbingnya berdiri, dan menyeretnya ?. heii itu kan kebiasaannnya ?

"kau tidak benar-benar ingin bolos kan ?" tanyanya yang berjalan mendahului Tenten dengan tangan yang tetap tergenggam erat. sementara gadis dibelakangnya mati-matian menyelaraskan langkahnya dengan pemuda berambut nanas itu. Dia hanya pasrah mengikuti setiap langkah cepat Shikamaru.

"dan kau tidak benar-benar pindah bangku kan ?"

"hn "

Shikamaru hanya bisa tersenyum sekarang. meski dia tau dia harus sebangku dengan orang yang entah kenapa tak disukainya, tapi dia lebih tak suka jika tak sebangku dengan gadis ini. Jujur saja, dia tak benar-benar ingin pindah bangku sebenarnya.

Entahlah,,, apakah mereka sadar bahwa mereka sudah seperti pasangan sekarang ?. bukan seperti sepasang kakak-adik dalam anggapan Shikamaru,,, atau sepasang sahabat dalam pandangan Tenten. Tapi lebih dari itu… ada ikatan ghaib yang tak mereka sadari, belum mereka sadari, atau mungkin tak mau mereka sadari. Tapi mata hijau yang sedari tadi melihat mereka dari kejauhan menyadari itu. ekspresi stoic itu masih setia mengikuti setiap gerak dua orang itu. Bahkan senyum yang merekah dari bibir keduanya-pun tak luput dari pegamatannya. Entah apa yang iya pikirkan..?! yang jelas,, untuk saat ini dia bisa bernafas lega. Benarkah ? . kenapa ?. entahlah…!

.

.

.

Xxxxxx

Sinar bulan memurnama cerah. Secerah wajah seorang gadis yang memakai t-shirt putih dengan celana pendek selutut, rambut coklat yang biasa dicepol dua kini ia ikat kuncir kuda. Senyumnya tak jua lepas menghiasi wajah riangnya. Bahkan setiap asupan nasi yang masuk ke rongga mulutnya selalu diiringi dengan senandung tak terdefinisi. Ia tampak tak peduli melihat dua sosok perempuan yang menatapnya aneh dari seberang meja. Yah… dia sedang di meja makan sekarang, dan Tenten tak henti-hentinya bersenandung tak jelas. Hatinya sedang senang akhir-akhir ini. Menyaksikan Shikamaru yang sudah mulai sedikit 'bersahabat' dengan Gaara.

Mereka bertiga mulai akrab pada bulan-bulan terakhir ini, dan rutinitas yang biasa di lakukannya dengan Shikamaru dulu, kini dilakukannya juga pada Gaara. Seperti menunggu di depan pintu gerbang sekolah, contohnya !. yah, mereka saling menunggu. Tenten tersenyum mengingat bagaimana dua orang itu menunggunya yang datang agak telat di depan pintu gerbang. Meski posisi mereka saling membelakangi, Tenten tetap merasa senang dengan 'kekompakan' mereka ?. Tenten juga tersenyum tatkala dirinya dan Shikamaru harus menunggu Gaara. Nyatanya, meski dengan gaya malas-malasan dan puluhan kata merepotkan, Shikamaru tetap menunggu 'teman' barunya itu. Dan jangan lupakan saat giliran si pemalas itu yang telat. Tenten dan Gaara masih sabar menunggu di depan gerbang, dan mereka bertigapun harus kembali sabar menerima hukuman dari Kurenai sensei akibat aksi telat mereka, yang tentunya di dalangi oleh Shikamaru.

Mengingat itu membuat Tenten tersenyum geli. Dan senandung riang tak dapat di tahannya lagi . Ah.. dia sangat menyayangi keduanya. Khufufufu…

"apa semua baik-baik saja ?"

terdengar suara serak-serak basah dari perempuan paruh baya yang masih tampak muda . matanya menyorot heran pada anak sulungnya yang terlihat… errrr aneh ?

Sontak semua mata mengarah padanya. catat, empat pasang mata dari dua pemilik yang berbeda menoleh padanya dengan sorotan tak paham. Si gadis berkuncir kuda bernama Tenten agak memiringkan kepalanya heran. Sedangkan gadis yang berambut coklat pendek sebahu bernama Masturi, mengerutkan keningnya, bingung. Perempuan paruh baya itu memperhatikan dua orang gadis di hadapannya bergantian. Kemudian berdehem…

"tak apa. Lanjutkan saja makannya"

kini gantian dua gadis berbeda gaya rambut itu yang saling pandang, bahasa matanya seolah ingin mengatakan 'apa kau tau maksudnya?' dan sorot mata yang satunya menjawab 'entahlah..'. Keduanya hanya mengedikkan bahu sebelum kemudian melanjutkan acara makan malam mereka dengan hening.

.

.

.

Sementara di tempat lain, suasana makan malam tak sehening di tempat Tenten. Suasana tegang mewarnai makan malam keluarga kecil di ruangan yang besar. Tampak sebuah piring yang masih penuh. menandakan bahwa makanan itu tak terjamah. Sementara pemiliknya menatap tajam kearah seorang pria paruh baya berjenggot hitam berbentuk kerucut, serta goresan luka vertical miring di wajahnya. Sedangkan seorang wanita berumur 49 tahun-an hanya menatap ragu kearah dua laki-laki dengan gaya rambut yang sama di hadapannya. Helaan nafasnya terdengar berat..

"dengar Shikamaru ! aku tau ini terlalu merepotkan bagimu, tapi aku tak bisa melakukannya lebih lama lagi….."

"tapi aku tak bisa meninggalkannya Tousan"

"aku mengerti, dan aku yakin dia-pun mengerti. ini tak akan memakan waktu lama. Kecuali jika kau yang ingin berlama-lama disana dengan kemalasanmu…"

"…"

"dengar_"

"sudahlah Shikaku, kau istirahatlah dulu,, dan berikanlah waktu untuk ibu dan anak ini bicara berdua.."

Shikaku hanya menghela nafas berat. kemudian beranjak menjauh, menuju sebuah kamar dengan pintu ukir hitam dalam diam. Empat mata hitam hanya menatap kepergiannya dari meja makan.

"jadi.. bisakah kau makan dulu makananmu Shikamaru..?" wanita paruh baya bernama Yoshino memulai.

"kenapa kita tak langsung mulai saja Kaasan…?" pemuda yang di panggil Shikamaru itu menatap lekat sang ibu. Yoshino meletakkan sendok dan garpunya pelan, meminum segelas air, dan mengusap ujung bibirnya dengan lap. Kemudian ia balas menatap sang anak yang tak juga menurunkan kadar sorotannya.

"baiklah kalau begitu. Kita bicara di taman saja. Dan aku harap kita bisa bicara dengan lebih santai, nee shika-chan ?!" Yoshino tersenyum lembut, sembari beranjak diikuti Shikamaru di belakangnya.

.

.

Udara malam yang dingin, kalah oleh purnama bulan yang bulat sempurna, dengan tambahan kerlip dari bintang gumintang. Cerah dan cantik. Begitulah anggapan sepasang netra onycs yang menengadah alam di atas sana. Mereka Duduk di bangku taman kecil di belakang rumah. Hening yang hampir menghanyutkan. Sebelum suara lembut sang ibu membangunkannya dari ketakjuban.

"maafkan kami ya, Shikamaru. Andai Tousan-mu masih sehat seperti dulu. Tentu dia takkan membiarkanmu jauh dari kami, pun jauh dari Tenten, ataupun keluarga Maito. Tapi kaupun tau, Tousan-mu tak bisa bekerja lebih berat lagi, kesehatannya semakin buruk saja, aku sudah memperingatkan, tapi dia tetap memaksakan diri. Dia keras kepala. jika dibiarkan aku takut akan semakin buruk. Dia tak akan bertahan lebih lama lagi" kata-kata Yoshino terjeda. Dia mengambil nafas dalam-dalam, sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Kau harus mengantikannya segera. Kau tenang saja. Keluarga Maito akan tetap kami jaga, karena itu tak hanya janjimu seorang,,, sejak hari dimana dia menyelamatkanmu, dan sejak hari dimana dia harus mendapatkan hukuman yang tak seharusnya. Sejak saat itu pula kita berjanji untuk menjaga keluarganya."

Kini Shikamaru menoleh, untuk pertama kalinya ekspresi diwajahnya bercampur aduk. Hingga Yoshino-pun sulit membaca.

"tak apa. kaasan . aku mengerti. Maaf,, tadi aku hanya sedikit terkejut." Shikamaru mengusap kasar wajahnya.

"ajaklah Tenten kemari. Sudah lama kan dia tak main-main kesini.?! Kalau perlu Matsuri juga"

Yoshino tersenyum simpul. Shikamaru mengangguk diam. Ada kecamuk dalam hatinya yang tak ia mengerti. Mengapa jadi seberat ini rasanya ?. Orang tuanya hanya menyuruhnya melanjutkan sekolahnya di London setelah lulus, dan itu 1 minggu lagi. Dan bukankah ini juga impiannya ? juga impian keluarganya ?. Ditambah penyakit jantung ayahnya yang kian parah. Membuatnya seakan tak punya pilihan. Yah, dia harus segera mengantikan ayahnya di perusahaan, agar sang ayah bisa beistirahat dan fokus pada pengobatannya.

Jika program akselerasinya ini berhasil, maka dalam waktu dua tahun dari sekarang dia sudah bisa menggantikan posisi sang ayah di perusahaan. Dia yaqin, dia bisa lulus dengan mudah, mengingat kemampuan otaknya yang diatas rata-rata. Dia yaqin hanya dengan sedikit kesungguhan dia bisa menyelesaikan studinya dalam waktu singkat. Yah dua tahun. Itu target maksimal. Dan dia tak akan membiarkan lebih lama lagi.

Tapi bagaimana dengan Tenten ?. itulah yang kini ada dalam pikirannya. Dia juga bingung, kenapa dia harus khawatir. Tenten akan selalu baik-baik saja. pasti dia akan baik-baik saja, meski tanpanya. Tenten bukan gadis cengeng, bukan pula gadis lemah. Si tomboy itu mana mungkin tak baik-baik saja. tapi tetap saja hal ini menjadi salah satu alasan terberatnya. Janjinya pada sosok pahlawannya dimasa lalu telah mengikatnya. Dan dia sama sekali tak keberatan dengan itu. Dia senang. Dia menikmatinya. Bibi Miko adalah orang yang ramah. Shikamaru bahkan lebih betah di rumah Tenten dari pada rumahnya sendiri. Matsuri adalah gadis lugu yang lembut. Dia sudah seperti adik kandungnya saja. dan Tenten ?, jangan ditanya. Entah sebuah kebetulan atau tidak, mereka di takdirkan sekelas. Bersahabat dengannya adalah hal yang paling dinikmatinya. Dan berpisah dengannya ?. harus diakui adalah hal berat baginya. Tapi kenapa ?. mungkinkah karena dia terikat janji untuk menjaganya ? menjaga keluarganya ?. mungkinkah karena dia adalah manusia yang terdekat dengannya, selain kedua orang tuanya ? mungkinkah karena dia sahabatnya ? mungkinkah karena dia sudah seperti adik baginya ? ataukah…?.

Entahlah… dia tak mengerti. Yang jelas sekarang adalah, tak lama lagi, dia akan jauh darinya. Untuk waktu yang tak dapat dikatakan singkat.

Di bangku taman itu. dua manusia hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sementara sang ayah yang menatap mereka dari jendela hanya menghela nafas panjang.

'Gai. Aku bisa pastikan ini tak akan lama' gumamnya.

Xxxxx

Di tempat lain pula, berkilo meter dari sana. Di atas beranda lantai dua sebuah rumah, tampak seorang pemuda bersurai merah duduk setengah berbaring di atas bangku santaiya. sebuah gitar perak ia mainkan pelan dengan mata yang terpejam. Alunan lembut bunyi gitarnya senada dengan alunan angin malam. Sesekali dia tersenyum. Sesekali pula senyumnya hilang, ekspresinya berubah-ubah. Tangannya masih bergerak memetik satu persatu senar gitar di tangannya. Pikirannya kini menerawang jauh ke masa lalu, di senja yang mulai memetang. Disore yang menjingga kemerahan…

Flashback

Praaankkk !

Suara benda pecah menghiasi sebuah rumah. Bak adu perang, kini dua orang dewasa seolah berlomba memecahkan barang-barang. Dan benda terakhir yang diketahui bernama gelas itu sudah hancur berserakan di lantai. Sementara tiga anak kecil yang menyaksikan itu hanya bisa meringkuk dibawah meja makan. Anak pirang berkuncir empat hanya bisa menangis, sementara anak laki-laki berambut hitam menutup telinga. sepasang mata hijau anak yang paling kecil berusia 9 tahun-nan hanya menatap nanar percekcokan tiada henti orang tuanya.

"pergi kau brengsekk ! tinggalkan kami,,, anak-anak tak butuh asuhan hidung belang sepertimu"

"kau fikir dirimu apa ha ? kau-pun hanya wanita penggoda suami orang !"

Sahut-menyahut tiada henti. makin dilihat, makin mengiris hati. Makin di dengar lukanya bak tersayat beribu kali. Itulah yang dirasakan anak-anak belia dibawah kolong meja. Anak bersurai merah sudah tak tahan. Pemandangan ini adalah pemandangan terburuk dari yang terburuk, yang paling ia benci dari yang terbenci. Ia benci. Benci… benci.. bencii….

Ia kemudian berlari keluar rumah. Berlari sekencang-kencangnya. Berharap gesekan angin membawa lukanya terbang. Ia terus berlari, berlari, lari dan lari… lari dari kejaran luka yang masih mengikutinya. Lari dari benci yang mengejarnya, lari dari sakit yang mengekori setiap deru nafasnya. Hingga dia-pun sampai di sebuah tempat yang asing baginya. Di tepi sungai kecil yang jernih. Langkahnya melambat, dan kemudian berhenti. Deru nafas yang memburu, membawanya terduduk lesu di tepi sungai itu. Ia membungkuk, sedikit memajukan tubuhnya, hanya untuk melihat refleksi dirinya dalam jernih sungai yang tenang.

Sekarang ia bisa melihat dengan jelas sebuah wajah penuh luka yang tak berwujud disana. Matanya mendelik tajam, dan sendu. Kemudian untuk pertama kalinya air bening sebening sungai mengaliri pipi pucatnya. Mencipta anak sungai baru yang meluap deras. Ia menangis. Menangis sejadinya, di tempat yang takkan ada yang tau betapa luka yang dirasa sedemikian sakitnya. Hingga air mata yang tak pernah keluar dari bendungan kini jebol begitu saja. 'apakah salah jika aku menangis ? apa aku cengeng ?' lirihan hatinya memberiak. Tangisnya kian menjadi.

"jangan menangis !"

Seketika dirinya tersentak. Suara yang sebegitu mengagetkan baginya itu cukup membuatnya terjungkal. Ia mendongak. Seorang gadis kecil bercepol dua, berpipi chubby, bermata coklat itu menatapnya ragu.

"ini permen untukmu. Tapi jangan menangis lagi.." lanjutnya.

Anak merah itu masih terdiam di tempatnya. Tak tau harus apa dan bagaimana. Ia menunduk. Tak pernah ada satu orangpun yang memergokinya dalam keadaan lemah seperti ini. Belum pernah ada. Kecuali sekarang, di tepi sungai, di senja hari, di sepi yang menipu.

Gadis kecil itu memiringkan kepalanya heran. Tapi kemudian tanpa ragu ia mengambil posisi duduk disebelahnya.

Sreettt'

Tanpa aba-aba gadis kecil itu meraih tangannya, dan menyelipkan sebuah benda disitu. Yah, sebuah permen coklat berbentuk oval, dengan tulisan belakangnya bertulis 'tersenyumlah'. Entah bagaimana awalnya, tapi sejenak anak merah itu tersenyum. meski senyuman itu tak sampai pada matanya, tapi itu cukup meringankan hatinya.

Dan merekapun sama-sama terdiam. Menikmati suguhan ketenangan yang jingga merah muda berikan, disore itu.

"terkadang aku juga ingin menangis. Aku juga pernah menangis. Sering sih !, Rasanya lega kan ?. jadi, Kalau hanya denganku tak usah ditahan. Keluarkan saja. aku tak akan bilang siapapun" gadis itu memberikan senyum termanisnya.

Tapi si anak laki-laki itu tak lagi menangis. Bukan karena luka yang sembuh, bukan karena sakit yang reda, bukan pula karena ada orang lain yang menyaksikannya, tapi karena dia tak ingin. Dia tak lagi ingin. Kini yang dia inginkan hanyalah…

. Tersenyum. Yah,, dia juga ingin tersenyum. Sepertinya !.

Diperhatikannya sosok chubby yang sedari tadi duduk disampingnya. Senyum cerianya entah kenapa juga menceriakan hatinya. Dan timbullah keinginan untuk menjadi ceria sepertinya. Binary cerah di maniknya itu, membuatnya ingin sepertinya. Seperti tanpa beban. Yah, sepertinya tenang…! Sangat tenang !. dia juga ingin sepertinya.

Ia-pun menggenggam erat permen itu.

"tapi luka memang menyakitkan ya ?! apa lagi benci .."

sontak si merah menoleh. Entah kenapa dia menangkap sesuatu yang lain dimata coklat itu. Seperti… dirinya,,,?. Yah, ada luka dimatanya, adapula kebencian di hazelnya. Ia tak mengerti apa yang dialami gadis ini. Yang jelas, kini dia merasa tak sendirian. Dia merasa sama. Yah,,, mereka sama. Perasaan yang ada di hati mereka sama. Sama-sama ada perih tertahan disana. Dan mereka-pun akan sama-sama membuangnya.

"jangan sedih"

Kata-kata itu muncul begitu saja dari mulutnya setelah sekian lama ia membisu. Gadis coklat disampingnya menoleh.

"jangan sedih"ulangnya.

Di gadis coklatpun tersenyum, senyum yang benar-benar senyum. Senyum manis yang merekah. Senyuman yang meringankan beban anak merah disampingnya.

"aarigatooo….! Aku Tenten" gadis itu mengulurkan tangannya.

Tapi belum sempat dia menyambut tangan itu , suara dari kejauhan membuat fokus keduanya teralihkan. Teralihkan pada sebuah suara yang terdengar keras memanggil…

"nee-chan…. Ayo pulang ! kaasan sudah menunggu…!"

Anak coklat itu-pun beranjak, dengan senyum yang merekah cerah.

"ah… aku harus pulang, semoga kita bisa berjumpa lagi. Jangan menangis lagi oke. Jaa ne.."

gadis itupun berlari riang, menghampiri gadis kecil berambut pendek di kejauhan. Mata hijau si anak merah masih memperhatikan kepergian gadis kecil yang melambaikan tangannya itu.

"sayonara…!"teriaknya lagi. Kemudian, gadis itu lenyap dalam mobil yang kian menjauh.

anak laki-laki itu tersenyum lagi…

'sayonara. Tenten !' gumamnya dalam hati.

Si bocah merahpun ikut beranjak dari posisinya, kemudian melangkah santai nan ringan. Menyusuri setapak demi setapak jalan-jalan bisu. Senja merah itu mencipta luka, tapi juga mendatangkan hangat di hatinya. Ia tersenyum sekarang. ah.. tidak. dari tadi dia memang sudah tersenyum. Ia takkan peduli lagi pada pemandangan apapun yang akan ia temui di rumah nantinya. Ia sudah siap. Sudah ia putuskan. Ia akan menjadi seperti gadis itu. Tersenyum ceria, mata berbinar cerah, dia ingin sepertinya itulah mimpinya. dan harapannya sekarang adalah bertemu lagi dengannya.

Ia buka tangannya yang sedari tadi tergenggam erat. dan tanpaklah sebuah permen coklat oval di sana. Ia kembali tersenyum, dan ia kembali menggenggam erat benda itu di tangannya.

'senyum ya ?'

Dia kembali tersenyum.

'apa aku bisa ?'

'lalu apa kau bisa ?'

'apa kau benar-benar bisa ?'

Ia-pun teringat manik coklat yang berbinar indah itu. Jauh di dalam sana, ia tau ada luka yang sama dengannya.

'jika tiba waktunya nanti kita bertemu, kau tak boleh menangis'

'kau tak boleh menangis'

'akupun tak akan menangis. Aku janji !'

Hatinya masih menyenandungkan syair-syair senyuman. Genggaman pada permennya makin erat.

'sampai bertemu lagi."

'Tenten !'

End Flash Back

Petikan gitarnya berhenti. Seiring dengan berhentinya lamunan panjangnya. Mata yang terpejam itu perlahan terbuka. Menampilkan sirat kehijauan yang nampak lebih cerah dari saat terakhir dia menutup mata. Senyumannya merekah di antara hitam malam. Tangannya mulai mengacak saku celananya, merogoh sesuatu yang selama ini terus dibawanya. Bak jimat keberuntungan yang tak boleh dia lupakan. Yah, benda itu kini sudah dalam genggamannya. Benda murah namun bersejarah baginya. Benda yang tak berharga, tapi tidak baginya. Sebuah benda yang selalu mengingatkannya pada jingga kemerahan dihari itu. Benda coklat yang selalu membuatnya ingat pada sepasang manik hazel gadis chubby. Dan tulisan 'tersenyumlah' pada bungkusnya selalu mengingatkannya pada senyum cerah gadis kecil bercepol dua.

Dia kembali tersenyum. Senyuman yang hanya bisa ia perlihatkan pada pekat malam, ataupun pada kesunyian. Senyuman yang benar-benar senyuman. Senyuman yang mencerminkan hati yang ringan. Senyuman… yang telah lama sampai dimatanya.

'Tenten…!'

Gumamnya, memandangi sebuah permen yang telah bertahun-tahun menemaninya. Mengingatkannya untuk tersenyum dikala luka memaksanya menangis.

'apa kau melupakannya ?, tak ingatkah kau pada anak laki-laki ini ? Tenten ?' gumamnya lagi.

'tak apa. Kau melihatku sebagai Gaara Sabaku itu sangat amat cukup untukku' senyumnya belum hilang

'kau harus selalu tersenyum, dan aku ingin menjadi salah satu alasan dari senyummu itu'

'jangan sedih'

'Tenten..'

To be continued

Huwaaaa….. maafkan saya, tolong maafkan saya apabila chapter ini mengecewakan…..!*digebukin satu kota

Gimana nih ? makin ancur ya ?!*aku tau (-_-") maap-maap,

Udah segera hukum pancung aja saya… huwaaaaaa…. TTvTT *guling-guling

Seperti biasa kasih saya masukan ya..! agar cara nulis saya yang angus ini bisa lebih baek lagi (^3^)d

Ditunggu ripiuwww nya….

Arigatooo neee….!*bungkuk-bungkuk