Part 2

The Tide

by punchjongin

School life- family

I don't own all character used in this story, but story is mine.

.


Jongin berjalan cepat, hingga ia sampai di anak tangga terakhir lantai tiga. Napasnya tidak beraturan. Ia sedang mencari keberadaan Park Jimin pada ruang-ruang kelas satu per satu. Seharusnya ia sudah berjalan pulang menuju rumahnya, tetapi ia mengurungkan niatnya saat mendapat laporan dari salah seorang adik kelasnya bernama Eunha, jika ia melihat Jimin membawa botol soju ke arah gedung kelas satu, setelah bel berakhir kelas berbunyi. Ia telah menghubungi Donghae dan Kangin, tapi kedua anggotanya itu sudah pulang.

Adrenalin Jongin terpacu ketika ia mendapati Jimin dan Taehyung berdiri di toilet lantai tiga yang jarang dipakai karena letaknya yang berada di pojok dan beberapa ruang di sekitarnya memang khusus untuk praktek biologi kelas satu.

Kedua kakak seniornya tersebut memang sudah berulang kali melanggar peraturan sekolah.

Jongin dan beberapa guru sering mendapati mereka mabuk di area sekolah. Mereka sering mendapatkan poin bahkan skorsing. Meski keduanya sering berurusan dengan kedisiplinan, tapi mereka tidak pernah mengganggu murid lainnya. Mereka hanya berbagi pada kelompoknya yang berjumlah empat orang. Dua orang lainnya adalah Jung Hoseok dan Jeon Jeongguk. Dan Jongin sedikit bersyukur keduanya tidak ikut kegiatan buruk kelompok mereka siang ini. Mereka berempat seolah memiliki dunia mereka sendiri dengan alkohol, rokok dan obat-obat anti-depresan. Tidak jarang, mereka membolos jam sekolah dan berkumpul disatu tempat untuk mengadakan 'pesta'.

Tampaknya, kedua senior Jongin tersebut belum menyadari keberadaan ketua kedisiplinan di sekolahnya itu. Park Jimin dengan rambut coklat tua dan seragam kusutnya sedang menghisap rokoknya dalam-dalam, menyandarkan bahunya pada dinding di sudut toilet, memejamkan kedua matanya dengan sepasang earphone tersambung pada telingannya mengalunkan lagu yang bahkan Jongin dapat mendengarnya dari jarak dua meter. Sedangkan Taehyung, laki-laki bermarga Kim tersebut sedang menegak botol soju dengan sesekali menghisap marlboronya. Kakinya mengayun santai ke udara, sedangkan tubuhnya bersandar pada cermin wastafel di belakangnya.

Dalam sekejap, kedua senior Jongin itu menyadari keberadaan Jongin.

"Jam sekolah sudah selesai. Seharusnya jika ingin mabuk, carilah tempat di luar sekolah," Jongin menggertakkan giginya lalu menyambar botol soju dari tangan Taehyung, "Apa uang kalian habis untuk membeli soju, hingga tidak menyisakan untuk pergi ke bar?" lanjutnya.

Taehyung memutar bola matanya malas mendengar itu, "Kau berisik dan mengganggu, hoobae," pekik Taehyung.

Sedangkan Jimin menatap lurus wajah Jongin dengan menggertakkan giginya. Jongin melepas kasar yang masih memutar lagu, lalu memasukkan kasar pada saku kemejanya. Jongin kini berdiri menantang dengan botol soju di tangannya, "Berikan itu!" intruksi Jongin, mengulurkan tangan kanannya pada Jimin. Meski lelaki di depannya tersebut berdecak kesal, tetapi Jongin menangkap pergerakan Jimin mendorong tubuhnya beranjak dari tembok dan menghampiri Jongin.

Dalam satu gerakan, tangannya membalik marlboronya, kini sisi rokok terbakar tersebut berada di sisi telapak tangan Jimin. Jimin menyunggingkan senyum remehnya pada Jongin, kemudian menarik tangan Jongin kasar dan menekan api rokok pada telapak tangan Jongin.

"Argh!" Jongin berteriak kesakitan. Telapak tangannya terasa panas dan terbakar. Belum menyadari apa yang terjadi, ketika Park Jimin menjauhkan tangannya, barulah Jongin menyadari jika telapak tangannya tersulut api rokok. Belum sempat Jongin berbalik, Jimin telah melenggang keluar dengan seringaian tajam diwajahnya.

Disaat yang bersamaan, Taehyung melompat turun dari wastafel dan menyusul Jimin keluar dari toilet tersebut.

"Yash! Kau Park Jimin!" teriak Jongin tersulut emosi.

.

.

.

Sudah dua kali dalam seminggu terakhir ini Jongin mendatangi ruangan Lee songsaenim, guru pembimbing kelas tiga, termasuk Taehyung dan Jimin. Siang ini, Jongin kembali menyerahkan kedua murid tersebut kepada guru pembimbing yang berhak memberi sanksi pada muridnya. Seperti biasa, Taehyung dan Jimin berbalik menyerang Jongin dengan perkataan sarkastik ketika Jongin mengintrogasi keduanya sebelum mereka diserahkan pada guru pembimbingnya.

Jongin dapat bernapas lega. Setelah mengambil tasnya di ruang student council dan berpamitan pada beberapa pengurus organisasi, ia bergegas menuju rumahnya dengan telapak tangan terbakarnya. Yeah, meskipun ia terlambat mendapatkan cream luka bakar di UKS karena harus kejar-kejaran untuk mendapatkan kedua pembuat masalah tersebut.

Kepala Kim Jongin terasa ditusuk-tusuk setelah perjalanan singkat dari sekolah ke kedai. Meskipun menyukai udara dan terik matahari saat musim panas yang sedang berlangsung, ia bersyukur segera menjejakkan langkahnya masuk ke dalam sebuah kedai –yang bisa di bilang rumah bertingkat dua- dengan tenda putih berukuran tiga kali tiga meter di depannya. Bangunan bertingkat dua yang didesain hampir seluruhnya terbuat dari kayu, baik kerangkanya, dinding, jendela dan juga lantainya tersebut tidaklah luas. Ruangan kedai berukuran lima kali tujuh meter tersebut sedang tidak dipenuhi oleh pengunjung, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati meja-meja di luar ruangan, di bawah tenda tepatnya. Bibir Jongin tersenyum simpul ketika seorang pria tua berumur 40 tahun terlihat sibuk mengangkat krak botol-botol soju.

"Apa Taeoh ada di lantai atas?" tanya Jongin, menghampiri pria yang bernama Ricky.

"Yeah, dia di lantai atas," ujar Ricky sembari merapikan krak di sudut ruangan. Ketika Jongin hendak melangkahkan kaki menuju tangga kecil di sudut ruangan, Ricky berkata, "Bujuk adikmu makan, dia menolak makan siangnya."

Dahi Jongin mengernyit. Tidak biasanya adiknya yang berumur 5 tahun itu tidak menyentuh makan siangnya. Taeoh memiliki selera makan tinggi, tidak pernah menolak apapun, terkecuali jika ia sedang melakukan aksi mogok makannya. Biasanya, ia akan melakukannya ketika Ricky atau Jongin memarahi tindakan buruk Taeoh.

"Apa terjadi sesuatu di sekolah?" Jongin mengambil suara, seolah telah terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Ricky mengangguk, "Adikmu mendorong seorang temannya hingga jatuh dalam kolam ikan."

Jongin terkekeh membayangkannya, dan Ricky menghentikan kekehan tersebut dengan lirikan tajamnya.

"Baiklah, Aboji. Aku mengerti."

Jongin melenggang naik ke lantai dua. Ketika Jongin berada di lantai dua, dia hanya mendapati sebuah meja kecil ditengah ruangan televisi dengan beberapa piring makanan yang sudah disediakan dan sebuah kamar tertutup. Anak pertama keluarga Kim itu memasuki kamar miliknya. Kamar yang tidak terlalu luas dengan perabotan berwarna hitam dan merah, cat dinding berwarna biru langit, ranjang untuk satu orang, meja belajar serta buku buku yang menumpuk di lantainya. Kesan maskulin sangat terasa saat memasuki ruangan tersebut.

Mata Jongin menangkap sosok adiknya yang memunggunginya, masih memakai seragamnya, menghadap ke ranjang yang penuh dengan robot ironman dan gundam. Setelah meletakkan tasnya diatas meja belajar, ia menghampiri Taeoh, lalu memeluknya dari belakang. Kunciran rambut Taeoh di ujung kepalanya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya yang menoleh ke arah Jongin. Bocah itu menatap Jongin dengan senyum lebarnya, sampai Jongin dapat melihat satu gigi depan Taeoh yang tanggal beberapa hari lalu karena permen dan coklat.

"Hyung!" pekik Taeoh lalu memeluk leher Jongin dengan erat.

Jongin mengusap kepala Taeoh pelan, "Hyung lapar, mau makan bersama?"

Taeoh menggeleng sebagai jawabannya. "Tidak mau. Ayah marah pada Taeoh karena memukul Yoogeun di sekolah tadi."

"Kenapa kau memukul Yoogeun?" tanya Jongin dengan lembut.

"Dia mengejekku karena tidak punya seorang ibu," jawab Taeoh lirih.

Jongin menghela napas pelan, seakan telah terbisa dengan situasi ini, "Lain kali, biarkan saja mereka. Mengerti?"

Taeoh mengangguk patuh, kemudian jemari Jongin menangkup pipi Taeoh yang gembul, lalu memainkannya, "Apa kau tidak mau menemani hyungmu makan?" bujuk Jongin, memberi hujaman ciuman pada bibir Taeoh.

"Hyung sangat lapar, dan tidak akan makan kalau Taeoh tidak makan," lanjut Jongin, memasang wajah sedih pura-pura.

Melihat tidak ada respon dari Taeoh, Jongin memekik, "Nanti malam kita akan membeli robot iron man baru."

"Yeah!" jawab Taeoh, menunju udara, "Taeoh mau makan!"

Dengan bujukan Jongin, akhirnya Taeoh kembali memiliki selera makan dan itu membuat Jongin harus mengambil uang tabungannya untuk membelikan adiknya mainan.

.

.

.

Sehun menikmati akhir pekannya dengan mendatangi salah satu club malam termewah di kawasan Gangnam. Setelah melewati harinya yang menurutnya menjenggkelkan, Sehun memutuskan untuk menyanggupi ajakan Taeyong bertemu di club ini. Club ini bergaya chic dengan pintu gerbang di depan dan jalan masuk lebar menuju bangunan megah bergaya modern yang dipadati oleh pengunjung setianya. Begitu Sehun berjalan melewati sebuah jembatan kayu pendek yang berada di tengah kolam renang untuk menghubungkan pada bangunan megah di depannya, ia disuguhkan pemandangan indah. Semua perempuan di club ini memakai bikini dan menceburkan dirinya di kolam renang pendek, untuk menikmati pool party.

Sehun merasakan denyut akrab berada di sini. Ini dunia yang ia kenal. Dengan pemandangan perempuan-perempuan berpakaian minim, lampu dansa yang hampir tidak pernah mati, hingga DJ di atas panggung mengalunkan musiknya non-stop.

Sehun mengedarkan pandangannya ke area duduk, berusaha menemukan Kris di dalam ruangan tersebut. Gelak tawa Ravi dengan suara khasnya tertangkap oleh indera pendengaran Sehun. Sehun yang mengenakan t-shirt putih polos dibalut dengan setelan kemeja dan celana panjang kasual berjalan menghampiri gerombolannya yang berada di area duduk ujung, diikuti dengan beberapa ekor mata perempuan-perempuan yang meliriknya bahkan ada yang terang-terangan memandanginya kagum. Pesona tuan muda Oh memikat hati setiap kaum hawa.

Sehun menghempaskan dirinya diatas sofa samping Ravi yang tengan menggerayangi seorang perempuan berbikini.

"Inilah yang disebut hidup, iya kan?" pekik Taeyong, mengangkat gelas brendinya ke udara.

Ravi mengangguk setuju, tangan lelaki itu mengelus paha perempuan yang sedang duduk di atasnya.

"Wow, tunggu, tuan muda kita telah datang!" ucap Taeyong, menepuk paha Kris menunjuk ke arah Sehun yang tengah memesan pada pelayan.

"Aku pikir kau akan mengurung dirimu karena lebam sialan itu," sahut Kris diikuti oleh tawa renyahnya.

"Sialan. Persetan dengan itu, Kris," jawab Sehun mengelus luka lebamnya, "Kali ini, aku yakin harus memberi bocah sialan itu pelajaran."

"Kalau begitu, aku tidak sabar melihat dia menderita, kawanku," tukas Taeyong dengan ringan. Kris melirik Sehun, rahang lelaki dihadapannya itu mengeras dengan tangan kanannya yang mengepal di atas pahanya.

Kris menarik napas, "Aku tidak tahu kalau kau masih menyimpan dendam untuknya," kata Kris menebak jalan pikiran Taeyong.

"Yeah, karena dia adalah ancaman bagi kita," jawab Taeyong geram, melirik Kris kesal. Kemudian lelaki dengan rambut berwarna putih tersebut melemparkan pandangan pada Ravi, lelaki itu tengah mencumbu perempuan sewaannya, tangannya meremas bokong seksi perempuan berambut pirang diatasnya, sedangkan mulutnya sibuk mengeksplorasi setiap jengkal mulut perempuannya. "Yah! Setidaknya sewalah kamar. Kau ingin bercinta gratis dan dilihat banyak orang?" teriak Taeyong pada Ravi.

Menyadari kalimat itu terlontar untuknya, Ravi menghentikan cumbuannya, dan menarik perempuan tersebut pergi. "Sialan kau," Ravi memaki Taeyong, sebelum ia meninggalkan gerombolan tersebut dengan perempuan bayarannya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita kembali dengan membawakan minuman pesanan Sehun. Beberapa botol wine dan whisky itu sangat menggiurkan bagi mereka. Ember perak berisi es batu dan botol-botol air putih diletakkan diatas meja.

Di tepi kolam renang, pekikan gembira pengunjung terdengar memenuhi udara berbaur dengan gelak tawa dan obrolan khas orang dewasa.

Persetan, pikir Sehun. Tidak butuh lama, mereka menyerbu minuman tersebut. Sehun mengangkat gelas kristal ke udara. Persetan dengan semua ini. Ia butuh pelampiasan rasa kesalnya terhadap Jongin juga kakeknya yang memberi wejangan sebelum ia pergi ke club ini.

"Cheers, kawan!" kata Sehun menyentuhkan gelasnya dengan gelas Kris dan Taeyong. Sehun memang pecandu alkohol yang butuh beberapa gelas untuk membuatnya tak terkendali. Samar-samar, Kris melirik Sehun yang berada di seberangnya, menghela napas berat.

Ini akan menjadi masalah baru, batinnya.

.

.

.

Hari berikutnya diawali dengan matahari yang bersinar cemerlang. Jenis hari yang membuat Jongin gembira. Tetapi tidak dengan adik satu-satunya yang kini memasang wajah muram di Minggu pagi ini. Kemarin sore kakaknya berjanji untuk pergi membelikannya robot ironman, namun Taeoh menunggu Jongin untuk mengajaknya ke toko mainan hingga ia terlelap tidur. Jongin yang saat itu tengah membantu Ricky berjualan, mengumpat sial karena melupakan janjinya pada Taeoh. Dan kini, mereka berdua berjalan beriringan menuju salah satu mall terdekat, meski guratan kesal Taeoh masih tercetak jelas.

Ketika mereka memasuki toko mainan di lantai kedua mall tersebut, Taeoh memekik gembira. Ia berlari menuju bagian superhero. Jongin berjalan di belakangnya dengan santai, mengikuti kemana adiknya pergi.

Setelah menyambar dua box berukuran besar hingga badannya tertutup, Taeoh menghampiri Jongin dibelakangnya. Kemudian mengulurkan salah satu box di tangannya pada Jongin.

"Lihat ini, hyung," kata Taeoh, seperti biasa, bocah gembul ini akan membujuk Jongin untuk membelikan kedua mainan pilihannya.

Yang Taeoh maksud adalah robot ironman dengan remote control yang berada di tangan Jongin, sedangkan tangan bocah kecil itu memegang erat box berisi action figure ironman.

"Apa aku boleh mengambil dua?" pinta Taeoh, matanya berkunang-kunang. Jongin tidak terlalu suka keadaan ini. Jika dirinya membeli dua box ironman ini, ini sangat mahal jika di kalkulasi, harga dua box ini mencapai dua puluh lima ribu won.

Jongin menghela napas berat, menekuk lututnya dan mensejajarkan wajahnya dangan Taeoh.

"Tidak, Taeoh. Kau hanya bisa pilih satu. Jika tidak mau, kau tidak mendapatkan ironmanmu," meski menuruti kata Jongin, Taeoh menekuk wajahnya, "Hyung akan belikan Taeoh ice cream setelahnya, bagaimana?"

Tanpa menunggu hitungan detik, setelah mendengar kata ice cream, Taeoh menyunggingkan senyumnya. "Baiklah, aku akan memilih ini," Taeoh menunjuk box ironman di dekapan Jongin.

Jongin suka sekali memandang dunia dari mata Taeoh. Adiknya ini selalu mengingatkannya tentang melihat sesuatu dengan takjub dan percaya pada keajaiban. Senyum Taeoh adalah pemandangan yang diinginkan Jongin jika ingin melepas penatnya. Dan pastinya senyum Taeoh sering kali menarik selain senyum ayahnya. Setelah ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan Taeoh, kini Jongin hanya memiliki Ricky dan Taeoh. Jongin menyadari Taeoh tidak mendapatkan sentuhan seorang ibu di hidupnya, maka dari itu, Jongin berusaha sebaik mungkin memberikan kasih saying dan perhatian cukup pada Taeoh. Meski bocah berumur 5 tahun itu sering kali mengatakan pada Jongin jika ia merindukan ibunya.

.

.

.

Jongin mendudukkan pantatnya di kursi taman kota. Setelah berkeliling mencari penjual ice cream, ia dan Taeoh mendapatkannya. Tidak hanya ice cream, Jongin membawa satu cup bubble tea rasa coklat milik Taeoh. Lelaki berumur 17 tahun itu tersenyum melihat Taeoh tengah menjilat ice cream rasa kesukaannya, strawberry.

"Apa kau senang hari ini?" tanya Jongin, membenarkan letak topi Taeoh.

Adiknya itu mengangguk senang, tidak merespon ucapan Jongin selain anggukan. Jika sudah berhadapan dengan jenis makanan apapun, Taeoh tidak peduli bahkan ketika dunia akan runtuh.

Oke, cabut beberapa kata terakhir tadi, karena itu berlebihan.

.

.

.

Seperti biasanya, Jongin, Donghae dan Kangin berdiri berjajar di dekat gerbang sekolah, sedangkan beberapa baris murid tidak taat aturan sedang diberi peringatan oleh Eric songsaenim, guru kedisiplinan sekolah, tak jauh dari sana. Satu persatu siswa diperiksa mulai dari seragam, sepatu, rambut dan seluruh penampilannya. Mata mereka meneliti dari ujung kaki hingga ujung kepala masing-masing murid. Meski Eric sangat disegani murid SMA Kyunggi karena ketampanannya diusia 28 tahun, mereka juga menyegani sikap tegas Eric songsaenim. Jika beberapa guru menyatakan secara terang-terangan mereka menghindari memiliki masalah dengan Oh Sehun, lain halnya dengan Eric. Eric tidak berpihak pada kesalahan muridnya, meski mereka memiliki kedudukan strata tertinggi di sosial. Rumor mengatakan, jika Eric dan Jongin adalah reinkarnasi.

Tapi, bagaimana bisa reinkarnasi jika salah satu dari mereka tidak musnah dari bumi?

Hari Senin pagi, menjadi hari yang menyebalkan bagi seluruh pekerja kantoran, mahasiswa hingga murid sekolahan. Mungkin tidak semuanya, karena pagi ini Chanyeol dengan senyum besarnya melangkahkan kaki melewati trio kedisiplinan, "Pagi guys! Setidaknya jangan pasang wajah seram kalian," ujar Chanyeol pada Jongin, Donghae dan Kangin.

Yang dibalas ketiganya dengan dengusan kesal. Lalu, Chanyeol menoleh, mendapati salah satu guru konseling favoritnya, Eric songsaenim dan berseru, "Selamat pagi ssaem! Jangan galak-galak menghukum mereka!" pekik Chanyeol, melambaikan tangannya. Wajah Eric yang tadinya tegang dan mengerikan, kini siswi-siswi yang sedang diberi peringatan olehnya melihat guru muda itu terkekeh.

Donghae menyahut, "Kau terlalu berisik pagi ini, Chanyeol," sembari menyuruh Taeyong bergabung dengan barisan murid pelanggar peraturan yang lainnya, karena rambutnya berwarna putih.

Chanyeol terkekeh mengibaskan tangannya, senyum lebarnya hingga menampakkan giginya pun tidak berhenti, "Kalau tidak ada aku, suasana ini begitu canggung, iya kan?" Chanyeol menaik turunkan alisnya ke arah beberapa adik kelasnya yang berjejer membentuk barisan. Mereka yang terkena razia kedisiplinan pagi ini hanya mengangguk lesu menjawab pernyataan Chanyeol.

"Hey! Lihat apa kalian?" teriak Eric, setelah beberapa siswi melempar pandangan pada Chanyeol.

"Kau mengintimidasi mereka dengan wajah konyolmu itu," kini Kangin bersuara.

"Wajahku tampan, bukan konyol," elak Chanyeol, mengerutkan dahinya.

"Yash! Diam atau kalian ingin berdiri disana juga?" ujar Jongin kesal, menunjuk barisan murid tersebut dengan dagunya.

Jongin memutar bola matanya malas, melihat Chanyeol yang justri kini berdiri di sampingnya, berlaga layaknya anggota kedisiplinan.

"Kalau begitu aku akan membantu kalian," ucap Chanyeol final.

Meski tidak ada yang salah dari penampilan Chanyeol, Jongin sedikit terganggu dengan suara berat Chanyeol yang terus menanyakan tentang tugas kelompok sosiologi.

.

.

.

Langkah Jongin terhenti ketika ia melewati dinding dipinggir gedung yang biasanya digunakan oleh murid-murid nakal untuk memanjat. Ada beberapa gundukan batu yang menempel di dinding, seolah dibuat memang untuk membantu melancarkan aksi nakal mereka. Jongin menggenggam erat kedua kamus tebal yang ia pinjam dari perpustakaan untuk pelajaran jam selanjutnya. Keningnya berkerut ketika mendengar suara-suara mencurigakan dari balik dinding tersebut. Jongin mendekati dinding tersebut, bersiap untuk memberi kejutan siapapun berniat akan memasuki sekolah ini tanpa melalui gerbang depan.

Jongin melirik jam tangannya. Sudah pukul 09.34 KST. Seringaiannya tercetak ketika melihat ujung rambut seseorang tampak dari balik dinding. Kaki Jongin berpijak pada gundukan batu, menempel pada dinding. Tidak memerlukan waktu lama, Jongin dapat melihat sosok utuh siswa yang sedang berusaha melewati dinding tersebut. Tangan kedua siswa tersebut bertumpu pada atas dinding sedangkan satu kakinya sudah melewati batas dinding. Ketika siswa tersebut melihat Jongin, ia tersebut terlonjak kaget,

"Fuck!" pekiknya. Kemudian ia berusaha untuk melompat lagi keluar sekolah. Tetapi, dengan satu tangannya, Jongin dapat meraih kaki siswa tersebut, lalu menahannya,

"Mau kemana kau?" ujar Jongin gemas.

Sedangkan siswa tersebut panik dan menghentakkan kakinya, berusaha melepaskan diri dari tangan Jongin.

"Turun!" perintah Jongin tegas, tangan kanannya masih menarik satu kaki siswa tersebut.

Jongin tidak memperkirakan ini, ketika siswa tersebut hilang keseimbangan, tanpa bisa menghindar…

Bruk.

Tubuh siswa tersebut tersungkur ke arah Jongin.

Sementara Jongin tidak bisa mengkontrol tubuhnya hingga ia jatuh terlentang dengan dua kamus melayang dan mendarat di rerumputan tak jauh darinya.

Wajah siswa tersebut mendarat tepat di pipi Jongin. Keduanya membelalakkan mata kaget. Jongin terkejut ketika benda kenyal milik Oh Sehun mendarat tepat di pipinya.

"Fuck! Oh Sehun", ujar Jongin dengan emosi, dapat terdengar oleh Sehun, dengan ekspresi sulit dibaca.

.

.

.

A/N:

Hi, maaf sudah lama tidak update. Ada dua alasan yang bisa di logika, yaitu data fanfiction di laptop lama hilang dan terkena WB. Ugh, sial. Dan ini cerita yang dibuat selama sehari semalam. Mungkin gini, habis kena WB lalu susah dapat ide.

Menurutku, penulisan disini agak berbeda ya? (punchjongin rasa gitu)

Gimana dengan alurnya? Apa ini menurut kalian terlalu lambat?

Okay, so, review and favorite

-XOXO-

punchjongin