Disclaimer: Tentu saja bukan milikku.

Genre: Adventure and hurt/comfrot

Rate: M

Jika tidak suka jangan di baca, Ok?


"Apa kau yakin dengan ini?" Aku menatap sosok rubah yang memiliki sembilan ekor yang melambai-lambai di belakang tubuhnya. Aku tak menjawabnya, karena aku tau dia pasti tau jawabannya. Pandanganku meredup saat mengingat tragedi yang terjadi di luar sana. Sebuah tragedi yang membuatku harus mengambil langkah sejauh ini. Sebuah perang...

Sebuah perang yang di picu oleh satu orang... Satu orang yang mampu mengalahkan semua orang.

Uchiha Madara...

Orang yang mengaku akan membuat sebuah perdamaian sejati. Ingin rasanya aku tertawa saat mendengar deklarasinya. Sebuah perdamaian sejati? Dengan apa dia akan membuat perdamaian? Mugen Tsukoyomi?

Dia bilang akan membuat sebuah perdamaian dengan ilusi. Ilusi yang akan membuat semua orang mendapat semua keinginannya masing-masing. Ilusi yang akan membuat perdamaian sejati tanpa peperangan. Lalu, jika ilusi bisa membuat semua orang bahagia. Kenapa semua orang melawannya? Dan untuk apa juga aku ikut melawannya?

"Kita bisa pergi meninggalkan mereka, tanpa harus melakukan ini." Aku menatap datar sosok di depanku. Apa jawabanku tadi kurang jelas. "Oh ayolah, jangan menatapku seperti itu."

"Kurama, kita sudah melangkah terlalu jauh dan aku sudah lelah dengan semua ini. Aku ingin mengakhiri semua ini, aku tak ingin kabur terus, aku ingin hidup dengan tenang Kurama." Bahkan aku rela mati untuk mendapat sebuah ketenangan. Kurama terdiam mendengar ucapanku, dia melihat ku dengan tatapan sedih. Aku tau apa yang dia pikirkan, "Jangan menatap ku seperti itu dan jangan pula kau menyalahkan dirimu. Ini sudah menjadi takdir hidupku." Takdir? Aku jadi teringat dengan Neji, seseorang yang dengan berani mengorbankan nyawanya demi melindungiku, berdiri di barisan terdepan dan sedangkan diriku hanya berlindung di balik punggungnya. Miris memang, dulu aku berkata padanya bahwa takdir dapat di rubah, namun apa sekarang? Aku bahkan tak bisa merubah takdir yang telah di gariskan untukku.

"Aku akan membebaskanmu dari tubuhku, Kurama." Setidaknya aku harus menepati janjiku ini. Ya, hanya ini janji yang mungkin dapat ku tepati. Sudah banyak orang yang ku kecewakan. Dulu aku banyak berkoar dan mengumbar janji-janji, namun pada akhirnya semuanya tak dapat ku tepati. Membawa pulang Sasuke kembali kedesa itu janjiku pada Sakura, tapi belum sempat aku menepati janjiku Sasuke telah mati karena melindungiku. Ia memberikan kedua matanya padaku, mata yang menanggung banyak kebencian... Sharingan. Dia berharap aku bisa melindungi Sakura gadis yang di cintainya, satu-satunya gadis yang berada di tim tujuh dan satu-satunya gadis yang sangat aku cintai juga. Tapi, apakah ada kisah seorang Jinchuuriki yang berakhir bahagia? Kurasa tidak. Seorang Jinchuuriki hanya ada penderitaan saja di hidupnya.

Sakura...

Aku telah gagal melindunginya. Dia terbunuh karena kecerobohan ku, dia terbunuh karena aku terlalu senang akan kemenangan sementara yang ku dapat dan dia terbunuh saat dia tersenyum padaku. Sebuah senyum yang akan selalu ku ingat, senyum terindah dari seorang Haruno Sakura dan senyum yang dapat kulihat untuk terakhir kalinya. Aku tersenyum pahit ketika mengingatnya, lagi-lagi aku telah gagal untuk melindungi orang yang ku sayangi.

"Aku terkurung di sini karena aku sudah di takdirkan untuk selalu menemanimu." Lagi-lagi tentang takdir. "Aku siap jika harus mati bersamamu partner."

Tidak, aku lah yang tidak siap. Sudah banyak orang yang berkorban untukku orang-orang yang seharusnya ku lindungi dan aku tak sanggup lagi jika ada yang berkorban untukku lagi.

"Hahaha..., lihatlah! Mana semua ucapan mu sebelumnya Naruto. Semua orang telah mati dan yang tersisa hanya kita berdua."

Madara.

Dia tertawa di atas penderitaan semua orang, dia tertawa atas semua kekalahanku. Aku mengepalkan tanganku. Aku merasa marah! Aku marah pada diriku yang begitu lemah. Aku marah pada ketidak adilan dunia ini dan aku sangat marah pada Madara yang telah merebut semua orang yang ku sayangi. Tapi, apa yang dapat ku lakukan? Berdiri saja aku tidak mampu.

"Seandainya kau mau menyerah pasti semua ini tidak akan terjadi, kau tidak akan kehilangan orang-orang yang menyayangimu."

Ya, seandainya aku menyerah mungkin saja semua ini tidak akan terjadi, mungkin mereka masih hidup sampai saat ini walaupun hanya hidup di dunia ilusi. Tapi, itu hanya andai-andai saja. Semua sudah terlambat, sekarang hanya aku yang tersisa dari mereka. Mereka semua mengharapkanku bisa menang, namun apa yang ku dapatkan dari kemenangan nanti? Tidak ada. Hanya kesepian saja yang ku dapat, kehampaan dan... Rasa bersalah.

"Kurama..." aku menunduk tak berani menatap sosok rubah ekor sembilan yang sudah menemaniku sejak aku lahir di dunia ini. "Aku senang sudah menjadi wadah untuk Biju seperti dirimu." Aku menatap mata merah vertikal yang terlihat mengerikan itu, namun bagiku mata itu terlihat menyimpan rasa simpati yang besar. "Maaf aku tidak bisa menepati janjiku."

"Ekspresimu terlihat jelek ketika mengucapkan kata-kata itu." Kurama tersenyum geli ke arahku. Bahkan di saat seperti ini dia masih sempat-sempatnya mengejekku.

"Terima kasih... Kurama." Aku tersenyum ke arahnya. Senyum tulus, senyum yang mungkin akan menjadi senyum terakhirku. "Apa kau sudah siap Kurama?"

"Kapanpun kau siap partner." Dia juga tersenyum kearahku.

Aku memaksakan diriku untuk berdiri. Aku akan mengakhiri semua ini.

"Oh, rupanya kau masih bisa berdiri."

Kata-kata itu terdengar menjengkelkan di telingaku. Aku merangkai handseal yang cukup rumit. Madara menatap ku dengan senyuman meremehkan.

"Percuma, pada akhirnya kau juga akan kalah. Kau tak akan bisa mengalahkanku yang telah memiliki kekuatan Rikuduo Sennin."

Dia menyombongkan ke kuatannya. Apa aku harus takut? Tidak. Buat apa aku takut. Semua sudah selesai aku akan mengakhiri semua ini.

Aku menghilang dari tempat ku dan muncul di belakang Madara. Ku kunci semua pergerakannya. Aku menutup mataku dengan senyum kecil di wajahku. "Aku akan segera menyusul kalian semua."

"Fuin!"

Boommm!


Putih... Hanya warna putih sejauh mataku memandang. Di mana aku? Aku bertanya pada diriku sendiri yang sudah pasti tidak tau jawabannya. Apa aku sudah mati? Satu pertanyaan muncul di kepalaku lagi.

"Kurama."

Tak ada jawaban dari panggilanku. Kemana dia? Aku memejamkan mataku untuk memasuki alam bawah sadarku.

Kosong?

Tidak sosok rubah ekor sembilan yang selalu menepati tempat ini, tak ada suara ejekkan dari Kurama dan tak ada sosok rubah pemalas yang selalu tidur. Sekarang aku sendirian, Kurama telah meninggalkanku.

Aku kembali ketempat yang di penuhi warna putih lagi.

"Naruto."

Aku menoleh ke belakang dan dapat ku lihat sosok wanita berambut merah yang sedang tersenyum ke arahku. Dia...

Ibuku

Aku tak kuasa untuk tidak berlari dan memeluk ibu yang telah melahirkanku. "Kaa-san."

"Naruto." Dia mengelus surai pirangku. Perasaan hangat menjalar di hatiku, mendapat perlakuan seperti ini oleh ibuku. Aku yang sedari kecil tak mendapat kasih sayang dari ke dua orang tuaku, merasa bahagia bisa bertemu dengan ibu.

Pluk.

Aku melepaskan pelukkanku saat merasakan sebuah tepukan di punggungku. Aku kembali menoleh dan yang kudapati adalah sosok ayahku yang sedang tersenyum ke arahku.

"Tou-san bangga padamu Naruto."

Apa yang ayah banggakan dariku? Aku ini hanya sebuah ke gagalan saja. Aku gagal melindungi semua orang. "Aku telah gagal Tou-san."

Lagi-lagi ayah tersenyum ke arahku. "Kau tidak gagal Naruto, kau berhasil mengalahkan Madara."

"Tidak, aku telah gagal. Aku telah gagal melindungi semua orang. Ak-"

"Wah, kenapa kau jadi seperti seorang yang gampang menyerah."

Suara itu... Tidak salah lagi. Itu suara ero-sennin. Dia muncul di belakang ayahku. "Ero-Sennin." Dia memasang ekspresi sebal ketika aku memanggilnya.

"Bahkan setelah aku mati kau tetap memanggilku seperti itu." Ah, dia masih saja mempermasalahkan pangilan sayangku. Dia tersenyum ke arahku, senyum yang sama seperti ayahku. "Apa yang di katakan ayahmu benar Naruto. Kau telah berhasil, walaupun semua telah pergi."

Aku tak menganggap itu sebuah keberhasilan, tapi itu adalah sebuah kegagalan. Kegagalan terbesar dalam hidupku.

"Wah wah wah, kenapa di sini begitu ramai ya."

Itu...

Kakashi-sensei yang muncul di samping ero-sennin. Dia masih seperti biasanya, selalu membawa buku icha-ichanya bahkan setelah dia mati. Dia menurunkan bukunya dan menutupnya. "Wah, ada Naruto juga ternyata."

"Ah, Kakashi. Kau masih suka membaca buku ini ternyata." Ero-sennin mengambil buku di tangan Kakashi-sensei. "Aku jadi ingat saat membuat buku ini. Saat itu aku meminta Naruto untuk membantuku menyelesaikan buku ini."

Entah kenapa aku merasakan hawa tidak enak dari belakang tubuhku. Aku menoleh kebelakang dan kulihat ibuku sedang menunduk dengan hawa yang sangat menyeramkan. Aku menyingkir saat ibuku berjalan ke depan.

"Tapi sayang dia menyia-nyiakan bakatnya itu." Ero-sennin terus saja berceloteh tak menyadari jika ibu semakin mendekat ke arahnya. Sampai...,

Buakk!

"Beraninya kau mengajari anakku hal-hal berbau mesum."

Aku meringis melihal hal tersebut, pasti itu sakit sekali. Ibuku terus saja mengomeli ero-sennin yang masih jatuh dengan posisi nungging dan sebuah benjolan besar di kepalanya.

Ayah terlihat tertawa hambar, sedangkan dengan Kakashi-sensei dia tersenyum di balik maskernya. Aku tak bisa untuk tidak ikut tersenyum melihatnya. Suasana seperti inilah yang ku inginkan.

"Naruto!"

Deg!

Jantung ku terasa ingin berhenti berdetak, ibuku juga sudah berhenti mengomel. Aku membalikkan badanku, mereka...

Sakura... Sasuke.

Senyumku hilang seketika, aku menundukkan kepalaku tak berani menatap wajah mereka berdua.

Grebb...

Sakura memelukku erat. Aku tak membalas pelukkannya. Aku merasa tak pantas mendapatkan semua ini. Dia melepaskan pelukkannya, aku tak dapat melihat ekspresinya.

"Dobe."

Aku mendongakkan kepalaku dan menatap Sakura dan Sasuke. Aku tersenyum miris melihat mereka berdua, rasa bersalah muncul di hatiku.

Pletakk.

Sakura menjitak kepalaku, seharusnya aku mendapatkan yang lebih menyakitkan dari ini. Aku mengelus kepalaku yang terasa nyeri.

"Kenapa kau tidak membalas pelukkanku!" Semangat seperti biasanya. "Dan apa ini sambutan untuk kedatangan kami, sahabatmu?"

"Maaf." Hanya kata itu yang dapat ku katakan. "Maafkan aku yang tidak bisa melindungi kalian."

Sakura tersenyum ke arahku, "Kau tidak perlu meminta maaf."

Tidak, aku memang perlu meminta maaf Sakura. Aku sudah mengecewakan kalian berdua. "Sasuke maafkan aku yang telah gagal melindungi Sakura."

Sasuke menatap ku datar, aku tak tau apa yang sedang dia pikirkan. "Jangan menyalahkan dirimu Naruto. Kau sudah berusaha yang terbaik untuk kami semua."

Tapi tetap saja bukan, kalian mati hanya gara-gara melindungiku batinku berucap miris.

"Sasuke benar Naruto."

Kakashi-Sensei menepuk pundakku pelan. Dia merangkul bahu Sakura dan Sasuke dari belakang. Ah, rasanya seperti bernostalgia bersama tim tujuh.

Tiba-tiba saja tubuhku mengeluarkan cahaya. Apa yang terjadi dengan tubuhku?

"Sepertinya kau belum saatnya berkumpul dengan kami." Ayah memegang pundakku.

"Padahal tadi aku sudah senang kita bisa berkumpul bersama." Ibu memelukku dari belakang. Aku juga senang bisa berkumpul dengan kalian semua.

Kini mereka semua berkumpul di hadapanku. Tubuhku semakin memudar. Ibu memelukku lagi.

"Naruto, carilah kebahagian di hidupmu nanti. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kami selalu ada bersamamu." Ibu melepaskan pelukkannya. "Kami selalu ada di sini." Ibu menyentuh dada kiriku. Dia lalu melangkah mundur dan berkumpul dengan ayah dan yang lainnya.

"Jaga dirimu baik-baik Naruto."

"Dobe."

Aku memandang Sasuke. "Aku mengaku jika kau lebih hebat dariku." Sasuke tersenyum ke arahku. "Kau sudah mendapatkan sebuah pengakuan dariku."

Tubuhku semakin memudar dan sebelum tubuhku benar-benar menghilang aku melihat Sakura yang berlari ke arahku dan memelukku.


Aku membuka mataku dan yang kulihat hanya sebuah ruangan yang terlihat seperti kamar dengan penerangan minim. Ku coba bangun dari atas kasur, tubuh ku sempoyongan ketika berdiri. Kepalaku terasa sangat pusing. Ku pegang kepalaku sambil mencari pintu keluar. Aku memutar knop pintu.

Cklek.

Akh! kepalaku rasanya ingin pecah. Aku menyenderkan tubuhku di dinding dekat pintu.

"Apa dia budakmu?"

Siapa yang berbicara itu?

"Dia bidak baruku."

Siapa lagi suara wanita ini?

"Dia terlihat lemah."

Akh! Kepalaku terasa semakin sakit. Tubuhku merosot ke bawah tak kuasa menahan sakit ini. Sebuah tangan putih terulur mencoba membantuku berdiri, aku menepis kasar tangan tersebut. Aku mencoba berdiri tak mengindahkan obrolan yang di lakukan oleh dua orang tadi.

Aku menatap kedepan setelah berhasil berdiri. Di hadapanku terdapat seorang gadis yang memiliki surai dark blue. Sepertinya dia yang tadi hendak membantunya berdiri.

"Ara ara, apa kau tidak apa-apa?"

Aku tak menjawabnya. Aku mendorongnya pelan ke samping agar memberikan aku jalan. Dengan langkah sempoyongan aku terus melangkah menuju pintu keluar. Semua mata yang ada di ruangan tersebut menatap ku. Aku tak memperdulikannya. Aku terus melangkah hingga aku berhenti tepat di antara gadis berambut merah dan laki-laki berambut pirang. Aku menatap pemuda yang berambut pirang, dia terlihat begitu sombong dan... "Lemah."

Sekilas aku melihat ekspresinya mengeras. Tapi aku tidak peduli, aku terus melangkah melewatinya.

"Bangsat, beraninya kau menghinaku!"

Aku menangkap pukulan yang mencoba menyerang ku dari belakang. Aku hanya menggunakan satu tanganku bahkan tanpa menoleh. Ku tambahkan Chakra ke tangan ku dan dengan sekali dorong aku mendorongnya ke balakang. Suara dinding jebol dapat kedengar dari sini.

"Akh!" Sial, kepalaku terasa sakit lagi. Aku terus melangkah kearah pintu tak mendengarkan teriakan dari belakang.

Setelah keluar dari ruangan aneh tadi kini aku bingung mau kemana lagi. Tempat ini begitu asing bagiku. Dimana aku sebenarnya ini? Kenapa disini hanya ada gedung-gedung saja.

"Argg!" Sial rasa sakit ini semakin bertambah lagi. Kenapa pandanganku mengabur? Sebelum aku tahu kenapa, aku sudah terjatuh di jalan. Dan semuanya menjadi gelap.


TBC


Jadi...
Gimana menurut kalian?

Saya membuat fict ini karena saya agak kurang mendapat ide untuk melanjutkan fict saya yang satunya lagi. Dan yang muncul malah ide membuat fict ini. Sayang kan bila ide ini di sia-siakan.

Di sini saya membuat sudut pandangnya dari Naruto saja biar lebih mudah. Ini baru awalannya saja dan kalau word mungkin saya hanya bisa 2k per chap. Sedikit? Memang iya.

Yah, jika menurut kalian bagus saya harap kalian mau fav, fol dan review fict ini.

. Sampai jumpa lagi...