Penantian dan Perasaan

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pair : Naruhina

Chapter 11 : Sebuah Keputusan

.

.

Langit begitu kelam menjelang subuh di pagi itu. Mendung yang berarak mulai menjatuhkan tetes-tetes air membasahi tanah Konoha. Naruto mendesah memandangi hujan dari jendela kaca yang besar. Kemudian ia memilih untuk menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang yang telah ia lapisi bantal.

"Apa yang terjadi?" ia bergumam lirih.

Terakhir yang Naruto ingat ia sedang duduk disamping Hinata dan sekarang ia terbangun sendirian di atas ranjang rumah sakit Konoha. Untuk sejenak Naruto melamunkan semuanya. Tentang apa yang dikatakan Shikamaru dan Tsunade beberapa saat yang lalu. Bahwa ia terlalu gila menyiksa tubuhnya sendiri dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan. Bahwa ia tak pernah sarapan dan makan siang menjelang sore. Bahwa ia melampiaskan patah hatinya terhadap Hinata dengan cara yang sangat salah.

"Memangnya bagamana cara melampiaskan patah hati yang baik dan benar itu?" Naruto mendengus diiringi dengan senyuman masam.

Sraak…

Suara pintu yang digeser mengalihkan perhatian Naruto. Iris birunya menangkap visual Hinata dengan wajah setengah terkejut. Meski begitu Naruto tersenyum, ia senang Hinata datang menjenguk.

"Hinata…" panggilnya pelan.

Hinata masuk dengan langkah besar-besar "Naruto-sama, anda sudah sadar?." Dan pertanyaan itu perlahan menghapus senyuman Naruto, mengingatkannya bahwa diantara mereka telah berdiri sebuah dinding penghalang.

"Saya akan memanggilkan perawat dulu."

"Tidak perlu Hinata, Tsunade baa-chan dan Shikamaru baru saja kemari."

Hinata tak menjawab dan saat ia melihat nampan sarapan di atas nakas, Hinata menjadi lebih yakin bahwa Naruto sudah siuman untuk waktu yang lama.

"Sou desuka.."

Mereka terdiam dalam perasaan canggung, hanya rintik hujan yang semakin deras saja yang mendominasi. Sambil meremas simpul kain pembungkus bento ditangannya, Hinata tertunduk perlahan merasakan pipinya memanas karena Naruto terus menatapnya. Lalu dengan ragu ia berucap

"A-ano.."

"Apa itu untukku?" Naruto memotong, atau lebih tepatnya mereka bicara disaat yang sama.

"Y-ya…" jawabnya ragu.

"Bolehkah jika aku memintanya sekarang?"

"Tapi…"

"Kenapa?" Naruto mengikuti arah pandang Hinata pada nampan makan yang belum tersentuh samasekali. "Aku tidak mungkin salah, yang kau bawa itu pasti lebih enak dari pada ransum dari rumah sakit."

Hinata tersenyum kemudian mendekatkan diri untuk duduk di kursi sebelah ranjang Naruto. Pria itupun tersenyum senang, dengan tidak sabar membuka kotak makan dan melahapnya segera.

"Hmm… ini enak." Ucapnya setelah meneguk sedikit air. "Tapi ini bukan masakan Hinata."

Hinata terbelalak dan reflek saja menatap Naruto yang tersenyum sembari mengunyah kembali makanannya.

"Aku masih ingat dulu sebelum menjadi Hokage, Kakashi Sensei mengharuskanku pergi ke Suna untuk menjalani pelatihan bersama Gaara selama 3 bulan. Tapi baru dua bulan saja aku sudah harus pulang karena aku jatuh sakit. Tubuhku tak bisa beradaptasi dengan musim dingin di Suna. Lalu waktu itu kau datang menjengukku, membawakanku makanan yang sama. Bubur ginseng."

Ada jeda, Naruto kembali mengunyah buburnya lalu memberi senyuman untuk Hinata.

"Waktu itu kau menyuapiku dan sekarang aku makan sendiri. Meski begitu aku masih ingat bagaimana rasanya, aku seperti selalu mengenal masakan Hinata. Aku pikir memakannya sendiri tidak akan merubah rasanya bukan?"

"I-itu…, buatan Hanabi-chan."

"Benarkah?"

"Dia bersikeras ingin membuatkannya."

Naruto terkekeh pelan "Dia bersikeras belajar masak Hinata. Mengingat dia sangat galak padaku, dia mungkin berpikir karena aku yang akan memakannya maka tak masalah jika itu beracun sekalipun."

"Hanabi-chan tidak bermaksud buruk Naruto-sama. Dia memang gadis yang usil tapi dia bukan seorang yang sejahat itu."

"Hei… hei… aku tau. aku hanya bercanda Hinata." Naruto jadi merasa bersalah. "Maaf.., harusnya aku berterimakasih. Tapi aku sungguh bercanda dan lagi bubur ini enak."

Perlahan, Hinata menarik sedikit sudut bibirnya "Saya akan menyampaikan ucapan terimakasih dari Hokage-sama pada Hanabi-chan. Dia pasti senang mendengarnya."

Mereka tertawa untuk sesaat dan kembali terdiam hingga Naruto benar-benar telah menyelesaikan makannya. Hujan diluar bertambah lebat, namun Hinata sudah mengemasi kotak bekalnya dan terlihat hendak pamit.

"Hinata, bisakah…" Naruto terdiam, tiba-tiba ia merasa sangat egois jika meminta Hinata untuk menemaninya lebih lama.

"Ya..? Apa Naruto-sama perlu bantuan?"

Naruto menggeleng lemah lalu berkata "Hinata, apa kau yang membawaku ke rumah sakit?"

"Hn..?"

"Shikamaru bilang seorang ANBU menemukanku tergeletak di pinggir jalan. Aku bilang padanya bahwa aku bersamamu terakhir kali tapi Shikamaru bilang aku seperti orang gila dan menakutimu hingga lari."

Hinata tak menjawab, ia tau Naruto masih ingin mengatakan banyak hal dan ia memberikan kesempatan untuk itu.

"aku tidak bisa mempercayainya. Jika itu Hinata, dia tidak akan meninggalkan seseorang seperti itu meskipun ia tidak mengenalnya."

"…."

"Jadi benar kau yang membawaku kemari bukan?"

"Ya.. dengan bantuan kiba-kun yang kebetulan lewat."

Gadis itu tak menyalahkan Naruto yang tak mengetahui ia tidak tidur semalaman. Ia menunggui Naruto yang tengah demam tinggi dan tak sadarkan diri sejak sore kemarin. Kemudian untuk kesekian kalinya ketika ia mendengar Naruto mengigaukan namanya, Hinata hanya dapat mengambil handuk kecil di dahi Naruto, memerasnya pada baskom berisi air bersih dan mengompres dahi Naruto kembali.

Sebelum pagi menjelang Hinata memutuskan untuk pulang sebentar agar ayahnya tidak semakin marah padanya dan berakhir dengan ide Hanabi untuk memasak bubur. Namun ketika Hinata kembali Naruto justru sudah lama terbangun dan mendapat penanganan medis.

"Shikamaru membohongiku?" Naruto bergumam sendiri, seakan tak percaya dengan pernyataan itu.

"Naruto-sama tidak menjaga kesehatan dengan baik. Bekerja terlalu keras dan tidak memperhatikan waktu makan serta istirahat. Naruto-sama bahkan tidak mengindahkan peringatan dari orang-orang di sekitar anda, Mungkin Shikamaru-san hanya kesal hingga ia membohongi anda."

"Maaf, aku memang terlalu egois dan tidak berguna."

Hinata tersenyum masam , kali ini ia baru menyadari ucapan Shikamaru beberapa hari yang lalu. Bahwa Naruto terlalu menyalahkan diri karena telambat menyadari kedekatan mereka. Ia tak pernah lagi memamerkan cengiran lebar juga mengucapkan 'dattebayo' seperti yang selama ini ia lakukan

"Bahkan disaat terakhirpun, aku masih selalu memaksamu untuk menikah denganku."

"Kita sudah terlalu sering membcarakan hal ini Hokage-sama."

"Dan aku tetap tak bisa menerimanya."

"…"

"Aku tau ini salah Hinata. Aku memperlakukanmu dengan buruk, mensia-siakanmu selama bertahun-tahun. Aku terlambat menyadari perasaanku, aku terlambat menghalangimu dimiliki otsutsuki itu. aku sudah terlambat, ketika aku tau kau sangat berarti untukku."

Hinata menggigit bibir bawahnya, ah.. ia tidak ingin menangis namun jantungnya berdebar hebat. Bagaimanapun juga Hinata tak bisa membohongi perasaannya sendiri, Ia mencintai Naruto dengan sangat. Seklipun ia berusaha keras mempertahankan Toneri tapi hatinya tak bisa berbohong bahwa ada kelegaan yang lain ketika hubungan mereka akhirnya tak dapat berjalan seperti yang diharapkan.

"Aku mencoba merelakanmu Hinata. Sebisa mungkin aku berusaha menghargai keputusanmu dan Hiashi-san. Tapi sekeras apapun itu, jauh dalam hatiku, aku tetap tak bisa menerima kenyataan bahwa aku akan segera kehilanganmu untuk pria lain."

Hinata tak dapat mengatakan apapun. Hatinya bergemuruh, antara yakin dan ragu. Tidak dipungkiri juga, sebagian hati Hinata masih meragukan pernyataan cinta Naruto yang begitu tiba-tiba di hari ia membuat kekacauan di kediaman Hyuga.

Naruto meraih kedua tangan Hinata yang sibuk meremas ujung dres biru muda yang Hinata kenakan. Meletakkan tangangadis itu di kedua pipinya, sesekali menciumnya pelan. Hinata merasakannya, air mata Naruto membasahi jemarinya.

"Na-Naruto –kun.."

"Aku mencintaimu Hinata.. Aku sangat mencintaimu. Aku sangat ingin memperjuangkanmu, masih sangat ingin menikahimu. Aku mohon.. belum terlambat bagi kita.."

"Apa Naruto-kun bersungguh-sungguh?." Begitu pelan suara itu menginterupsi namun Naruto cukup peka untuk mendengarnya.

Naruto memandang lekat-lekat mata Hinata "Apa yang harus aku lakukan agar kau percaya?"

"Naruto-kun, mari kita akhiri saja semua ini."

"A-apa maksudmu Hinata?" Naruto membelalakkan matanya dan meremas jemari Hinata. Mengakhiri semua ini? Sungguh keadaan ini saja sudah membuatnya amat tersiksa dan apalagi yang masih perlu di akhiri. Secara tak sadar naruto bahkan telah menggelengkan kepalanya, ia tak siap untuk kehilangan hinata lebih dari ini.

"A-ayo kita me-menikah, Naruto-kun."ucapnya terbata "Satu minggu lagi."

"Ma-maksudmu?"

"Jika Naruto-kun benar-benar ingin menikah. Aku berharap minggu depan ki-kita.."

"APAA…?."

.

###

.

Kakashi duduk diam di sofa, tak jauh dari sana Sakura bersandar pada dinding dekat jendela sambil melipat tangannya di dada. Sasuke berdiri tanpa ekspresi hanya Sai yang tersenyum tenang melihat rintikan hujan yang tak juga berhenti.

"Huuaachim..!" Naruto menggosok hidungnya, dengan tubuh bergetar, ia merapatkan selimut hingga ke leher.

"Jadi bagaimana?" tak ada satupun yang menjawab pertanyaan itu.

Sakura menghampiri Naruto. Tanpa basa-basi menyingkap selimut yang dipakai pria itu.

"Suhu tubuhmu terlalu tinggi, untuk sementara jangan membungkus tubuhmu dengan selimut setebal ini. Kau bisa kejang." Dan itu bukanlah jawaban dari pertanyaan naruto sebenarnya.

"Tapi aku merasa kedinginan, Sakura-chan." Ucapnya bergetar.

"Obatnya sudah diminum bukan?, sebentar lagi akan bereaksi."

"Dasar baka dobe..! salahmu sendiri hujan-hujan padahal kau sedang sakit." Sasuke membuang muka, entahlah ia memang selalu merasa panas setiap kali Sakura memberi perhatian lebih pada sahabat bakanya

"Aku takut tak sempat menghentikan kalian ttebayo.."

Sasuke mendengus, dan ruangan itu kembali hening.

"Jadi bagaimana?" Naruto mengulangi pertanyaannya.

"Sebenarnya apa yang ada di otak kalian." Kata Kakashi.

"Aku tidak tau kenapa Hinata memintanya begitu cepat. Aku juga tidak berani berkata apa-apa, aku tidak ingin dia berubah pikiran dan menolakku lagi sensei."

"Apa satu minggu itu cukup? Menikah itu butuh banyak persiapan bukan?" Sai mengingat kembali betapa rumitnya proses dan banyaknya hal yang perlu disiapkan pada pernikahannya sendiri beberapa bulan yang lalu.

"Itulah kenapa aku meminta bantuan kalian."

"Kemarin kau menyuruhku cepat pergi, sekarang kau menyuruhku membantumu. Kau ini benar-benar…"

"huachiiim…!" Naruto kembali menggigil, "Sasukeeeh…. Biarpun sekarang kau penggal kepalaku dan mencucinya di danau dekat rumahmu, otakku tetap saja tak bisa berputar ttebayooo…"

Sai terkikik geli, Sakura juga tak bisa menyembunyikan tawanya dan Sasuke batal memaki, ia hanya mengulum senyum tipis.

Kakashi beranjak, kakinya melangkah mendekati ranjang Naruto dan tawa itu menguap, menyisakan keheningan dengan Kakashi sebagai pusat perhatiannya. Meskipun Kakashi mengenakan masker yang menutupi sepertiga bagian wajah tapi hanya dengan melihat matanya saja, Sasuke, Naruto, Sakura dan Sai lebih dari tahu bahwa sensei mereka tidak sedang dalam situasi yang menyenangkan.

Pria setengah abad itu berkacak pinggang, matanya bergerak cepat menatap satu persatu anak muridnya. Beberapa kali mereka menangkap gerakan bibir Kakashi dari balik maskernya namun ia tak juga mengeluarkan sebuah pernyataan.

Apa yang sebenarnya dipikirkan Kakashi? Banyak hal. Sepanjang sejarah Konoha hanya Shodaime sajalah yang menikah setelah menjabat sebagai Hokage, dan itu sudah sangat lama sekali. Jadi sangat tidak mungkin pernikahan Naruto digelar sederhana, apalagi ia seorang pahlawan dunia shinobi. Tentu banyak tokoh pemerintah dari kelima negara juga para sahabat shinobi dan warga desa yang ingin menghadiri pernikan itu.

Dalam tempo satu minggu. Kakashi memikirkan betapa kalang kabutnya sistem pemerintahan desa mereka. Menerka beberapa shinobi yang bisa ditunjuk untuk mengatasinya. Memikirkan begitu banyak hal yang perlu disiapkan untuk upacara dan pesta itu. Memikirkan tentang keluarga Otsutsuki, apa yang terjadi, apa reaksi mereka, juga menerka berbagai kemungkinan terburuk sebagai imbas dari pernikahan ini. Dan yang paling membebaninya adalah tentang Hyuga Hiashi. Rasanya ia benar-benar sudah tidak punya muka di hadapan pria yang memang sudah pantas menimang cucu itu.

Merasa begitu lelah hanya dengan membayangkannya saja, Kakashi mengusap wajahnya kasar. Ia menghela nafas dalam dan meninggalkan kamar rawat itu, tanpa sepatah katapun.

.

###

.

Senja berlalu tanpa semburat jingga sebagai salam perpisahan dari sang surya. Hanabi mengumpat pelan, bulu kuduknya meremang merasakan kulitnya diterpa dingin angin disertai gerimis yang tak berhenti mengguyur Konoha sejak pagi buta. Kemudian ia berlari kecil menyusuri roka tanpa memperdulikan kegaduhan para maid yang memasang tampang bingung.

Ia menggeser pintu dengan kasar dan memekik girang "Onee-chaaan…." Ketika sampai di depan kamar kakaknya.

Hinata yang tengah berbaring dengan selimut tebal menutup kaki hingga separuh wajahnya hanya mengerling sebentar. Benar-benar tak berniat meladeni seruan itu.

"Onee-chan, kenapa malah berbaring disini?" Hanabi melepas mantelnya yang sedikit basah, setelah itu memutuskan duduk di atas futon Hinata sembari meletakkan setumpuk buku yang ia bawa di atas tatami.

"Hinata-nee…, kenapa diam saja?" Ia menyingkap selimut Hinata hingga sebatas dada.

"Aku harus berbaring dimana lagi kalau bukan di kamarku Hanabi?"

"Iish… bukan itu maksudku nee-chan. Kau tau? Kakashi-sama dan Sasuke-san baru saja menemui otou-sama." Ucapnya dengan nada menggoda.

"Aaaaaaaahhh…" Hinata mengerang dengan mimik ingin menangis sembari menarik selimutnya lagi hinggi manutupi seluruh kepalanya.

"Onee-chaaan… kenapa malah ditutupi?" Hanabi menggapai selimut itu lagi namun sepertinya Hinata tak mengijinkan hingga terjadi aksi saling tarik menarik yang akhirnya dimenangkan oleh Hanabi.

"Kau ini kenapa nee?"

Hinata bangun dan duduk, kedua alisnya bertautan dan pipinya menggembung "Ini semua salahmu Hanabi..!"

"Salahku?"

Jeda sebentar dan Hinata mengerang lagi "Aaaaaaahh…. kenapa bisa aku termakan provokasimu" sambil mengacak-acak rambutnya.

Hanabi tertawa melihat betapa lucunya Hinata hari ini. Saat itu Hanabi baru saja keluar dari perpustakaan rumah sakit . Secara tidak sengaja ia bertemu dengan Sakura dan Temari yang terpingkal-pingkal di sepanjang lorong. Tanpa ia duga, Sakura malah memanggilnya dan menceritakan bahan guyonan mereka. Awalnya memang kaget, tapi kemudian ia ikut tertawa juga.

Ia ingat, pagi tadi saat memasak bubur ia mendesak kakaknya untuk menerima lamaran Naruto, namun Hinata menolak dengan alasan ia meragukan pernyataan cinta sang Hokage. Gadis itu takut mengalaminya lagi, berada dalam sebuah hubungan dimana selalu ada bayang-bayang cinta Naruto untuk Sakura. Dan Hanabi berkata untuk meminta Naruto menikahinya dalam tempo satu minggu.

'Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia pasti akan langsung mengiyakannya. Tapi kalau mengemukakan satu saja alasan, itu berarti tidak.' Begitu katanya.

Sebenarnya Hanabi tidak bersungguh-sungguh, tapi dia tidak menyangka kakaknya benar-benar melakukan itu.

"Jadi Naruto-nii langsung meyetujuinya?"

"Awalnya dia terkejut, huft…. Aku langsung sadar dengan kebodohanku. Aku malu Hanabi, tapi ketika aq bilang untuk melupakannya, Naruto-kun menolak. Dia bilang, tidak Hinata, aku akan menikahimu bahkan jika kau memintanya sekarang."

"Ciyeeee… Ciyeeee…. Naruto-nii manisnyaa…"

Hinata tak kuasa, ia menidurkan dirinya kembali dengan posisi tengkurap. Jangankan Hinata yang pemalu, Hanabi saja yang menggodanya bersemu merah.

"Haaahft.….. pantas saja Onee-chan begitu mencintai Naruto-nii. Aku juga ingin punya suami yang seperti ituuuu…"

Buughk…

Sebuah bantal mendarat di wajah Hanabi. "Berhenti menggodaku Hanabi-chaan.." ucapnya samar karena teredam bantal.

"Hehehe…. Mau bagaimana lagi, kalian ini lucu sekali." Mereka terdiam, Hanabi menyibukkan diri dengan memijat pipinya yang terlampau pegal karena tertawa sejak di rumah sakit. "Eh.., bagaimana dengan Tou-sama?. Bagaimana pendapatnya? Oh Kami-sama.. kenapa aku justru melupakan hal sepenting ini."

Hinata membalikkan badannya, dengan wajah cemberut ia mendesah "Huft.. entahlah Hanabi."

"Apa maksudnya itu? Nee-chan belum bicarapada Otou-sama?."

"Sudah Hanabi, tapi.."

Hanabi terdiam mengamati setiap expresi kakaknya. Senyum masam tersungging. Ia tahu sekarang, diluar ada Kakashi dan Sasuke, semua orang meributkan pernikahannya tapi dia mengurung diri dengan selimut hingga menutupi wajah. Apalagi kalau bukan memikirkan Hyuga Hiashi, ayah mereka.

"Otou-sama marah?" tanyanya halus, takut menyinggung sang kakak.

"Entahlah." Hinata terdiam sejenak, kemudian gadis itu mendudukkan dirinya kembali. "Saat aku mengatakannya, otou-sama hanya membuang nafas besar-besar dan berkali-kali. Apa yang ada di pikiran kalian adalah kalimat pertama yang ia katakan. Selanjutnya setiap ucapannya selalu menyalahkan Naruto-kun. Otou-sama bilang Naruto-kun itu bocah rubah bengal yang mesum, dia menikahiku cepat-cepat karena berpikiran mesum."

Hanabi meringis, merasa begitu tragis melihat nasib Naruto yang selalu dituduh mesum. Mau tidak mesum bagaimana? Sejak kecil Naruto tumbuh dengan didikan pria-pria mesum.

"Tapi Otou-sama setujukan?"

"Iya.., tapi aku merasa Tou-sama mengatakan hal itu untuk menutupi rasa malunya. Otou-sama pasti malu memiliki anak gadis sepertiku, seperti wanita bar bar."

"Hust… Tidak baik mengatakan hal seperti itu nee-chan. Menurutku tou-sama bukan malu, dia hanya tidak percaya anak gadisnya yang manis dan pemalu ini meminta sorang pria untuk cepat-cepat menikahinya." Hanabi tersenyum lembut, namun tidak juga dengan Hinata.

"Nee-chan sudahlah…, semua orang tau nee-chan gadis yang baik. Nee-chan bukan wanita bar bar. Yang penting Otou-sama tidak marah. Itu saja…"

Hinata terdiam, ia mengalihkan wajah melihat keluar jendela. Meskipun telah meminta maaf berkali-kali, perasaan itu tak juga menguap. Perasaan yang sama seperti ketika ia kecil dulu. Merasa tidak berguna, tidak berbakti dan hanya membuat malu ayahnya saja.

"Onee-chan, dengarkan aku." Hanabi meraih jemari Hinata, meremasnya dengan keyakinan yang meluap.

"Onee-chan sudah melakukan hal yang benar. Meskipun selama ini sikap Naruto-nii selalu berubah-ubah, tapi aku yakin sejak dulu jauh di dalam hatinya adalah nee-chan, seorang perempuan yang ia cintai. Setelah sekian lama, bukan hanya Hinata-nee, tapi Naruto-nii juga telah lama menantikan hari ini. Hari dimana cinta terasa benar, hari dimana semua perasaan dapat terbalas."

Hinata memandang lekat mata adiknya, seakan ia benar-benar meresapi apa yang hanabi rasakan melalui ucapannya itu.

"Lagi pula…." Hanabi tersenyum tipis "kalau bukan Naruto-nii, siapa lagi yang Nee-chan harapkan hmm?..."

"Tapi Hanabi, aku masih memikirkan Toneri-kun "

"Nee-chan sudahlah.!" Hanabi menaikkan suaranya. Hinata sampai terkesiap. Sangat jelas hinata menyaksikan senyum itu tiba-tiba saja hilang dan digantikan raut kemarahan hanya dalam beberapa detik saja.

namun seketika itu pula. "Hinata-nee, maaf…" suara hanabi melembut, ia sadar dengan ketidak sopanannya "Tapi berhentilah memikirkan pria itu. Aku yakin otou-sama membatalkan pertunangan kalian bukan hanya karena syarat yang mereka ajukan, tapi juga karena ia ingin melihat Hinata-nee bahagia."

"Hinata-nee sama sekali tidak mencintai Toneri-san, kau hanya teropsesi dengan tujuanmu. Dan jika nee-chan tidak segera menghentikannya, itu sama seperti mengulang cerita dengan kepahitan yang selama ini Naruto-nii berikan karena opsesinya terhadap Sakura-san."

Pandangan Hinata meredup. Semua yang dikatakan Hanabi memang benar. Ketakutannya selama ini membuatnya menutup mata dan telinga. Ia hanya terpaku pada Toneri meski ia tau bahwa itu semakin menyiksa dirinya dan Naruto.

"Mengenai klan, Desa ataupun Negara Hi. Aku mengerti, sebagai ketua klan Hyuga dan seorang Hokage kehidupan kalian terikat kuat dengan hal itu. Sudah begitu banyak kalian menghabiskan hidup dengan pengorbanan sebagai shinobi. Sekarang adalah saatnya kalian menjalani kebahagiaan tanpa dibebani orang lain. Kalian berhak, dan layak untuk mendapatkannya nee.."

Hinata tersenyum, begitu pelan dengan bibir yang bergetar. Ia amat tersentuh, merasa begitu banyak orang yang menyayanginya setelah semua hal yang ia lalui.

"Jangan menangis Nee-chan." Hanabi mengusap air mata di pipi Hinata. "Seandainya neji nii-san ada disini, ia pasti juga akan sangat bahagia."

"Hanabi…, arigatou. Hontouni arigatou."

Hanabi tersenyum lebar. Meskipun airmata dan isakan Hinata semakin menjadi, tapi ia melihat senyum bahagia yang merekah disana.

.

###

.

Lorong rumah sakit begitu sepi menjelang tengah malam. Namun tidak dengan kamar rawat Naruto yang masih menyala terang. Di dalamnya Naruto tengah menyantap gembira porsi ketiga ramennya. Begitu juga Konohamaru yang tak kalah menikmati mie berkuah kental itu di tengah udara yang benar-benar membuatnya menggigil.

Setelahnya Konohamaru baru memulai tugas. Mendampingi Naruto menandatangani semua berkas penting yang sudah disortir oleh Shikamaru. Tidak akan lama, karena Shikamaru sudah benar-benar memastikan bahwa berkasnya sudah siap untuk disetujui. Pria nanas itu tidak tau saja, kondisi Naruto sudah jauh lebih baik daripada terakhir ia melihatnya. Bahkan mungkin Naruto sudah bisa kembali ke kantornya besok.

"Nii-chan, kenapa pipimu lebam begitu?" Konohamaru terheran saat memperhatikan pipi kiri Naruto yang membiru.

"Oh ini.." Naruto mengelus pipinya sambil tersenyum. "Tadi sore Kiba, Aakamaru dan Shino kemari. Kiba menonjok pipiku keras sekali. Wajahnya itu benar-benar pertama kali aku melihatnya. Seperti ingin marah, menangis dan bahagia di waktu yang bersamaan. Dia bilang seharusnya aku menikahi Hinata sejak dulu, aku terlalu lama membuatnya menderita."

Konohamaru tersenyum lebar, ia bisa membayangkan bagaimana Kiba yang juga sama bodohnya dengan Naruto tengah mengatakan hal itu dengan menggebu-gebu. "Kiba-san memang benar, kenapa harus membuat Hinata-nee menangis terlalu lama hanya untuk menikahinya?"

"Aku tau, aku benar-benar menyesalinya. Itulah sebabnya aku membiarkannya lebam dan membiru. Bagaimanapun Kiba dan Shino adalah sahabat yang sangat menyayangi Hinata. Mungkin Kiba sudah menunggu lama untuk memukulku." Naruto meringis sebentar "Walaupun ini tak sebanding dengan rasa sakit yang aku buat pada Hinata, aku menghargainya. Itu adalah perasaan yang tulus dari Kiba dan Shino bukan?"

"Hmmm…" Konohamaru mengangguk dangan senyum tipisnya. "Jadi seminggu lagi ya?"

"Iya…," Naruto tersenyum sebentar dan kembali menggeluti kertas-kertas di pangkuannya.

"Semua orang tau kau itu orang yang mengejutkan. Tapi nyatanya tidak ada seorangpun yang tidak terkejut dengan tindakanmu kali ini Naruto-nii."

"Hahaha… begitu ya. Habis mau bagaimana lagi, setelah semua hal yang terjadi aku juga berpikir bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Aku, mencintainya."

"Syukurlah. Aku begitu lega mendengarnya. Karena besok Nii-chan sudah bisa keluar dari rumah sakit, kau sudah harus mempersiapkan pernikahanmu. Kakashi-sama sudah mengatur semuanya. Ia akan mengatur segala kepantingan desa dan istrinya akan mengatur semua hal yang diperlukan untuk pesta. Walau begitu Nii-chan tetap tidak akan punya banyak waktu untuk istirahat."

"Itu sudah jadi resikonya."

"Nii-chan..,"

"Hmm?" Naruto mendongak dan mendapati Konohamaru yang tersenyum tulus.

"Setelah ini tolong berbahagialah dengan Hinata-nee. Akan ada banyak hal yang terjadi, namun aku dan Hanabi selalu berharap Naruto-nii akan melindungi rumah tangga kalian dengan baik. Jangan membiarkan orang lain menjadi pihak ketiga lagi ya nii-chan…"

"Arigataou, Konohamaru. Aku menjanjikan itu padamu dan Hanabi."

Mereka tersenyum, dan walaupun diluar kabut memekat ditengah malam namun untuk kali ini Naruto benar-benar merasakan hatinya begitu hangat.

.

.

.

.

Hai.. hai…. Apa kabar reader

Lama banget ya nggak update. Udah 4 bulan… habis mau bagaimana lagi. Waktu puasa kemarin aku kerja malah jam 7 pagi - 8 malam , 8 malam – 7 pagi. Trus lebaran juga cuma libur 5 hari. Hidupku cuma bisa buat kerja, makan, cuci baju, tidur. Udah beneran itu doank….

Terimakasih sekali buat para reader yang sudah mau menunggu. Bahkan masih meriview walau fic ini sudah tidak update selama berbulan- bulan.

Mungkin setelah ini akan lama lagi saya update. Soalnya bulan depan saya nikah dan belum nyiapin apa-apa gara-gara kerja gila-gilaan. Tapi saya usahakan gak terlalu lama setelah hari pernikahan saya .

Dan walaupun sangat terlambat, saya tetap mau ucapin 'minal aidzin walfaidzin' minna-san. maaf karena selama ini banyak salah dan udah bikin gregetan minna-san.

Sampai ketemu di chap 12 : hari pernikahan.

Di tunggu reviewnya ya….. ;)