Main Cast : Jeon Wonwoo
Genre : Romance and Friendship
Rate : T
Disclaimer : Mine
Warning : Typo
Happy Reading!
.
"Aku pulang!"
Seorang remaja memasuki rumah sederhana. Sepatu yang telah dilepas, ia susun di rak. Kembali berjalan masuk ke dalam dengan wajah lesu.
"Kau kenapa Seungkwan-ah?" remaja yang dipanggil Seungkwan menoleh. Di ruang tengah yang tidak luas itu, semuanya berkumpul.
"Aaaahhh. Hyung semuanya ada di sini," ucapnya sambil mendudukan dirinya di lantai. Melupakan pertanyaan dari pemuda paling tua di antara mereka.
"Kau belum menjawab pertanyaan Hyung Seungkwan-ah."
Seungkwan menepuk dahinya. Melihat suasana ramai membuat ia lupa. Tidak biasanya ia pulang dengan menemukan yang lainnya berkumpul lengkap. Biasanya saat pulang sekolah, ia hanya bisa melihat Hansol. Seorang remaja yang sebulan lebih muda darinya.
"Aku sedang kesal Hyung!" akhirnya Seungkwan menjawab.
"Kesal kenapa?" tanya pemuda lain yang duduk tidak jauh darinya. Buku yang sedari tadi ia baca, sengaja ditutup. Memandang serius ke arah Seungkwan.
"Jisoo Hyung lihat ini!" Seungkwan menunjuk jas sekolah yang sedari tadi ia jinjing.
"Blazer sekolahku kotor terkena percikan air di jalan. Karena pengendara mobil yang membawa mobil sesuka hatinya."
"Blazer sekolahmu yang lainnya sudah bersih. Jadi kau bisa menggantinya besok." Jeonghan, pemuda lainnya yang memiliki rambut sebahu menelisik blazer sekolah Seungkwan. Membawanya ke bak pencucian setelah anak-anak yang lain ikut melihat.
"Hemmm perbuatan orang kaya ya," gumam pemuda bermata sipit. Gelas kosong yang terletak di meja ia putar-putar.
"Beberapa hari yang lalu Minghao hampir terserempet mobil. Karena orang kaya yang membawa mobilnya ugal-ugalan. Dan sekarang giliran Seungkwan. " Soonyoung, pemuda bermata sipit itu menggelengkan kepalanya.
"Apa semua orang kaya seperti itu, Hyung?" laki-laki termuda di antara mereka bertanya.
"Tidak juga Hansol-ah. Masih ada orang kaya yang hatinya baik," jawab Seungcheol yang duduk di paling sudut. Sebagai hyung tertua, ia tidak ingin adik-adiknya menyama ratakan apa yang mereka lihat.
"Tapi memang seperti itu kan, Hyung?" Seokmin tiba-tiba muncul dari dapur dengan segelas air di tangannya. Mendudukkan dirinya tepat di sisi Soonyoung.
"Aku sering melihatnya. Hyung ingatkan anak pemilik sekolah yang pernah aku ceritakan?" tanya Seokmin semangat yang diangguki Soonyoung.
"Jangan bahas dia!" sanggah Jihoon langsung. Pemuda yang memiliki tubuh paling mungil di antara yang lainnya.
"Kesombongannya sudah mendarah daging, jadi tidak perlu diingatkan." Jihoon menggelengkan kepalanya. Mengingat orang itu membuat nafsu makannya menguar. Nasi yang belum habis langsung ia letakkan di tempat pencucian piring.
"Jangan buang-buang makanan Jihoon-ah! Kita harus bekerja untuk mandapatkannya." Jeonghan mengingatkan. Namun tidak digubris pemuda mungil itu. Hanya tersenyum lima jari agar tidak mendapat ceramah lanjutan.
"Aku jadi tidak suka dengan orang kaya," gumam Seungkwan. Seungcheol di sudut sana menggeleng frustasi. Bukan sekali dua kali mereka membahas orang-orang yang memiliki harta berlimpah. Kebencian adik-adiknya terhadap orang kaya juga sulit dihilangkan. Terlanjur memiliki persepsi yang salah tentang orang kaya.
"Hemm… mereka menyebalkan. Sering merendahkan kita yang berasal dari golongan bawah." Jihoon kembali bersuara. Menyerukan ketidak sukaannya dengan manusia yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding mereka.
"Hilangkan pemikiran sempit kalian itu! Tidak selamanya orang kaya seperti itu!" Seungcheol mencoba merubah persepsi ke sepuluh manusia yang berada di rumah itu.
"Terus saja Hyung membela mereka. Jelas-jelas Hyung sering mendapat ketidak adilan dari bos tempat Hyung bekerja." Soonyoung tidak menerima pembenaran dari Seungcheol. Ia sering mendapati hyung tertuanya mendapat lembur karena masalah kecil. Gelas yang pecah membuat orang yang sudah ia anggap hyung kerja hingga larut.
"Kerja di restaurant memang sering seperti itu kan?" Seungcheol membela. Membahas pekerjaannya, mengingatkannya akan suatu hal.
"Ya Tuhan, kita sudah hampir telat." Seungcheol langsung berdiri dari duduknya. Mengagetkan Minghao yang tengah melamun.
"Jeonghan-ah, Jisoo-ya, kita harus berangkat sekarang! Aku tidak mau gaji kita dipotong lagi." Keduanya hanya mengangguk. Karena sedari beberapa menit yang lalu, mereka sudah bersiap.
"Hyungdeul tidak ada jadwal kuliah hari ini?" tanya Seungkwan yang baru menyadari ketiganya berangkat kerja lebih awal.
"Mereka hanya kuliah di jam pertama pagi tadi. Sepulang kuliah, mereka mengerjakan tugas lebih dulu. Dan sekarang mereka berangkat kerja lebih cepat. Supaya pulang tidak terlalu larut," jawab Jun yang sedang bersiap-siap. Bekerja seperti yang lainnya namun di tempat yang berbeda.
Seungkwan hanya menatap kepergian ketiganya dengan sendu. Ia ingin bekerja seperti hyung lainnya. Tapi di usinya yang masih empat belas tahun membuatnya tidak bisa bekerja. Apalagi sembilan anak-anak lainnya melarang dirinya dan Hansol bekerja. Di antara semuanya, hanya ia dan Hansol yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Hansol-ah, kita ditinggal berdua lagi," gumam Seungkwan yang hanya dijawab deheman Hansol.
"Hey, kami pergi untuk bekerja. Bukan jalan-jalan. Jadi jangan pasang wajah sepeti itu." Jun berbicara sedikit tidak jelas. Karena pemuda yang memiliki paras tampan itu menyumpal mulutnya dengan roti.
"Minghao-ya, Mingyu-ya, Seokmin-ah, kalian sudah siap?" teriak Jun dari ruang tamu. Karena ketiganya sedang berada di kamar.
"Sudah," jawab ketiganya serempak.
"Soonyoung hyung dan Jihoon hyung di mana?" tanya Mingyu sambil memperbaiki tatanan rambutnya. Berkaca pada cermin kecil yang terletak di atas nakas.
"Mereka sudah siap dari tadi. Sepertinya mereka sudah berangkat." Jun menyambar jaket yang menggantung di balik pintu. Melongokkan kembali kepalanya ke kamar. Memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Hansol-ah, Seungkwan-ah, kami berangkat! Jangan lupa mengunci pintu kalau kalian mau pergi."
Seungkwan mendengus sebal. Ia benci sepi. Sangat benci saat ia dan Hansol pulang dari sekolah namun ditinggal bekerja. Hansol bukan pemuda yang banyak bicara. Membuatnya merasa sendiri meski ada Hansol di rumah sederhana yang sudah mereka tempati bertahun-tahun.
"Haaah… aku ingin cepat-cepat lulus sekolah. Aku ingin bisa sekolah bersama Jun hyung, Soonyoung hyung, Jihoon hyung, Seokmin hyung, Minghao hyung, Mingyu hyung."
"Tapi sepertinya tidak bisa," sanggah Hansol yang memainkan rubik di tangannya.
"Kenapa?" tanya Seungkwan.
"Kau lupa kalau Jun hyung sudah kelas tiga? Dan hyungdeul yang lain sudah kelas dua?"
Seungkwan merengut. Ia masuk kelas satu Senior High School berarti yang lainnya sudah menyelesaikan sekolahnya.
"Aku semakin menyesal kenapa kita masih duduk di kelas dua."
.
.
.
Plak…
Sebuah tamparan mendarat di pipi remaja berusia tujuh belas tahun. Suara tamparan yang keras itu terdengar hingga ke seluruh penjuru rumah mewah nan megah. Beberapa orang yang menyaksikan, hanya diam mematung. Tidak berani melerai perdebatan antara anak dan ayah.
"Kau… dasar kau anak tidak tahu diri," geram seorang pria paruh baya. Setelan jas mewah membalut tubuh pria yang memasang wajah marah saat ini.
Tamparan itu tidak menimbulkan reaksi apapun pada remaja berusia tujuh belas tahun itu. Tetap memandang sang ayah dengan pandangan datar dan dinginnya. Kesan angkuh tampak jelas darinya.
Tamparan keras yang mendarat, membuat pipinya memerah. Kulitnya yang cenderung putih membuat jejak jari itu tampak sangat jelas. Namun tidak ada ringisan dari bibir tipisnya. Tetap memasang wajah seperti awal ia memasuki rumah yang penuh dengan kemewahan.
"Tingkahmu benar-benar memalukan." Pria paruh baya itu menaikkan suaranya beberapa oktaf. Memandang remaja di hadapannya penuh amarah dan kebencian.
"Kau selalu menghabiskan waktumu untuk berfoya-foya, membuat onar di sana sini. Dan sekarang apalagi yang kau lakukan? Perbuatanmu memalukan keluaraga. Ulahmu mencoreng nama baik keluarga ini."
"Aku tidak yakin ini bisa disebut keluaraga," ucapnya dengan tersenyum mengejek.
Plak…
Tamparan kedua kembali mendarat di wajah tampannya. Namun tetap tidak menghilangkan aura angkuh yang ia tunjukkan. Justru semakin tersenyum meremehkan. Memasukkan sebelah tangannya pada saku celananya. Memandang pria yang berstatus sebagai ayahnya dengan pandangan menantang.
"Jaga bicaramu anak sialan! Tingkahmu benar-benar membuatku muak," marah pria yang saat ini menginjak usia empat puluh lima tahun.
"Kalau sikapmu terus seperti ini, aku akan mengirimu ke SVT house." Pernyataan yang membuat seluruh pelayan di rumah itu terkejut, tidak dengan remaja yang justru tetap bersikap santai.
"Ya Tuhan, Tuan Muda akan dikirim ke sana." Seorang pelayan wanita membekap mulutnya. Matanya memerah memandang tuan mudanya yang berdiri di ruang tengah.
"Kalau Nyonya tidak segera pulang, Tuan Muda akan benar-benar dikirim ke rumah itu," ungkap pelayan lainnya.
"Kim Ahjussi!" kepala pelayan yang berdiri tidak jauh darinya mendekat. Sedikit membungkuk saat menghadap Tuannya.
"Ya Tuan," ucapnya sopan.
"Kemasi barang-barang anak kurang ajar ini. Dan langsung antar dia ke SVT house. Jangan pernah biarkan dia menginjakan kaki kotornya ke rumah ini."
"Ke SVT house? Tapi… tapi Tuan—"
"Ini perintah dariku!"
Meski berat hati, laki-laki berkaca mata yang sudah menjadi kepercayaan keluarga itu mengangguk patuh. Memundurkan sedikit tubuhnya sebelum berjalan menjauh.
"Mulai hari ini, jangan tampakkan wajahmu lagi di rumah ini. Jangan pernah berharap aku akan mengakuimu. Perbuatanmu benar-benar mencoreng wajahku. Dan kau harus ingat, tidak ada uang untukmu. Apalagi warisan. Jangan pernah sedikitpun mengharapkannya." Tanpa menunggu balasan, pria paruh baya yang menjabat sebagai bos besar itu pergi. Melangkah masuk ke kamarnya tanpa memperdulikan anaknya.
"Tuan Muda."
Beberapa maid yang bekerja di rumah itu berjalan mendekat. Merasa tidak rela membiarkan tuan mudanya pergi ke tempat asing. Namun remaja tampan itu hanya berlalu begitu saja. Mengabaikan tatapan cemas dari para pelayannya.
Sesampainya di kamar luas yang lengkap dengan fasilitas mewah, pemuda tampan itu berjalan menuju nakas. Mengambil semua yang menurutnya penting. Memasukkan ke dalam ransel yang sedari tadi tersampir di pundaknya.
"Tuan Muda sebaiknya ganti baju lebih dulu. Jangan memakai seragam sekolah seperti ini."
Seragam sekolah yang melekat di tubuhnya langsung ia lepas. Mencampakkannnya begitu saja dan masuk ke kamar mandi.
"Kenapa jadi seperti ini?" batin pelayan Kim. Ia membungkuk untuk memungut seragam tuan mudanya. Seragam yang berasal dari sekolah elit dan mahal yang ada di Gangnam.
"Bagaimana kalau Nyonya besar tahu," batinnya lagi gelisah.
Tidak lama kemudian, remaja yang masih menunjukan wajah dinginnya keluar dari kamar mandi. Di tubuhnya terbalut kaus putih polos. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya. Langkahnya tertuju ke lemari besar miliknya. Mengambil parka berwarna coklat dan langsung memakainya.
"Semua baju dan perlengkapan lainnya sudah di dalam koper ini," ucap pelayan Kim yang hanya dibalas deheman.
"Kita bisa pergi sekarang, Ahjussi? Lebih cepat lebih baik."
.
.
.
"Hyung, kalian sudah pulang?"
Seungkwan terkejut mendapati tiga hyung-nya yang paling tua memasuki rumah. Ia kira ketiganya masih beberapa jam lagi berada di tempat kerja.
"Semua karena uang Seungkwan-ah," ucap Jeonghan sambil berlalu ke kamar. Meninggalkan Seungkwan dengan kerutan di dahinya.
"Kau paham?" tanya Seungkwan pada Hansol. Namun hanya gelengan yang ia dapat.
"Kalau karena uang kenapa pulang lebih cepat? bukannya lebih lama?" Seungkwan menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Berharap salah satu dari ketiga hyung-nya mau menjawab. Namun hanya kikikan dari Hansol yang ia dengar.
"Yak, jangan menertawakanku!" seketika Hansol langsung membungkam mulutnya. Aura Seungkwan terlihat sangat kelam. Bukan ide yang baik kalau membuat remaja bermarga Boo itu kesal.
"Nanti kau juga tahu kalau yang lainnya sudah pulang." Akhirnya Jisoo menjawab. Namun mood Sungkwan sudah terlanjur jelek. Ia hanya memanyunkan bibirnya. Masih kesal karena tidak diacuhkan.
Beberapa saat kemudian, anak-anak yang lain tiba di rumah. Wajah lelah menyertai mereka semua. Namun tidak ada keluhan yang terdengar. Sudah menjadi kegiatan sehari-hari bekerja setelah pulang sekolah.
"Ada apa, Hyung?" Soonyoung langsung mendudukkan dirinya di lantai. Diikuti anak-anak yang lain. Ada yang hanya sekedar bersandar. Namun ada juga yang langsung membaringkan tubuhnya di lantai dingin itu.
Seungkwan yang tidak tahu apa-apa hanya mengerutkan keningnya. Tingkah hyungdeul-nya benar-benar aneh. Belum membersihkan diri sudah bertebaran di lantai.
"Hyung tadi meminta kami cepat pulang kan? apa ada yang penting, Hyung?" pertanyaan Seokmin mewakili anak-anak yang lain. Seungcheol yang sedari tadi berada di dapur, langsung mendekati yang lainnya. Duduk tepat di sisi Mingyu. Pemuda tampan yang tengah memejamkan matanya. Dengan kepala disandarkan di dinding.
"Jangan tidur dulu!" Seungcheol menepuk paha Mingyu. "Ini penting!"
Mendengar kata-kata penting, mereka semua langsung duduk lebih dekat. Memfokuskan perhatiannya pada pemuda yang paling tua di antara mereka. Seungcheol menatap adik-adiknya satu persatu. Memastikan semuanya mendengar ucapannya.
"Sepertinya kita akan kedatangan keluarga baru."
Hening. Rumah yang diisi sebelas anak itu tampak senyap. Tidak ada yang membuka suara. Mereka saling pandang. Seolah berbicara lewat pandangan.
"Siapa?" lagi-lagi pertanyaan Seokmin mewakili anak lainnya.
"Dia datang dari Gangnam," ucap Seungcheol.
"Anak orang kaya ya?" tanya Minghao dengan berbisik. Gangnam adalah salah satu kota terelit yang ada di Seoul. Tidak salah kalau Minghao langsung menyimpulkan seperti itu. Namun sikutan di perutnya membuatnya langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Malam ini sepertinya dia akan sampai," lanjut Seungcheol. Matanya menatap seluruh wajah yang ada di ruangan itu. Ingin tahu seperti apa reaksi adik-adiknya.
"Bukannya itu bagus? Kita akan ketambahan satu keluarga lagi." Jisoo angkat bicara. Ikut memandang yang lainnya seperti yang Seungcheol lakukan.
"Aku tidak masalah." Kalimat Hansol diangguki anak-anak yang lainnya. Tidak terlalu mempermasalahkan kalau akan ada anggota baru. Toh mereka mengalami nasib yang sama. Seperti itu lah pemikiran mereka.
"Jadi kalian setuju?" pemuda berwajah cantik bertanya. Anggukan remaja di ruangan itu membuatnya mendesah lega.
"Haaah baguslah kalau begitu. Aku kira kalian akan menentangnya. Kalian tahu? Hyung kalian ini hampir seperti mayat tadi," lanjut Jeonghan sambil tertawa. Masih melekat di benaknya bagaimana pucatnya wajah Seungcheol.
"Memangnya kenapa, Hyung?" Jihoon tidak bertanya pada Jeonghan. Namun langsung pada Seungcheol.
"Sewaktu Hyung bekerja, beberapa orang berpakaian serba hitam mendatangi Hyung. Hyung kira mereka mafia atau semacamnya. Mobil mewah dan pakaian mereka membuat takut." Meski sudah berlalu, namun Seungcheol masih bergidik. Ia benar-benar takut dihadapkan dengan orang semacam itu.
"Dia kira dia punya hutang," tambah Jeonghan sambil tertawa.
"Tapi kenapa mereka mencari Hyung? apa hubungannya dengan Hyung?" Soonyoung bertanya dengan sangat serius. Tatapan mata yang menuntut jawaban darinya, membuat Seungcheol tersenyum kikuk.
"Mereka sepertinya suruhan dari keluarga yang akan tinggal bersama kita nanti."
"Jadi dia anak orang kaya?" tanya Seungkwan langsung. Membuat suasana lagi-lagi hening. Bahkan Seungcheol menahan nafasnya beberapa saat. Ia lupa kalau adik-adiknya anti dengan orang kaya.
"Jadi dia dari keluarga kaya, Hyung?" tanya Soonyoung pada Jisoo karena Seungcheol tidak kunjung menjawab. Tatapan yang tadinya tertuju ke Seungcheol langsung sepenuhnya teralihkan ke Jisoo.
"Sepertinya begitu. Karena mereka yang membuat kami bisa pulang lebih cepat."
"Jadi itu maksud Jeonghan hyung semuanya karena uang?" Jeonghan hanya menganggukkan kepalanya. Aura di rumah itu tiba-tiba berubah menjadi kelam. Membuat terasa tegang dan tidak nyaman.
"Aku tidak mau!" tolak Soonyoung langsung.
"Kalau dia dari keluarga kaya aku juga tidak mau!" Seokmin ikut menyerukan ketidak setujuannya. Begitu pula dengan Jihoon dan Minghao. Mereka ikut menolak kehadiran orang yang akan menjadi bagian dari mereka.
"Apa jadinya hidup kita kalau ketambahan orang seperti itu, Hyung?" tanya Seungkwan dengan wajah emosinya. Bahkan kalimatnya lebih menusuk dibanding yang lainnya.
"Jangan berpikiran buruk. Mungkin saja dia anak yang baik." Seungcheol kembali mengingatkan. Ia selalu dipusingkan dengan pemikiran anak-anak yang lainnya. Terlalu cepat untuk menyimpulkan sesuatu.
"Tapi kenapa dia harus tinggal bersama kita? Bukannya dia dari keluarga kaya? Di mana orang tuanya?" tanya Jeonghan sambil menatap Seungcheol. Meski ia bekerja di tempat yang sama, tapi Seungcheol tidak langsung memberi tahunya. Membuat ia dan Jisoo bertanya-tanya.
"Aku tidak tahu kenapa dia dititipkan di sini." Seungcheol menggeleng lemah. Karena ia memang benar-benar tidak tahu. Yang ia tahu, ia harus membuka tangannya pada siapapun yang ingin tinggal bersama. Karena SVT house memang diperuntukan untuk anak-anak seperti mereka.
"Kalau tidak tahu kenapa Hyung menerimanya?" protes Soonyoung langsung. Namun bukan hanya Soonyoung, anak-anak lainnya juga memberondong pertanyaan yang sama.
"Karena SVT house memang untuk itu kan?"
"Jelas berbeda Hyung! kita dengan dia berbeda. Dia anak orang kaya. Untuk apa dia harus tinggal bersama kita? Keluarganya saja bisa mengirimkan beberapa orang untuk mencari keberadaan Hyung. Apalagi untuk tempat tinggal? Pasti mereka sangat mampu untuk membelinya." Seungcheol menghembuskan nafasnya kasar. Ucapan Soonyoung memang ada benarnya. Namun ia hanya melihat dari sisi lain. Tidak ada salahnya menambah keluarga baru di rumah mereka. Terlepas seperti apa masalahnya, yang terpenting ia membantu kalau memang dibutuhkan.
"Aku tidak mau Hyung!" Soonyoung mengulangi penolakannya. Yang lagi-lagi disusul dengan seruan-seruan serupa dari yang lainnya. Seruan penolakan untuk menampung orang baru.
"Bisa saja dia anak yang bermasalah Hyung!"
"Seungkwan benar! Bisa saja dia anak yang suka membuat onar. Mabuk-mabukan, judi atau bahkan menggunakan obat-obat terlarang."
"Bagaimana kalau anak itu penyakitan makanya dia diasingkan?" tanya Seokmin yang langsung membuat Soonyoung menoleh ke arah Jihoon. Sedangkan pemuda mungil yang tengah di pandangi memilih bungkam.
"Itu tidak baik untuk Jihoon. Bagaimana kalau Jihoon semakin sakit?"
"Tidak…tidak…tidak! Pemikiran kalian terlalu jauh!" Seungcheol menggeleng tidak setuju. Namun suaranya kalah dibandingkan sepuluh suara yang berisikan protesan yang sama.
"Tolong pikirkan baik-baik Hyung! bagaimana kalau dia membawa dampak buruk untuk kita?" Jun mencoba mengingatkan. Meski ia tidak ingin berburuk sangka, tapi ia juga tidak ingin ketenangan yang mereka rasakan selama ini terganggu.
"Bagaimana mungkin kalian menilai dia seburuk itu hanya karena dia anak orang kaya?" terbawa emosi, Seungcheol ikut meninggikan suaranya. Bukan karena ia merasa tidak dihargai. Tapi tidak setuju dengan pendapat yang sama sekali belum mereka tahu kenyataannya.
Saat yang lainnya berdebat mengenai orang yang mereka sendiri belum lihat rupanya, Mingyu memilih diam. Bukan karena ia setuju. Tapi suara anak-anak yang lainnya sudah mewakili protesannya.
"Bagaimana kami tidak berpikiran seperti ini, Hyung? coba Hyung pikirkan baik-baik. Dia anak orang kaya yang masih punya keluarga. Kalau bukan karena dia anak yang tidak benar, tidak akan mungkin dia dibuang."
Suasana di rumah mungil itu semakin panas. Mereka saling menyerukan rasa tidak setuju dan penolakannya. Tanpa memperdulikan kalau mereka sudah menggunakan nada tinggi untuk satu sama lain.
"Kalau kalian di posisiku kalian pasti akan sulit untuk menolak. Bayangkan saja kalau kalian harus dihadapkan dengan wanita yang menangis. Memohon agar tuan mudanya bisa diterima di tempat ini dengan baik."
"Apa? Tuan muda? Wanita itu menyebut tuan muda?"
Seungcheol menggeram marah. Seharusnya ia tidak berbicara seperti itu. Kalimatnya justru membuat penilaian adik-adiknya semakin buruk untuk anak baru itu. Tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya. Jeonghan memandangnya prihatin. Ia sama seperti anak-anak lainnya. Tidak bisa menerima kehadiran orang baru begitu saja. Tapi ia juga tidak bisa menyerukan ketidak setujuannya.
"Tuan muda, Hyung? itu artinya dia anak manja kan?" tanya Seokmin semakin emosi. Membayangkan orang yang berasal dari keluarga kaya dan manja membuatnya semakin menolak dengan keras. Ia tidak ingin hidupnya sulit karena anak semacam itu.
"Belum tentu dia manja. Ya Tuhan ada apa dengan kalian?" Seungcheol semakin frustasi. Kalau boleh jujur, ia juga tidak ingin egois. Memaksa orang baru untuk tinggal bersama di saat adik-adiknya merasa keberatan. Namun hatinya lebih berat untuk menolaknya.
"Seharusnya kami yang bertanya seperti itu. Sebenarnya apa yang Hyung pikirkan? Kenapa harus anak seperti dia yang akan tinggal bersama kita?"
"Coba kalian renungkan!" ungkap Seungcheol dengan suara tegasnya. Membuat yang lain langsung mengatupkan bibirnya. Setelah suasana tenang, Seungcheol kembali melanjutkan ucapannya.
"Bagaimana kalau kehidupannya tidak seperti yang kalian pikirkan? Bagaimana kalau kehidupannya justru lebih menyedihkan dibanding dengan kita? Bagaimana kalau dia memang benar-benar tidak ada tempat untuk bernaung lagi? Terlepas dia anak orang kaya, manja atau apapun itu. Bagaimana kalau dia butuh bantuan kita? Butuh uluran tangan kita?"
Semua terdiam. Mereka mencoba merenungkan apa yang Seungcheol katakan. Meski hati mereka terasa berat untuk menerimanya. Tapi gelengan kepala Jeonghan membuat yang lainnya bungkam. Isyarat untuk tidak membantah Seungcheol.
"Aku tahu kalian merasa berat karena belum mengenalnya. Tapi coba pikirkan bagaimana kalau hanya ini tempat dia untuk bernaung? Kalian pasti tahu bagaimana sedihnya hidup seperti itu tanpa harus ku jelaskan. Dan kalau pun memang dia benar-benar sakit yang seperti kalian tuduhkan, apa kalian tidak mau menerimanya? Kalian mau menjauhinya? Apa seperti itu sifat kalian sesungguhnya? Bukannya selama ini kita bisa melewatinya bersama-sama dengan Jihoon?"
Merasa namanya disebut, Jihoon tertunduk. Bukan karena sebagai orang yang sering sakit, ia merasa tersindir. Tapi membayangkan kalau ia berada di posisi orang baru itu.
Suasana masih hening. Mereka memperhatikan raut wajah Seungcheol. Hyung mereka lelah dan tertekan. Mereka sadar akan hal itu. Akhirnya mereka memilih diam. Diam bukan berarti mereka menerima keputusan hyung tertua mereka. Tapi tidak tega dengan wajah lelah dan frustasinya.
"Tidak lama lagi sepertinya dia akan sampai. Hyung minta, kalian bisa menerima dia."
Setalahnya, Seungcheol memilih ke kamar mandi. Membersihkan diri mungkin adalah pilihan yang terbaik. Sedangkan yang lainnya tetap duduk di tempat semula. Masih bergelut dengan pikiran masing-masing.
"Mungkin hanya hari ini kita bisa merasakan hidup dengan tenang Hyung!" Jisoo menepuk pundak Seungkwan. Memberinya senyuman untuk menguatkan remaja berusia empat belas tahun itu.
"Apa ini artinya hari-hari buruk kita akan dimulai?" tanya Minghao pada yang lainnya.
"Kita bisa melewatinya," ucap Jeonghan sambil berlalu. Berjalan ke dapur saat tenggorokannya benar-benar terasa kering.
.
.
.
Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam melaju di jalanan yang tampak lengang. Begitupun keadaan di dalam mobil. Hanya keheningan yang melingkupi dua manusia yang berada di dalamnya. Tidak ada percakapan sama sekali di antara keduanya.
Laki-laki paruh baya yang menjadi pengemudi mengalihkan pandangannya. Sedikit menoleh ke belakang. Melihat tuan mudanya yang sedari tadi diam termenung.
"Tuan Muda!" ia mulai mencoba membuka percakapan. Meski remaja tampan itu tidak menjawab, tapi ia tahu tuan mudanya memberi respon. Mengalihkan pandangannya dari kaca ke arahnya.
"Tidak lama lagi kita akan sampai di SVT house."
"Hm." Deheman sebagai jawaban kalau tuan mudanya juga tahu.
"Sebenarnya SVT house itu—"
"Aku tahu Ahjussi!" potongnya langsung. Pandangannya kembali ke kaca jendela. Memandangi jalanan yang sebenarnya sama sekali tidak menarik.
"Aku tahu rumah seperti apa itu. Rumah untuk anak-anak tidak mampu, anak-anak yang ditinggal orang tuanya dan tempat anak-anak yatim piatu." Pemuda tampan itu menjawab sambil tersenyum mengejek. Senyuman yang mungkin ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Rumah yang sangat cocok untukku," lanjutnya lagi. Kali ini ia mengubah posisi duduknya. Duduk menyandar dengan memejamkan matanya.
"Tuan Muda jangan berbicara seperti itu. Tuan Muda tidak sama dengan mereka. Tuan Muda masih punya orang tua—"
"Mereka sudah lama mati Ahjussi." Lagi-lagi ia memotong ucapan pelayan Kim. Mata yang sempat tertutup kembali terbuka. Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Pelayan Kim memasang wajah sendunya. Hatinya tertohok mendengar jawaban tuan mudanya. Ke dua orang tua tuan mudanya memang masih hidup. Namun tidak dengan peran dan perasaannya. Menganggap diri sendiri yatim piatu mungkin dirasa lebih baik. Karena kenyataanya, perlakuan yang didapat tidak seperti perlakuan orang tua pada anaknya.
"Kita sudah sampai Tuan Muda!"
Mobil yang kecepatannya bisa mencapai 320 km per jam itu berhenti di halaman rumah. Rumah yang tampak sangat sederhana. Jauh berbeda dengan ukuran rumah yang selama ini remaja itu tinggali.
Pelayan Kim kembali menolehkan kepalanya saat tidak ada pergerakan dari tuan mudanya. Tuan mudanya tampak memandangi rumah mungil itu dari balik kaca. Pelayan Kim tidak tahu apa yang sedang tuan mudanya pikirkan. Ia tidak bisa menebak raut wajah remaja yang selama ini ia asuh. Wajah yang datar tanpa ekspresi. Sama sekali tidak bisa ia baca.
Pelayan Kim beranjak ke bagasi. Mengambil koper yang berisi keperluan tuan mudanya. Di depan pintu rumah, beberapa remaja berdiri memandangi keduanya.
Pelayan Kim tidak langsung beranjak saar tuan mudanya keluar dari mobil. Matanya membulat melihat apa yang dilakukan pemuda tampan itu.
"Tuan Muda, kenapa gelangnya dilepas?" tanya pelayan Kim panik.
"Aku tidak memerlukan gelang ini Ahjussi. Gelang ini bukan petunjuk untuk mencari kedua orang tuaku. Karena aku memang tidak mempunyai orang tua."
"Tapi Tuan Muda, gelang itu—"
"Aku tahu Ahjussi!" Pelayan Kim bungkam. Entah sudah berapa kali hatinya merasa begitu terhimpit. Andai bisa, ia ingin mengajak tuan mudanya pergi. Mengurus dan menyekolahkannya seperti anak sendiri. Terlalu sakit melihat keadaan pemuda yang tidak pernah lagi menampakan senyumnya itu.
Melihat banyak yang menunggu mereka di depan pintu, pelayan Kim memilih meneruskan langkahnya. Mencoba memahami apapun yang diinginkan remaja berambut hitam kelam itu. Mereka memberikan salamnya saat pelayan Kim datang mendekat. Menyeret koper tanpa pemiliknya yang mengikuti.
"Biar saya bantu Ahjussi," ucap salah seorang dengan sopan.
"Tidak perlu, Nak! Koper ini di letakkan di mana?" tanya pelayan Kim. Matanya mengitari setiap sudut rumah. Rumah yang jauh dari kata mewah. Membuat hatinya teriris membayangkan kehidupan tuan mudanya.
"Di kamar paling ujung Ahjussi. Mingyu-ya, tunjukan pada ahjussi di mana letak kamarmu!"
Pemuda yang memiliki tubuh paling tinggi bangun dari duduknya. Menunjukan pada pelayan Kim letak kamarnya. Sedikit tidak rela saat harus berbagi kamar dengan orang lain. Apalagi orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya.
Nafas pelayan Kim tercekat saat memasuki kamar sempit itu. Meski di kamar itu terdapat dua ranjang, tapi ukuran dan bentuknya membuat hatinya miris. Selama ini tuan mudanya hidup dengan mewah dan berkecukupan.
"Ya Tuhan, bagaimana nasib tuan mudaku nanti," batinnya pilu.
Dengan langkah berat, pelayan Kim meletakan koper tuan mudanya di sisi ranjang yang kosong. Dan langsung berjalan ke arah pintu. Menemui beberapa remaja yang menunggunya di pintu.
"Terima kasih untuk Nak—"
"Seungcheol, Ahjussi. Ahjussi bisa memanggil saya Seungcheol."
"Ahh…Nak Seungcheol. Ahjusssi—"
Ucapan pelayan Kim kembali terputus saat tuan mudanya berjalan mendekat. Ia langsung tersenyum hangat dan memberi jalan pada remaja yang masih menampilkan wajah datarnya.
"Koper Tuan Muda sudah ada di dalam. Dan yang ini kamar Tuan Muda untuk seterusnya." Pelayan Kim terasa begitu berat mengatakannya. Suaranya terdengar bergetar menahan sedih. Remaja tampan itu juga tahu. Begitu pula dengan remaja lain yang berdiri di berbagai penjuru ruangan.
"Kalau Tuan Muda memerlukan bantuan, jangan sungkan untuk menelfon. Katakan apapun yang Tuan Muda butuhkan. Dan Tuan Muda, tolong ingat selalu. Jangan sampai—"
"Aku tahu Ahjussi! Aku akan selalu mengingatnya," remaja itu memotong ucapan pria paruh baya di hadapannya. Tidak ingin pria yang selama ini mengasuhnya meneruskan kata-katanya.
Tidak tahan berlama-lama berada di tempat itu, pelayan Kim memilih undur diri. Air matanya pasti akan tumpah kalau masih berlama-lama. Ia benar-benar tidak tahan melihat nasib tuan mudanya. Seorang anak laki-laki yang sedari kecil ia asuh.
"Kalau begitu saya permisi Tuan Muda Wonwoo," ucap pelayan Kim sebelum benar-benar berjalan menjauh. Sebenarnya pelayan Kim ingin melihat senyuman tuan mudanya sebelum pergi. Namun senyuman manis itu terasa begitu sulit untuk ia lihat. Bahkan pelayan Kim lupa kapan terakhir kali tuan mudanya tersenyum. Pelayan Kim sudah lupa kapan terakhir kali melihat wajah ceria remaja tampan itu.
Remaja bernama Wonwoo memandangi kepergian pelayan Kim dalam diam. Sampai mobil itu tidak tampak, Wonwoo masih betah memandanginya. Entah apa yang remaja tampan itu pikirkan. Tidak ada yang bisa membaca raut wajahnya. Tanpa eksresi dan begitu dingin.
"Wonwoo, kau bisa memanggilku Seungcheol hyung! aku—"
Wonwoo berlalu ke kamar yang terdapat kopernya. Mengabaikan seseorang yang mengajaknya berbicara. Bahkan tangan yang terulur ke arahnya tidak ia acuhkan.
"Yak, apa-apaan dia itu?" marah seorang pemuda yang sedari tadi berdiri di dekat Seungcheol. Pemuda itu akan mendatangi Wonwoo kalau saja tidak langsung dicekal.
"Tenang Soonyoung-ah. Mungkin dia lelah." Seungcheol memberi nasehat.
"Tapi itu tidak sopan Hyung! bagaimana bisa dia mengabaikan orang yang sedang berbicara dengannya. Apa dia tidak tahu etika? Apa dia tidak tahu sopan pada orang lain?" lanjut Soonyoung dengan meninggikan suaranya.
"Bukannya orang kaya memang seperti itu? Hyung lihat kan sekarang?" sambung Jihoon yang bersandar di dinding.
"Hyung lihatkan bagaimana kelakuan orang kaya? Mereka semuanya sombong Hyung!" kali ini Seokmin yang bersuara. Membuat Seungcheol menggelengkan kepalanya frustasi.
"Aku semakin percaya kalau sifat orang kaya semuanya sama," ucap Hansol yang langsung diangguki Minghao. Ia membenarkan pendapat Hansol tentang orang kaya. Dan yang selama ini ia temui, sifat orang kaya memang tidak jauh berbeda.
"Sepertinya kehidupan kita yang tenang akan terganggu dengan adanya anak baru itu Hyung!" ucap Seungkwan pedas. Sangat pedas dan begitu menusuk. Namun tetap disetujui anak-anak lainnya. Membuat Seungcheol bungkam. Tidak tahu bagaimana dan menggunakan kata apa untuk menenangkan adik-adiknya.
"Aku minta kalian tenanglah," ucap remaja yang paling tua itu.
"Sekarang kalian tidurlah! Besok kalian masih harus ke sekolah."
Sengcheol menghembuskan nafasnya berat. Rumah mereka yang sempit itu, tentu semua pembicaraan akan terdengar. Apalagi mereka berbicara dengan nada tinggi. Seungcheol sangat yakin Wonwoo mendengar semuanya dengan sangat jelas.
"Mingyu, selamat menikmati mimpi burukmu!"
Mingyu melirik tajam pada Soonyoung. Kalau boleh memilih, ia ingin tidur dengan anak-anak lainnya. Tapi sayangnya, kamar itu adalah kamar yang selama ini ia tempati. Dan anak-anak lain sudah mendapat teman tidur masing-masing.
"Ck, hidupku akan benar-benar buruk karena ada dia," batin Mingyu.
.
.
.
TBC