Wellcome to reading—

.

WEDDING HELL.

.

.

an Original story by poochan.

Naruto by MK.

.

Sasu-Hina

DRAMA

Romance

.

Warning:

M content.

Typos, OOC, plotless, dan crackpair.

.

DLDR!

.

Bersikap sopan

dan jangan budayakan plagiat.

Saya menerima kritik dan saran.

.

.

.

(Act : 11)

.

Titanium*

.

.

.

Sasuke berhenti di ambang pintu, ia yakin betul bahwa ia sedang tidak berhalusinasi. Ada sepatu kesayangan istrinya di samping undakan—sepatu hak tinggi dengan sol merah menyala yang harganya juga bisa membuat menutup mata. Hingga membuat sandal rumah—yang berwarna putih dengan alas yang lembut—milik Hinata sudah menghilang dari rak.

.

Rumah mereka memang menggunakan lantai kayu, persis permintaan sang istri di bulan pertama pernikahan mereka yang membuat Sasuke segera merombak lantai marmernya menjadi kayu.

.

Terjaga dari lamunan, Sasuke menaruh sepatunya di samping milik si nyonya. Langkah kaki Sasuke mengayun, menuju tempat sakral istrinya, balkon yang menghadap sungai Arakawa.

.

Di sana, istrinya duduk di atas bean bag—atau Sasuke menyebutnya sebagai gumpalan nyaman untuk duduk, Hinata tampak nyaman dengan secangkir americano yang terlihat masih mengeluarkan uap. Sasuke merasa dadanya berdesir. Desir yang anehnya terasa menyedihkan di dadadanya. Jika ia bukan lelaki sejati, ia pasti sudah menitikkan air mata karena kini ia dapat melihat rambut halus istrinya berterbangan tertiup angin. Sebuah pemandangan indah yang tak ingin ia lewatkan seumur hidupnya, yang entah mengapa menjadi sukar bahkan jika dibayangkan.

.

Istrinya yang masih berniat berpisah. Dan memilih menyerah karena keadaan yang tak pernah tepat untuk mereka.

.

Mengabaikan perasaannya Sasuke memutuskan untuk bergabung ke beranda. Meski nanti ia akan ditolak lagi, ia tak peduli. Penting baginya untuk bicara, syukur-syukur jika ia bisa meyakinkan istrinya untuk kembali.

.

***p90***

.

.

Hinata bukan tak menyadari, bahwa suaminya kini duduk di sampingnya. Tapi perempuan itu lebih memilih menikmati matahari yang turun perlahan dari langit. Meski masih terlalu siang untuk menikmati senja, tapi Hinata lebih suka menikmati senja lebih awal. Meski sinarnya masih terlalu kuat untuk netranya sendiri.

.

"Aku lega kau pulang."

.

Perkataan jujur itu hanya dihadiahi dengusan pelan. "Lega karena aku tak bertindak nekat dan mencoreng nama baikmu?" nada sarkastik Hinata menguar di udara.

.

Sasuke memejamkan mata, menahan luapan gejolak dalam dadanya. Lebih baik mulutnya diam daripada memicu pertengkaran.

.

"Aku sudah mengadopsi Obito." Ucap Hinata tanpa menunggu saat yang dirasanya tepat untuk menyerang.

.

Bahu Sasuke menegang, lehernya menoleh dengan cepat, "Untuk apa?"

.

Hinata tersenyum pahit, "Memperbaiki apa yang sudah rusak."

.

"Dengarkan aku, sayang." Suara Sasuke memohon, "Jangan lagi siksa dirimu dengan semua ini. Biarkan aku membereskan semuanya sendiri. Aku minta maaf atas segala hal, tapi sungguh. Kau berhak bahagia, KITA BERHAK BAHAGIA. Dan soal Obito aku bisa mencari jalan keluarnya, tanpa harus mengadopsi. Demi Tuhan, sayang. Apa yang ada dalam pikiranmu, ha?!" Sasuke frustasi.

.

Hinata mendengus, "Dia manusia Sasuke. Bagaimana mungkin kau menyingkirkan dia. Apakah kau juga akan berlaku sama jika anakku yang berada di posisinya?!"

.

"Omong kosong!" Sergah Sasuke. "Obito tidak akan pernah sama seperti anak kita kelak. Dan segala yang berasal darimu adalah sah dan terbaik. Jangan bandingkan dirimu dengan wanita itu."

.

Hinata menggenggam cangkirnya kuat-kuat, berusaha menahan hasratnya untuk menyiramkan kopinya ke wajah Sasuke. Tapi ia tahu, seseorang yang ingin menang, haruslah berkorban lebih dulu.

"Kau tahu Sasuke. Ketika aku melihatmu menggaulinya, dadaku serasa sakit dan kepalaku juga ikut-ikutan ingin pecah. Aku bertanya-tanya, aku bisa saja membalasmu. Dengan hal yang sama bejatnya. Mungkin mengirimkan adegan percintaanku dengan Gaara misalnya."

"Diam!"

.

"Mungkin akan mudah bagiku jika aku juga begitu. Gaara pencium yang bagus. Dia lihai dalam hal itu, tak kan sulit baginya untuk membuatku orgasme dan melupakan sentuhanmu."

.

"BRENGSEK! KUBILANG DIAM!" murka Sasuke.

.

Hinata justru terkekeh, "Mungkin adegan bercumbunya aku dengan dia, lalu sentuhannya yang memabukkanku dan miliknya yang menghujamku bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan."

.

Sasuke berdiri, merebut gelas Hinata dan membantingnya ke lantai, "Ku bilang diam!" ancamnya dengan desisan dingin.

.

"Kau murka kan? Kau marah, cemburu dan kecewa. Oh, bahkan lebih dari itu kan?! Lalu bagaimana dengan aku? Aku tak sedang cuma bicara. Tapi aku mengalaminya di mana suamiku bergerumul, memagut mesra perempuan lain. Bercinta di hadapanku, dan sempat-sempatnya berteriak karena orgasme."

.

"Tolong diam!" suara serak Sasuke bergemelutuk, "Tak perlu kau ungkit lagi. Aku sudah tahu di mana salahku dan dosaku. Aku TIDAK AKAN MELAKUKANNYA LAGI. KAU DENGAR?!"

.

"Lucu sekali. Kau malu mendengar ceritaku tentang perselingkuhanmu, tapi begitu puas karena melakukannya. Bukankah dirimu penuh paradoks, Sasuke-kun."

.

Kali ini, Sasuke tak tahan lagi. Seperti kembali ke titik nol, mereka menjadi pribadi yang benar-benar asing. Sasuke tak lagi mengenali Hinata yang selalu menyerangnya tanpa peduli situasi. Pernikahannya sudah berantakan, tapi ia enggan untuk melepaskan Hinata.

.

Sasuke memutuskan menyingkir dari samping istrinya. Mereka akan saling bunuh jika masih berdekatan. Api yang berkobar dalam lautan pernikahan mereka terlalu besar hingga sulit di padamkan. Api ini bukan deburan gelora tapi api kebencian yang berasal dari perasaan cinta yang telah berubah menjadi dendam.

.

Tapi baru beberapa langkah saja ia meninggalkan Hinata, melalui ekor matanya ia dapat melihat kalau bahu Hinata bergetar. Kaki Sasuke terkunci, tak lagi mampu beranjak, untuk sekedar pergi atau berjalan kembali. Hanya ada keterdiaman di antara mereka.

.

Alih-alih meraung, istrinya lebih memilih untuk menangis tanpa suara, hanya ada gerakan tangan yang memukul dada. Tapi gerakan itu sudah menciptakan pukulan telak pada ulu hati Sasuke. Seperti sebuah ransen shuriken yang dilesakkan tepat di dadanya, dan melumat jantungnya hidup-hidup.

.

Apakah pernikahannya memang sudah tak bisa lagi diselamatkan?

.

Dalam kengerian itu Sasuke terpuruk membayangkan hidup tanpa Hinata.

.

***p90***

.

.

Ada yang mengikat Hinata dan juga Obito yang tak mampu dijelaskan oleh akal sehat. Sebutlah itu sebagai, bond. Ikatan yang membuat si ratu memilih untuk menerima, dan bukan menolak bukti perselingkuhan suaminya.

.

Bagi sebagian orang, tentunya hal itu mustahil untuk dilakoni. Bagaimana mungkin, seorang wanita dengan ego tinggi, dan juga penjunjung emansipasi absolut yang kita sebut saja Hinata mau mengurusi bahkan terlibat lebih banyak pada Obito si anak yang memiliki cacat wajah. Seorang anak selingkuhan yang terbuang dan bahagia di asuh oleh ibu tirinya. Lihatlah anak kurus itu yang justru kini tertawa-tawa sambil melambaikan tangannya ke arah Hinata.

.

.

Mereka mencemooh Hinata sebagai perempuan bodoh yang kembali kepada suami berengseknya. Makin dicap sebagai wanita gila karena tanpa menunggu persetujuan suaminya dan keluarga besar Uchiha malah mengadopsi bocah kurus itu menjadi anaknya. Dan anak itu dengan mata berkaca-kaca memanggilnya sebagai mama.

.

Hal yang dulunya ditakutkan oleh Hinata justru malah terjadi. Ia belum siap menjadi ibu karena sadar bahwa ia merasa masih lemah. Tapi keadaan merubahnya. Mau tak mau ia menerima kenyataan dan menjadi ibu dari anak haram suaminya. Dan bangga disebut mama.

.

Hinata melambaikan tangannya sambil tersenyum kecil, sebuah bentuk ketulusan yang pernah hilang darinya.

Senyum kepuasan itu terbit begitu cantik di bibirnya. Tampaknya menjadi ibu justru membuatnya berjuta kali lebih memukau.

.

Ia pemikir, dan segala hal yang ia pikirkan selalu bertentangan dengan anggapan orang. Orang bisa menilai ia bodoh, ia gila. Tapi jika keuntungan besar ada dipihaknya kenapa tidak? Berpikir out of the box adalah keseharian Hinata.

.

Menyakiti Sasuke dengan mencintai anak yang justru ingin dibuang oleh lelaki itu. Anak yang disingkurkan kini malah jadi sekutu Hinata. Brilian!

Satu tepuk dua lalat kena.

.

Bagian mana yang bodoh di mata mereka? Kalau Hinata bisa mengendalikan hal buruk menjadi keuntungan di pihaknya. Oh, mungkin ia harus berterimakasih pada sang bibi, Lady M pantas mendapat satu set tas Birkin terbaru.

.

Hinata nyaris menghubungi sang bibi ketika mata cantiknya melihat dengan jelas anaknya didorong oleh anak lain di area bermain.

.

Hinata menyipitkan mata, lalu dengan segera berjalan cepat dan membantu anaknya berdiri.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya cemas.

Anak itu diam, menunduk dalam-dalam dengan siku dan dengkul yang terluka. Hinata menyipit geram, langsung menoleh ke arah si anak gendut yang tertawa-tawa mengejek.

.

Ada senyum miring Hinata yang tampak menakutkan di mata anak gendut itu, "Panggil ibumu sekarang atau mereka membawamu!" Ucapan dingin Hinata membuat si gendut melihat dengan horror kepada pengawal pribadi Hinata yang baru, lelaki berdarah Rusia berambut klimis keperakan, Hidan tampak sigap mengganyang tubuhnya.

Si gendut lari. Entah memanggil ibunya atau bagaimana.

.

Lalu tatapannya beralih ke anak lelaki kurus yang ia sebut sebagai anak. Hinata merasa dadanya perih. Kenangan lama berkelebatan di kepalanya. Bagaimana cara Hanabi memperlakukannya, bagaimana ayahnya sendiri yang sengaja mengabaikannya. Dan ia tak punya seorangpun untuk sandaran. Neji adalah bagian yang berbeda. Dia memang ditugaskan untuk melindungi Hinata, bukan kemauannya sendiri bergerak atas dasar nurani. Jadi apakah ia harus berperan sebagai ibu tiri jahat yang sengaja menelantarkan anak tirinya? Sayang sekali, ia tak berniat menjadi Kimiko dan menghasilkan anak semacam Hanabi.

.

Oh, bukan salahnya jika ia dijuluki Kaguya. Ia tak akan tunduk pada siapapun di dunia ini.

Ia mengangkat dagu anaknya dengan ujung telunjuk lentiknya yang kukunya terpulas warna merah menyala, "Angkat dagumu." Kalimatnya tenang dan juga tak bisa dibantah. Perintah mutlak untuk siapapun yang mendengarnya

.

Obito tampak ragu mengangkat wajahnya. Ada gurat ketakutan di matanya, bahunya bergetar. Ia takut Hinata berubah pikiran setelah melihat ia lemah dan juga bodoh. Bayangan akan dibuang kembali menghantuinya.

.

Hinata memilih tersenyum lembut untuk menenangkan. Ia menunduk untuk menepuk pelan kepala Obito dengan sayang. "Jangan tundukkan pandanganmu kepada siapapun mulai sekarang. Kau adalah putraku. Tidak ada yang boleh berlaku kasar dan menghinamu. Kau paham?"

.

"I-iya." Ujarnya sambil mendongak. Hatinya mengembang melihat senyum Hinata. Lebih dari itu, orang yang ia sebut sebagai ibu angkat itu terlihat begitu keren di matanya.

Hinata berdiri dengan tegak dengan tingkah elegannya. Ia memakai kembali kaca mata raybannya. Pandangannya ke arah dua orang manusia yang kini mendekat kepadanya. Dengan gerakan luwes ia melepas kembali kacamatanya, ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia kuat, tak takut pada malaikat maut sekalipun.

.

"Panggil aku mama." Ucap Hinata tanpa melihat Obito. Mata cantiknya berkilat senang ketika si gendut membawa pula ibunya yang tampak sadis. Hinata terkekeh saat bayangan Prof Umbridge si kepala sekolah pengganti Dumbledore di Harry Potter tampak nyata di hadapannya. Tambun, menor dan tampak tidak menyenangkan.

.

Oh, kasihan sekali nasib ibu si gendut itu, karena Hinata takkan segan menghabisi musuhnya dengan cara yang tak bisa dipikirkan oleh akal logika. Menjatuhkan harga diri orang itu dengan membuatnya terbang dulu.

.

Hidan—sang bodyguard baru yang menjaga sang nyonya Uchiha menatap mainan baru sang Kaguya dengan tatapan prihatin. Tahu betul jika nyonya mudanya luar biasa sadis jika diperlukan.

.

Hinata tersenyum penuh kesopanan "Anda ibu dari anak ini?" Tanyanya halus.

.

"Kalau iya memangnya kenapa?!" tantangnya dengan mata yang sialan meremehkan.

.

Hinata memang sengaja memamerkan clutch cantik berwarna hitam Channel-nya, membuka perlahan seolah menggiring mata babi itu menikmati kemewahan yang tak bisa dijangkau si ibu gendut. Lalu gerakan tangannya yang luwes mengambil sebuah kartu nama dan menyerahkannya pada ibu si gendut.

"Ini kartu nama saya. Hari ini saya sedang berada di Tokyo, besok saya akan pergi ke luar kota. Saya akan mengundang anda sekeluarga untuk makan malam di salah satu restoran keluarga." ujar Hinata lembut tapi penuh perangkap.

.

Hinata Uchiha.

.

Sebuah gabungan nama yang tak biasa. Dia adalah pewaris Hyuuga yang menikahi Uchiha. Nama yang mega super, dan berpengaruh kuat. Mata itu itu mendadak membesar. Merasa luar biasa tertarik.

.

"Saya tunggu di Sky Tower, nyonya—"

"Akabane."

"Ya, Akabane." ujarnya dengan senyum sopan, senyum malaikat yang diajarkan oleh para Hyuuga untuk menutupi betapa culas hati mereka. Mereka pendendam dan siap menerkam mangsanya dengan sadis.

.

***p90***

...

..

.

"Kau harusnya tidak melakukan hal itu Hinata." Sasuke menatap tajam pada istrinya yang justru dibalas tatapan tanpa dosa. Perempuan itu memilih untuk mengabaikan segala perkataan Sasuke.

"Memangnya kenapa?"

"Pamer, uh— sama sekali bukan kau. Untuk apa kau memepermalukan mereka sedemikian rupa. Buang-buang waktu!"

.

Hinata tak bisa menahan dengusan kesalnya, "Bagimu ini tak perlu. Tapi bagiku itu penting. Karena apa yang berlabel milikku bukan hal yang bisa diremehkan. Mungkin ia hanya aib bagimu, tapi Tobi adalah ahli warisku Sasuke. Dan bagiku menghina dia sama dengan menghinaku."

.

"Tobi juga Uchiha kalau kau lupa, dia tidak perlu kau lindungi!" Sasuke gusar dengan kenyataan bahwa istrinya lebih mementingkan si anak pungut ketimbang imej keluarga mereka.

.

"Ah—" Hinata tertawa kering, "Sejak kapan ia bagian dari Uchiha? Mengakui kesalahanpun kau tak mampu, apalagi menerima dengan lapang dada hasil kebodohanmu."

.

Sasuke kehilangan kata-kata. Memilih bungkam dan mengetatkan rahang. Ia ingin mengunyah sesuatu sekarang, karena saking marahnya. Jadi yang ia lakukan sekarang hanya bisa mengurut pelipisnya yang berdenyut-denyut.

.

"Kembali ke meja makan sekarang, aku tidak suka Tobi menyalahkan dirinya sendiri."

.

"Kenapa?! Kenapa kita harus peduli padanya! Kenapa, kenapa—kau—harus peduli padanya." Sasuke memberi jeda pada sebutan kau, kepada Hinata. Tangannya tanpa sadar menunjuk dada istrinya.

.

Ia geram, benar-benar tak habis pikir. Ia sudah cukup tersiksa mendengar ocehan orang-orang di luar sana yang menyalahkan ia sebagai lelaki kufur nikmat yang menyelingkuhi istrinya. Dan makin geram saat keluarganya menjuluki Hinata gila, perempuan lemah yang bodoh. Ia tak suka seorangpun memanggil Hinata dengan sebutan tak hormat dan melecehkan namanya sebagai candaan.

.

Sungguh, Sasuke ingin merobek mulut mereka semua. Tapi kenapa Hinata justru mempersulit dirinya sendiri. Malah sepertinya justru sengaja melukai dirinya sendiri. Ia tak bisa membayangkan dirinya bila ditukar posisi dengan istrinya.

.

.

Mata Hinata terlihat memerah, ada kilat kemarahan yang tak bisa dibendungnya. Seolah topeng dinginnya koyak dan menampilkan sisi gahar yang tersembunyi. "Inilah kau, atau mungkin juga ayahku— atau lelaki lain lalukan di luar sana. Mereka tak pernah berpikir jika kesalahan perlu diperbaiki, bukan hanya sekedar minta maaf lalu selesai. Aku melihat jiwaku sendiri ketika melihat Tobi. Aku yang juga tak diinginkan oleh Hikari. Aku anak tiri yang tak diinginkan olehnya. Ayahku tak ingin repot mengasuhku dan tak merasa perlu memperhatikanku. Apalagi Hanabi yang menganggapku saingan untuk memperebutkan atensi keluarga. Bagi mereka semua, aku adalah penghalang. Aku sendirian dan tersiksa, bocah yang hanya bisa mengais kepingan perhatian dari ayahnya dengan menjadi sempurna. Tapi semakin aku sadar di mana tempatku berada aku hanya bisa marah dan terluka. Ada dendam yang bahkan jika aku membalasnya malah hatiku sendiri yang makin sakit. Kau tahu apa?! Apa yang dirasakan Tobi aku dulu pernah merasakannya. Aku tak diterima di rumahku sendiri." Hinata berbisik perih. Kalimatnya tajam bak pisau bermata dua. Melukai dirinya sekaligus Sasuke bersamaan.

.

Sasuke merasa jantungnya ditombak. Jebol. Dan darah makin merasuk di tubuhnya. Tak ada yang seimbang antara ia dan Hinata. Hinata sakit karena membenci. Dan ia sakit karena mencintai.

.

***p90***

.

.

Sayangnya Uchiha adalah bagian yang paling menggiurkan dari santapan pemburu berita. Para anjing itu benar-benar membuat berang. Sehari setelah makan malam berdarah yang melibatkan keluarga Akabane, hampir seluruh koran di kota itu mewartakan bahwa Sasuke memiliki anak haram yang kini bahkan diadopsi oleh istrinya sendiri.

.

Bukan keluarga Akabane yang menjadi ember bocor, tapi wanita jalang sialan yang bekerja pada Gaaralah yang buka mulut.

.

Bajingan keparat itu kini malah semakin di atas angin. Sasuke meremas kuat sebuah surat pemberitahuan yang diterimanya dari kurir keluarga Hyuuga.

.

Perjamuan makan malam dihelat. Khusus mendiskusikan perihal adopsi Obito. Sasuke dapat menebak bom waktu yang disimpannya. Seharusnya ia bisa menyingkirkan bom itu jika Hinata mau sedikit bersabar.

.

Tapi sialnya Hinata memang ingin membuatnya menyerah dengan menceraikan perempuan itu.

Cih! Tidak akan!

Hinata akan menyandang nama Uchiha seumur hidupnya.

.

***p90***

...

..

.

Undangan itu tak luput juga untuk Hinata sendiri. Ia sadar betul apa yang akan terjadi sekarang ini. Keluarganya pasti marah besar, merasa terhina dengan hal ini. Ayahnya yang kolot pasti memaksanya membuat pilihan dan memberikan tekanan pada Sasuke.

.

Mereka akan dipaksa tunduk pada sosiety—pada standar masyarakat. Hal yang tabu akan ditutup rapat-rapat dan disingkirkan sejauh mungkin.

.

Tapi Hinata lebih suka pikirannya sendiri. Anggaplah Obito adalah flu jenis baru. Daripada membunuh dan juga menyembunyikannya dari dunia, ia lebih memilih untuk menunjukkannya, betapa kita harus aware.

.

Hal yang dulu biasa dianggap kecil bisa mematikan di kemudian hari. Hal yang dianggap sepele oleh kaum borjuis—bermain wanita, bisa memporak-porandakan sebuah pondasi pernikahan. Tapi sosiety kadang menafikkan bahwa istri juga punya kuasa. Di mata mereka, suami selingkuh, atau punya wanita simpanan adalah hal yang lumrah bagi orang kaya.

Mereka lupa, istri juga punya hati dan juga harga diri yang sama. Jika istri yang selingkuh maka suami sepertinya wajib menceraikan tapi hal itu tak berlaku jika suami yang selingkuh.

Hinata menarik napas. Suatu gebrakan dengan menarik Obito dalam pusarannya. Bukan sebagai adopsi Hinata Uchiha, tapi diadopsi sebagai anak Hinata Hyuuga.

Inilah yang membuat murka ayahnya.

.

.

Mengabaikan hal itu, Hinata tak ingin berlarut dalam spekulasi. Memilih untuk menyiapkan Obito ia maju dengan langkah tegap.

.

Obito dipilihkan jas terbaik, juga masuk ke salon untuk berbenah. Ia ingin membuat keluarganya sendiri mengakui Obito, mau tak mau.

.

***p90***

...

..

.

Sebelum memasuki rumah musim panas keluarga Hyuuga yang bertempat di Osaka, Hinata menarik tangan manusia kecil yang merubah hidupnya.

.

Dalam keremangan lahan parkir kompleks peristirahatan keluarga itu, Hinata berlutut, matanya menatap mata Obito dalam-dalam. Menyelami mata serupa suaminya—namun mata itu berbeda.

.

Perbedaan yang tak mampu disangkal oleh Hinata. Mata yang ditatapnya ini masih polos dan juga rapuh. Bibir Hinata tersenyum tangannya yang ramping menuju kerah kemeja Obito lalu merapikannya dengan telaten.

.

Hinata mengeluarkan dasi kupu-kupu dari kotaknya, kemudian memasangkannya ke leher sang anak.

.

"Dengarkan kata-kataku karena aku takkan mengulanginya Obito. Jadilah lebih kuat. Sangat kuat bahkan jika kematianpun datang ia akan meminta ampun kepadamu. Tegakkan kepalamu, karena sekarang kau adalah Tobi Uchiha. Kita akan membuat mereka memohon untuk dikasihani. Jangan menyerah terhadap apapun. Ingat itu, oke."

.

Obito langsung memeluk leher Hinata erat-erat. "Katakan kalau mama nggak akan meninggalkan aku. Kenapa mama selalu berkata seolah-olah akan pergi jauh?!"

.

Hinata menepuk-nepuk punggung anak lelaki yang kini menjadi anaknya. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Bahkan jika aku ingin lari, maka kau akan kuajak. Tapi dengarkan aku Tobi, kau harus jadi anak yang kuat. Jangan dengarkan semua caci maki mereka. Kau putraku dan takkan ada seorang pun yang boleh menyangkalnya."

.

"Jadilah titanium. Sepertiku." Hinata menerawang, matanya berkilat penuh tekad. Ia sadar, bahwa hidup itu keras. Seperti kata Charles Darwin, bahwa seleksi alam berlaku di manapun. Yang lemah akan dilibas dan disingkirkan oleh yang kuat.

.

.

***p90***

.

.

.

Hinata melihat wajahnya yang berantakan, kuyu dengan lelehan maskara yang membuat wajahnya seperti baru saja melewatkan pesta Halloween, ditambah lagi dengan rambut kusut yang basah karena keringat yang semenjak semalam membanjirinya. Bibirnya merah. Tanda ia tak sehat. Jelas beberapa kali sesi muntah di pagi buta menjelaskan segala hal yang ia alami. Ironisnya ia justru tertawa-tawa. Dia merasa hidupnya lucu, dia jelek tapi bahagia. Pikirannya benar-benar cerah, seperti menang taruhan dan siap menjadi milyarder.

.

Tangannya gemetaran meraih ponsel. Lalu menekan angka 5.

.

Beberapa kali bunyi sambungan membuat dirinya gusar. Tapi ketika line telepon di ujung sana terangkat, ia merasa lega yang selega-leganya.

.

"Hallo—"

"Bibi," panggil Hinata riang. "Game over." Lanjut Hinata penuh dengan antusiasme.

.

Tak ada sahutan di ujung sana, membuat Hinata memeriksa kembali ke layar ponselnya. Dan detikan waktu bicara masih berjalan merupakan bukti bahwa sambungan masih berlanjut.

.

Hinata mendengarkan beberapa detik yang hening namun kemudian suara Lady M mengalun. Wanita itu terkekeh, seolah ikut merayakan bahwa Hinata sudah merayakan keberhasilannya. "Baiklah, akan kuberikan kau hadiahmu." Ucapnya dengan tawa riang yang ditulari Hinata.

.

***p90***

...

..

.

Langkah Sasuke tergesa. Di belakangnya, sang asisten Juugo dengan setia mengekor. Ucapan Hidan begitu membuatnya nyaris mati berdiri.

.

Hinata kabur?!

Sialan!

Apa saja kerjanya si Hidan itu, huh?! Kalau mengatasi satu orang perempuan saja ia tak becus!

Oh, mungkin saja si Sasuke lupa bahwa satu perempuan itu juga seorang Uchiha yang bahkan menjadi anak emas bibinya yang memang menguasai jaringan Yakuza di provinsi itu. Mungkin juga Sasuke masih lupa, bahwa pamannya Madara—sang Perdana Mentri itu—bisa tunduk dengan gampang ditangan sang bibi yang mengiming-imingi mau hamil lagi asalkan si paman memudahkan Hinata bisa menghilang dengan satu mantra; "Bye-bye."

.

Berengsek semuanya!

Sasuke mengumpat geram. Tingkat level kemarahannya sudah tidak bisa mentolerir keadaan ini.

.

Untuk apa dia harus membayar mahal agen dari Rusia itu jika istrinya sudah pergi ke antah berantah sana.

.

Hidan membungkuk sebentar ketika Sasuke datang. Kemudian berdiri tegak kembali dengan tampang datar. Ia tahu ia telah kecolongan, tapi sebagai seorang Agen, ia pantang meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahannya.

.

"Kau bilang bibiku datang." tanya Sasuke gusar.

.

"Betul, dan Bibi anda berkata ada masalah dengan CCTV yang ada di rumah ini."

.

"Dan kau pergi ke ruang pengawas lalu meninggalkan istriku bersama Mei Terumi?" Sasuke memekik, ia geram dengan kenyataan itu.

.

Hidan diam dan membiarkan Sasuke mengamini saja prasangkanya itu.

.

Sasuke memijit pekipisnya. "Kau tahu sekali Hinata kabur dari sini, maka akan sangat sulit melacaknya. Apalagi Lady M akan melindunginya. Itu berarti kepolisian seluruh Jepang pun akan angkat tangan mengenai hal ini. Tcih! Sialan sekali." Sasuke merasa kepalanya pecah dan ia segera duduk untuk membuat tubuhnya agar tak ambruk

.

"Tapi bos, Nyonya meninggalkan ini." Kata Hidan sambil mengeluarkan flasdisk dari sakunya. "Kupikir ini petunjuk yang penting."

.

***p90***

...

..

.

I wished you the best of
All this world could give
And I told you when you left me
There's nothing to forgive
But I always thought you'd come back, tell me
All you found was heartbreak and misery
It's hard for me to say,
I'm jealous of the way
You're happy without me

.

.

Sasuke tahu, bahwa kali inipun jika Hinata memintanya untuk mengemis cintanya sekali lagi, maka ia akan meladeni. Bahkan jika istrinya memintanya kembali ke rumah utama Hyuuga maka ia akan menyanggupi tanpa mengeluh.

.

Karena sekarang ia punya alasan yang lebih kuat ketimbang komitmen yang kadang bisa lepas. Sebuh simpul yang mengikat dirinya dan Hinata. Sebuah jaminan kebahagiaan yang ingin ia raih kembali.

.

.

.

H

A

B

I

S

.


author note:

(jangan kabur dulu gaes. Di bawah A/n ini ada lanjutannya loh.)

.

END?!

Gitu aja?

.

Jawabannya adalah ya.

.

Terimakasih kepada semua pihak yang mendukungku, teman, reviewer, silent reader. Tanpa kalian, ceritaku ini tak pernah bisa sampai ke tahap ini.

.

Kepada kalian yang mungkin menganggap ending ini nggak memuaskan, maka saya sarankan untuk membacanya di Wattpad saja karena di sana adalah versi whole series nya. (21chap gaessss. Puas kan?)

.

Terimakasih telah menjadi kawan seperjuangan saya. Kalian lebih dari sekedar TELOLET yang bikin saya bahagia karena katanya bahagia itu sederhana.

.

Salam haru.

Poochan. #Hug.

.

.


.

.

Sasuke memandang layar komputernya dengan perasaan campur aduk. Di sana istrinya yang cantik tampak pucat. Rambutnya kusut dan matanya berkaca-kaca.

.

Tapi perempuan itu justru tersenyum, tulus. Benar-benar sebuah senyuman yang sampai ke matanya. Bukan senyuman meremehkan yang biasanya bertengger di bibir.

.

Perempuan itu melihat ke kamera, lalu memperlihatkan alat pengetes kehamilan.

.

"Aku hamil." Katanya sambil menarik napas supaya ingusnya tak jatuh. "Aku jelek kan." Katanya sambil mengusap air mata yang berlelehan di mata cantiknya.

.

Tangan Sasuke terulur guna menyeka air mata yang membuat maskara si perempuannya luntur. Di matanya sekarang Hinata cantik, selalu cantik dan bertambah cantik. "Sayang..." bisiknya penuh kerinduan. Meski tentu saja ia paham bahwa yang diusapnya adalah layar, tapi mana lelaki itu peduli akan hal remeh itu. Di matanya hanya ada kebahagiaan yang ditularkan Hinata lewat pixel-pixel cahaya itu.

.

DEMI KAMISAMA!

Hinata baru saja kabur dua jam yang lalu, tapi seolah-olah ia sudah ditinggalkan setahun. Dan liciknya perempuan itu membawa hal besar yang paling diinginkannya. GILA! EDAN HINATA! Semua umpatan berlarian dari mulutnya.

.

Tapi suara tawa Hinata membuatnya fokus kembali. "Aku sudah menang, Sasuke." Katanya puas, tapi matanya menyiratkan kepedihan, "Tapi kau tak pernah benar-benar mencintaiku. Bahkan ketika semua benang kusut ini terurai aku masih bertanya-tanya kenapa kau menikahiku selain mendapatkan warisan Uchiha."

.

"BERISIK!" Ucap Sasuke marah. "Tahu apa kau soal hatiku. AKU MENCINTAIMU, BODOH. TAPI KAU SELALU MENDORONGKU MENJAUH!" Raung Sasuke, meski si perempuan tak ada di hadapannya. Hanya ada Hinata yang tersenyum sendu di layar laptopnya. Sialan wanita itu, setelah berhasil menerbangkan angannya hingga mencapai bulan—sebagai seorang ayah, lalu dengan sadisnya perempuan itu meninggalkannya sendiri di tengah lautan pernikahan mereka yang sudah tenang tanpa prahara. Ketika keluarga Hyuuga sudah menjadikan dirinya sebagai bagian mereka. Saat ia mampu menjadi ayah untuk Obito, dan mereka telah menjadi keluarga yang utuh. Lalu mengapa si Kaguya malah kabur?

.

Sialan si muka boneka Hinata. Sasuke tersedu karena bahagia sekaligus kesal. Rupanya, mereka telah sampai di titik ini. Membuka lembaran baru yang kosong sampai sanggup membuat Sasuke memintahkan kegalauannya.

.

"Lihat saja. Kalau aku menangkapmu kembali, kau akan kukurung. Kau harus merasakan balasannya." ancam Sasuke di depan layar.

.

Tapi alih-alih takut, di dalam layar sana Hinata terlihat puas akan kemenangan yang didapatnya dengan curang.

.

.

Drrrttttt

Drrrtttt—

.

Getaran di saku celananya makin menggila. Benar-benar benda keparat. Sasuke nyaris membantingnya ketika ia sempat melihat deretan angka nomor telepon sekolah asrama anaknya.

.

"Hallo?" kata Sasuke, sebelah tangannya menekan tombol pause di laptopnya.

"Ayah,"

"Hn?"

"Apa kalian baik-baik saja? Kenapa mama di asaramaku sekarang?"

Bahu Sasuke menegang, "Dengarkan ayah nak, jangan biarkan mamamu pergi. Dia sedang hamil, harusnya dia tak bepergian jauh." sambarnya.

"Oh, Oke. Aku akan menahan mama di sini. Jadi, aku akan punya adik kan?"

"Ya."

"Yes. Itu keren sekali. Apakah adikku cewek?"

"Kita tidak tahu sebelum memeriksanya. Suruh mamamu istirahat. Aku akan segera menjemputnya. Kita akan ke dokter bersama."

"Hmm."

"Errr—mamamu sedang marah. Jangan katakan kalau ayah menyusul ke sana oke."

"Oke. Oke."

.

.

***OWARI***