"Bertahanlah, Shouyou."
Sosok wanita dengan senyum terlembut yang pernah Hinata lihat berlutut di hadapannya, memandikannya dengan kehangatan kasih sayangnya. Sebuah tangan yang keriput akan kerja keras jatuh lembut menimpa surai oranye Hinata dan mengusapnya pelan.
"Sebentar lagi… Sebentar lagi, kau akan mewujudkan impianmu."
Hinata mendongak, dan perlahan merekahkan senyum melihat kedua mata gelap yang penuh akan janji bahwa esok hari akan selalu baik. "Kaa-chan…"
"Jangan pernah menyerah, Shouyou." Kali ini, sebuah suara laki-laki mengangkat suaranya. Kozume sudah berdiri di sampingnya, matanya tenang seperti biasa, tapi menyaratkan sebuah dukungan untuk Hinata.
Hinata baru saja akan memindahkan senyumannya pada sahabatnya itu ketika kedua sosok tersebut mendadak menghilang begitu saja bagaikan kabut yang diterjang sinar matahari. Segalanya mendadak berubah gelap. Awan-awan putih yang semula berarak di sekeliling mereka berubah menjadi gulungan angin gelap yang mengamuk.
Di hadapan Hinata, bukan dua sosok itu lagi yang muncul, melainkan siluet seorang raja dengan mata biru tajam yang sangat Hinata kenali. Wajah raja itu terangkat penuh keangkuhan, matanya melihat ke bawah, menusuk nyali Hinata yang kini tengah berlutut tak berdaya.
Ia berusaha menggerakkan tangannya, mulutnya, kakinya—apapun. Tapi nihil, dirinya seolah terpaku begitu saja di sana. Dengan posisinya saat ini, mau tak mau pandangannya harus bertemu dengan kedua biner mengerikan itu lagi.
Hinata yakin sekali ia melihat ujung bibir sang raja terangkat ke atas.
"Menyerahlah seutuhnya kepadaku…" Mata itu melebar seiring dengan setiap suku kata yang mengalir penuh penekanan dari mulutnya. "Budak."
Dan Hinata terbangun dari tidurnya.
.
.
Start The Game
.:KageHina:.
(with minor pairs, aka—KuroKen, DaiSuga, KiyoYachi, UkaTake, IwaOi, AsaNoya and more to come!)
Gaming Industry/Game Maker/Gamer AU
Haikyuu! © Furudate Haruichi
Warnings: chapter ini mengandung sedikit bumbu DaiSuga dan AsaNoya
.
Chapter 6: It's Not That Bad
.
.
Jika seseorang menanyakan apa harapan Hinata saat ini, ia akan segera menjawab tanpa ragu—
Hinata ingin tidur nyenyak.
Sudah berapa lama ia berada di Capcorn? Sekitar satu minggu. Dan selama itu juga, ia jarang sekali mendapatkan tidur cantiknya, terutama akhir-akhir ini. Kemarin juga. Kemarinnya lagi juga. Setelah ia sejenak berpikir, alasan kurang tidurnya ini sama.
Kageyama. Tentu saja, siapa lagi yang bisa membuat Hinata sedemikian menderita? Ketika Hinata mendapatkan masalah, selalu Kageyama yang menjadi akarnya. Meskipun wajah sang bos tak terlihat terlalu marah—ia harap memang begitu—tapi hati nurani Kageyama ternyata jauh lebih jahat.
'Mulai sekarang, kau adalah budakku.'
Bagus sekali. Setelah masalah perkelahian kemarin, sekarang ia mendapat hadiah baru? Kalau Hinata tahu bahwa menjumpai wajah Kageyama akan berujung pada dirinya yang menjadi budak, ia lebih baik memilih untuk bermarah-marahan dengan Kageyama selamanya.
Tapi, sekeras apapun ia berharap, memang beginilah adanya. Nasi telah menjadi bubur. Hinata telah menjadi budak. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Salahnya sendiri yang sudah memasang topeng sok berani, alih-alih dirinya masih luar biasa cemas di dalam.
Ini dia. Hinata menatap pintu berdaun satu itu dengan pandangan kesal bercampur cemas. Entah apa yang akan Kageyama lakukan begitu Hinata secara resmi menjadi budaknya sekarang, tapi bohong kalau Hinata bilang ia tidak takut.
Maksudnya, Kageyama menganggap dirinya majikan. Atasan. Seseorang yang bisa dengan senang hati memerintah Hinata. Sementara Hinata tak lebih dari seorang bawahan yang sekaligus menjadi budaknya. Pria berkepala hitam itu bisa melakukan apapun pada Hinata. Bisa meminta apapun. Segalanya adil-adil saja, karena ia memang memenangkan Shougeki.
Hinata menghembuskan nafas, tubuhnya bergetar seiring dengan perasaan takut yang menggerogoti bagian dalamnya. Kira-kira apa yang akan Kageyama lakukan padanya? Entah. Hinata sama sekali tak bisa menebak isi kepala pria tempramental itu.
Namun, cepat atau lambat Hinata juga akan berhadapan dengan Kageyama, tak peduli ke mana saja ia melarikan diri. Nantinya ia juga pasti akan menemukan atau ditemukan Kageyama, dan pria yang bersangkutan juga akan memberikan titah perdananya kepada budak barunya. Alasannya sederhana—mereka satu kantor. Dan Kageyama adalah atasan Hinata yang jelas menyimpan data semua karyawannya.
Jadi, Hinata menyimpulkan, tak ada gunanya melarikan diri.
"Baiklah. Let's… just get this over with." Hinata menghela nafas sekali lagi, kemudian dengan tangan yang sedikit bergetar, ia mengetuk pintu yang mulai menjadi familiar di matanya itu dengan ragu.
Seperti biasa, Kageyama berangkat pagi sekali. Ia telah berada di dalam kantornya, karena sedetik setelah Hinata mengetuk pintu, suara yang terdengar sangat halus ketika jiwanya sedang tenang itu mempersilakannya masuk.
Hinata menangkap bibir bawah pada giginya, sebelum membuka pintu dengan pelan sekali dan masuk.
Ruangan Kageyama sama sekali tak berubah sejak Hinata terakhir kali mengunjunginya. Penerangan di dalam sana hanya berasal dari lampu meja, sehingga suasana di sana remang-remang seperti biasa. Hinata tak lagi heran kalau Kageyama memakai kacamata seperti sekarang. Dasar, ia tak bisa menjaga kesehatan matanya sendiri.
Penglihatan Hinata mendarat pada tirai hijau gelap yang tampak belum tersentuh sedikit pun. Ia menaikkan sebelah alisnya akan hal itu, dengan sedikit terlalu santai memberitahu Kageyama yang tak sekalipun mendongakkan kepala dari komputernya, "Kau tidak membuka tiraimu? Sudah agak siang, lho."
Kageyama hanya menjawab dengan gumaman. "Sebentar lagi aku selesai."
Hinata menatap punggungnya sambil mengerutkan otot di sekitar hidung, membuat ekspresi pahit. "Kau ini betah sekali kerja, ya? Dasar… Sukanya juga gelap-gelapan, lagi. Matamu jadi rusak, tuh."
"Memang dari dulu sudah rusak," timpal Kageyama asal. Jemari kedua tangannya masih sibuk berlarian di atas keyboard.
Hinata berjalan menuju tirai itu, dengan baik hati membukakannya untuk Kageyama dan mempersilakan cahaya matahari merangsek masuk. Cahaya dari lampu meja tak lagi begitu mencolok sekarang, kalah akan sinar sang mentari. Setelah membuka kedua jendela lebar-lebar, menghirup udara pagi yang masuk dari luar sebentar, Hinata berbalik menghadap Kageyama. "Sejak kapan kau berada di sini?"
Ia hanya ingin tahu, karena kelihatannya Kageyama selalu berangkat lebih awal dan pulang lebih malam. Jika saja ia bukan seorang diktator, pasti ia pantas menjadi panutan.
"Kau berisik," balas Kageyama ketus, yang membuat Hinata cemberut seketika.
"Hei… Aku hanya penasaran. Tidak perlu sejengkel itu, kan?" Kedua bahu menurun lemas, lelah menghadapi sikap bos yang satu itu. Tak tahu harus melakukan apa lagi—karena memulai percakapan sepertinya akan membuat Kageyama risih—Hinata berjalan menuju salah satu sofa empuk Kageyama dan merebahkan diri di atasnya.
Suara anak-anak keyboard yang ditekan sudah menghilang entah sejak kapan, mungkin baru saja, dan Hinata menelengkan kepalanya untuk dapat melihat Kageyama dengan jelas dari tempatnya berada. "Mmn... Kau sudah selesai?"
Yang menjadi jawaban Hinata lagi-lagi adalah sebuah gumaman. Lantas terdapat suara langkah kaki samar-samar. Bersamaan dengan itu, Hinata melihat Kageyama berjalan ke arahnya. Ia buru-buru menjauhkan punggungnya dari sofa dan menegakkan badan, kedua tangan di atas lutut untuk mengantisipasi kejadian selanjutnya.
Hinata menelan paksa ludah yang terasa mengganjal di pangkal lidah. Ini dia. Sebentar lagi akan datang titah sang raja.
Sekitar tiga puluh detik kemudian, Kageyama menampakkan diri dalam sudut pandang Hinata. Sebuah erangan lelah terbebas dari balik tenggorokannya selagi ia ambruk di atas sofa pada seberang Hinata. Pelan-pelan, ia melepas kacamata ber-frame hitamnya, lalu mengusap matanya pelan, memijit-mijit otot di sekitar lingkar mata yang tegang.
Keadaan hening. Tak ada yang ingin berbicara pada saat itu. Kageyama sibuk mengusir kelelahannya dan Hinata memandanginya dengan cemas—baik cemas kepada dirinya yang sebentar lagi akan diperintah sebagai budak, juga cemas kepada kondisi kesehatan Kageyama.
Akhirnya, sebagai individu yang memang tak betah dengan suasana garing, Hinata memutuskan untuk angkat bicara, "Kau baik-baik saja?" Ia memajukan badannya sedikit untuk mengamati Kageyama. "Ini masih pagi, tahu. Setidaknya simpan energimu untuk nanti."
"Shut up," balas Kageyama dengan menjengkelkan. Sepertinya ia tidak tahu cara berbicara dengan orang lain tanpa membuat lawan bicaranya marah. Meskipun jika diamati dengan baik, volume yang keluar begitu lirih jika dibandingkan dengan biasanya. Jadi, Kageyama memang lelah, ya? "…Kopi."
Hinata mengerutkan kening. "Hah?"
Kageyama mengeluarkan sebuah helaan nafas yang agak panjang sembari menghempaskan tubuh dan kepalanya di atas sofa, kedua lengan masih mencoba merelaksasi kedua matanya. "Belikan aku kopi," lirihnya.
Kemudian Hinata tersadar, bersamaan dengan punggungnya yang kembali menegak, bahwa ini adalah perintah pertama Kageyama kepadanya. Hinata ingin memprotes dan menyuruh Kageyama untuk membeli kopinya sendiri, tapi hari itu lain. Hari itu ia tidak bisa melakukannya. Ia telah menjadi… budak Kageyama. Dan entah hal mengerikan macam apa yang akan Kageyama lakukan kalau Hinata sampai membantahnya.
Maka, Hinata meremas fabrik celananya pelan, mencoba sebisa mungkin untuk menjadi… budak yang cekatan. Seberapa menolaknya ia untuk menjadi seorang budak, Hinata masih lebih takut akan bayang-bayang Kageyama yang mengamuk di luar kendali. "Eng… Dari cafetaria atau vending machine?"
"Cafetaria," jawab Kageyama pelan. Salah satu tangannya turun dari kepala untuk merogoh sebuah dompet dari saku celananya. Hinata mencoba untuk tak melihat seberapa tebal dompet itu dan justru memancangkan pandangannya pada dua lembar uang kertas yang Kageyama berikan padanya. "Ah. Setelah itu jangan lupa mampir di kantor Daichi-san. Ambilkan berkas di sana. Bilang saja kepadanya kalau kau sedang… dimintai tolong olehku. Daichi-san akan mengambilkannya untukmu."
Hinata mengangguk mengerti. "Got it," katanya seraya beranjak dari sofa berbau cologne Kageyama itu. Hinata tidak ingin mengakui hal ini pada siapapun, tapi sedari tadi ia memang menyadari bahwa bau Kageyama ada di mana-mana, di dekatnya, di sekelilingnya, dan Hinata hampir saja terlena oleh bau itu andai kata ia terus berdiam diri di sana. "Kopi dan berkas dari Daichi-san, kan? Sementara aku pergi, sebaiknya kau istirahat dulu."
Bahkan Hinata sendiri juga heran dengan nada lembut yang ia gunakan saat itu, tapi pikiran tersebut tersamarkan di dalam benaknya tatkala ia harus menyembunyikan sebuah senyuman melihat Kageyama yang langsung menuruti sarannya, merebahkan diri dengan santai di atas sofa itu.
Agar tidak mengganggu orang penting yang sedang beristirahat itu, Hinata menutup pintu dengan pelan, sebisa mungkin tak mengeluarkan suara. Dua lembar uang yang tadi Kageyama berikan kepadanya ia jejalkan dalam-dalam di sakunya, sekali lagi tak ingin terkena amukan Kageyama karena hal sepele semacam uangnya jatuh di jalan.
Langkah yang ia ambil dari sana baru satu, dua, tiga, ketika seluruh pergerakannya terhenti. Matanya membola pertanda ia menyadari sesuatu, dan sebuah tarikan nafas kaget terdengar dari mulutnya.
"Tadi itu… ternyata tidak begitu mengerikan."
Di luar dugaan, Kageyama tidak melakukan apapun kepadanya. Bisa jadi Kageyama bersikap sedikit lembek lantaran ia masih kelelahan, tapi kelihatannya Hinata akan baik-baik saja selama ke depannya, selama ia juga tidak mencari masalah.
Hal itu membuat Hinata membuang nafasnya yang tertahan dengan penuh kelegaan.
Mulai saat itu, ia harus bekerja dengan lebih keras agar dirinya tak lagi menciptakan api kecil yang dapat membakar seluruh bagian dari hutan lebat.
XOXO
Kantor Sawamura berjarak lebih dekat dengan kantornya, jadi Hinata memutuskan untuk menjadikan tempat itu destinasi pertamanya.
Di tengah jalan, ia tak menyangka akan menemukan Nishinoya yang sedang duduk di ujung koridor pada salah satu sofa yang ditata membundar, di dekatnya terdapat beberapa vending machine tempat sekaleng minuman hangat di depannya berasal. Pria eksentrik itu menenggelamkan dirinya pada sofa tersebut, kepala berada lebih rendah dari lututnya, dan ia nampak sedang membaca sesuatu yang menyerupai sebuah buku atau majalah.
Saat Hinata berada cukup dekat dengannya, ia hampir tersedak akan ludahnya sendiri setelah menyaksikan kover buku tersebut yang menampakkan gambar seorang gadis bersurai pink dengan wajah imut-imut dan mata besar yang memelas. Tanpa perlu berpikir lama, Hinata dapat segera tahu bahwa yang Nishinoya baca adalah sebuah doujinshi dari anime… err, ecchi terkenal, berjudul To Love sesuatu. Hei, Hinata jarang menonton anime ecchi, jadi jangan salahkan dirinya yang terkesan awam akan hal ini di saat semua pria di seluruh penjuru Jepang nampaknya tahu.
Seketika, Hinata takut kalau-kalau yang Nishinoya baca adalah doujinshi berlabel not safe for work. Jika melihat wajah pria tersebut yang damai-damai saja, Hinata harap doujinshi yang sedang dipegangnya itu aman.
"Noya-san!" Hinata memanggil programmer itu dengan sebuah lambaian santai. "Sedang apa di sini?"
Yang merasa dipanggil segera memindahkan pandangannya dari manga di hadapannya kepada sosok secerah matahari yang tengah menghampirinya. Senyuman lebar segera mengembang pada wajahnya, dan ia mendaratkan kedua kakinya yang semula berada di atas sofa. Sopan sekali. "Oh, Shouyou! Pagi seperti biasa, ya!"
Tentu saja ia berangkat pagi. Hari ini adalah debutnya sebagai budak Kageyama. Daripada menyerahkan dirinya untuk dihabisi Kageyama karena datang siang, lebih baik ia memaksa dirinya untuk menjadi rajin.
"Um. Well. Begini begini, aku masih newbie…" Hinata berusaha menahan raut getirnya, kedua tangan ditautkan di balik punggung dengan pandangan ingin tahu. "Ngomong-ngomong, itu doujinshi?"
Nishinoya memandangi buku di tangannya dan mengangguk semangat. "Yeah. Aku baru saja beli ini di event C89 kemarin. Awalnya, aku tidak menyangka akan ada yang menggambar To Love Ru. Kau tahu, waifu setiap orang terus berbeda-beda seiring pergantian musim, jadi aku kira mereka akan menggambar waifu dari anime yang tayang musim ini." Nishinoya mengangkat doujinshi itu tinggi-tinggi dengan pandangan luar biasa senang. "Ternyata, masih ada orang baik yang mau setia menggambar Momo-chan! Beribu terima kasih untuk orang itu!"
Harusnya Hinata sudah dapat menduga kalau arah pembicaraan mereka akan berujung pada waifu dan anime. "Oh. S-Syukurlah…" Hinata memaksakan sebuah tawa canggung. Ia tak tahu harus berkata apa dalam keadaan seperti ini.
"Kau seharusnya menghadiri event C89, Shouyou! Semua mangaka berasa… all-out. Kau tahu, mereka mengeluarkan seluruh kemampuan mereka dalam menggambar. Mungkin ada hubungannya dengan New Year Wish, berhubung tanggal event jatuh pada bulan Desember."
"All-out… ya?" Hinata menatap kover doujinshi di tangan Nishinoya sekali lagi. Otaknya memercikkan sepenggal memori mengenai dirinya ketika masih mengenyam pendidikan pada sebuah universitas.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak bagus, Hinata atas saran Kozume mencoba untuk menggambar sebuah doujinshi ringan untuk dijual di event yang akan datang. Mulanya, Hinata merasa minder, takut karyanya tidak laku, tapi di luar dugaan semua orang tertarik pada gambaran Hinata yang menurut mereka bagus. Pada penghujung acara, semua doujinshi buatan Hinata terjual habis. Laris manis. Bahkan Hinata sendiri sampai harus mencubit pipinya berkali-kali untuk meyakinkan diri bahwa kejadian itu bukan mimpi belaka.
Sejak saat itu, Hinata memang tak lagi sempat membuat doujinshi, dan tidak begitu memiliki minat untuk melakukannya. Namun, begitu ia mendengar Nishinoya bercerita tentang doujinshi dan gambar dengan begitu semangat, Hinata jadi memikirkan kembali keputusannya untuk menggambar doujinshi lagi.
"Kalau aku punya uang, pasti aku sudah memborong banyak. Doujinshi-nya bagus-bagus, jadi aku bingung." Nishinoya mengedikkan bahu, menghempaskan punggungnya sekali lagi ke sofa yang didudukinya. "Yah, setidaknya aku tidak pulang dengan tangan hampa. Aku beli ini," Nishinoya mengangkat buku itu lagi, lantas menaik-turunkan alisnya dengan maksud menggoda, "dan beberapa… R-18."
Hinata melebarkan mata, diam tercengang selama sekian detik, dan akhirnya hanya bisa mengeluarkan tawa garing. "B-Baguslah kalau begitu…" Mungkin harusnya ia juga memikirkan kemungkinan bahwa Nishinoya tertarik dengan hal-hal semacam itu. Bagaimanapun juga, ia telah berkali-kali menunjukkan tanda-tanda memiliki otak ngeres ketika ia bersama Tanaka. "Event-event seperti itu kelihatannya menarik, ya."
"Memang menarik, kok!" sahut Nishinoya dengan semangat. Sebuah seringai muncul, menggantikan senyuman normalnya. "Mungkin sebaiknya kau menyumbangkan doujinshi untuk dijual, Shouyou. Syukur-syukur yang R-18. Maksudnya… biar aku juga bisa memintanya darimu secara gratis! Haha."
Tangan Hinata bergerak sendiri untuk menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Andai saja Nishinoya tahu bahwa ia memang seorang penggambar yang cukup handal… "Kalau aku menggambar doujin semacam itu, kemungkinan besar aku akan banyak menyensornya."
"Eh!? Kenapa, Shouyou!? Itu menyiksa para pembaca, namanya!" Nishinoya mengerucutkan bibirnya, bermaksud ngambek, dan Hinata tidak bisa menahan tawanya melihat ekspresi aneh itu. "Tapi serius. Setidaknya kau harus ikut, paling tidak sebagai pembeli. Kita bisa mengajak Ryuu, sekalian dengan kakaknya, Saeko-nee-san… Kemudian Bokuto, Kuroo, Kozume, dan bahkan Kageyama!"
Hinata terbatuk kecil. Membayangkan Kageyama yang bermuka canggung dan serius itu pergi ke event doujinshi, rasa-rasanya terlalu aneh. "A-Aku tidak bisa membayangkan ekspresi Kageyama…" Hinata membiarkan dirinya terbatuk kecil untuk menyamarkan tawanya. Usai merasa lebih tenang, ia merekahkan senyuman pertanda setuju. "Tapi, usulmu boleh juga, Noya-san. Tidak ada salahnya pergi ke sana kapan-kapan, bersama semua orang."
"Sip!" Pria bersurai jabrik itu mengacungkan sebuah jempol. "Aku jadi tidak sabar menunggu comic market selanjutnya. Kemungkinan besar Ushijima-san tidak akan mengizinkan kita rekreasi di tengah pembuatan game, jadi kita tidak akan bisa hadir di event musim semi ini. Tapi, yah!" Nishinoya bangkit, meregangkan tubuh, dan berjalan mendekati Hinata. "Masih ada banyak waktu! Lebih baik nikmati saja setiap detiknya."
Hinata mengangguk, senyumnya tanpa sadar melebar. Nikmati setiap detik dari hidupnya, ya? Ia hampir tidak sempat memberi sugesti demikian pada dirinya sendiri karena belakangan ini ia terlalu sibuk memikirkan kemungkinan negatif. Padahal, ada banyak hal kecil di dalam kehidupannya yang bisa menyalakan kembali kebahagiaannya yang padam.
Tidak seperti tampangnya yang tak meyakinkan, Nishinoya adalah sosok yang cukup bijak.
"Jadi, beralih dari topik comic market…" Tangan Nishinoya terangkat untuk selanjutnya mendarat di atas salah satu bahu Hinata. Wajahnya yang masih penuh akan semangat pun mendekat pada wajah Hinata sendiri, sementara tangan lainnya merangkul pundak si kouhai. Pasti ada maksud tersembunyi di balik cengiran lebar itu, pikir Hinata yang merasa tidak enak. "Bagaimana dirimu dengan si Kageyama?"
Nah. Baru saja Hinata merasa ada yang tidak beres dengan Nishinoya.
Hinata mengabaikan raut wajah Nishinoya dan berusaha untuk mengeluarkan nada sestabil mungkin. "B-Bagaimana apanya?"
"Ah, kau ini. Selalu saja malu-malu untuk mengaku," Nishinoya menggoda, menyiku pelan punggung Hinata. "Kau jadi budaknya, kan? Pasti Kageyama telah melakukan sesuatu padamu. Pasti dia memerintahkan sesuatu yang iya-iya, kan?"
Hinata lekas menggeleng. "Tidak! Mana mungkin! D-Dia hanya… memerintahkan hal biasa, kok!"
"Yakin?" Nishinoya memandangi Hinata dari dekat, membuat sang newbie kian merasa tidak nyaman. "Menurut instingku, dia harusnya 'menandai' tubuhmu sebagai budak pagi ini…"
Mendengar implikasi dari kalimat Nishinoya, Hinata tak bisa menolak kehadiran warna merah pada wajahnya. "Noya-san! Dia tidak melakukan hal seperti itu!" Hinata membebaskan dirinya dari Nishinoya untuk mengibas-ngibaskan tangannya. "Kageyama hanya memintaku membeli kopi dan mengambil berkas dari kantor Daichi-san. Sungguh."
Nishinoya mengangkat alisnya, memandangi Hinata dengan cukup lama, dan akhirnya menyerah. "Awww… Padahal kukira aku bakal mendapatkan bahan untuk dijual ke cewek-cewek…"
Hinata membeku mendengar hal itu. "Bahan?"
Nishinoya mengakhiri diskusi dengan lambaian tangan. "Bukan apa-apa. Nah, setelah ini kau mau ke mana?"
Benar juga. Itu mengingatkannya pada tugas yang Hinata emban. Seharusnya ia sedang berada di dalam kantor Sawamura sekarang. Hinata harap, Kageyama dapat sedikit mentolerir kepergiannya yang cukup lama.
"Aku baru saja akan ke kantor Daichi-san dulu," jawab Hinata santai. "Kalau Noya-san?"
"Hmm… Entahlah." Ia mengangkat bahu. "Aku sedang menunggu Ryuu yang katanya terpaksa berangkat siang… jadi aku menganggur. Oh, bagaimana kalau aku ikut denganmu saja? Kau keberatan?"
Tanpa menghapus senyumannya, Hinata mengangguk singkat. Tak apalah. Lebih banyak orang, lebih ramai. Hinata sendiri juga masih merasa takut akan pikiran bahwa dirinya harus memasuki kantor Sawamura, jadi memiliki seseorang yang mendampinginya tidak buruk juga.
"Tentu saja tidak. Ayo, Noya-san."
XOXO
Hinata dan Nishinoya menemukan pintu ruangan kerja Sawamura yang terbuka.
Mereka saling pandang selama beberapa saat, satu alis Nishinoya yang terangkat juga mengatakan bahwa ia cukup terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.
Hinata memandangi pintu berdaun dua, yang salah satu pintunya telah terbuka itu lagi dengan gundah. "Haruskah kita menunggu? Atau langsung masuk saja?"
"Daichi-san biasanya terlalu disiplin untuk membiarkan pintunya terbuka begitu saja," tutur Nishinoya sambil mengenyitkan kening. "Mungkin ada seorang tamu yang baru mengunjunginya? Tapi menurutku, lebih baik kau masuk saja."
Dengan anggukan kepala dari Nishinoya, Hinata melangkah masuk dengan takut-takut. Nishinoya mengekor dalam jarak setengah langkah darinya. Terlepas dari tembok, lantai, dan segala perabotan yang memang diseragamkan di kantor itu, ruangan Sawamura sungguh rapi. Berkas-berkas ditumpuk, ditata, dan dimasukkan dalam map yang tepat. Kursi-kursi dikembalikan dalam posisi semula setelah digunakan. Selain itu, terdapat pewangi ruangan beraroma apel yang terhembus ke setiap sudut ruangan dengan bantuan air conditioner.
Ruang kerja tersebut adalah tempat dengan kondisi lingkungan yang paling baik, paling nyaman, dan jelas dapat mendongkrak semangat bekerja. Sayangnya, Hinata tidak serajin itu untuk mau membersihkan ruangannya hingga sebegitu rapi dan wangi. Mungkin hanya sekali dalam sekian kesempatan, dan setelah itu pun, ruangannya pasti akan dengan cepat kembali berantakan.
Hinata menelengkan kepalanya, menoleh ke sana dan kemari, mencoba mencari tahu keberadaan Sawamura. Ia sudah terlalu berlama-lama mengobrol tadi, jadi ia ingin cepat-cepat mengambil berkas itu, membeli kopi, dan kembali ke Kageyama sebelum yang bersangkutan marah. Masalahnya, sejak tadi ia sama sekali tidak melihat batang hidung Sawamura.
Hinata baru saja akan menyerah dalam mencari pria tegas itu dan beniat kembali lagi beberapa saat kemudian tatkala ia mendengar suara-suara bisikan dari sebuah tempat. Kedua indera penglihatannya segera saja melebar, kemudian mereka terarah pada Nishinoya.
"Kau dengar suara barusan?"
Nishinoya menatap Hinata dengan cukup serius, mengangguk perlahan. "Ya. Barusan ada suara orang bicara."
Hinata menggumam pelan. "Bisa jadi itu Daichi-san."
Dengan temuan baru itu, keduanya mulai melangkah mendekati sebuah rak buku besar menjadi pembatas antara ruangan pribadi Sawamura dengan ruang kerjanya. Hinata merasa bahwa ia tidak seharusnya melewati garis batas—ia tahu di balik rak buku itu adalah tempat personal bagi Sawamura—tapi ia juga tak ingin harus menunggu untuk mengambil berkas yang Kageyama minta.
Di sampingnya, Nishinoya memasang seringai kecil. "Aku tidak tahu, Shouyou, tapi aku merasa… akan ada sesuatu yang menarik setelah ini."
"Sesuatu yang menarik?" Hinata mengulangi dengan bingung dan sedikit khawatir. Meski begitu, ia tak juga menghentikan jalannya sekalipun ia semakin dekat dengan rak buku besar itu. Begitu wajahnya ada tepat di hadapan rak buku itu, suara samar tadi terdengar cukup jelas.
"Daichi…"
Hinata menutup mulut dengan tangannya, menatap Nishinoya yang rupanya sama terkejutnya. "Itu… Suga-san… kan?"
Nishinoya membenarkan dengan anggukan, wajahnya terlihat luar biasa antusias. "Benar, Shouyou. Wow! Aku tidak menyangka bakal bisa menyaksikan sesuatu seperti ini!"
Bukannya berbalik dan berjalan keluar ruangan untuk memberikan Sawamura sebuah privasi, Nishinoya justru bergerak maju, mengintip lewat celah di antara dua rak buku besar itu dengan wajah semangat. Duh, ia terlihat seperti ibu-ibu yang tengah mencari bahan gosip baru.
"Noya-san, aku tidak begitu yakin tentang ini," bujuk Hinata sebisa mungkin. Ia tidak ingin ikut terkena amukan Sawamura. Cukup sekali waktu ia berkelahi dengan Kageyama, dan tak usah diulang lagi. Hinata sudah cukup kapok. "Kita harus pergi…"
"Sssh," Nishinoya justru menyela perkataannya dengan jari telunjuk yang ditekankan pada mulutnya sendiri. "Diam dan dengarkan."
Tak punya pilihan lain, Hinata pun berdiri di belakang Nishinoya dan ikut mengintip, sambil berkali-kali meminta maaf kepada Sawamura di dalam hati.
Di balik rak itu, terdapat sebuah sofa panjang yang diposisikan menghadap sebuah televisi. Sawamura dan Sugawara tengah duduk di atasnya. Layar televisi tetap hitam, mereka tidak menyalakannya sehingga percakapan keduanya semakin terdengar jelas.
"Aku tidak ingin kau memaksakan diri, Daichi."
"Aku tidak memaksakan diri. Aku melakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabku."
"Daichi, kumohon…" Sugawara melingkarkan tangannya pada leher Sawamura dan membenamkan wajah prihatinnya di dalam bahu tegap itu. Untuk sesaat, Hinata sungguhan merasa tidak enak telah melanggar privasi mereka. "Kau terlihat sangat kelelahan akhir-akhir ini. Setidaknya, biarkan aku merasakan bebanmu juga…"
"Suga, kau hanya perlu ada di sampingku. Selama kau ada di sini, aku akan baik-baik saja."
"Daichi…" Suara Sugawara terdengar sangat senang. Kemudian, ia memajukan wajahnya dan mendaratkan kecupan ringan pada bibir Sawamura. Baik Hinata maupun Nishinoya menahan jeritan terkejut mereka. "Mm. Kalau itu memang maumu. Aku akan terus mendukungmu dari sini. Tapi jika kau benar-benar kelelahan, katakan padaku, ya?"
"Aku tahu." Satu lagi kecupan hangat penuh kasih. "Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Daichi."
Pada detik ini, Nishinoya mulai senyum-senyum sendiri sambil menahan diri untuk berkomentar. Hinata bimbang, antara merasa lega dan senang karena telah menemukan sisi lembut Sawamura di hadapan Sugawara, atau merasa bersalah karena ia menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya ia saksikan. Lagipula, kenapa sejak kemarin ia selalu memergoki sepasang kekasih yang sedang bermesraan? Entah ia sedang apes atau bagaimana, tapi nasib seolah mencemooh dirinya yang terus menjomblo.
Ia memutuskan bahwa acara intip-mengintip mereka selesai di sini, dan baru saja akan mencolek bahu Nishinoya ketika sebuah suara menyeru dari ambang pintu, "Daichi! Kau di sana?"
Sontak, Hinata dan Nishinoya menoleh kepada sumber suara, yang ternyata adalah Azumane. Pria berbadan besar itu tengah berjalan memasuki ruangan, mendadak terkejut sekali melihat penampakan Hinata dan Nishinoya di sana. "Kalian berdua… apa yang sedang—"
"Kau di sana, Asahi!?" Suara Sawamura menyahut dari balik rak. Samar-samar, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Hinata dan Nishinoya cepat-cepat berlari keluar ruangan, tapi terlambat, karena detik berikutnya Sawamura telah menampakkan sosoknya dari balik rak.
Mampus, jerit Hinata di dalam hati.
"Maaf, aku baru istirahat—tunggu. Kenapa ada Hinata dan Nishinoya di sini?" Sawamura memberi keduanya tatapan menyelidik. Kerutan-kerutan nampak pada wajahnya, dan ia pasti tahu ada yang tidak beres setelah menyaksikan wajah panik keduanya. "…Kalian mau menjelaskan padaku apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu, sih. Tapi," Azumane mengusap lehernya dengan wajah polos, "kelihatannya mereka mencarimu. Begitu aku masuk, mereka sudah ada di depan rakmu, dan kau juga tidak terlihat di mana saja, jadi…"
Asahi-san, kenapa kau melakukan ini padaku!? Hinata memberikan sorot memelasnya pada Azumane, yang balas melihatnya dengan tidak mengerti.
Mendadak, aura di sekitar Sawamura berubah gelap. Senyuman ramahnya surut, digantikan oleh bibir yang melengkung sempurna ke atas membentuk seringai yang menjanjikan penyiksaan. Ini lebih mengerikan dari film horor manapun, sungguh. "Nishinoya… Hinata…"
Hinata memekik takut, merasa seolah ada sebuah tangan dingin yang menyentuh tengkuknya. Maaf, Kageyama. Aku gagal menjalankan quest darimu…
"Kenapa kalian berdua asal masuk di ruangan pribadi orang? Bolehkah aku tahu alasannya?" Sawamura berjalan beberapa langkah hingga wajah mengerikannya berada tepat di hadapan Hinata dan Nishinoya. "Apakah aku perlu mengajari kalian berdua sopan santun dan tata krama, hm?"
"Astaga," Suara lembut yang baru beberapa menit lalu Hinata dengar ikut terjun dalam pembicaraan. Ketika Hinata melihat ke atas dari balik poninya, ia menangkap sosok Sugawara yang menutup setengah wajahnya dengan ekspresi kaget bercampur malu. "Kalian melihat semua itu? Astaga… Ini memalukan…"
Melihat 'Mama'nya memasang tampang tersakiti seperti itu, Sawamura menambah intensitas intimidasinya melalui sepasang mata melebar, warnanya memudar saking kentalnya hawa membunuh yang mencoba ia tunjukkan. "Nah. Haruskah aku membuat kalian melalui hal yang sama…?"
Nishinoya bergidik ngeri. Bisa saja sekarang ia merasa takut, tapi setelah ia selesai dimarahi, kenakalannya pasti akan kambuh. Tulang kepalanya terlalu keras untuk bisa membuatnya kapok. "T-Tidak. Maaf, Daichi-san. Aku tidak bermaksud…"
"Kalau itu dirimu, pasti ada maksud apa-apa," sergah Sawamura, memotong pembantahan Nishinoya. Selanjutnya, ia memindahkan sorot matanya pada Hinata, dan selama sedetik Hinata sempat melompat kaget. "…Hinata. Kau sendiri ada urusan apa ini?"
"A-Aku?" Hinata menelan ludah, memaksa suaranya untuk keluar dengan normal. "A-Aku disuruh… err. Dimintai tolong oleh Kageyama, u-untuk mengambilkan berkas yang ia minta di kantormu."
Mendengar pernyataan jujur itu, wajah Sawamura sedikit berubah halus. "Berkas?" Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. "Oh, berkas itu. Kenapa Kageyama memintamu? Kedengarannya bukan seperti dirinya saja."
Hinata mengalihkan pandangan dengan gugup. "Dia hanya… meminta tolong. Ada banyak kerjaan, dan… pokoknya, dia terlalu sibuk sekarang."
"Hm… Apakah ini berarti kalian berdua memang baikan?" tanya Sawamura dengan tidak yakin. Kata Kageyama, Hinata, dan akrab memang terdengar sulit untuk digabungkan menjadi satu. Tapi Hinata mengangguk saja, memilih cara apapun untuk bisa terbebas dari jerat amarah Sawamura.
Sawamura terus memandanginya lekat-lekat, lalu mengangguk. "Tunggu sebentar, aku akan mengambilkannya untukmu. Setelah itu, kau keluar dari sini, mengerti?" Hinata menghembuskan nafas penuh kebahagiaan, dan Nishinoya baru akan mengatakan sesuatu untuk membuat Sawamura mengampuninya, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, pria tersebut telah memelototinya. "Kau tetap di sini, Nishinoya. Aku tahu kau adalah dalang kecilnya. Asahi, kau juga keluar bersama Hinata. Kita selesaikan urusan kita nanti."
Sugawara mengeluarkan cengiran indah, tapi mematikan. "Aku akan menjaga supaya dia tidak lari ya, Daichi."
Hinata menatap punggung Sawamura yang menghilang dari balik rak dengan ngeri. Saat matanya berpindah pada Nishinoya, pria mungil itu tengah mengacungkan sebuah jempol pada Hinata.
"Good bye, my friend…"
Hinata tak mampu berkata apapun.
Ada satu pelajaran yang Hinata peroleh hari itu—
Jangan pernah membuat Papa, Mama, atau bahkan kedua-duanya marah.
XOXO
Hinata tidak menyangka Azumane memutuskan untuk ikut dengannya ketika ia menuju cafetaria, tapi Hinata memperbolehkannya.
Mereka sedang duduk pada sebuah meja di tengah suasana lengang tempat makan itu. Pagi telah lama beranjak dan jam makan siang belum tiba, jadi tidak ada banyak orang yang berkunjung ke sana, merasa belum perlu lantaran perut mereka belum mengirim sinyal lapar.
Hinata kembali dari meja kasir dengan kantong plastik berisi dua gelas kopi. Ia mendudukkan dirinya di hadapan Azumane, mengeluarkan salah satu gelas, dan meminum isinya.
Azumane sendiri telah sejak lama menikmati teh hangat kesukaannya yang kini tinggal setengah bagian. Mata gelapnya mengamati pergerakan Hinata dengan canggung, seakan ia merasa bahwa dirinya sendiri tak seharusnya melihat dan mengalami kejadian tadi. "Ah, maaf, ya… Gara-gara aku masuk, kalian jadi dimarahi…"
Hinata meletakkan kedua tangan di atas meja, berhati-hati agar berkas yang diinginkan Kageyama tidak tertindih atau terkena kopi yang dipesannya. Tawa renyah keluar dari mulutnya. "Eh. Itu memang salah kami, Asahi-san. Jangan terlalu menyalahkan dirimu."
Asahi ikut mengeluarkan tawa, meski agak terpaksa. Pandangannya lalu berubah menerawang. "Dari dulu, Nishinoya memang seperti itu. Berkeinginan kuat, keras kepala, tidak pernah jera."
"Asahi-san… kau mengenal Nishinoya?" tanya Hinata, badannya sedikit condong ke depan pertanda ia tertarik.
"Ya…" Kedua tangan Azumane mengelilingi cangkir di hadapannya, menangkupnya pelan dan merasakan kehangatan teh di dalamnya meresap hingga kulitnya. "Maukah kau… mendengarkan ceritaku sebentar, Hinata?"
Hinata tentu saja mengangguk. "Tentu saja, Asahi-san! Ceritakan saja! Begini-begini, aku adalah pendengar yang baik!"
Azumane melepaskan tawa singkat, sebelum kemudian terdiam dan memulai, "Nishinoya adalah orang yang menyelamatkanku dari sisi diriku yang paling aku benci. Kalau bukan karena dirinya, aku pasti akan selamanya menjadi pecundang."
Hinata diam, menyimak dengan takzim.
"Dulu, Capcorn masih sangat kekurangan karyawan. Sekarang juga masih agak kekurangan, tapi dulu lebih parah lagi. Kadang, satu orang bisa sampai memikul beban yang sangat berat." Azumane berhenti sebentar untuk mengambil nafas. "Dan salah satu orang itu adalah… aku."
Hinata mengangguk, memberi isyarat pada Azumane agar ia bisa melanjutkan ceritanya.
"Aku dipaksa untuk menangani beberapa pekerjaan sekaligus. Mereka bilang… hanya aku yang bisa melakukannya. Karena itu, mereka melimpahkan segalanya di atas kedua pundakku. Saat itu, segalanya terasa begitu berat. Bahkan untuk melangkah ke dalam kantor saja rasanya enggan sekali, seperti ada yang memegangi kedua kakiku."
Azumane terbatuk pelan, sebelum melanjutkan, "Dari semua orang, yang paling gigih menyemangatiku adalah Nishinoya. Dia adalah partnerku pada saat itu. Orang yang akan selalu mendorongku agar terus maju. Saat itu, aku pikir segalanya akan baik-baik saja. Selama ada Nishinoya… dan selama aku terus mendapat dorongan darinya, aku tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu."
Pria bersurai panjang itu mengeluarkan sebuah nafas yang bergetar. Otaknya dipenuhi kenangan yang tidak terlalu ingin diingatnya. Tapi karena ia menceritakannya pada Hinata sekarang, sang newbie merasa sangat berterima kasih.
"Tapi suatu ketika, aku melakukan sesuatu yang hebat. Sebuah kesalahan fatal. Segalanya langsung menjadi kacau balau. Aku dimarahi habis-habisan. Semua orang dimarahi. Saat itu juga, rasa takutku kembali muncul, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Aku mengunci diriku di dalam trauma tersebut, dan bertekad untuk tak pernah mencoba dan berusaha untuk yang kedua kalinya. Dan lagi-lagi…" Azumane menggoreskan senyuman tipis. "Nishinoya menyelamatkanku."
Hinata mencoba untuk ikut tersenyum. "Lalu…?"
"Dia terus membujukku. Setiap hari, setiap saat. Terus saja berupaya melakukannya, bahkan ketika aku menyuruhnya pergi setiap kalinya. Kegigihannya memang sesuatu yang patut dikagumi. Dia tidak pernah menyerah untuk berusaha menarik kedua tanganku agar bisa kembali berdiri. Dia terus berusaha, berusaha, dan berusaha," Azumane berkedip beberapa kali. "Sampai akhirnya, suaranya dapat menjangkau bagian terdalam hatiku yang bergetar ketakutan. Dia memeluk rasa takut itu, membagikan kehangatannya, dan memberikan semangat yang sempat kubuang di tengah jalan. Aku sangat tertolong olehnya. Karena dia, aku bisa menjadi orang seperti sekarang."
Hinata membiarkan senyuman kecilnya melebar. "Jadi, dulu Asahi-san sempat menjadi… ace-nya perusahaan ini, ya?"
Azumane menggaruk belakang kepalanya dengan malu-malu. "Itu bukan sesuatu yang besar. Lagipula, aku juga sempat trauma setelah melakukan kesalahan, jadi—"
"Jadi, Nishinoya lebih hebat. Bukankah begitu?" Hinata tertawa lepas. "Tapi di mataku, kalian berdua sama-sama hebatnya, kok. Dan hubungan partner kalian membuatku kagum. Kalian benar-benar kompak." Ia kemudian mendesah, membayangkan dirinya suatu saat akan berdiri bersama partner paling terpercayanya. "Apakah aku bisa mendapat partner yang bisa kupercayai, ya…?"
"Tentu saja bisa, Hinata," kata Azumane tanpa ragu. Getaran-getaran kecil yang biasanya tersaring di dalam telinga Hinata tidak hadir dalam suara Azumane saat itu. "Kalau aku saja mendapat seseorang sehebat itu… harusnya orang sepertimu, yang lebih baik dan ramah dariku, juga dapat."
Hinata menggaruk-garuk kepalanya mendengar pujian secara tidak langsung itu. "Ah, Asahi-san bisa saja. Aku tidak sebaik itu… Ehehe…" Hinata menyeruput kopinya sampai habis untuk menutupi rasa malu dan senangnya. Berikutnya, ia menyangga kepalanya di atas telapak tangan, membuatnya mendongak hingga pandangannya terarah pada jam kecil pada dinding cafetaria.
Mata Hinata hampir copot dari tempatnya.
"Aaaaah!" Hinata menjerit. Azumane ikut menjerit secara refleks. "Aku lupa! Aku harus segera kembali ke Kageyama, atau dia akan marah padaku!"
"A-Aah…" Azumane menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan panik. "Apakah aku membuatmu lupa? M-Maaf, ya… Tiba-tiba bercerita panjang lebar seperti itu."
"Ini bukan salahmu, Asahi-san," Hinata menekankan sekali lagi. Tangannya dengan cepat meraih berkas-berkas Kageyama, tak lupa mencangking kantong berisi kopi Kageyama, dan membungkuk singkat pada Azumane. "Terima kasih atas ceritamu tadi, Asahi-san! Sungguh! Itu sangat memotivasi!"
Dengan sebuah lambaian, Hinata berjalan menjauhi meja di mana Azumane berada, senyumannya tak sedikit pun mereda. "Sampai jumpa, Asahi-san!"
Sepanjang perjalanan, Hinata tak bisa berhenti menggumamkan kata 'ace' dan 'partner'.
XOXO
Faktanya, Kageyama memang seorang workaholic. Itu, atau dirinya hanya luar biasa bandel.
Karena ketika Hinata melangkah masuk ke dalam kantor Kageyama lagi, mengira ia akan menjumpai pria itu sedang tidur atau rebahan—atau hal apapun yang berhubungan dengan relaksasi—pemandangan yang ada justru sebaliknya.
"Kageyama, maaf menunggu—geh," Hinata secara impuls menyipitkan kedua matanya menyaksikan Kageyama yang telah kembali berkutat di hadapan komputer dengan wajah yang terlihat jauh dari segar. Kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membawa sesuatu, ia pasti sudah mengarahkan jari telunjuknya pada pria itu. "Kenapa kau bekerja lagi!? Aku bilang agar kau istirahat sebentar, kan?"
"Diam," Kageyama menghentikan gerakan mengetiknya, membawa kedua tangannya ke hadapan wajah untuk mengusap wajah. Tanpa mematikan komputernya, ia berjalan menuju sofa dan menghempaskan diri di sana. Hinata mengikuti dan mengambil tempat di hadapannya. "Mana kopiku?"
"Iya, iya. Ini." Hinata menyodorkan kantong di tangannya pada Kageyama, yang segera saja menerimanya dengan tatapan lega, seakan penantiannya dalam mendapatkan kopi berlangsung lama sekali. Segera saja ia keluarkan satu gelas kopi dari sana, tanpa harus diberitahu langsung meminum isinya melalui sebuah sedotan. Hinata hanya mengamati dalam diam, dengan hati-hati meletakkan berkas penting Kageyama di atas meja itu. "Kau ini hobi sekali minum kopi, ya? Entah pagi atau malam selalu ngidam kopi. Kau kecanduan?"
"Kau tidak tahu penderitaan seorang bos, jadi lebih baik kau diam saja," gumam Kageyama dengan desahan lemah. Sama sekali tidak ada nada menggigit dan kasar yang biasanya. Sepertinya ia memang sedang lelah, terlebih ketika penggarapan game sedang berlangsung cepat. Jika diibaratkan, saat ini mereka sedang lari cepat menuju garis finish.
Hinata balas menggumam datar. Kemudian, ia memajukan badannya ke depan, matanya tak lepas dari wajah kusut Kageyama. "Tapi ya, kuberitahu. Gaya hidupmu itu sama sekali tidak sehat, Kageyama. Pertama, kau suka remang-remang, jadi matamu gampang rusak. Kau juga terus berhadapan dengan komputer tanpa membuat jeda sesekali, jadi kasihan matamu. Otot-ototnya selalu tegang. Efeknya bisa menjalar ke kepala—kau jadi merasa pusing, light-headed… kadang seperti vertigo juga. Makanya kau sering merasa sangat lelah, kan?"
Kageyama hanya mendengus pelan. Sebenarnya ia setuju dengan perkataan Hinata, hanya acuh tak acuh saja.
"Ditambah lagi… ini. Kau sering sekali minum kopi. Sekarang, bukan hanya matamu, tapi badanmu juga yang terkena dampaknya. Memangnya berapa kali kau minum air putih dalam sehari? Pasti tidak ada dua liter karena kau terlalu sibuk membeli semua kopi yang bisa kau beli." Hinata tak tahu dari mana keinginan untuk menceramahi Kageyama ini berasal, tapi ia tak akan merasa lega sebelum ia mengeluarkan semua unek-uneknya. Ia paling tidak betah melihat orang lain yang tidak bisa menjaga diri. Mungkin ini efek menjadi seorang kakak di rumah—ia jadi sedikit khawatiran.
"Aku tahu itu, bodoh." Kageyama membuang nafas sambil memejamkan mata. "Hanya saja… dengan semua urusan yang harus kuselesaikan, tidak ada waktu untuk memikirkan semua itu."
"You're so helpless… Tidak ada lagi orang tua atau siapapun yang akan mengasuhmu, jadi kau harus belajar menjaga diri. Serius. Sebelum kau jatuh sakit, atau terkena penyakit yang serius. Kalau itu terjadi belakangan, kau bisa menyesal." Hinata melipat dahi, sedikit kecemasan mewarnai ekspresinya. "Tapi sungguh. Kau sebaiknya istirahat. Sekarang. Wajahmu kusut sekali… sampai-sampai aku ingin menyetrikanya."
"Tidak lucu." Kageyama mendelik padanya. "Aku akan menghajarmu sebelum kau bisa menyetrika wajahku, Hinata-boke."
Hinata meledakkan tawanya, tak lagi merasa takut untuk menyembunyikannya. Ini hanya Kageyama, dan di luar sesuatu yang berhubungan dengan game dan pekerjaannya, ia sebenarnya sebodoh Hinata, jadi kenapa harus repot-repot menjaga imej? "Hei, aku serius, Kageyama! Pokoknya, kau harus berhenti dari pekerjaanmu setelah ini, atau aku akan… ngg…" Hinata mendongak, berpikir keras. "Oh! Aku akan melaporkannya ke Daichi-san. Atau Suga-san. Aku tahu mereka berdua adalah orang-orang yang sering mengkhawatirkanmu. Jadi kalau sampai mendengar kau memaksakan diri, mereka akan benar-benar melarangmu bekerja."
Senyuman licik terbentuk oleh bibir Hinata, merasa menang atas Kageyama yang tengah memasang raut wajah horor—dan ya. Berjauh-jauhan dari programming dan pekerjaan adalah sesuatu yang mengerikan bagi Kageyama, sepertinya. "Masih mau nekat memaksakan diri, Kageyama-kun?"
Kageyama menggeram, gelas kopi di tangannya teremas begitu saja sehingga isinya yang tinggal sedikit hampir menetes keluar dari sedotan. "Baiklah. Baiklah, aku akan istirahat! Puas!?"
Hinata menyeringai. "Puas sekali. Nah, sekarang matikan komputermu, lalu istirahatlah. Kali ini serius istirahat, oke? Kalau kau benar-benar jatuh sakit, Tanaka dan Nishinoya akan menguasai kantor dengan keantikan mereka… dan itu jelas hal buruk."
Kageyama mendengus, wajahnya tampak sedikit terhibur. "Kata siapa aku akan sakit? Kalaupun aku sakit, aku tidak akan membiarkan mereka berdua bertingkah seenaknya." Pria muda itu meregangkan kedua tangan dengan mengangkatnya ke atas, sebelum membawanya kembali ke bawah untuk menyisir rambut hitamnya. Beberapa helai rambut menjadi mencuat ke sana kemari setelah jari jemarinya hinggap di sana sebentar, dan menurut Hinata itu adalah pemandangan yang lucu. "Jadi? Apa yang harus kulakukan untuk beristirahat? Main game?"
"Are you kidding me?" Hinata menaikkan sebelah alisnya, nada suaranya gemas. "Itu malah membuat matamu semakin lelah, idiot. Yang namanya istirahat ya… tidur. Atau rebahan, duduk-duduk, jalan-jalan. Apapun yang membuat tubuhmu rileks kembali."
Kageyama melipat kulit di sekitar hidungnya, mendongak untuk memikirkan apa yang harus ia lakukan. "…Tidur, ya. Kelihatannya tidak buruk." Sontak, dua bola berwarna biru itu melebar, dan selanjutnya ia memisahkan tubuhnya dari sofa untuk mencondongkan badan ke depan. "Aku tahu. Taman."
Hinata balas menatapnya dengan tidak mengerti. "Taman?"
"Well. Yeah. Ada sebuah taman di kantor ini. Sebenarnya taman itu hanya diperuntukkan bagi Ushijima-san dan para petinggi. Hanya mereka yang punya kuncinya, jadi jarang ada yang tahu keberadaan taman itu," jelas Kageyama yang kembali mengacak rambutnya.
"Uh. Oke?" Hinata menelengkan wajah. "Jadi, kau ingin ke sana sekarang?"
Kageyama mengangguk pelan. "Tidak ada orang di sana, jadi… ya." Ia beranjak, berjalan menuju sudut ruangan untuk memasukkan kopinya yang habis ke dalam tempat sampah di sana, lalu ia kembali pada Hinata yang masih duduk sambil menaikkan sebelah alis. "Ayo, bodoh. Kau ikut denganku."
Hinata membuka mulutnya. Jari telunjuk terangkat untuk menunjuk dirinya sendiri dengan tidak percaya. "Aku? Ikut denganmu?" Yang benar saja, ia bahkan belum menyentuh komputernya sejak pagi lantaran sibuk melayani Kageyama. Dan sekarang ia disuruh menemani sang raja beristirahat?
Kalau pekerjaannya tidak salah, ia akan menyalahkan Kageyama.
"Ada yang harus kau lakukan di sana," gumam Kageyama sambil berjalan keluar ruangan, membuat keputusan sepihak yang final bahwa Hinata akan dan harus ikut. Segala sanggahan dan kekhawatiran yang akan Hinata lontarkan pada Kageyama mendadak tertelan kembali.
"Haaah. Dasar Ou-sama," desah Hinata sebelum ia mengekor di belakang programmer jenius itu. Kalau dipikir-pikir, sifat raja dalam diri Kageyama lebih mirip anak-anak daripada raja yang sesungguhnya. Maksudnya, lihat saja permintaannya dari tadi. Bukannya meminta hal-hal yang aneh, seperti yang Nishinoya katakan tadi, Kageyama hanya menuntut sesuatu yang, anehnya, inosen. Polos. Ia hanya ingin kopi, berkas, dan minta ditemani di taman.
Kalau saja ia tidak begitu menyebalkan dan gampang marah, mungkin Hinata sudah mengatainya lucu dari dulu.
Taman yang Kageyama maksud berada pada lantai satu, jadi mereka harus menggunakan elevator. Letaknya di sebelah ruang penyimpanan, yang memang berada di bagian pojok dan tak terlalu terlihat. Ketika Hinata melihat sebuah pintu gerbang sepanjang kira-kira satu meter, dari balik gerbang besi itu ia dapat mengintip warna hijau segar dari rerumputan.
Hinata menyaksikan Kageyama yang sedang memasukkan sebuah kunci pada gembok yang menggantung dari gerbang itu, dengan mudah membukanya, lalu mendorong pelan gerbang itu hingga akhirnya terbuka.
Begitu Hinata melangkah masuk, ia segera saja disambut dengan warna hijau di sekelilingnya. "Guwaaah! Taman di dalam kantor! Keren…"
Kageyama meliriknya singkat, mengangkat bahu, dan berjalan menuju bagian tengah taman, di mana sebuah air mancur yang terlihat masih jernih dan bersih berada. Hinata pikir, taman itu akan terlihat lebih berantakan mengingat tempat tersebut hanya diperuntukkan bagi segelintir orang, tapi rupanya tidak. Taman itu masih terjaga dan sangat terawat. Udara di sekitarnya menyegarkan dan bahkan menyenangkan.
Di sekitar Hinata, terdapat berbagai macam tanaman herba dan bunga-bungaan, beberapa pohon berkayu yang nampak tua, jalan setapak dari cobble stone, serta beberapa kursi taman. Taman tersebut berdekatan dengan halaman depan kantor, hanya dibatasi dengan tembok kaca berwarna gelap—agar privasi orang di dalamnya terjaga.
Untuk sesaat, Hinata merasa iri kepada para atasan yang bisa menggunakan taman indah ini kapan saja. Entah itu untuk tidur, sekadar rekreasi, atau menyendiri sambil menyegarkan pikiran. Mungkin ia bisa meminjam kunci taman itu dari Kageyama kapan-kapan. Seharusnya tidak ada alasan yang membuat pria itu melarang Hinata mengunjungi taman tersebut, kecuali ia memang pelit.
Hinata memindahkan matanya pada punggung tegap Kageyama lagi. Kalau dipikir-pikir, pria itu selalu terlihat kaku setiap saat. Bahkan kedua bahunya saja terus nampak tegap seperti itu. Tidak bisakah ia bersantai barang beberapa menit saja? Mungkin Hinata harus melakukan sesuatu untuk membuatnya rileks…
Kemudian, sebuah ide muncul begitu saja di dalam pikiran Hinata. Ia menimang-nimang ide itu sebentar, memperkirakan Kageyama akan marah atau tidak, dan pada akhirnya ia memilih untuk tidak peduli—masa bodoh, teriaknya di dalam hati.
Hinata memunculkan lidahnya dari sudut bibir, mengangkat kedua tangannya ke atas, sambil berjalan pelan-pelan sekali agar tidak disadari Kageyama. Detik selanjutnya, saat Kageyama benar-benar lengah, ia mengeluarkan sebuah teriakan keras, dan berlari dengan kecepatan penuh ke arah pria itu.
"Terima ini, Bakageyamaaa!" Dan dengan spektakuler, Hinata menerkamnya, menabrak punggungnya kuat-kuat hingga mereka berdua jatuh di atas rumput.
Reaksi pertama Kageyama bisa ditebak dengan mudah. Ia marah besar.
"Sialan—apa yang kau lakukan, dasar bodoh!?"
Kageyama terlihat marah. Serius marah. Kedua tangannya sekarang beradu dengan sepasang tangan Hinata layaknya seorang pegulat profesional, gigi bergemeretak di dalam mulut karena menolak untuk kalah.
Namun, bukannya merasa takut, Hinata justru merasa semakin tertantang, serangkaian kikikan geli meluncur bebas dari mulutnya, kedua bahu bergetar menahan ledakan tawa yang menuntut untuk keluar sekarang juga. Ia menahannya, karena jika ia tertawa sampai puas, ia tak bisa melakukan aksi selanjutnya.
"Hah, siapa sangka kau begitu lemah, Kageyama-kun!" Hinata mencemooh, sengaja memanas-manasi. "Ditabrak sekali saja langsung ambruk! Cemen!"
Kageyama tentu saja menerima provokasi itu. "Katakan itu lagi kalau kau berani, sialan!" Dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya, Kageyama mendorong kuat-kuat kedua tangan Hinata, bahkan membuat si kepala oranye itu terkejut dan terjembab ke belakang.
Kini gantian Kageyama yang berada di atasnya, tangannya yang kuat menekan kedua bahu Hinata kuat-kuat ke atas tanah untuk membuktikan kekuatannya. "Hah, sekarang siapa yang lemah?"
Hinata, dengan jiwa kompetitif yang tergelitik, balas menyerang seraya mengeluarkan teriakan keras. "Kau lengah!"
Pertahanan Kageyama pun runtuh, dan sekarang tubuhnya kembali berada di atas rumput. Tidak terima karena Hinata membuatnya terlihat cupu, Kageyama pun segera membalas, mendorong Hinata kuat-kuat.
"Dasar pendek! Jangan sok!"
Hinata di atas Kageyama. "Yang sok itu kau, tiang listrik!"
"Kepala jeruk!" Kageyama ganti di atas Hinata.
"Resting-bitch face!"
"…Jangan menejek wajahku, kampret!"
Mereka terus seperti itu. Kageyama di atas, Hinata di bawah. Kemudian berganti lagi. Hinata di atas dan Kageyama di bawah. Terus menerus seperti itu, hingga mereka hanya berguling-guling di atas rumput selama entahlah, mungkin sekitar lima belas menit lamanya.
Dan lima belas menit, jika digunakan untuk bergulat sambil mengeluarkan energi terbesarmu, adalah waktu yang sangat lama.
Perkelahian konyol itu berakhir ketika keduanya merebahkan tubuh di atas rumput, dada bergerak naik turun dengan cepat dalam upaya mengambil nafas sebanyak mungkin, dan keringat bertaburan menghiasi wajah dan kulit mereka.
Hinata diam-diam menyeringai pada dirinya sendiri. Operasi untuk membuat Kageyama bersenang-senang, sukses! Meskipun ia harus menderita sedikit rasa pegal dan sakit di sana sini. Kageyama memang kuat sekali.
Ia mendengar Kageyama menghembuskan nafas di sebelahnya. Hinata menoleh dan memandanginya sambil berkedip. Sosok bosnya itu sama sekali tak bergerak dari tadi. Kedua tangan terlentang di samping tubuhnya. Nafasnya berangsur-angsur stabil.
"Aku…" Tirai mata Kageyama perlahan menutup. "Ngantuk."
Hinata tersenyum. "Kalau begitu, istirahatlah."
"Memangnya siapa yang dari tadi mengajakku berkelahi, hah!?" decak Kageyama jengkel. Tapi Hinata tahu ia tidak sepenuhnya marah.
Sang kepala oranye sendiri tak mengatakan apapun, hanya bisa menunjukkan cengiran tanpa dosa. "Maaf, Kageyama." Wajah Hinata terangkat, dan ia mendudukkan diri seraya membelalakkan kedua mata, menangkap sebuah pohon rindang yang terletak tak jauh dari tempatnya berada. "Oh, lebih baik kita pindah ke pohon itu! Bukankah nyaman sekali kalau kau tidur di bawah bayang-bayang pohon?"
Kageyama menggumam singkat, terlalu lelah untuk berbicara. Ia dengan malas beranjak, berjalan mengikuti Hinata yang telah sampai terlebih dulu di bawah pohon itu. Mulutnya terbuka untuk menguap lebar, matanya yang setengah terbuka bagaikan lampu yang berada di ambang hidupnya—alias hampir mati.
"Sini, sini!" Hinata menepuk tempat di sebelahnya dengan senyuman cerah. Sosok Kageyama semakin mendekatinya, dan jalannya lebih lama biasanya karena pengaruh kantuk yang menyerang pikirannya. Kalau saja ia sedang tidak kelelahan, Hinata mungkin akan segera memulai perkelahian kecil dengan memanggilnya zombie. "Aku sudah membersihkan tempatmu dari dedaunan, jadi kau bisa dengan tidur dengan nyaman seka… rang…"
Suara Hinata semakin menghilang karena ia merasakan sesuatu yang berat di atas pangkuannya. Kepalanya dengan pelan sekali menunduk, kedua matanya yang telah melebar menyaksikan sebuah kepala berambut hitam milik Kageyama di atas kedua pahanya. Butuh waktu beberapa menit bagi otak Hinata yang malang untuk memproses apa yang baru saja terjadi.
Wait, benak Hinata membeku. Wait, what!?
Ia mengucek mata dengan punggung tangan, tapi pemandangan itu tak berganti. Ini bukan ilusi semata.
Penglihatannya tidak salah. Kageyama memang menempatkan kepalanya di atas pangkuan Hinata, menjadikan kaki Hinata sebagai bantal empuk yang akan mengantarkannya ke alam mimpi.
Yang Hinata herankan, kenapa ia bisa terlihat sesantai itu dengan melakukan gestur yang begitu… intim ini?
Susah payah Hinata berjuang untuk mengusir rona merah yang menyapu kedua pipinya. Kedua tangannya mengambang di udara, bingung harus melakukan apa, sementara suara-suara terkejut muncul dari balik tenggorokannya tanpa ada satupun kata konkrit yang keluar darinya.
"Ka… Ka…" Hinata menelan ludah paksa. Meski ia tak menyukainya, tapi wajahnya masih terasa panas. "Kage… yama…?"
Pria yang bersangkutan hanya menggumam lagi, kali ini suaranya jauh lebih lirih. Kemudian ia menggulingkan badan, hingga kepalanya menghadap ke atas dan wajahnya berada dalam sudut pandang Hinata. Matanya kembali terbuka, biru gelap mengarah menuju mata karamel Hinata untuk menatapnya lurus, meski tak setegas biasanya karena ia diselimuti kantuk sekarang.
"Bangunkan aku satu jam dari sekarang," titah Kageyama singkat. "Jangan sampai lupa." Itu adalah kalimat terakhir yang Kageyama ucapkan sebelum kelopak matanya kembali menutup, kerutan-kerutan pada wajahnya mulai menghilang, dan perlahan terdengar suara nafas teratur pertanda Kageyama telah tertidur. Ya, dalam waktu sesingkat itu pula.
Hinata, tak tahu harus melakukan apa, hanya mengangguk kaku meski ia tahu Kageyama tak bisa melihatnya. Ia mendesah panjang, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan bahwa Kageyama tidak bermaksud apa-apa dengan menjadikan Hinata bantalnya—kalau melihat kepribadian Kageyama, pasti si bodoh ini hanya mementingkan kenyamanannya. Yang penting ia bisa tidur nyenyak, mungkin begitu pikir si Kageyama.
Mau tak mau, berada dalam jarak pandang sedekat ini dengan Kageyama, Hinata mendaratkan tatapannya pada wajah tampan itu dan mengamatinya. Wajah Kageyama begitu damai saat ia tertidur, semua kerutan yang membuatnya begitu mengerikan hilang bagai ditelan bumi. Ia justru terlihat seperti anak kecil sekarang, dengan kedua alis naik ke atas dan mulut sedikit terbuka untuk mengeluarkan dengkuran pelan.
Tanpa sadar, Hinata mendaratkan salah satu tangannya pada surai hitam itu. Batinnya terus menerus tergoda untuk merasakan helai-helai itu di bawah kulit tangannya, membuktikan apakah rambut Kageyama memang selembut kelihatannya—dan jawabannya adalah iya. Meskipun rambut Kageyama terlihat berantakan pada saat-saat di luar rapat, tapi helaian hitam itu terasa begitu halus. Samar-samar, Hinata dapat mencium bau shampoo yang Kageyama gunakan.
Seperti cologne Kageyama, shampoo yang ia gunakan juga berbau… maskulin. Pokoknya, laki-laki banget. Hinata lekas menggeleng. Kalau memungkinkan, wajahnya bertambah semakin merah sekarang.
Tapi, ia tak menghentikan gerakan tangannya yang mengelus kepala Kageyama. Tidak barang sedetik pun.
Hal yang terakhir kali Hinata ingat adalah wajah damai Kageyama, bulu matanya yang agak lentik, dan helai rambutnya yang halus, sebelum kesadarannya juga terseret pergi oleh rasa kantuk.
Sementara itu, Sugawara yang kebingungan mencari-cari keberadaan Kageyama pun tanpa sengaja melihat pintu gerbang taman terbuka, dan ia tambah terkejut lagi melihat pemandangan menyejukkan yang ia kira tak akan dilihatnya itu.
"Ya ampun." Sugawara memunculkan senyuman tipis pada wajahnya. Biner kecokelatan terpaku lembut pada sosok Hinata yang tengah terlelap dengan Kageyama yang ikut terkapar di atas pangkuannya. Jangan lupakan satu tangan Hinata yang masih berada di atas kepala Kageyama, juga seutas senyum yang menyambangi bibir sang newbie itu. Sugawara tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala dan membalikkan badan, tidak tega membangunkan keduanya.
Jangan bilang kepada siapapun kalau ia sempat berbalik lagi untuk menjepret keduanya dengan ponselnya.
(Beberapa jam kemudian, Kageyama adalah yang pertama kali terbangun, dengan marah meneriakkan, "Air liurmu menjijikkan! Dan kenapa kau ikut-ikut tidur, Hinata-boke!?"
"M-Maaf, Kageyamaaa!")
Entah karena alasan apa, Hinata tidak merasa begitu menyesal.
XOXO
Atas kelalaiannya selama tadi siang, Kageyama memaksa Hinata untuk melembur hingga target pekerjaan mereka untuk hari itu selesai.
Hinata terima-terima saja karena ini memang salahnya. Bisa-bisanya ia tertidur dengan mudahnya. Mungkin ini akibat tidak pernah tidur nyenyak belakangan ini. Sambil diam-diam menangisi nasib tragisnya, Hinata menatap layar komputer sefokus mungkin sambil berusaha untuk menyelesaikan bagian tugasnya.
Semua orang selain mereka berdua telah pulang sejak satu jam yang lalu. Sekarang, malam sudah larut dan bulan telah lama menggantung di atas sana. Hinata menguap, meregangkan otot-ototnya yang pegal sambil menggumam pelan, dan tiba-tiba pintu ruangan Kageyama terbuka.
Pria itu tampak sama lusuhnya dengan Hinata. Rambutnya acak-acakan, tanda bahwa ia telah berkali-kali mendaratkan jemarinya di sana, kacamatanya hampir terjatuh dari batang hidungnya. Menyusul Hinata, ia menguap lebar seraya berjalan mendekati pria bertubuh lebih pendek itu.
"Sudah selesai?" tanya Hinata, mendongak untuk bisa melihat wajah Kageyama dengan baik. Mau bagaimana lagi, pria itu lebih tinggi ketika ia berdiri tepat di dekat Hinata.
"Ya. Tinggal mengecek ulang, tapi itu bisa dilakukan besok…" Kageyama menguap sekali lagi, sambil mengusap pelan lehernya. Matanya yang beberapa kali tertutup akibat pegal itu lantas memandangi komputer di hadapan Hinata yang masih menyala. Ekspresinya langsung mengeras. "Kau sendiri? Jangan bilang kau belum selesai. Kau sudah membuang-buang waktu berhargaku di siang hari!"
"Aku tahu, time freak!" desis Hinata kesal. Ia paling sebal kalau harus menangani Kageyama yang bad mood. "Aku sudah selesai, bahkan sampai bosan! Makanya, aku iseng-iseng melanjutkan bekerja melebihi target. Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. Go on, please check my work, Boss," ujar Hinata sarkas. Ia memundurkan badannya dan melipat kedua tangan di depan dada, melempari Kageyama pandangan menantang.
Mengeluarkan gumaman malas, Kageyama membungkuk agar bisa melihat pekerjaan Hinata pada layar dengan jelas.
Tapi, bukankah wajahnya sedikit terlalu dekat dengan wajah Hinata sekarang?
Hinata menelan jeritannya, mendorong jauh-jauh segala pikiran aneh yang sempat hinggap. Sulit rasanya berpikir jernih ketika ada orang setampan Kageyama yang mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata sendiri, satu tangannya bertumpu di atas kursi—dan kalau ia menggeser jemarinya sedikit lagi, ia sudah menyentuh bahu Hinata.
Hinata menggeleng cepat. 'Nope. Nooope. Sadar, Shouyou! Dia adalah rivalmu! Bosmu yang paling sombong dan sok! Dia sama sekali tidak tampan!'
"Hm… Tumben sekali kau bekerja secepat ini." Kageyama melipat kulit dahinya, memasang wajah berkerut, tapi sesaat kemudian, ia berkata dengan cukup lirih, "Well done."
Rahang Hinata merosot perlahan, sementara ia menyaksikan raut wajah Kageyama yang melembut, tidak semengerikan biasanya. Yah, Kageyama sebenarnya hanya memasang tampang datar sekarang, tapi bagi Hinata yang pernah melihat Kageyama mengamuk, itu adalah ekspresi terlembut yang pernah ia lihat pada wajah garang Kageyama.
"Eh? K-Kenapa kau tiba-tiba memuji bawahanmu seperti ini?" Hinata menuntut dengan nada curiga, tapi membiarkan begitu saja perasaan hangat menyenangkan yang merambati dadanya. Jarang-jarang Kageyama mengeluarkan kalimat positif seperti itu, jadi Hinata diam-diam bersorak ramai di dalam hatinya.
"Shut up," balas Kageyama ketus. Meski samar, ujung telinganya mulai berwarna merah sekarang. "Besok lusa kau bisa menemui Kuroo-san. Setelah ini, kalian harus bekerja sama."
"Kuroo-san?" Hinata membayangkan rambut hitam jabrik anehnya itu lagi di balik benaknya. Kira-kira bagaimana rasanya bekerja dengan pria nyentrik yang satu itu? Kalau Kozume yang canggung dalam bergaul saja betah berada berlama-lama di sampingnya, harusnya Hinata juga.
"Ya. Dia adalah Battle Motion Director, kalau kau lupa. Aku telah mengadakan perjanjian agar dia dan rekan-rekannya bisa bertemu animator dari timku." Kageyama bersedekap dan memutar mata. "Mungkin akan sulit karena kau adalah satu-satunya animator dari kantorku, tapi seharusnya itu tidak menjadi masalah."
Hinata melongo, masih mencoba menelaah setiap perkataan Kageyama.
Ah, benar juga. Dirinya lupa kalau kantor Kageyama ini merupakan anomali—sebuah tim khusus yang terdiri dari tangan-tangan terampil dan otak jenius, begitu kata orang-orang di sekitarnya. Hinata sendiri meragukan apakah dirinya termasuk sebagai salah satu dari tim istimewa itu, tapi kelihatannya Kageyama sendiri menganggapnya demikian.
Mau tak mau, hati Hinata kembali bergetar senang.
"O-Osu!" Hinata mengangguk pelan, sebisa mungkin tidak menampakkan senyum bodohnya. "Aku akan menantikannya."
"Jangan mengacau, Hinata-boke. Kau akan ada di kantor orang, ingat itu." Kageyama memberi sebuah peringatan sambil mendengus. Dengan santai, Kageyama menarik sebuah kursi di dekatnya dan duduk di atasnya.
Hinata hanya menatap bosnya dengan aneh. Ia mengira pria jenius itu akan langsung pulang atau bagaimana, tapi rupanya tidak. Kageyama malah duduk di sebelahnya. Memangnya ia mau apa? Bicara serius dengan Hinata? Atau menunggu otaknya mendingin?
Setelah beberapa saat mereka terdiam sambil saling memandang, Kageyama menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana? Kau mau melanjutkan bekerja sekalian atau pulang sekarang? Yang jelas aku akan menunggumu."
"Yah, aku akan—eh, tung… K-Kau akan menungguku!?"
Hinata menganga lebar. Telinganya tidak salah dengar, kan? Apakah Kageyama mencoba untuk bersikap gentle? Jangan bilang ia baru saja membenturkan kepalanya dengan keras?
"Um… Aku berniat melanjutkannya sebentar… karena nanggung." Hinata memainkan jemarinya dengan gugup. Selama ia bicara, Kageyama terus melekatkan pandangannya pada Hinata. "T-Tapi kau tidak perlu menungguku, beneran!"
Kageyama hanya mengerjap. "No. Aku akan tetap menunggumu." Ia menguap sekali lagi, mencopot kacamatanya dengan hati-hati dan meletakkannya pada meja kerja Hinata. "Lagipula, hanya kau yang mau lembur sampai jam sekian."
Jantung Hinata melompat sekali. Meski sangat tersirat, ia mendengar nada bangga dan penuh terima kasih dalam kalimat Kageyama. Astaga, ada apa dengan Kageyama malam ini? Ia jauh lebih… jinak dari biasanya.
Kageyama menarik kursinya maju, meletakkan kedua tangannya yang terlipat di atas meja sebelum membenamkan kepalanya di sana. "Cepat selesaikan agar kita bisa pulang."
Ucapan Kageyama hampir tak terdengar karena wajahnya yang terbenam tangan, tapi Hinata mengangguk cepat. Ia memfokuskan kembali perhatiannya pada pekerjaannya, bekerja dengan sigap dan cepat, dan baru sekitar setengah jam kemudian, ia selesai.
"Kageyama…" Hinata melirik Kageyama ketika layar komputernya berubah hitam pertanda mesin itu benar-benar sudah mati. Pria muda berwajah galak itu masih belum berubah dari posisinya tadi. Dan dari dengkuran pelan yang terdengar samar, Hinata tahu kalau ia tidur. Atau tertidur. Untuk beberapa saat, Hinata sempat merasa kasihan pada pria yang konstan kelelahan itu. "Hei, Kageyama…" Meletakkan kedua tangannya pada bahu Kageyama, Hinata berusaha membangunkan pria itu selembut mungkin, mengguncang bahunya pelan. "Hei. Aku sudah selesai. Mau pulang, tidak?"
Kageyama mengeluarkan erangan pelan, mengangkat kepalanya, dan meregangkan tubuh. "Uh. Ya. Pulang. Ayo pulang," gumamnya masih setengah sadar. Ia meraih kacamatanya dan berjalan kembali ke dalam ruangannya, kemungkinan untuk mengambil barang-barangnya. Hinata sendiri lekas berkemas. Ia selesai ketika Kageyama keluar membawa tas kerjanya.
Keduanya berjalan keluar kantor dalam diam. Ini semua membuat Hinata mengingat hari pertama ia berada di Capcorn.
Waktu itu, ia dengan ceroboh—dan dengan bodoh, rutuknya di dalam hati—menumpahkan kopi Kageyama dan membuat keduanya berada dalam… posisi tidak mengenakkan. Hinata dihukum oleh bos yang bersangkutan, dan karena itu ia harus pulang malam. Tapi, hal yang paling tidak terlupakan adalah saat Kageyama berjalan mendampinginya keluar kantor, tidak meninggalkannya begitu saja. Padahal kalau Hinata berada di dalam posisi Kageyama, ia akan langsung pulang—satu karena malu atas kejadian tadi, dan dua, karena ia tak ingin berurusan dengan seorang newbie bodoh.
Dan nyatanya, setelah Hinata berulang kali meyakinkan bahwa hari itu ia tidak sedang bermimpi, Kageyama memang mencoba bersikap baik. Seperti halnya hari ini. Bisa dibilang ia lebih baik dari hari sebelumnya, entah karena alasan apa. Kageyama rela menunggu hingga Hinata selesai, dan mau mengantarkan Hinata keluar kantor untuk yang kedua kalinya, meski sifat galaknya sama sekali tidak hilang.
Entah mengapa, hal itu membuat desiran hangat memenuhi relung hatinya.
Tanpa disadari, mereka telah berjalan melewati pintu depan Capcorn, dan Hinata harus menelan kekecewaannya karena ia harus berpisah dengan Kageyama mode baik. Habisnya, kapan lagi ia bisa melihat Kageyama yang sedang baik begini?
Keheningan menyelimuti keduanya. Baik Hinata dan Kageyama telah berhenti berjalan sekarang, dan mereka hanya bertatap-tatapan tanpa mengatakan apapun. Hinata bingung harus berkata apa untuk berpisah. Ia takut salah bicara, dan bisa-bisa ia malah menghancurkan suasana hangat yang dengan sendirinya telah terbentuk di antara mereka.
"Oi." Hinata mengangkat pandangannya yang semula melekat di atas kedua kakinya, akhirnya menatap wajah Kageyama secara langsung. Jangan gugup, jangan gugup, jangan gugup…
Kageyama menyampirkan tas kerjanya pada pundak, berpose sedemikian keren hingga Hinata sendiri harus memegangi dadanya untuk menenangkan jantung yang melompat-lompat. "Kau mau kuantar pulang?"
Ibu jari Kageyama mengarah pada sebuah mobil hitam mewah, dan Hinata harus terkesiap selama beberapa saat sebelum sebuah fakta yang sulit dipercaya membanjiri kepalanya.
Benar. Kageyama baru saja menawarkan diri untuk mengantar Hinata pulang. Dengan mobilnya, bagaikan seorang lelaki yang paling gentle di dunia ini.
Tentu saja, Hinata menolak. Satu, ia tidak ingin membuat Kageyama repot. Dan dua… kemungkinan besar ia akan merasa malu dan canggung, berada satu mobil dalam Kageyama. Pasti ia akan memikirkan betapa suasana di antara mereka mirip sepasang kekasih yang akan kencan naik mobil, dan Hinata tidak menginginkan itu.
"Ah, tidak usah." Hinata menggeleng, tersenyum kecil. "Rumahku tidak terlalu jauh, kok. Terima kasih sudah menawarkan."
"Yakin?" tanya Kageyama memastikan. Hinata mencoba untuk mengangguk semantap mungkin.
Dengan begitu, keduanya pulang menuju arah yang berbeda.
'Di luar dugaan, Kageyama… tidak sejahat yang kukira.' Hinata menahan senyumannya seraya ia menyaksikan mobil Kageyama melaju keluar dari area parkir. 'Mungkin menjadi budak Kageyama tidak semengerikan yang kubayangkan…'
Dengan perasaan ringan pada benaknya, Hinata berjalan sambil melompat-lompat kecil menuju rumah kesayangannya, selama perjalanan menyanyikan lagu aneh yang liriknya berisi 'pergi ke toilet'—lagu yang sering ia nyanyikan sejak masa SMA.
Diam-diam, tanpa ingin mengakui hal ini kepada siapapun, Hinata sempat merasa kecewa karena menolak tawaran menggiurkan untuk naik mobil bersama Kageyama.
TO BE CONTINUED
HAHAH. Ditawarin nebeng sama gebetan, nolak, terus kecewa. ITU SAYA BANGET. #pundung
Aaaand Nishinoya ternyata kecanduan doujinshi. LOL. Comic market (Komiketto) yang dia maksud emang ada. Itu tuh semacam pameran doujinshi yang diadakan di Tokyo, katanya sih dua tahun sekali tapi ga terlalu tau. Saya ga pernah terlalu peduli sama event kayak gitu, tapi baru-baru ini, abis kecanduan doujin KageHina, saya mantau doujin KageHi apa aja yang muncul di C89 kemarin lewat pixiv. Wkwk. Dan banyak r-18-nya juga siiiihhh. Kepingin mborong doujin KageHina, banyak banget yang unyuk, tapi apa daya ga punya duit ke Jepang. Kalo lewat online shop ribeeeet. Ah sudahlah :"""
Oh iya. Yang DaiSuga bicarain tadi tuh sebenernya KageHina loh. Mereka lagi ngomongin masa depan anaknya xD
Soal taman di atas, itu imajinasi saya. Saya pingin ada taman khusus di dalem kantor itu, jadi logis ga logis harap diterima dengan lapang dada (?). Menurut headcanon saya, awalnya tuh taman hanya buat Ushiwaka (cie yang suka galau di taman), tapi nantinya dia bagi-bagi ke para atasan. Termasuk Kageyama, walo sebelum ini dia ga pernah kepikiran buat ke sana.
Seperti biasa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian yang telah memberikan dukungan, baik lewat review, fav, atau follow! Terima kasih telah membaca! Untuk yang sudah login, saya membalas review kalian lewat PM.
Guest: Ini sudah dilanjut~ Semoga chapter ini bisa dibaca dengan enak (?). Terima kasih sudah mereview!
Belakangan ini saya ngebut update-nya, tapi selama beberapa hari ke depan frekuensi update bakal berkurang. Most likely. Jadi harap bersabar XD Untung chapter ini ga pas cliffhanger…
Sampai jumpa di chapter depan!