Xover Naruto-HunterxHunter Fanfiction!

Belongs to Masashi Kishimoto-Yoshihiro Togashi

Naughty Little Boy ©Dafrilioun

Hinata 17 y.o ; Kilua 14 y.o; Sasuke 21 y.o

OOT-OOC-ETC-DLDR kawan :D

Happy reading!

.

Chapter 1

Hinata mengingatnya. Sangat jelas dalam ingatannya ketika ia berlari dihalaman, membimbing adik kecil yang sebenarnya bukan adiknya, supaya berhati-hati saat berjalan. Karena itu, Hinata menerima dengan senang hati saat ibu cantik yang tinggal di rumah sebelahnya menitipkan anaknya yang baru gede dirumah Hinata.

Killua Zoldyck.

Hinata tidak pernah berpikir bahwa tetangga masa kecilnya itu akan kembali setelah lama tinggal di Rusia. Perbedaan usia mereka tidak terlalu jauh; 3 tahun. Hinata berusia 11 tahun waktu Killua pindah ke Rusia.

Tapi bukan berarti Hinata merasa senang saat sapaannya dibalas dengan gesture cuek dan tidak perduli.

"A.. Apa kabar?" Hinata memilih bersikap dewasa dan memulai percakapan. Temu kangen dan berusaha jadi tuan rumah yang sopan. Tapi pemuda didepannya justru mengacuhkannya sambil sesekali mengutak-atik ponselnya dengan sebelah tangan yang setia di saku celananya.

"Um.. killua..?"

"Apa dirumahmu ada orang?" Mata gelapnya tak beranjak dari layar ponsel.

"E—eh?" Bahkan bocah itu memanggilnya dengan tidak sopan.

"Shitsureishimasu," berkata dengan nada acuh—lalu dengan seenak jidatnya, Killua melepas kedua sepatunya dan melangkah masuk. Mengabaikan pemilik rumah yang kini mematung didepan pintu. Apa benar dia orangnya? Killua yang waktu itu? Kemana Killua yang dulu imut itu?

Hinata menangis dalam hati. Tidak! Bukan itu. Killua yang dikenalnya dulu tidak sedingin ini. Mungkin dulu Killua pendiam. Iya, tapi pendiam dan cuek itu beda. Hinata masih bisa merasakan kehangatan jemari mungil Killua, lalu senyum polosnya saat memberikan bunga padanya… Hinata tidak bisa melupakan masa-masa manis itu.

Hinata menghela napas. Mereka kan berpisah cukup lama. Bukan tidak mungkin hal itu merubah seeorang. Sudahlah. Yang penting sekarang, tugas Hinata hanyalah menjaga Killua, itu saja. Dan lagi, Killua sudah kelas 3 SMP; sudah sedikit bisa bagaimana caranya menjaga diri. Jadi Hinata tidak perlu terlalu ketat dan cerewet ini itu. Mungkin.

Hinata melangkah melewati sofa ruang tamu yang membelakanginya. Killua duduk dengan santai seolah itu rumahnya dengan membiarkan tv menyala sementara matanya hanya terpaku pada layar ponsel. Kenapa Killua menyalakan tv kalau tidak menontonnya?

Hinata memperhatikan bagaimana tangan Killua bergerak lincah di layar.

Apa menariknya ponsel? Mungkin temannya. Atau mungkin pacarnya..?

Apa Killua punya pacar?

Hinata sedikit merasa tak enak hati saat pikiran itu memasuki otaknya.

Ya, bukan masalah sih. Tapi menurut Hinata, Killua masih terlalu kecil untuk yang namanya cinta-cintaan. Bahkan Hinata belum pernah punya pacar meski ia sudah hampir lulus SMA. Mungkin ada yang mendekatinya, tapi Hinata menyangsikan orang itu akan menjadi kekasihnya. Huh, sudahlah.

Gadis indigo itu melangkah menuju dapur yang terhubung langsung dengan ruang tamu. Membuatnya lebih mudah memperhatikan Killua.

Hinata masih asik memasak sampai suara ponsel yang dilipat milik Killua menarik perhatiannya. Terutama saat Killua bangun dari sofa, dan memanggil Hinata.

"Hinata, aku akan makan diluar,"

"Eh?" Tangan Hinata yang memegang pisau menggantung diudara.

"Teman-temanku menungguku. Aku akan langsung pulang kerumah,"

"T-tunggu! Tapi ibumu menyuruhku menjagamu," Kata Hinata cepat.

"Kau bercanda," lalu senyum miring Killua dikembangkan. "Aku tidak perlu dijaga oleh orang gagap sepertimu," Ucapnya sinis. Hinata mencoba berpikir positive, mungkin Killua sedang jelek moodnya. Ya, ya. Pasti begitu.

"Tapi..,"

Semuanya terjadi cepat hingga telinga Hinata mendengar suara 'klik' pintu yang tertutup.

Hinata tidak mengerti. Tapi yang jelas, Killua menghindarinya. Tidak terlihat kangen padanya. Tidak terlihat peduli padanya. Dan yang paling signifikan adalah, panggilan dari 'onee-chan' yang bertransformasi jadi 'Hinata'.

Hinata menghela napas pelan. Mungkin Killua sedang pubertas, jadi begitu. Ya, mungkin. Entahlah. Tapi Killua yang pergi bermain cukup menyita perhatiannya. Hinata menyesali Killua yang irit bicara. Hinata tidak sempat bertanya kemana dan kapan Killua akan pulang. Kemana? Teman-temannya. Ya tapi dimana kan Hinata tidak tahu! Kapan? Malam nanti. Hinata juga tidak tahu pukul berapa 'nanti' yang dimaksud Killua. Pokoknya, Hinata berjanji akan memarahi Killua atas sikapnya hari ini. Mungkin inilah sebabnya kenapa Killua yang sudah remaja masih dititipkan. Killua jelas salah pergaulan dan masih labil. Hinata teladan yang baik dari dulu, jadi Hinata diberi tanggung jawab menjaga Killua.

Gadis indigo itu mengangguk-angguk mafhum.

Hinata memutuskan untuk menunggu Killua hingga pulang. Kalau ia punya nomor ponselnya, Hinata pasti akan menghubunginya—menyusulnya.

Hinata menghabiskan makan siangnya yang menyisakan porsi lebih karena ia pikir Killua akan ikut makan bersamanya; lalu menghabiskan waktu dengan membaca novel lama Shakespeare sambil tiduran disofanya.

Hinata tersentak dari mimpinya dan langsung terbangun. Buku dipangkuannya jatuh begitu saja.

Ia memegangi kepalanya, "…Mimpi yang menyebalkan," Hinata bangkit, menggerutu kecil sambil melangkah terseok-seok menuju kulkas. Membawa sebotol mineral, lalu duduk lagi disofa dan meminumnya dengan rakus.

Beberapa tetesnya menyisakan jejak didagu Hinata. Dahinya tidak berhenti mengerut, dan bibir kecilnya terus menggerutu. Tidak, sampai suara seseorang menyadarkan Hinata bahwa ada orang lain yang sekarang duduk disisinya.

"Kau baik-baik saja?"

Hinata berjengit lalu secepat mungkin menguasai tubuhnya. "Ki-killua? S-sejak kapan kau disana?"

Laki-laki berambut perak disampingnya hanya menatap kearah Hinata sebentar lalu memungut buku Hinata yang sempat terjatuh.

"Lumayan lama,"

Hinata tergugu beberapa saat sampai ia ingat apa yang harus dilakukannya.

"Harusnya kau tidak boleh pergi begitu saja!" Meski berusaha galak, tapi sikap pura-puranya masih terlihat jelas. Hinata akui dia bukan artis yang hebat dalam berakting. Ia bahkan mencoba menaruh botol dengan sedikit sentakkan—meskipun gagal.

Killua mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti.

"Mana ponselmu?" Nada suara Hinata menuntut lengkap dengan tangannya yang terbuka.

"Untuk ap—,"

"Berikan saja," Hinata bahkan tidak membiarkan Killua berbicara lebih. Ya. Hinata harus bersikap tegas dan memperlihatkan siapa dewasa yang lebih berkuasa disini. Walaupun lebih terlihat seperti kekasih yang sedang merajuk. Ah, sudahlah.

Killua masih memandang Hinata bingung, namun sedikit banyak bocah jenius itu sudah bisa membaca situasi. Ia menyerahkan ponselnya yang langsung diterima Hinata.

Hinata mengotak-atik sebentar, lalu ponsel disaku celananya bergetar. Dapat. Nomor ponsel Killua sudah ditangannya, membuatnya mudah menghubungi Killua.

Hinata menggeser posisi badannya menghadap Killua. Sementara Killua sendiri hanya menanggapinya dengan tatapan biasa. Datar, tapi polos khas anak kecil—buat Hinata sih ya. Padahal Killua bukan anak yang baru lulus SD. Malah sudah hampir mau lulus.

"Orang tuamu menitipkanmu padaku. Suka atau tidak, kau berada dalam pengawasanku, dan—,' Hinata mengerutkan sedikit keningnya. Memutar matanya, memasang pose berpikir. Tunggu, tadi Hinata mau bilang apa lagi, ya?

Killua tersenyum remeh tanpa sepengetahuan Hinata. Dilihat dari manapun Hinata jelas hanya memaksakan dirinya.

Posisi badan Killua kini sudah menghadap Hinata sepenuhnya. Sebelah tangannya menyangga dagunya yang bertumpu pada sandaran sofa. Memperhatikan setiap ekspresi yang ditampilkan gurat ayu didepannya.

"Oh!" Hinata menepuk telapak tangannya dengan kepalan tangannya, tanda ia baru saja mengingat sesuatu. Killua yang masih tak ada niat untuk berganti pose, memilih untuk duduk menunggu.

"Jangan keluar tanpa ijinku sampai orang tuamu pulang," Hinata lalu berbisik kecil pada dirinya sendiri, "Benar juga, kapan orang tuanya pulang, ya?"

Killua memutar matanya guna menahan senyumnya yang hampir saja terkembang. Jelas ia mendengar gumaman tadi.

"Juga, aku harus tahu kemana kau pergi. Kasih tahu aku dimana kau kalau bermain lain kali," Lalu Hinata mengangkat ponsel Killua yang masih dipegangnya. "Itulah gunanya ponsel,"

"Aku tidak punya nomor ponselmu,"

"Aku sudah memasukannya. Namanya Hinata-nee," kata Hinata. Sepertinya ia mulai terbiasa dengan pribadinya yang sedikit kelebihan percaya diri.

Killua mengerutkan keningnya tidak suka sambil menerima ponsel yang diberikan Hinata. Apaan tuh?

"Juga, seharusnya kau memanggilku dengan panggilan yang sopan,"

"Hinata," Killua dengan sikap pongahnya langsung mempraktekkannya tanpa merasa salah sedikitpun.

"Kalau kau tidak mau memanggilku nee-san…," Hinata terdiam sejenak. Bayangannya ketika kecil berlarian diotaknya. Sungguh disayangkan. Hinata sedikit tidak rela dengan hal ini! "Kau boleh memanggilku Hinata-san,"

"Hinata," Dan sikap membangkangnya Killua, Hinata bertanya-tanya dari mana Killua mempelajarinya. "Aku tidak mau yang lain. Aku inginnya Hinata," Lalu sorot mata itu berubah jadi serius. Hinata sedikit ragu bagaimana ia harus menghadapinya. Maksud Killua itu ingin memanggilnya Hinata, kan? Bukan ada maksud lain yang terselip.., mungkin. Tanpa sadar, Hinata jadi sedikit salah tingkah. Dan ia tidak percaya saat ia mengutarakan alasan pura-pura kekamar mandi hanya untuk menghilangkan rasa gugupnya.

Killua hanya anak berusia 14 tahun.

Dan Hinata tidak percaya bocah itu bisa membuatnya sedikit deg-degan. Oke, Cuma sedikit, kok. Sepertinya Hinata hanya belum terbiasa dengan sikap Killua yang jauh dari bayangannya.

"Terimakasih sudah menjaga Killua untuk kami," Dandanannya yang unik belum bisa membuat Hinata terbiasa. Pakaiannya terbalut perban dan Hinata tidak bisa menyalahkannya. Toh, ibunya Killua seorang designer dan mungkin itu salah satu mode fashion yang Hinata tidak tahu. Jadi Hinata berusaha mengabaikannya meski kerap curi pandang sekali-kali.

"Tidak apa-apa," Hinata mengembangkan senyumnya. "Killua anak yang baik. Dia membantuku bersih-bersih," Dan Hinata tak bisa menahan senyumnya lebih lebar lagi saat Killua mengalihkan wajahnya. Teringat bagaimana Hinata mengalahkan Killua saat bermain tebak-tebakkan beberapa saat sebelum ibunya Killua datang.

"Benarkah? Wah.. itu hal yang sangat jarang dilakukan Killua. Biasanya dia akan menghabiskan waktu dihalaman belakang untuk—,"

"Bu, ayo pulang," Kerutan di kening Killua yang berdiri disisi ibunya tampak sangat jelas.

Untuk?

Hinata bertanya-tanya. Jujur saja, dia penasaran bagaimana Killua menghabiskan waktunya. Terlebih Killua baru pindah, jadi mungkin ia agak sulit beradaptasi. Begitulah pikir Hinata.

"Mungkin kami akan merepotkanmu lagi,"

"Tidak apa-apa. Akan menyenangkan kalau Killua sekali-kali menginap,"

"Wah itu menyenangkan! Tapi pasti akan repot sekali..,"

"Sama sekali tidak!" Hinata menggeleng sambil mengisyaratkan kedua tangannya didepan dadanya. "Aku tinggal sendiri jadi tidak masalah,"

Ibu Killua tersenyum.

Kedua perempuan itu mengobrol beberapa saat, lalu tertawa. Killua yakin obrolan itu takkan selesai kalau dirinya tidak mendesak sang ibu untuk segera meninggalkan kediaman Hyuuga saat itu juga.

Hinata menutup pintu setelah tamunya keluar gerbang. Ia melirik jam. Pukul 11 malam. Hinata menghela napas. Ia besok harus masuk sekolah. Ia juga belum mengerjakan PRnya. Mungkin kehadiran Killua sedikit menyita perhatian Hinata. Karena tak biasanya Hinata tidur selarut ini. Dan ia juga belum menghubungi kakak sepupunya-Neji yang kini tinggal di California.

Mungkin kakaknya tidak akan keberatan kalau Hinata melewatkan satu malam saja untuk tidak menghubunginya. Ya, lagipula waktu disini dan disana agak berbeda. Jadi pasti Neji memakluminya. Hinata menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap panjang.

Ia sudah tidak kuat. Mungkin nanti ia akan minta Ino memberikan salinan tugasnya. Ahh, sudahlah. Hinata ingin tidur sekarang dan tidak ada yang bisa mengganggu tidurnya.

"Ne, Hinata, kau sudah dengar?" Ino yang baru datang, duduk, lantas menggeser kursinya agar berdekatan dengan bangku Hinata, yang kini asik menyalin.

Hinata mengalihkan matanya sejenak lalu kembali berkutat pada bukunya. Ia sedang memilah jawaban yang sepertinya tidak perlu disalinnya. Otak encernya memudahkannya untuk mengerjakan lebih fleksibel. Meski kenyataannya Hinata menyalin tugas orang lain.

"Aku baru mengantar surat ijin sakit adik sepupuku ke SMP,"

Dan Hinata tahu pasti SMP mana yang dimaksud.

Hinata hanya bergumam tanda ia mendengarkan.

"Ada anak baru disekolahnya," Lalu Ino mendengus. "Oke,, mungkin dia masih kecil. Tapi dia keren dan manis. Aku harus berdesakan biar dapat fotonya," Dengan semangat Ino mengeluarkan ponselnya.

"Lihat! Hinata!"

Hinata menoleh dan langsung membulat ketika melihat siapa gambar di layar hp Ino.

"Manis kan?" Ino menggulum senyum. "Dia cukup keren. Aku membayangkan bagaimana ia kalau sudah dewasa. Pasti seksi," Lalu bunga-bunga fangirling berterbangan disekitar Ino. "Tapi bagaimana pun aku tidak minat pada bocah, sih.," Ino kembali memasukan ponselnya, yang tanpa sadar kalimat tadi membuat Hinata menghela napas lega. Tanpa alasan yang jelas.

"Aku mengenalnya," Hinata menutup bukunya setelah selesai menyalin. Lalu perhatiannya dialihkan pada sahabatnya.

"Kau kenal?" pekik Ino.

"Uhm," hinata mengangguk. "Dia tetanggaku yang sudah lama pindah dan kembali lagi," tapi Hinata tidak tahu kalau Killua sekolah di sekolah yang berinduk sama dengannya. Kalau tahu mungkin Hinata akan berinisiatif untuk mengajaknya berangkat bersama.

SMA dan SMP Konoha punya gedung yang berbeda. Tapi masih satu kawasan. Letaknya bersebelahan. Keduanya disatukan hanya ketika apel pagi karena lapangannya sengaja dilebarkan untuk bersama.

"Wah.. kau beruntung! Lain kali kenalkan aku dengannya, ya!" Ino bertepuk tangan senang sementara Hinata hanya tersenyum masam.

Jangankan kenalan..,

Bertemu saja sepertinya sulit.

15 menit kemudian bel tanda pelajaran dimulai berbunyi, bersamaan dengan seorang guru muda yang memasuki kelas. Terhitung satu bulan sejak guru laki-laki itu menggantikan posisi guru sebelumnya yang sedang cuti hamil.

"Sshh… kau tahu Hinata, Sasuke-sensei tidak pernah tampil biasa," desis Ino sambil berbisik. Matanya mengarah tajam pada guru bahasa Inggris mereka—Sasuke Uchiha yang kini memulai pelajarannya.

Hinata tidak menanggapi Ino dengan serius. Ia hanya bergumam sementara fokusnya terbagi—mendengarkan apa yang dikatakan gurunya. Bagi Hinata yang penting adalah Sasuke-sensei mengajarinya, dan Hinata mendapat ilmu darinya. Selesai.

Memang sih, Sasuke-sensei paling berkilau diantara guru-guru yang lain. Tapi kadang pandangan Hinata tentang gurunya sedikit berbeda dengan Ino yang cukup dewasa pengamatannya.

"Mr. Anthony meet Arcellina right front the Coffe shop," Guru bersurai biru gelap itu terdiam sejenak. "Hinata," Panggilnya, membuat Hinata tersentak berdiri.

"Ha-ha'i sensei! A..ano.. Yes, sir!," Antara gugup dan kaget karena namanya tiba-tiba disebut.

"Be 'Arcellina' for this conversation," Ujar Sasuke.

"Yes, sir!" Hinata mengangkat bukunya. Lalu diam. Kelas bahasa Inggris Sasuke memang kerap kali meminta anak didiknya untuk saling bercakap. Hinata masih diam, begitu juga kelas yang seperti biasa menunggu satu orang lagi untuk diminta jadi pasangan.

"Are you waiting for something?"

Mendapat teguran halus dari gurunya, Hinata langsung mengerti bahwa ia akan bercakap sendirian.

"I don't know you came," Hinata baru akan membaca bagian Mr. Anthony sampai Sasuke menghentikannya.

"Im here because you,"

Eh?

Hinata berusaha menganggap ini hal biasa. Meski dari sudut matanya Hinata bisa melihat beberapa anak kasak-kusuk. Bukan hanya karena Sasuke yang ikut membaca percakapan. Tapi isi dari percakapannya.

Dengan gugup Hinata kembali membaca.

"I don't know who you are," Kata Hinata dengan nada sedemikian rupa, menjadi tokoh Arcellina dalam cerita.

"You know me so well. By the way, im coming for something. I need it, really. And you hold what is mine,"

Selanjutnya Hinata merasa tatapan Sasuke terus mengarah padanya, membuatnya semakin gugup.

"And.. what is it, exactly?"

Hinata terdiam, begitu juga Sasuke. Entah sengaja atau tidak. Yang pasti kalimat berikutnya membuat para anak perempuan memekik.

"My heart," Nadanya rendah penuh penekanan.

Dan Hinata merasa bingung saat Sasuke tak melepaskan sorot onyxnya. Mengunci iris amethyst Hinata. Setidaknya hingga Sasuke kembali mempersilahkan Hinata duduk.

Mengabaikan sorak kecil Ino disampingnya, Hinata hanya menunduk hingga pelajaran bahasa Inggris hari itu selesai.

.

.

Hinata melangkah dan berhenti didepan palang rel kereta api yang sebentar lagi lewat. Ia masih berkutat dengan pikirannya, memikirkan hal-hal yang tidak penting, hingga sebuah suara yang tidak terlalu asing menyapanya.

"Sensei?" Lalu ia buru-buru membungkuk sopan. Sasuke membalas dengan mengangguk kecil. Lalu keduannya diam menatap rel, hingga kereta lewat dan suasana yang berisik kembali tenang.

Hinata kembali berjalan dan tidak tahu apakah arahnya searah saat melihat gurunya ikut berjalan bersisian dengannya.

"Ano.. aku baru tahu sensei lewat jalan ini," Hinata menunduk saat Sasuke menoleh kearahnya. "A..atau mungkin baru pertama kali aku melihat sensei lewat sini," gumam Hinata pelan. Tidak mendapatkan tanggapan apapun dari lelaki disebelahnya, Hinata sedikit menyesal karena memulai percakapan. Sepertinya ia baru saja menyinggung sesuatu yang salah. Atau mungkin hanya perasaannya.

"Aku sengaja lewat sini,"

"Oh? Untuk menemui seseorang?" Hinata sama sekali tidak sadar kalau nada bicaranya yang sedikit riang memancing senyum kecil dari Sasuke.

"Tidak. Mungkin hanya untuk berbicara dengan seseorang," Jawab Sasuke, membuat Hinata bingung.

Itu artinya menemui seseorang juga, kan?

"Oh, iya. Apa sensei—,"

"Sasuke,"

"E-eh?" Hinata terdiam, begitu juga Sasuke. Keduanya saling bertatapan dengan pikiran masing-masing. Kalau memanggilnya dengan 'Sasuke-sensei', Hinata bisa menerima karena mungkin 'Uchiha-sensei' membuat identitasnya bertukar Itachi-sensei yang juga mengajar di SMA Konoha. Hanya beda kelas saja.

Tapi kalau seperti ini..

"A..apa Uchiha-san akan mengajar terus?"

Sasuke mendengus mendengar panggilan yang Hinata sebut. Mau bagaimana lagi, Hinata tetap merasa itu tidak sopan. Dan.. ia tidak bisa melakukannya karena status mereka hanya sebatas murid dan guru. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan.

"Tidak lama," Jawab Sasuke kemudian.

"Eh? Kenapa?"

"Aku tidak bisa mendekati gadis yang kusukai kalau aku terus disana,"

Dan Hinata tak sempat menolak saat tangan gurunya bergerak mengusap puncak kepalanya.

"Kita berpisah disini,"

Hinata masih terpaku ditempatnya dan baru tersadar dari keterkejutannya saat Sasuke sudah berjalan, berbelok di pertigaan yang tidak searah jalannya menuju rumah Hinata.

Hinata bingung apakah dia harus penasaran atau menganggapnya sekedar rasa sayang guru pada muridnya.

Karena Hinata naif, ia memilih opsi kedua. Berusaha menjauhkan pikiran apapun yang setidaknya menurutnya kurang benar. Setidaknya bagi Hinata.

Memegangi dada kirinya, Hinata mengerutkan kening. Ini bukan suka atau sayang. Hanya gambaran dari perasaan kaget yang sempat dirasakannya. Meski begitu, Hinata tidak suka karena ini sedikit menganggunya.

Ia masih berdiri disitu, tanpa menyadari sepasang orbs hitam yang sejak tadi mengawasi hinata, berkilat tidak terima.

.

.

Tbc

Holla.. :D belum selesai fanfic yang lain udah bikin baru aja :D

Jujur ini cerita yang paling lama dan mungkin paling banyak WritersBlocknya, padahal masih chapter 1 :v

Dan ini adalah yang terpanjang yang pernah Dafril buat sampai sekarang. (karena emang jarang bikin) :v

Dan Dafril tidak pintar membuat judul. Sayonara~ :v :v

Selanjutnya di chapter 2!

Acara menginap dirumah Hinata!/"Ayolah, Hinata. Hanya permainan kecil, kok,"/

"A.. Aku harus pergi. Terimakasih,"/"Kenapa aku harus melepaskanmu?"/

.

.

Terimakasih sudah baca! :D

Regrats,

Dafrilioun.