"We are more than what we do,
Much more than we accomplish,
Far more than what we posses."
William Arthur Wards
.
.
.
Touché
By Admin Park
Main Cast:
Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Other Cast:
Find it by yourself.
Genre: Drama-Romance-Fantasy
Rate: T
Warning: Yaoi, Boys Love, Boy x Boy
.
.
.
Chapter 5
.
.
.
"BAGAIMANA DIA BISA TAHU APA YANG AKU PIKIRKAN?"
"IPPON!"
Chanyeol cepat-cepat melepaskan tangannya. Lawannya memandanganya dengan kagum bercampur heran karena baru kali ini dia menghadapi orang yang seakan bisa membaca pikirannya.
"Kau hebat," puji lawannya. "Sekolahmu beruntung mempunyai kau sebagai wakilnya."
"Terima kasih."
Lawannya mengulurkan tangan tapi Chanyeol hanya menjawab dengan membungkukkan badan tanda hormat. Membaca pikiran lawan yang kalah adalah hal yang paling dihindarinya, karena dia tahu tidak pernah ada kata-kata bagus di dalamnya.
Hari ini adalah pertandingan persahabatan antara sekolah nya dan sekolah dari luar wilayah sebagai persiapan kejuaraan judo nasional tingkat SMA. Dari sejak pertama mengikuti perlombaan judo, rekor tidak pernah kalah Chanyeol belum ada yang bisa mematahkan.
Sambil mengusap keringatnya, Chanyeol melirik pintu keluar. Dia melihat Baekhyun sedang berdiri disana. Sudah beberapa kali ini dia memergoki Baekhyun mengamatinya latihan masih dengan seragam atletiknya.
"CHANYEOL-AH! KAU YANG TERBAIK! WOHOO!" teriak Kai yang ternyata berdiri dibelakang Baekhyun. Baekhyun sampai menutup telinga saking kerasnya suara Kai.
Chanyeol menghela nafas lalu menghampirinya.
"Hentikan, kau membuat malu dirimu sendiri," kata Chanyeol dingin.
"Jangan khawatir, kau tahu sendiri aku orang yang tidak peduli dengan pendapat orang lain," jawab Kai sambil nyengir.
"Bukannya justru terbalik?" Chanyeol mendesah. "Karena kau peduli makanya kau suka melakukan hal-hal yang menarik perhatian orang lain?"
Kai berdecak lalu menatap Baekhyun. "Saranku, jangan terlalu lama dekat-dekat orang ini atau dia akan bisa membaca pikiranmu walau tanpa menyentuh."
Baekhyun tertawa. "Aku rasa itu hanya berlaku untukmu karena kepalamu yang paling transparan."
Kai melotot lalu memandang Baekhyun dan Chanyeol bergantian. "Kalian bersekongkol di belakangku huh!"
"Sudahlah..." Chanyeol menghela nafas. "Kau sudah dihubungi Cho ssaem?"
"Belum," Kai menggeleng. "Bahkan sepertinya hari ini dia tidak masuk, sepertinya perusahaannya sedang gawat. Mungkin kena imbas krisis global."
Chanyeol mengangguk. "Mungkin. King Group memang perusahaan multinasional."
"Ah!" pekik Kai melihat jam tangannya. "Aku sudah ditunggu Kim ssaem!"
"Untuk apa?" tanya Baekhyun.
"Aku ditunjuk untuk mewakili lomba biologi tingkat kota," Kai meringis.
"Oke, kalau begitu aku pergi dulu," dia bergegas. "Karena aku harus mampir sebentar keperpustakaan untuk 'belajar'."
"Mungkin sebaiknya kau 'belajar' di toko buku," kata Chanyeol. "Ada lebih banyak buku yang bisa kau serap."
Kai hanya mengacungkan jempol lalu berlari meninggalkan mereka. Baekhyun dan Chanyeol berpandangan sesaat lalu mengalihkan pandangan masing-masing. Karena mereja tak tahu apa yang harus dikatakan dan keadaan mulai canggung. Selama ini memang Kai lah yang menjadi jembatan antara mereka berdua.
Chanyeol berdehem.
Baekhyun melirik sedikit, "Kau benar-benar hebat," Baekhyun mencoba memulai pembicaraan.
Chanyeol menatap Baekhyun,
"Aku sudah berkali-kali melihatmu latihan dan merasa tidak ada judoka sehebat dirimu."
"Itu karena ini," Chanyeol mengangkat kedua telapak tangannya.
"Tapi kurasa bukan hanya karena itu," kata Baekhyun.
"Aku tidak sepertimu," kata Chanyeol dingin. "Kau hebat dalam atletik karena kekuatanmu sendiri. Lari tidak perlu menyentuh orang. Kalau tidak ada kemampuan touché, aku tidak ada apa-apanya dan aku tidak sedang bermaksud merendah."
Baekhyun berdecak, "Ternyata kau orang yang tidak bisa menghargai kemampuan sendiri ya," Baekhyun menatapnya. "Kalau hanya mengandalkan kemampuan touché, aku yakin kau tidak akan sehebat itu. Judo bukan hanya masalah bisa atau tidak membaca pikiran, jadi bisa dibilang kemampuan touché-mu cuma bonus."
Chanyeol memandang Baekhyun dan mendapati kesungguhan tersirat di kedua mata laki-laki mungil itu.
"Coba pikir, kalau memang kemampuan Judomu itu hanya karena kemampuan touché tidak mungkin aku jadi tertarik untuk melihatnya lagi dan lagi," lanjut Baekhyun tanpa sadar dengan apa yang ia katakan.
"Sejak pertama aku melihatmu membanting lawan, aku langsung merasa dirimu hebat bahkan setelah aku tahu kemampuanmu membaca pikiran. Gerakanmu seperti magnet yang menarik orang-orang menontonnya. Indah dan aku yakin itu bukan karena touché, itu kar—"
Baekhyun tehenti. Akhirnya ia sadar telah mengatakan hal-hal yang tidak-tidak. Kata-kata itu benar-benar mengalir begitu saja.
Bodoh! Apa yang kau katakan! Pekik Baekhyun dalam hati.
Baekhyun berdehem, wajahnya sudah memerah hingga ke telinganya. Suasana kembali canggung.
Chanyeol menatap lurus ke depan, sebenarnya ia bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Ini pertama kalinya ada seseorang yang mengatakan hal itu padanya. Pertama kalinya mendengar ada orang yang tulus mengaguminya terlepas dari kemampuan touché-nya dan pertama kalinya ada yang menganggap gerakannya "indah".
Tapi ini bukan pertama kalinya ada yang menghargai kemampuannya. Dulu, dulu sekali saat dia masih kecil, sudah ada yang pernah melakukannya.
"Terima kasih," kata Chanyeol pelan.
"Eh?"
Baekhyun menatapnya, tidak tampak ekspresi apapun di wajah Chanyeol.
Chanyeol mengalihkan pandangannya pada Baekhyun. Tatapannya intens dan menusuk kedalam. Tapi tidak sepekat dan sedingin seperti biasanya, kali ini lebih lembut dan teduh.
Baekhyun benar-benar tenggelam dalam tatapan itu, seperti ia terjerat kedalam dua bola mata hitam itu.
Chanyeol tersenyum.
DEG!
Dan saat itu Baekhyun hanya terdiam, tak mengatakan apa-apa. Sementara jantungnya berdegup sangat kencang, Dua kali lipat dari biasanya.
"Ada apa dengan jantungku!?"
Baekhyun gelagapan. Lalu tersenyum kaku, "Sama-sama."
Chanyeol menghela nafas. "Sampai bertemu besok."
Baekhyun mengangguk. "Sampai bertemu besok."
Walau senyum Chanyeol itu samar, ini pertama kalinya ia tersenyum pada orang lain selain Kai.
.
.
.
.
.
Sudah hampir seminggu ini Cho ssaem tidak datang ke sekolah. Saat Kai menanyakan hal ini pada guru-guru yang di kenalnya, mereka mengatakan tidak tahu apa-apa dan Cho ssaem maupun kerabatnya tidak memberikan pemberitahuan apa pun. Hal ini mulai membuat Baekhyun khawatir.
"Sebaiknya kita ke rumahnya," kata Chanyeol saat istirahat, di depan kelas Baekhyun.
Baekhyun dan Kai mengangguk.
"Kapan?" tanya Kai.
"Hari minggu besok," jawab Chanyeol. "Agak sulit jika ke rumahnya malam hari. Apalagi kalau ternyata dia memang harus bekerja di perusahaan ayahnya, malam hari pasti dia ingin istirahat."
"Benar," sahut Baekhyun "Kuharap dia tidak apa-apa."
"Kurasa..." Chanyeol tampak berpikir keras.
"Hari ini kau pulang denganku, Kai?" Chanyeol menoleh pada Kai.
Kai menggeleng. "Kim ssaem ngotot memberiku pelajaran tambahan untu persiapan lomba."
Kai memasang tampang memelas hingga Baekhyun tertawa melihatnya.
"AWAS!"
Baekhyun terkaget mendengar seseorang teriak, ia menoleh dan sebuah bola sepak dengan kecepatan tinggi hampir saja mendarat di wajahnya jika Chanyeol tidak menangkap bola itu tepat waktu.
"YA! JANGAN BERMAIN BOLA DISINI! BERBAHAYA, BODOH!" bentak Kai kesal lalu menatap Baekhyun khawatir, "Kau tidak apa-apa?"
Baekhyun menggeleng tapi wajahnya masih tampak pucat. Dia sampai jatuh terduduk. Melihat lajunya bola yang cepat, tadi sebenarnya dia sudah pasrah karena tidak sempat menghindar.
"Maaf..Maaf..." kata anak yang tadi menendang bola sambil tertawa sedikit. Dia hendak berjalan mengambil bola yang berada di tangan Chanyeol ketika dalam kecepatan yang lebih tinggi, bola itu datang sendiri menerjang perut anak tersebut hingga dia jatuh tersungkur.
Chanyeol menendangnya.
Semua orang yang melihat pemandangan tersebut langsung terdiam.
Baekhyun kaget melihat hal tersebut, lalu ia menolehkan kepalanya ke arah Chanyeol. Matanya berkilat saat menatap anak yang dibuatnya jatuh tersungkur.
Chanyeol tak mengatakan sepatah kata pun pada Kai dan Baekhyun. Ia langsung pergi begitu saja membelah kerumunan yang menatap nya dengan tatapan kagum, takut dan kaget. Setelah Chanyeol menghilang, kericuhan dimulai. Beberapa menganggapnya keren, beberapa menganggapnya menakutkan, dan tidak sedikit anak lak-laki yang kemudian malah menjadikannya panutan.
"Aku tak tahu apa yang telah terjadi di antara kalian berdua," Kai mendesah lalu tersenyum. "Tapi kau sudah dianggap penting olehnya."
"Eh?" Baekhyun melongo.
Kai mengangguk. "Kau lihat kan tadi? Dia marah."
"Dia marah karena ada orang yang akan menyakitimu," lanjut Kai, ia mengulurkan tangan untuk membantu Baekhyun berdiri.
Lagi.
Setelah seminggu ia tak merasakan detak jantung yang bertalu-talu itu. Sekarang ia merasakannya lagi.
.
.
.
.
.
Kyungsoo menatap Baekhyun yang sedang melamun seraya memasukkan buku nya secara acak.
Ia menjentikkan jari nya tepat di depan wajah Baekhyun, "Hei,"
Baekhyun tersadar lalu menoleh. "A-ada apa?"
"Kau tumben sekali melamun." Ujar Kyungsoo seraya menyipitkan matanya. "Kau.. menyembunyikan sesuatu ya?"
Baekhyun menghela nafas. "Yah, kurasa begitu."
Kyungsoo mendelik. "Kenapa tak menceritakannya padaku huh?"
Baekhyun menggendong tasnya, "Entahlah."
"Jawaban macam apa itu!?"
Baekhyun terkekeh. "Aku ingin menceritakannya padamu, tapi kurasa waktunya belum tepat."
Kyungsoo menatap Baekhyun, lalu menghela nafas. "Baiklah. Jika kau sudah siap aku akan mendengarkannya." Ujarnya seraya menyeimbangi jalan nya dengan Baekhyun.
"Tapi, jangan terus-terusan seperti ini. Kau tahu, wajahmu itu menyeramkan jika melamun." Lanjut sambil bergidik.
Baekhyun tertawa. "Kau memang sahabat terbaikku."
"Jika aku memang sahabat terbaikmu, maka jangan merahasiakan sesuatu dariku." Rajuknya.
"Aku kan sudah bilang, jika aku akan mengatakannya di saat waktu yang tepat."
"Ya, ya. Terserah." Kyungsoo melambaikan tangannya seperti mengusir.
"Kau pulang dengan siapa?" tanya Baekhyun mengalihkan pembicaraan.
"Aku harus menjenguk nenek ku di rumah sakit. Kau duluan saja." Ujar Kyungsoo.
Baekhyun cemberut. "Kau tidak sedang menjauhiku kan?"
Kyungsoo melirik sebentar, dan terkekeh melihat wajah memelas Baekhyun. "Tidak. Aku serius mengenai nenek ku yang di rumah sakit."
Baekhyun pun tersenyum. "Baiklah, aku duluan."
Kyungsoo mengangguk lalu ia berjalan ke arah berlawanan.
Baekhyun termenung sambil berjalan menuju ke halte bus dekat sekolahnya. Ia memikirkan banyak hal. Mulai dari touché, Cho ssaem yang tidak muncul selama seminggu, tentang eomma nya yang harus nya mengetahui tentang semua ini, tentang pertemanannya dengan Kai dan Chanyeol.
Semua berkecamuk menjadi satu membuat kepala nya pening. Jadi Baekhyun mempercepat jalannya agar ia bisa sampai rumah dan beristirahat.
Tapi, tiba-tiba sebuah sepeda motor hitam berhenti di sampingnya. Ia tahu betul siapa pemilik motor ini.
"Chanyeol?" gumam Baekhyun.
"Naiklah," Chanyeol menyodorkan helm padanya.
"Ha?" Baekhyun menatapnya bingung.
"Cepat naik,"
Baekhyun langsung mengambil helm itu melihat Chanyeol yang menatapnya tajam.
"Dimana Kai?" tanya Baekhyun begitu motor Chanyeol melaju.
"Kau dengar sendiri kan tadi, dia ada pelajaran tambahan," jawab Chanyeol. Setelah itu mereka berdua diam hingga sampai di depan rumah Baekhyun.
Saat Baekhyun hendak mengembalikan helm yang baru saja dipakainya, tetangga sebelahnya keluar rumah dan bergegas menghampirinya. Tetangganya itu tampak panik.
"Baek, aku titip rumahku ya," kata Shindong sambil menyerahkan segepok kunci.
"Ada apa, paman?" tanya Baekhyun
"Aku baru datang dinas dari Seoul dan sesampainya dirumah tiba-tiba aku dapat kabar istriku melahirkan," jawabnya dengan terburu-buru. "Aku harus segera kesana."
"Wah! Selamat ya, paman!" Baekhyun mengulurkan tangannya. "Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan," Shindong tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Akhirnya aku tetap menjadi yang paling tampan di rumah."
Baekhyun tertawa.
"Salam buat ..." kata Baekhyun saat Shindong naik ke mobil. Shindong membunyikan klakson satu kai dan melambaikan tangan lalu mobilnya bergerak menjauh.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Chanyeol
"Ha?" Baekhyun menatapnya bingung.
"Kau tadi menyentuhnya, kan?"
"Oh itu," Baekhyun tersenyum sambil mengamati telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menyalami Shindong. "Itu tadi namanya recharge energi. Aku kadang-kadang sengaja melakukannya," lanjutnya. "Saat mengetahui ada orang lain yang perasaannya sedang senang, kadang-kadang aku sengaja menyentuhnya agar memiliki perasaan yang sama. Rasanya menyenangkan."
"Aku..." kata Chanyeol pelan. "Tak mengerti. Berarti kau bersyukur memiliki kemampuan touché-mu itu? Kalau kemampuan seperti milik Kai, aku mengerti tapi kemampuan sepertimu yang mirip dengan punyaku... apanya yang menyenangkan?"
Baekhyun tampak bingung menjawab pertanyaan Chanyeol.
"Aku juga tak mengerti," kata Baekhyun. "Tapi walau cukup sering aku merutuki kemampuanku ini terutama ketika harus mengalami perasaan-perasaan sedih, frustasi, iri, sakit hati yang dimiliki orang lain. Tidak jarang aku bersyukur bisa ikut merasakan perasaan positif mereka. Perasaan senang, bangga, puas, bahkan cinta."
"Semakin dipikir, ternyata kemampuan ini tidak jelek juga. Apalagi saat tahu ternyata kemampuan ini berguna bagi orang lain," Baekhyun tersenyum "Kemampuan ini diberikan pada kita, aku yakin pasti ada alasannya."
Raut wajah Chanyeol berubah menjadi dingin.
"Bodoh."
"Ha?" Baekhyun mengerutkan dahinya tak suka.
Chanyeol mengambil helm dari tangan Baekhyun lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun.
"H-hei!" Baekhyun menatap motor sport Chanyeol yang semakin menjauh dengan bingung.
.
.
.
Chanyeol melempar helmnya ke dalam garasi, menimbulkan suara barang yang berjatuhan. Langkahnya seperti ia sangat marah, tanpa mengucapkan apa-apa ia langsung masuk kedalam kamarnya.
Dia tidak tahu apa-apa, batin Chanyeol sambil membanting pintu kamarnya. Apanya yang tidak jelek dari memiliki kemampuan ini! Aku bahkan rela menukar apa saja bahkan keahilan judoku asal kemampuan touché ini hilang.
Tok! Tok!
Pintu kamar diketuk.
"Masuk," jawab Chanyeol dari dalam kamarnya. Pintu terbuka dan eommanya berdiri didepan kamarnya.
"Eomma mau pergi ke bandara untuk menjemput teman," katanya agak canggung. "Appamu dinas ke Jepang jadi kau di rumah sendirian. Tidak apa-apa?"
Chanyeol mengangguk.
"Kau mau Eomma belikan apa untuk oleh-oleh?"
"Tidak ada," jawab Chanyeol. Mereka terdiam cukup lama hingga akhirnya eomma menutup kamar Chanyeol.
Sikap dingin eommanya itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan bukan hanya eommanya, appa dan noona yang sekarang menetap di Jepang pun memperlakukan Chanyeol sama dinginnya. Ini bukan disebabkan karena perbuatan Chanyeol karena dia anak baik, tampan, penurut dan berprestasi. Tipe anak yang seharusnya menjadi kebangaan orangtua-nya. Chanyeol juga hampir tidak pernah melakukan kesalahan apalagi kesalahan besar. Jika memang ada yang disebut kesalahan mungkin itu adalah saat dimana kemampuannya membaca pikiran di sadari oleh orang-orang terdekatnya.
Saat itu dia masih kecil dan dia bisa mengatakan apapun yang ada didalam pikiran orang-orang yang menyentuhnya. Lambat laun eomma, appa, dan noona sedikit demi sedikit menjauhinya. Tidak ada yang menyentuhnya apalagi memeluknya. Sejak itu dia berhenti merasakan apa yang disebut kehangatan keluarga. Noonanya memutuskan untuk kuliah di Jepang agar bisa jauh darinya. Appa nya menerima tawaran dinas ke mana pun yang bisa membuatnya pergi dari rumah dan Eomma, ia lebih memilih menyibukkan diri dengan berpergian bersama teman-temannya. Walaupun tidak terkatakan, semua itu adalah bentuk ketakutan mereka. Di zaman di mana hampir tak ada rahasia lagi karena semua hal bisa dengan mudahnya di ketahui publik, hanya pikiran satu-satunya tempat pribadi yang tersisa. Bayangkan apa ayang akan terjadi jika tempat pribadi itu akhirnya bisa di baca. Mungkin itulah yang dirasakan keluarganya.
"Apanya yang tidak jelek juga..." geram Chanyeol. Dia menjatuhkan tubuhnya dikasur lalu memandang langit-langit. Pikirannya terbang ke masa sepuluh tahun yang lalu saat dia pergi ke festival kota dan bertemu anak laki-laki manis yang terpisah dari eommanya. Kata-kata "Superman" dan wajah polos anak itu waktu mengatakannya masih terbayang hingga sekarang. Hari itu lah pertama kalinya dia merasa kemampuannya ternyata sangat berguna. Anak itu pula yang memberinya harapan bahwa masih akan ada lagi orang-orang yang menghargai kemampuannya. Harapan yang membawanya bertemu dengan Kai dan Baekhyun.
Dering ponselnya membuyarkan lamunan Chanyeol
"Halo?" jawab Chanyeol.
"Ini aku," kata suara disebrang. "Baekhyun"
"Dari mana kau tahu nomorku?" tanya Chanyeol dingin.
"Kai," cicit Baekhyun, nada suaranya menunjukkan kalau dia takut. "Aku mau minta maaf karena sepertinya kata-kataku tadi membuatmu marah."
Chanyeol terdiam sesaat.
"Tidak," katanya kemudian. "Aku tidak apa-apa."
Terdengar helaan napas.
"Syukurlah..."
"Kau memang tidak bersalah," lanjut Chanyeol. "Karena kau mungkin sedikit benar."
"Eh?"
Chanyeol termenung. "Tidak apa."
.
.
.
.
.
"Rumah Cho ssaem benar-benar besar, bahkan pagarnya pun sebesar ini," gumam Baekhyun sambil menatap kagum pagar kokoh didepannya.
"Tak ada waktu untuk kagum," kata Chanyeol lalu memencet belnya.
"Kediaman King, ada yang bisa saya bantu?" jawab suara dari pengeras suara di bel itu.
"Kami murid-murid Cho ssaem, bisakah kami bertemu dengan beliau?"
Tidak ada jawaban selama beberapa saat.
"Maaf, beliau sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan beliau kembali," katanya kemudian.
Mereka bertiga berpandangan.
"Aneh," kata Kai. "Dia tidak memberitahu apa-apa tentang hal ini pada kita."
"Mungkin keadaan perusahaannya begitu gawatnya," sahut Baekhyun mencari alasan yang masuk akal.
Chanyeol tak mengatakan apa-apa, dia tampak berpikir keras. Dia lalu memandang sekeliling dan matanya terhenti pada pos satpam tak jauh dari rumah Cho ssaem. Chanyeol bergegas menuju tempat itu.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Kai sambil mengikuti langkah Chanyeol.
Chanyeol tak menjawab, alih-alih melepas sarung tangannya.
"Ya! Aku tidak punya kemampuan sepertimu jadi beritahu aku apa yang ada dalam pikiranmu!" protes Kai. Sebelum Kai mengatakan sesuatu lagi, Baekhyun menarik bajunya dan menggeleng.
"Percaya saja pada temanmu itu," katanya. Kai akhirnya mengangguk dan mereka berdua berjalan dibelakang Chanyeol.
"Maaf, Pak" Chanyeol menyapa satpam yang sedang berjaga di pos itu.
"Ya?" satpam itu mengernyit dan memandangnya dengan heran.
Chanyeol mengulurkan tangannya. "Saya Park Chanyeol, murid Cho Kyuhyun."
"Cho Kyuhyun yang tinggal dirumah itu?" Satpam itu menunjuk rumah Cho ssaem sebelum menjawab uluran tangan Chanyeol
"Kami ingin menitipkan sesuatu pada Cho Kyuhyun," jelas Chanyeol tanpa melepas jabatan tangannya. "Tapi beliau tidak ada di rumahnya dan para pelayan dirumahnya tidak mau membukakan pintunya untuk kami. Kira-kira kami bisa menitipkannya di Anda?"
"Eh.." satpam itu menelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Setiap beliau lari pagi, kami memang sering bertemu tidak jarang beliau mampir kesini, tapi akhir-akhir ini sayang jarang, eh, bisa dibilang saya tidak pernah melihatnya lagi."
Satpam itu ingin melepaskan tangannya dari genggaman Chanyeol tapi Chanyeol tidak mau melepaskanya begitu saja.
"Kapan Anda terakhir melihatnya?" tanya Chanyeol
Satpam itu tampak berusaha mengingat-ingat.
"Seminggu yang lalu..." katanya agak ragu. "Tidak... Jumat minggu lalu! Benar! Itu terakhir kalinya saya melihat beliau."
"Setelah itu Anda tidak pernah bertemu dengan nya lagi?"
"Tidak," satpam itu menggeleng.
"Anda tahu dimana saya bisa menemui supirnya?" tanya Chanyeol.
Raut wajah satpam itu berubah, rahangnya agak menegang.
"Saya tidak tahu," jawabnya.
Mereka terdiam selama beberapa saat sampai Chanyeol menarik tangannya. Dia menghela nafas.
"Terima kasih," katanya. "Kalau begitu akan kami pikirkan bagaimana sebaiknya kami menyerahkan tugas sekolah ini." Chanyeol membungkukan badannya. "Permisi."
Kai dan Baekhyun ikut membungkuk lalu mereka undur diri.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kai tak sabar dalam taksi yang mereka tumpangi. Dia menggoncang bahu Chanyeol yang duduk didepan.
Chanyeol memijat pelipisnya dan agak menggeram.
Baekhyun yang melihat itu memberi tanda agar Kai diam dulu, wajah Chanyeol juga terlihat pucat.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Baekhyun khawatir.
Chanyeol menggeleng. "Aku hanya terlalu banyak membaca pikirannya karena aku tidak bisa memilah apa yang kuserap. Kita bicarakan hal ini dirumahmu saja."
Baekhyun dan Kai mengangguk.
Sesampainya dirumah Baekhyun, Chanyeol langsung menuju garasi dan mencari motornya yang tadi dia titipkan disana.
"Tunggu sebentar!" cegah Kai. "Kesabaranku sudah mulai habis! Setidaknya katakan dulu kau mau ke mana dan bukankah kau sudah berjanji memberitahu kami apa yang terjadi?"
Chanyeol menatapnya lalu menepis tangan Kai dengan halus.
"Aku butuh memastikan sesuatu, aku berjanji akan segera mengatakannya padamu," katanya sambil menyalakan mesin lalu melaju menjauhi rumah Baekhyun.
"Aku sudah sering mendengar kata-kata itu," desah Kai. Dia menoleh pada Baekhyun.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Menunggunya?"
"Kau minum apa?" tanya Baekhyun sembari mereka menunggu Chanyeol di kamarnya.
"Pina Collada," jawab Kai sambil nyengir
"Oh," Baekhyun manggut-manggut lalu mengambil novel di dekatnya dan mulai membaca.
"Kau tak akan membuatkannya untuk ku?"
"Aku kan hanya bertanya," kata Baekhyun datar. "Siapa yang bilang aku akan membuatkannya untukmu?"
Kai tergelak. "Dalam satu dan lain hal, kau dan Chanyeol itu mirip."
"Mungkin itu sebabnya aku juga merasa cocok berteman denganmu," tambah Kai, dia memandang Baekhyun dengan lembut hingga Baekhyun merasa agak salah tingkah.
"Kau..." Baekhyun menutup novelnya, "...sudah berapa lama berteman dengannya?"
"Sejak kami kecil," jawab Kai. "Sejak SD sepertinya."
"Dari dulu dia seperti itu?"
"Seperti itu bagaimana?" tanya Kai bingung.
"Muram, gelap dan pendiam."
"Saat aku mengenalnya dia sudah seperti itu,"" Kai mencoba mengingat-ingat. "Aku ingat, dia satu satunya anak yang tidak pernah diemput orangtuanya sama sekali. Berangkat dan pulang sekolah sendiri. Bahkan saat penerimaan rapot pun, eommanya pulang terlebih dahulu. Selalu seperti itu."
"Kau berteman dengannya karena kasihan?"
Kai menggaruk-garuk kepalanya. "Aku ini tidak sebaik itu. Mana mungkin aku punya empati sebesar itu. Aku berteman dengannya justru karena dia mau berteman denganku."
"Hah?" Baekhyun menatapnya bingung.
"Kau tahu sendiri, aku ini tanpa belajar pun selalu mendapat nilai bagus," Kai tersenyum. " "Tidak sedikit teman-teman yang tidak suka padaku. Padahal aku juga tidak minta diberi kemampuan ini. aku lebih memilih hidup dengan nilai biasa-biasa saja daripada menjadi orang dengan kemampuan aneh walaupun mendapat nilai luar biasa, karena nilai ku itu bukan karena kepandaianku yang sebenarnya. Apa yang orang lihat dariku bukan diriku yang sebenarnya. Baru Chanyeol yang mau berteman denganku karena diriku sendiri."
"Aku tahu, mungkin itu karena dia bisa membaca pikiranku," lanjut Kai. "Tapi aku sangat menghargainya."
Hening diantara mereka. Baekhyun menyentuh pundak Kai. Rasa haru dan senang menjalar ke tubuhnya, seperti desakan untuk tersenyum.
"Aku tahu," kata Baekhyun. "Aku bisa merasakannya."
Kai menatapnya.
"Itu kan memang kemampuanmu," katanya sambil meringis.
2 jam kemudian terdengar suara bunyi motor milik Chanyeol. Wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya ia menaruh helmnya di sofa lalu terduduk.
"Ada apa?" tanya Baekhyun khawatir. Chanyeol menatap Baekhyun intens dengan nafas terengah-engah.
Kai yang melihat itu langsung duduk disebelah Chanyeol, "Ceritakan pada kami," ujarnya seraya takut melihat Chanyeol yang bisa saja roboh sewaktu-waktu.
"Cho ssaem... dia hilang."
.
.
.
TO BE CONTINUE
.
.
.
A/N: HALO! Maaf ya ini update nya telaaaat banget nget. Minggu ini saya sibuk karena ujian kenaikan kelas dan ditambah lagi tugas banyak banget yang numpuk. Dan ujian kenaikan kelas ku selesai jumat depan dan karena pada minta cepet update jadi aku sempetin hari ini, hehe.
Gimana ff nya? Makin gak jelas atau makin bikin penasaran?:") Pokoknya saya ingin berterima kasih dengan semua review, follow, dan favoritenya kalian. Dan aku berharap untuk kedepannya kalian tetap memberikan aku kritik yang membangun dan hal-hal yang kurang dari ff ini untuk kelanjutannya supaya lebih baik hehe.
Oke sekian dulu, see you in the next chapter.
