In every second I breathe…

Why is it so hard to believe?

That loving you is the most important thing in my life.

Although… thus you would always leave me behind…

Hurt… breaking… bleeding…

With every single rejection you gave me.

And now… I'm sinking.

.

.

.

If Love is Nearly Life Breaking © Fujimoto Yumi, 2016

Park Jimin X Min Yoongi © God, themselves

BTS, Infinite and other cast (c) God, themselves

Hurt/Comfort, Angst, Romance

Rated M. AU. OOC. SLASH.

Bottom!Yoongi. Uke!Yoongi

A/N1 : This is my very first MinYoon fiction, and maybe the one and only.

This fiction is dedicated for my dearest sister, Jimsnoona.

Hope you like it. I hope that it is exceeded your expectations.


.

.

.

Ini semua berawal dari cinta…

Ya cinta.

Cinta yang bahkan tidak tahu diri, yang seenaknya hadir tanpa permisi.

Cinta… yang membuat hidup menderita.

Ya cinta…dan semua orang menginginkannya.

Ya… ini tentang cinta…

Yang tidak pernah mau berbicara.

Yang lebih memilih bersembunyi.

Pada akhirnya air mata dan luka menganga mewakili…

Bahwa aku cinta…

Selalu cinta… tanpa kau benar-benar mengerti.

Aku cinta… sekalipun dengan hati yang mati.

Ya… aku cinta… kau.

selalu dalam hati ini.

.

.

.


Helaian sewarna mintnya mengayun pelan di saat angin menyapanya. Min Yoongi, mahasiswa tingkat lima Universitas Seoul terduduk di bangku taman dengan laptop dalam jarak pandangannya. Ia menghela napas lelah sampai akhirnya ada seseorang yang bergabung bersamanya di sana.

"Sudah selesai, hyung?"

Pemuda bermahkotakan sewarna mint itu menoleh dan mendapati Park Jimin, kekasihnya yang tengah memandangnya dengan senyuman terpatri di bibirnya. Yoongi kembali mengalihkan pandangannya ke arah laptop yang terbuka. "Belum."

"Oh…" mulut namja lain itu membulat. Kemudian menumpukan wajahnya pada kedua telapak tangannya. "…tidak mau pulang?"

"Duluan saja."

"Kalau begitu aku tinggal bersamamu."

"…" Yoongi diam tak membalas.

"Aku beli minum dulu, 'kay?"

"Jim—" dan saat akan berkata sesuatu, Park Jimin berlalu tanpa membiarkannya berucap apapun. Pun akhirnya Yoongi memilih menggeluti apa yang ia lakukan tadi.

Membiarkan langit musim semi mengayun di angkasa. Membiarkan dedaunan bergesekan, membiarkan angin membelainya. Ia terlalu tidak peduli pada apapun yang ada di sekelilingnya. Ya… itulah Min Yoongi yang dikenal semua orang, kecuali keluarga dan sahabat-sahabatnya.


xxxXXXxxx


Park Jimin kembali berjalan ke arah di mana kekasihnya duduk tadi. Di tangannya sudah ada dua gelas jus yang akan menemani mereka. Angin musim bunga berhembus menyapa mahkota sewarna langit senjanya, dan saat kemudian matanya melirik ke arah di mana seharusnya Yoongi duduk tadi, ia harus menelan kecewa ketika yang dicari tak ada di sana.

Jimin tersenyum maklum, ia tetap mendekati tempat duduk itu dan mendudukinya. Ia menaruh kedua gelas itu di atas mejanya. Lalu kembali bertopang dagu, berpikir lagi sudah berapa kali ia ditinggal pulang oleh sosok itu?

Apa sebegitu tak inginnya Yoongi pulang bersamanya?

Matanya melirik apapun yang ada di sana dan mendapati catatan yang mungkin Yoongi tinggalkan untuknya. Yang seharusnya hal itu bisa ia lakukan dengan mengirim pesan ke ponselnya, kan?


'Aku pulang duluan.

Yoongi.'


Sesederhana itu? Ya, selalu sesederhana dan sesingkat itu. Selalu dan selalu bahkan setelah semua yang terlewati. Jimin selalu berpikir mungkinkah hanya dirinya yang merasa butuh akan hubungan ini? Apakah mungkin hanya dirinya yang bahagia ada di dalam hubungan kasih ini? Jimin berharap ia bisa mengerti semua hal tentang Min Yoongi. Tetapi mengapa mencintainya harus sesulit ini?

"Setidaknya telpon aku bisa, kan… hyung…"

Beriringan dengan matahari yang makin memudar, Jimin berharap bisikannya akan terdengar… oleh Yoongi… oleh pemilik hatinya ini.

"Saranghae, Yoongi-ya."


xxxXXXxxx


Hari ini Jimin tidak ada mata kuliah dan dia ke kampus tadi hanya untuk mengantar Yoongi seperti kegiatan biasanya.

Pemuda itu duduk di ruang tamu, menonton televisi sambil menyemil dan sesekali bermain game. Namun sekalipun ia melakukan itu semua, tak dipungkiri ada banyak pertanyaan di otaknya. Mengapa, mengapa dan mengapa? Mengapa Min Yoongi itu begitu sulit? Mengapa Min Yoongi itu begitu cuek? Mengapa Min Yoongi selalu membuatnya gila? Mengapa Min Yoongi selalu bisa membuatnya merasakan semua rasa gundah ini?

Mengapa?

Berapa kalipun Jimin bertanya, tak pernah ada jawaban yang datang. Dan itu menyakitinya. Hal itu menyiksanya.

Semua rasa yang ia punya begitu egois dan ingin sekali memaksakannya kepada Yoongi, tapi dia bisa apa? Tidak ada yang bisa ia lakukan selain bersikap seperti biasanya.

Ia berharap bisa seperti kakaknya yang romantis dengan kekasihnya yang merupakan sahabat Yoongi juga. Tapi ah… setiap hubungan seseorang memang berbeda, kan? Dan mengapa Jimin selalu menuntut lebih di saat Tuhan sudah memberikan Min Yoongi sebagai miliknya? Seharusnya itu sudah cukup… seharusnya… memang cukup…

Pluk!

"Aduh!"

Jimin langsung tersadar saat seseorang menepuk –lumayan- keras kepalanya. Ia mendongak dan mendapati hyungnya, Myungsoo dan kekasih hyungnya, Sungyeol yang menatapnya penuh tanda tanya.

"Sedang melamun apa kau sampai ngiler begitu?"

"Eh?" Jimin langsung refleks mengusap pinggiran bibirnya, dan dia tidak mendapati air sedikitpun. Saat ia mendengar suara kekehan, ia segera protes ke hyungnya. "Aku tidak ngiler!"

"Ya ya ya…" sosok itu berjalan memutar dan duduk di sampingnya. Ia juga bisa mendengar bahwa kekasih hyungnya berseru akan membuatkan minuman untuk mereka. "Kau… pasti lagi melamunkan pacarmu itu. Masalah apalagi sama si Yoongi itu?"

"Ha? Masalah? Tidak ada, kok. Hyung jangan sok tau."

"Jimin."

"Kami baik-baik saja. Ohya, kok Sungyeol hyung ada di sini? Bukannya ada kelas sama Yoongi hyung?"

Myungsoo belum sempat menjawab saat kekasihnya ikut bergabung dan dengan seenaknya tanpa mempedulikan Jimin duduk di pangkuannya. "Kami sudah selesai. Suga tidak menghubungimu?"

Jimin menggeleng sambil tersenyum. "Dia tahu aku tidak di kampus, jadinya ya… begitu deh."

"Tsk. Si Agus itu," Sungyeol mendecih dan memalingkan mukanya. Myungsoo hanya menggeleng dan Jimin kembali bersandar pada sofa yang ia duduki.

Kembali ia memasuki dunia lamunannya. Berpikir dan berpikir sampai dering pada ponselnya menyapa pendengarnya Jimin. Ah… Yoongi hyung, kah?

"Yoongi hyung? Ada apa?" Jimin berucap menyapa seseorang di seberang sana.

Diam sebentar sebelum sosok itu menjawab. ["Jemput sekarang."]

"Ok—" sebelum benar-benar menjawab lagi, Yoongi sudah memutus sambungannya. Dan sekali lagi yang bisa Jimin lakukan hanya tersenyum kemudian bangkit dari duduknya. Meninggalkan dua orang yang masih memandanginya.

Pun ia yakin, ia masih bisa mendengar bahwa Sungyeol mengumpat lagi tentang sahabatnya di sana.


xxxXXXxxx


"Hyung sudah makan?" Jimin bertanya sambil memberikan helm kepada Yoongi.

Yoongi menerima helm itu kemudian menatap Jimin sebentar. Kemudian menghela napas. "Belum. Kenapa?"

Jimin berusaha mati-matian terbiasa dengan tatapan tajam Yoongi-nya itu. "Mau makan dulu?"

Yoongi menggeleng. Ia seolah memberi isyarat pada Jimin untuk segera menaiki motornya dan mengantarnya pulang. "Malas. Mau makan di rumah saja."

"Ooh, oke kalau begitu ayo kuantar pulang."

"Kalau kau tidak cepat menghidupkan motormu mana bisa kau mengantarku pulang, Jimin?"

"Eh, oh… iya hehe. Ayo hyung."

Yoongi pun naik di belakang Jimin yang langsung tancap gas. Walau hatinya ingin –bahkan sangat ingin agar Yoongi berpegangan dengan erat sambil memeluk pinggangnya, ia tahu itu tidak mungkin. Karena itu Jimin langsung menjalankan motornya membelah jalanan di senja yang mendung.

Rasa-rasanya hujan sebentar lagi akan turun. Dan Jimin merasa ia harus mempercepat laju motornya karena ia tidak mungkin membiarkan mereka kehujanan. Namun apa daya, saat akan benar-benar mengebut, hujan turun dengan deras membuat Jimin terpaksa menepikan motornya dan menarik Yoongi ke sebuah halte bis yang ada.

"Seharusnya aku pakai mobil tadi," Jimin bergumam di antara derasnya hujan. Dan ia berani bersumpah ia mendengar Yoongi mendecih di sampingnya.

Ia sudah biasa dengan sikap ketus kekasihnya itu. Ia pun kemudian hanya diam memandangi hujan yang semakin banyak turun dari langit. Sesekali melirik Yoongi yang diam di sampingnya. Meneliti setiap pahatan Tuhan pada wajah sosok itu. Sosok Min Yoongi yang selalu bisa membuatnya gila.

Memperhatikan bagaimana rambut mint-nya yang agak acak-acakan setelah pelindung kepalanya di lepas. Turun ke pipinya yang agak chubby dan bibirnya yang agak merah namun bergetar. Tatapannya kemudian bermuara jauh-jauh ke bawah, namun kembali lagi saat ia memutar ulang rekamannya tadi. Apa ia baru saja berspekulasi bahwa bibir kekasihnya bergetar?

"Hyung baik-baik saja?"

Yoongi hanya meliriknya dan masih setia memandang jalanan. "Memang aku kenapa?" dia menjawab datar namun ketus pertanyaan Jimin.

Jimin memaksa memutar tubuh Yoongi agak menghadapnya dan memperhatikan dengan seksama ekspresi wajah sosok yang dicintainya. Yoongi hyung kedinginan, begitu pikir Jimin. Tanpa mempedulikan sosok di depannya yang protes, atau ketika hujan makin memburamkan semua pandangan dengan banyaknya tetes air yang jatuh, dan suaranya yang seolah menulikan pendengaran, Jimin melepas mantelnya yang untungnya tidak basah dan memakaikannya ke tubuh kekasihnya.

Yoongi siap membuka mulutnya tapi tidak jadi ketika Jimin malah menariknya ke dalam pelukan dan mendekapnya.

"Jimin lepas—"

"Kau kedinginan hyung."

"Tidak perlu—"

"Aku hanya ingin menyalurkan kehangatan padamu. Jadi, diam saja."

"Kau minta kupukul ya? Lepaskan aku, Park Jimin."

Jimin langsung menunduk dan menatap wajah yang sengaja ia sembunyikan di dadanya, menatap lekat manik hitam Yoongi dan mengusap pipinya yang memerah. "Kalau dipukul olehmu membuatku bisa memelukmu, aku rela hyung."

Yoongi melotot ketika merasakan pelukan Jimin semakin mengerat. "Le-pas."

"Cium dulu bagaimana?"

"Cium sepatuku, mau, ha? Le-pas!"

"Hyung kau kedinginan."

"Park Jimin kau mengerti bahasa yang ku gunakan atau tidak?!"

"Sayangnya aku mengerti. Karena itu tidak akan ku lepaskan."

"Park Jim—ugh…"

Jimin semakin membawa tubuh kekasihnya menempel padanya. Membuat wajah marah itu bersembunyi pada dada bidangnya. Masih bisa ia rasakan perlawanan Yoongi pada pelukannya. Tetapi Jimin tidak mau kalah. Ia tetap mendekap Yoongi sampai sosok itu menyerah dan mencair dalam lingkupan tangannya.

Selagi hujan semakin deras, dengan frekuensi air yang semakin meningkat. Pun dengan protesan-protesan lirih yang Yoongi keluarkan, Jimin tetap menjaganya hangat dalam lingkupan tangannya. Ia melihat ke arah jalanan yang ditutupi air, melihat motornya yang kebasahan atau bagaimana tetes-tetes hujan itu membumi. Jimin membawa bibirnya untuk mengecup pucuk kepala Yoongi dan berbisik pelan. Berharap… bahwa sosok dalam dekapannya ini selalu tahu tentang perasaannya yang tidak pernah berubah sedikitpun. Secuek dan segalak apapun sikap Yoongi padanya.

"I love you… Yoongi hyung."


xxxXXXxxx


Mereka berlari dengan tangan Jimin berada di atas kepala Yoongi berusaha membuat air hujan tidak menyentuhnya. Jimin kebasahan, dan dia tidak peduli. Untungnya mantel Jimin yang dipakai Yoongi itu anti air, jadinya dia tidak takut bahwa Yoongi akan kebasahan. Paling hanya bagian kepala saja.

Mereka berhenti tepat di depan pintu rumah Yoongi yang pintunya langsung terbuka dan muncul ibu Yoongi yang langsung menatap khawatir mereka.

"Sore, bunda," sapa Jimin.

"Oh, ya ampun. Kalian basah kuyup. Ayo masuk dulu, biar bunda buatkan coklat hangat." Min Seokjin, ibu Yoongi, berbicara sambil mengeringkan rambut anak sulungnya kemudian beralih ke arah rambut Jimin.

Jimin hanya tersenyum saja, dan Yoongi diam di sebelah ibunya. Pemuda berambut jingga itu melirik kekasihnya kemudian kembali menatap sosok wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.

"Oh, Jimin langsung pulang saja, bunda. Tadi sudah janji sama mama juga setelah mengantar Yoongi hyung."

"Jimin, lihatlah. Masih hujan, loh. Bunda yakin mamamu akan mengerti."

Jimin tertawa, ia kembali melirik Yoongi yang tidak sedikitpun melihatnya. Lalu tersenyum lagi ke arah wanita cantik itu. "Sudah basah bun, sekalian saja basah-basahan. Jimin pamit, ya?"

"Sebentar, bunda ambilkan jas hujan dulu."

"Tapi bun—"

Namun Seokjin tetap berlalu meninggalkan sang anak sulung dengan Jimin berdua. Yoongi siap untuk melepas mantel yang bertengger di tubuhnya, tapi Jimin langsung melarangnya.

"Pakai, hyung. Setidaknya hingga kau sampai di kamar dan bisa mandi."

Yoongi akan protes lagi tetapi tepat saat itu juga ibunya sudah muncul dan memberikan Jimin jas hujan yang bisa ia pakai.

"Ini. Jangan protes dan pakai saja. Jangan sampai sakit karena kehujanan, arrachi?"

"Ne, bunda. Kalau begitu Jimin pulang dulu. Bye, Yoongi hyung."

Jimin berlari meninggalkan mereka berdua, tanpa berniat memakai apa yang diberikan ibunda kekasihnya. Pemuda berambut mint itu mendecih dan berteriak kesal. "Pakai jas hujannya, bodoh!"

Jimin berbalik dan hanya melempar cengiran padanya.

"Park Jimin?! Pakai jas hujannya atau ku kempeskan ban motormu?!"

Kali ini… dengan cengiran yang sama, Jimin bersingut memakai jas hujan pemberian ibu kekasihnya, disertai dengan sinyal OK yang ia berikan kepada Yoongi dan ibundanya di teras rumah mereka.

Meninggalkan Seokjin yang tersenyum hangat, dengan Yoongi di sampingnya dengan ekspresi galak nan kaku yang masih melekat.

Apa dalam cinta harus memelihara kebodohan? Kurasa tidak…


xxxXXXxxx


Yoongi bersandar pada sofa yang ia duduki. Malam minggu, dan rasanya ia melupakan sesuatu. Namun apakah sesuatu itu hal yang penting? Sembari menghela napas entah yang ke berapa kali, pemuda berwajah manis nan mulus tanpa cacat itu kembali larut dengan kegiatan yang ia lakukan, bermain playstation.

Tak lama, adiknya Jungkook ikut bergabung setelah mengambil kue dari dapur duduk di sampingnya. Jungkook menawari Yoongi, namun pemuda itu menolaknya. Sang adik pun hanya diam dan melihat layar di depannya tanpa minat sampai suara bell menyadarkan mereka.

"Buka gih, dek."

"Iya, iya…" Jungkook langsung bangkit setelah menaruh piring yang ia pegang tadi. Sedikit berlari kecil dan membukakan pintu untuk si tamu. Ia langsung mengernyit ketika melihat Jimin, pacar kakaknya berdiri di sana. "Loh, Jimin? Oh! Mau kencan sama kakak, ya?"

Jimin tersenyum dan hanya mengangguk kemudian ikut masuk saat Jungkook mempersilahkannya. Ia melirik ruang keluarga dan menemukan Min Yoongi, kekasihnya di sana.

"Kak, ada Jimin nih. Kok belum siap-siap, sih? Kan mau keluar?"

Yoongi sontak menoleh dan mendapati Jimin yang tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan. Oh… yang ia lupakan… adalah kencan dengan Jimin? Ah…

"Aku lupa. Keberatan kalau aku mandi dulu?"

Jungkook sudah menghilang lagi ke arah dapur, Jimin mendekatinya dan duduk di sampingnya. Saat Yoongi akan bangkit untuk berlalu, Jimin langsung menahan tangannya dan membuat Yoongi terduduk kembali.

"Tidak usah, hyung. Kita di sini saja, hehehe."

"Kenapa? Ngambek?" Yoongi bertanya sambil melipat tangan di dada.

Jimin di sebelahnya bersandar pada badan sofa. "Tidak, kok. Tapi filmnya sudah mulai daritadi dan kita sudah ketinggalan jauh. Lagipula tidak baik untukmu mandi malam-malam."

"Tsk. Kau ini siapa memangnya? Bunda?"

"Jimin kan cuma khawatir kalau hyung kena flu karena mandi malam-malam nanti."

"Terserah, deh."

Jimin tersenyum lagi, masih sambil bersandar ia memperhatikan sosok di sampingnya ini. Jungkook tak lama kembali dan menyajikan kue di depannya.

"Tadi bunda buat kue sebelum pergi. Sehabis ini Kookie mau ke rumah Tae hyung, ya, kak?"

"Tidak boleh. Suruh saja Taehyung ke sini."

"Tapi kan, kak…"

"Nanti kakak bilang bunda."

"Jangan! Kakak mah jahat."

"Mau kuantar ke rumah Taehyun, Kook?" Jimin angkat bicara disela-sela perdebatan kakak beradik itu.

"Park Jimin. Kau mendengarku tadi. Jangan malah mendukungnya pergi ke sana." Yoongi menatap galak padanya, tapi Jimin sudah kebal. Ia hanya tersenyum dan hanya kembali mendengarkan mereka.

Namun kemudian, Jimin sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Yoongi. "Kalau Kookie ke rumah Taehyung, berarti kita berduaan di sini, hyung. Terus—"

BUK!

"Owh!" Jimin sontak mengaduh sambil mengusap-usap wajahnya yang terkena pukulan bantal. Tetapi diam-diam dia terkekeh, lalu melirik lagi ke arah Yoongi yang menatapnya galak dan kesal.

"Apa lihat-lihat, ha? Mati sana, Park Jimin."

Entah benar atau tidak, Jimin berani bertaruh kalau kedua pipi Yoongi memerah. Ah… benarkah?

"Jadi Kookie boleh pergi?"

"Telpon Taehyung suruh ke sini, titik."

"Ugh, kakak tidak asik!"

Jungkook pun meninggalkan mereka berdua, berlalu ke kamarnya. Yoongi kembali memainkan gamenya dan Jimin masih mengusap-usap hidungnya. Pun yang bisa Jimin lakukan atas sikap galak Min Yoongi hanyalah tersenyum.

Tak peduli sekalipun Yoongi melupakan kencan mereka. Atau ketika dia berbicara sarkas padanya, memukulnya dengan bantal dan terus melemparkan pandangan yang membuatnya selalu bisa terintimidasi. Park Jimin selalu mencintainya sesederhana itu.

Tak peduli seberapa banyak rasa ragu yang ia miliki.

Atau rasa sakit karena berpikir Yoongi tak pernah menginginkan ini.

Berasumsi bahwa sosok itu bersikap demikian hanya sebagai kewajiban atas status mereka. Tetapi Jimin yakin… jika Yoongi tidak mencintainya… apa mungkin sosok itu rela membuang waktu berharganya untuk ia habiskan bersamanya?

Entahlah…

Tak peduli sesejuk apapun musim semi di pagi hari, atau menghangat ketika matahari meninggi, dengan bunga-bunganya yang bermekaran indah seolah ada yang merawatnya. Jimin selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk sosok yang dicintainya.

Mengabaikan hatinya yang terus menjerit, karena Jimin selalu menanamkan keyakinan pada dirinya. Terkadang, ketidakpedulian itu hanya bentuk dari rasa enggan untuk menampilkan apa yang sebaliknya dirasa. Tidak peduli jikalau itu membuat hatinya sakit, Jimin akan tetap bertahan pada apa yang diyakininya.

"Hyung, boleh kucium?"

"Jangan minta pukul, Jimin."

"Sekali saja."

"Beritahu aku permintaan terakhirmu sebelum mati."

"Bagaimana kalau kubilang aku ingin Min Yoongi menciumku?"

"…"

"Hyung?"

BUK!

"Owhh!"

"Minggir. Kau menghalangi jalanku."

Jimin tertawa menyaksikan kekasihnya berlalu dari hadapannya ke arah dapur. Terlalu banyak mimpi yang ia miliki.

Dan, Ha! Mana mungkin Yoongi mau mencium atau dicium olehnya? Sampai dia sekarat pun, keinginan seperti itu takkan pernah dicapainya.

Menyedihkan, bukan?

Terkadang dalam cinta pun hanya cukup percaya. Tidak bisakah kau lakukan itu?


xxxXXXxxx


Min Yoongi kesal setengah mati karena sedari tadi, Hoseok, sahabatnya terus merecokinya. Ia terus berusaha menjauhkan tangan Hoseok dari jangkauan laptopnya. Namun tetap saja namja itu masih bersikeras mengganggunya.

"Enyah kau, Hoseok. Jangan ganggu aku!"

"Oh ayolah, Min Yoongi. Kau tidak boleh mengabaikan sahabatmu yang tampan ini."

"Huek. Tampan dengkulmu."

"Ya ya ya. Kutahu hanya Jimin yang tampan di matam—"

PLAK!

"—owhh! Sakit, Agus!"

"Makanya diam dan enyah."

Yoongi kembali melanjutkan kegiatannya yang sedari tadi diganggu sang sahabat. Tak lama sahabatnya yang lain ikut bergabung menaruh dua minuman di atas meja. Yoongi hanya melirik Sungyeol yang kemudian duduk di depannya.

Alis namja tinggi bernama Sungyeol itu mengernyit melihat Hoseok yang kesakitan. "Kenapa kau?"

"Agus menggeplakku."

"Hoo, rasain."

"Sialan kau."

Sungyeol hanya memeletkan lidahnya dan melirik objek yang dibicarakan. "Masih belum selesai proyek lagumu, Gus?"

"Siapa 'Gus'?"

"Kau, Agus."

"Siapa Agus? Sejak kapan ada yang bernama Agus di kampus kita, ha?" Walau tak sedikitpun berpaling dari layar di depannya, Yoongi menanggapi sahabatnya.

"Agus itu Suga. Suga itu Yoongi. Yoongi itu kau. Jadi?"

"Sialan. Jangan mulai dengan nama baru lagi, Lee Sungyeol."

"He, suka-suka aku lah. Jadi?"

"Masih ada beberapa part yang kurang pas. Kenapa?"

Sungyeol mengangkat bahu. Hoseok di sampingnya menyomot chips yang tergeletak di atas meja sambil mendengarkan sahabatnya. Yoongi sendiri masih fokus ke pekerjaannya.

"Cuma tanya. Jimin mana?"

"…"

"Oi, Min Yoongi. Aku tanya, Jimin mana?"

"Aku tidak memeganginya, Sungyeol. Mana kutahu."

"Setidaknya kau tahu. Jangan sok tsundere. Aku yakin kau cuma pura-pura tidak tahu."

"Aku memang tidak tahu dan aku tidak peduli. Demi Tuhan, Lee Sungyeol. Tutup mulutmu sebelum aku memotong lidahmu!"

Keduanya malah saling lempar pandangan tajam. Hoseok yang mendengar dan melihat mereka hanya siul-siul tanpa mau memisahkan. Oh, persahabatan macam apa yang mereka punya. Dan untunglah, objek yang dibicarakan tiba-tiba sudah ada di samping tempat mereka duduk. Jimin berdiri di samping Yoongi yang masih melotot kesal ke arah sahabatnya.

"Apa?" tanya Yoongi datar yang disahuti decakan dari Sungyeol.

Ia mendongak menatap Jimin. Jimin tersenyum di sana dan memandangnya minta maaf. "Hyung masih lama?"

"Belum. Pulang duluan sana."

"Err… mianhe, hyung. Aku akan pulang duluan. Tapi hubungi aku saja jika hyung sudah mau pulang, oke?"

"Aku bukan anak kecil, Jimin. Aku bisa pulang sendiri. Memangnya aku bayi apa. Kalau kau sibuk sana pulang."

Yoongi harus menahan meringis saat merasakan Sungyeol menginjak keras kakinya.

"Err… baiklah. Tapi… aku akan tetap menjemput hyung kalau hyung menelpon atau kalau urusanku sudah selesai."

"Iya, terserah. Sana pulang."

"Oke, jangan pulang terlalu malam ya, hyung."

"Ya."

Jimin diam sebentar sebelum membungkuk dan mencium pipi Yoongi. "Bye, hyung. Saranghae." Lalu memberikan wink ke arah pemuda manis itu dan berlari ke arah motornya yang terparkir tak jauh darinya.

Yoongi langsung mendelik sambil melihat ke arah di mana Jimin pergi, mengusap-usap pipinya yang tadi dicium pemuda yang lebih muda darinya itu. Ia bisa mendengar Hoseok yang bersiul dan Sungyeol yang mengetuk-ketukkan jarinya di meja.

"Jangan sok tsundere dan tidak suka. Pakai diusap-usap segala seolah mau menghilangkan bekasnya."

"Bawel kau, Lee Sungyeol. Urusi saja pacarmu sana."

"Cih! Dasar tsundere."

"Aku dengar itu."

Dan tawa Hoseok adalah hal terakhir yang Yoongi dengar sebelum ia menempatkan kepalan ke kepalanya sahabatnya itu, disertai rintihan sakit dan dengusan yang Sungyeol berikan untuknya.


xxxXXXxxx


Entah sudah berapa jam mereka di sana. Hari sudah semakin sore dan ketiganya bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Sungyeol berjalan di samping Yoongi dan sengaja menyenggolnya membuat namja mint itu mengernyit tidak suka.

"Apa, ha?"

"Minta jemput sana."

"Aku bukan anak kecil, Sungyeol. Diam dan enyahlah."

"Cih! Aku tahu kau malas pulang sendiri. Minta jemput sana."

"Berisik."

Yoongi agak menjauh dari Sungyeol dan Hoseok untuk menelpon Jimin. Tak lama setelah ia menunggu Jimin menjawab, suara di seberang sana mulai menggema.

["Ya, hyung?"]

"Jemput sekarang."

["Eh? Sekarang? Err… hyung, bisa sekitar tiga puluh menitan lagi tidak?"]

"Kalau tidak bisa ya sudah. Aku pulang sendiri."

["Ehh… iya-iya. Aku berangkat sekarang, okay?"

"Tidak perlu—"

["Sampai nanti, hyung."]

"Ya! Park Jim—"

Yoongi langsung mengumpat saat sambungan terputus begitu saja. Jimin mematikannya dan mungkin kemudian berlalu. Pemuda mint itu mendesah kesal lalu kembali mendekati dua sahabatnya.

"Jadi?"

"Masih tanya?"

"Cih! Galak sekali kau, Gus."

"Sekali lagi kau panggil aku Agus, mati kau, Yeol."


xxxXXXxxx


Jimin segera bangkit setelah menutup panggilan kekasihnya walau ia yakin sosok Yoongi di sana tengah mengumpat. Jimin, sang kakak dan kedua orang tuanya yang baru sampai di rumah langsung mengernyit heran ketika pemuda berambut jingga itu membawa langkahnya lagi ke luar rumah.

"Kamu mau ke mana, sayang?" sang mama bertanya.

"Jemput Yoongi hyung, ma. Setelah itu Jimin langsung pulang."

"Nah, kamunya baru pulang check up. Bilang saja kamu tidak bisa jemput," papanya menyahuti. Pria paruh baya itu menatap anak bungsunya seksama. "Ingat kata dokter kamu harus banyak istirahat. Kemarin hujan-hujanan, sekarang kamu harus tidur di rumah."

"Jimin baik-baik saja, pa. Jimin cuma mau jemput Yoongi hyung, bukan berarti Jimin bakal tiba-tiba sakit lagi."

"Jiminie…" Park Sunggyu, sang mama langsung bangkit dan mendekati anaknya. Berusaha membawanya duduk lagi di sofa. "Tolong dengarkan apa kata mama dan papa, okay? Suruh Yoongi pulang bersama Yeolli saja."

"Jimin tidak apa-apa. Serius, ma. Jimin berangkat, ya? Love you."

Tanpa benar-benar menunggu jawaban dari orang tuanya, Jimin yang sedari tadi menahan napasnya yang memberat dan rasa sakit yang makin terasa, melangkahkan kakinya ke halaman. Namun belum ada lima langkah ia berlalu, ia langsung jatuh terduduk dengan tangannya yang mencengkeram bagian bawah lambungnya.

"Jiminie!" kedua orang tuanya dan sang kakak langsung bersingut mendekat saat melihat Jimin yang kesulitan bernapas. Ayahnya langsung membawanya ke kamar. Ibunya langsung mengambil obatnya kemudian menyusul ke kamar tidur putranya.

Saat sudah dibaringkan di tempat tidurnya, Jimin masih bersikeras untuk bangun. "Aku harus—"

"Stay still, Park Jimin. Kau tidak akan ke mana-mana." Jimin tahu bahwa perkataan kakaknya lebih mutlak dari kedua orang tuanya. Selama ini kedua orang tuanya agak sibuk dengan pekerjaan mereka dan Myungsoo yang lalu mengawasinya. Karena itu Jimin langsung terdiam. Ia tidak mau ambil resiko jika kakaknya tiba-tiba marah. "Aku akan menelpon Yoongi dan mengatakan kalau kau sakit."

"Hyung…"

"Silent. Atau aku akan mengatakan tentang penyakitmu kepadanya."

Dan Jimin berhasil dibuat diam karena kata-kata itu.


xxxXXXxxx


"Si Jimin masih lama apa, cuy? Sudah dua puluh menit nih."

"Pulang sana. Siapa yang meminta kalian menemaniku, ha?"

"Dih. Kasihan nanti kau kesepian," Hoseok menyahuti, Sungyeol mengangguk mengiyakan. Yoongi sendiri mengecek ponselnya berharap ada tanda dari Jimin. Jadi atau tidaknya ia menjemputnya.

Yoongi menghela napas kasar sambil mengumpat-umpat. Sampai akhirnya ia malah jadi saling adu umpatan dengan Sungyeol dan disusul Hoseok. Ia sendiri tidak habis pikir, mengapa sih Sungyeol suka sekali membuatnya kesal. Namun ia tahu, ia tahu bagaimana sahabatnya dan ia menghargainya.

Dan dering di ponselnya membuat ketiganya langsung terdiam. Saat melihat ID Jimin di layar gadgetnya membuat Yoongi segera mengangkatnya dan menyemprotnya.

"Ya, Park Jimin! Mau sampai kapan kau membuatku—"


xxxXXXxxx


["Ya, Park Jimin! Mau sampai kapan kau membuatku—"]

"Berisik."

["Nugu—ah, Myungsoo?"]

"Hm. Jimin sakit, tidak bisa menjemputmu. Jadi pulanglah sendiri."

["Oh…"]

"OH? Hanya 'Oh'? Begitu responmu saat mendengar bahwa kekasihmu sakit? Tsk. Apa-apaan itu."

["Semoga lekas sembuh."]

"Bukan. Bukan aku yang sakit, Min Yoongi. Tetapi adikku yang merupakan kekasihmu. Kau hanya bilang semoga lekas sembuh tanpa berniat menjenguknya?"

Diam sebentar di ujung sana. Myungsoo kesal setengah mati sambil melirik ke arah ranjang adiknya dan memastikan orang tuanya tidak mendengar percakapan mereka.

["Aku… sibuk."]

"Tsk. Terserah."

["Apa maumu, Myungsoo. Sewot sekali kau padaku."]

"Adikku sakit dan kau bilang kau sibuk. Tinggalkan dia jika kau tidak serius dengannya."

["Bukan kau yang berhak berkata seperti itu. Dia memang adikmu tapi bukan berarti kau bebas mengontrol dengan siapa dia berhubungan. Damn it."]

"Aku minta maaf jika aku terdengar tidak menyukaimu. Tetapi aku benar-benar berharap kau mengerti kalau dalam hubungan itu butuh perlakuan yang nyata. Mengetahui kau hanya sekedar bilang semoga lekas sembuh disaat aku yakin kau bisa datang kemari, kutanya seberapa berharga adikku untukmu?"

Diam lagi. Myungsoo tidak mengerti mengapa Jimin menyukai Yoongi, atau mengapa kekasihnya, Sungyeol bersahabat dekat dengannya. Ia harap ia bisa benar-benar paham apa yang sebenarnya dilihat oleh mereka berdua.

Pertanyaannya didiamkan begitu saja. Myungsoo hanya ingin tahu jika adiknya memiliki tempat di dalam hidup namja itu. Mendengar Jimin yang selalu bercerita tentang kisahnya, yang menurut Myungsoo sangatlah datar dan monoton itu. Apa yang bisa Myungsoo simpulkan jika hanya Jimin lah yang merasa bahagia dengan hubungan itu? Apa salah jika Myungsoo berpikir demikian?

Acuh juga ada batasannya. Namun jika melihat wajah Jimin yang bahagia setiap kali pulang ke rumah, semua pikirannya tentang Yoongi yang tidak memiliki rasa pada adiknya buyar sudah. Jimin bahagia, walau ia tahu adik tersayangnya itu menyembunyikan perasaannya dari dia maupun orang tua mereka.

["Bukan urusanmu."]

"Memang bukan. Dan aku rasa aku sudah cukup tahu. Jika ingin datang, datang saja. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu. Terima kasih, akan kusampaikan pada Jimin jika kau titip salam 'Semoga lekas sembuh' untuknya."

Pun Myungsoo kemudian menutup sambungan itu secepat yang dia bisa. Ia lalu memilih menghubungi kekasihnya dan mengatakan hal sama perihal Jimin. Karena ia tahu, Sungyeol pasti akan datang untuk menenangkannya dari rasa khawatir yang berlebihan ini.


xxxXXXxxx


"So?" Hoseok angkat bicara, sambil alisnya mengernyit melihat sahabatnya yang kembali mendekatinya dengan wajah masam, seram dan galak.

Namun Yoongi tidak menjawab, ia hanya berjalan melewati mereka dengan hentakan keras dari sepatunya.

"Ya! Min Yoongi. Aku bertanya padamu."

Sungyeol langsung meminta Hoseok untuk diam, dilanjutkan dengan dirinya yang berteriak pada Yoongi juga. "Kau tidak mau ikut aku ke rumah Jimin?"

Yoongi sontak berhenti. Berdiri kaku beberapa langkah di depan dua sahabatnya. Tanpa menoleh, tanpa peduli apa respon dan ekspresi yang dikeluarkan dua sahabatnya, Yoongi membalas, "Aku akan pulang saja."

Dan Sungyeol hanya menghela napas kasar dan berlalu menarik Hoseok yang meminta tebengan pulang ke rumahnya.


xxxXXXxxx


Sudah tiga hari Jimin sakit dan Yoongi sama sekali tidak berniat menghubunginya. Yoongi berpikir Jimin bukanlah anak kecil lagi yang harus segala sesuatunya dituruti. Yoongi juga berpikir tidak perlu ia datang untuk merawatnya. Sudah ada orang tuanya dan si tuan repot Myungsoo, bukan?

Yoongi bersandar pada badan sofa sehabis pulang kampus dan tak lama sang bunda ikut duduk di sana. Tangan wanita paruh baya itu menyingkirkan poninya yang basah oleh keringat. Mengelus-elus kepalanya penuh sayang. Walau Yoongi yakin bundanya seperti mencari seseorang saat ia masuk tadi.

"Jimin mana, kak? Kok tumben tiga harian ini kakak pulang sendiri?"

"Sakit."

"Eh? Kakak sakit?" Seokjin langsung memeriksa suhu tubuh putra sulungnya dan berniat mengambilkan obat. Tetapi Yoongi langsung menarik tangannya dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Jadi yang sakit siapa, kak?"

"Jimin."

"Ohh, nak Jimin sakit. Sakit ap—EH? Jimin sakit, kak?!"

"Bunda heboh banget, sih. Iya Jimin sakit. Makanya aku pulang sendiri."

"Ohh, begitu. Kakak tidak menjenguknya?" Seokjin menatap anaknya seksama. Ia tahu Yoongi memang bukan tipe seseorang yang peduli pada sekitar. Ia cenderung acuh, tapi apa mungkin di saat kekasihnya sakit anaknya masih bisa bersikap seperti itu? "Kak Yoongi~?"

"Jimin bukan anak kecil yang harus Yoongi urus, bun. Lagipula sudah ada orang tua dan kakaknya."

"Yoongi…"

"Kakak capek, bun. Mau tidur. Love you." Setelah mengecup sekilas pipi bundanya, Yoongi berlalu ke lantai atas di mana kamarnya berada.

Sebelum benar-benar menaiki anak tangga, suara sang bunda kembali menggema. "Setidaknya… perlihatkan kalau kakak peduli padanya. Dia memang bukan anak kecil, tapi bunda yakin dia berharap kakak menjenguk dan melihat keadaannya. Arrachi?"

Semuanya tampak sulit… aku berharap semua akan jelas tanpa harus ku paparkan. Bukankah cinta seperti itu?


xxxXXXxxx


Pada akhirnya Min Yoongi di sini, berdiri di depan pintu rumah keluarga Park menunggu sang penghuni rumah membukakan pintu untuknya. Saat kayu besar di depannya terbuka, tampaklah Myungsoo dengan tautan alis yang kentara.

Namun sosok itu diam saja dan memberi jalan masuk untuknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka berjalan ke ruang tengah. Di sana, ibu Jimin tengah berjalan keluar dari dapur.

"Ah, Yoongi-ya~ apa kabar, sayang?" Sunggyu memeluk kekasih putra bungsunya dan mengecup keningnya. "Sudah lama tidak kemari, hm?" wanita paruh baya itu mengusap pipi Yoongi juga.

Yoongi salah tingkah dibuatnya dan hanya bisa tersenyum canggung. "Aku baik, bi."

Sunggyu hanya tersenyum kemudian berbicara lagi, "Jimin sedang istirahat. Tapi naik saja ke atas, ne? Dia pasti senang kau datang."

Tak ada yang bisa Yoongi lakukan selain mengangguk. Dia berjalan di belakang kakak Jimin yang ikut naik ke atas.

"Memutuskan untuk datang, Yoongi?"

"Hm."

"Nice choice. Setidaknya sekarang aku tahu kau punya hati."

Sarkastik. Yoongi tahu itu. Ia hanya mengabaikan Myungsoo yang sama-sama berhenti ketika sampai di depan kamar Jimin.

"Jika ada apa-apa, aku di sebelah."

Mengangguk sekilas, ia melirik sampai Myungsoo masuk ke kamarnya. Ia berdiri di depan pintu kamar Jimin sebelum mengetuk kemudian masuk ke dalamnya.

Perlahan Yoongi menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekat ke arah ranjang yang ditiduri kekasihnya. Ia merasa ia tidak mau membangunkan Jimin. Jimin terlihat pucat dan Yoongi benar-benar merasa menjenguk begini pun sudah lebih dari cukup.

"Mama…"

Jimin mengigau. Mungkin dia pikir yang masuk adalah ibunya. Yoongi berjalan makin perlahan, sampai sosok di tempat tidur sana membuka matanya yang seketika membulat. Antara kaget bahwa bukan sang mama yang masuk atau mendapati kekasihnya di dalam kamarnya.

"Yoongi… hyung?"

"Hm."

"Kemari." Jimin sudah sepenuhnya bangun dan bersandar di kepala tempat tidur. Yoongi menghela napas dan hanya menuruti, mendekati Jimin. Dia duduk di pinggir ranjang tanpa menyambut tangan kekasihnya yang terulur ke arahnya.

"Kau oke?"

Jimin mengangguk singkat, terlalu lemah untuk bersemangat. Walau sejujurnya ia senang karena Yoongi memutuskan untuk datang.

"Sakit apa?"

Jimin langsung tersentak dan agak menegakkan tubuhnya. Ia mengambil tangan Yoongi untuk digenggam dalam tangannya. Kemudian namja berambut orens itu menggeleng. "Cuma demam, kok."

"Cih. Waktu itu kau tidak benar-benar memakai jas hujannya? Minta kupukul, Jimin?"

Jimin tertawa pelan. "Aku pakai, kok. Tanya saja mama kalau hyung tidak percaya."

Namun Yoongi tidak membalas. Namja mint itu sibuk melihat bagaimana Jimin memainkan tangannya yang ia genggam. Lalu tiba-tiba menautkan jari-jari mereka.

"Maaf tidak bisa menjemputmu waktu itu."

"Aku bukan anak kecil."

"Tapi aku tetap merasa bersalah."

"Kalau begitu cepat sembuh."

Angin yang masuk melalui jendela menyapa wajah keduanya. Jimin tersenyum mendengar sahutan kekasihnya. Ia memang ingin sembuh, ingin sekali sembuh. Tetapi semua butuh waktu, kan?

"Besok kuantar hyung ke kampus."

"Tidak usah. Kau masih terlihat seperti zombie sekarang."

Jimin benar-benar tertawa. "Tapi aku masih tampan, kan?"

"Kata siapa? Kau jelek."

"Heee, terima kasih atas ke-tsundere-annya, hyung!"

"Aku tidak tsundere!"

"Iya, iyaaa."

Setelah itu hening dan masing-masing hanya terdiam. Jimin masih memperhatikan wajah manis di depannya. Yoongi melihat ke arah mana saja asal jangan menatap Jimin. Dan pemandangan di luar sana lebih menarik baginya. Tidak menyadari Jimin yang sudah mendekat ke arahnya.

Tangan namja yang lebih muda darinya itu terangkat, membawanya ke arah dagu Yoongi dan memaksa namja manis itu untuk menatapnya. Jimin menelusuri dengan seksama pahatan Tuhan yang ada pada wajah kekasihnya. Wajah yang selalu membuatnya lupa diri. Wajah yang walau hanya menunjukkan tampang seram tapi selalu Jimin rindukan. Wajah yang sedang memasang tampang mengernyit seolah bertanya 'mau-apa-kau-bocah'? Wajah yang jarang sekali tersenyum untuknya.

Namun untuk kali ini… bolehkah Jimin benar-benar egois? Dia ingin melihat ekspresi apa yang bisa di keluarkan oleh Yoongi jika Jimin menciumnya? Tatapan seperti apa yang akan diberikan kekasihnya jika Jimin benar-benar melakukannya? Dan tanpa bisa menahan diri, Jimin agak menarik ke bawah bagian bibir Yoongi agar mulutnya terbuka, kemudian ia mendekat—menempelkan bibir tebalnya ke bibir tipis kekasihnya.

Waktu seolah berhenti. Detik jam tak terdengar. Suhu rendah makin membuatnya nyaman. Tirai kamar berkibar dan kedua kelopak mata Jimin tertutup, namun sosok yang diciumnya? Terlalu terkejut sampai tak berpikir untuk menikmati apa yang terjadi.

Jimin menciumnya dengan lembut. Seolah tak ingin menyakitinya. Kecupannya begitu pelan, perlahan seolah ingin meninggalkan kesan yang baik. Ia tidak terburu, hanya sekedar kecupan tanpa nafsu di dalamnya. Sampai akhirnya Jimin memberanikan diri untuk mengemut bibir bawah Yoongi dan ia merasa kekasihnya sudah bisa menggapai kesadarannya. Di saat Jimin akan memperdalam ciumannya, Yoongi mendorongnya kuat dan memalingkan wajah. Tak sekalipun berniat menatapnya.

"Yoongi hyung…"

"Aku pulang." Yoongi bangkit dengan tangan yang menutupi bibirnya. Ia sama sekali tidak melihat Jimin. Ia berlalu dari kamar itu tanpa mau mendengar Jimin lagi. Ia tidak mengerti apa yang terjadi.

Sebenarnya… apa yang barusan terjadi?


xxxXXXxxx


Min Yoongi berbaring menatap langit-langit kamarnya. Fokusnya entah ke mana. Pikirannya bercabang, dan suasana cerah musim semi tak sekalipun menarik perhatiannya. Pun, sahabatnya yang berbaring bersamanya didiamkan. Yoongi terlarut dalam dunia lamunannya.

"Mau sampai kapan kau menghindari Jimin?"

Yoongi tidak menjawab, Sungyeol bersabar untuk tidak memukul sahabatnya dengan bantal.

"Demi Tuhan, Min Yoongi aku bertanya padamu?!"

"Bukan urusanmu."

"Suga!"

"Berisik."

"Tsk. Apa yang salah dengan berciuman? Demi Americano kesukaanku. Kalian pacaran, dan ciuman itu hal yang wajar. Yoongi, katakan padaku apa yang membuatmu menjauhi Jimin?"

"Tidak ada."

"Tuhan…" Sungyeol mengusap wajah kasar. Ia kemudian guling sana guling sini menghadapi sikap sahabatnya ini. "Aku tidak pernah mengerti dirimu. Sumpah. Kau itu… sulit sekali sih jadi orang."

Yoongi masih menatap langit-langit membiarkan Sungyeol berbicara.

"Jimin serius padamu. Kau tahu itu?"

"…"

"Kalau kau memang… tidak serius padanya, atau kau tidak menyukainya… jujur pada dirimu sendiri, mkay? Kalau seperti ini terus, yang sakit bukan hanya Jimin, tapi kau juga."

Yoongi melengos dan menjawab lirih dalam hatinya. 'Aku tidak bisa bilang alasannya, kan…'

"Setidaknya beri aku satu alasan yang—tidak membuatku marah. Okelah kalau itu membuatku tertawa. Tapi demi Tuhan, Yoongi, whats the problem with you?"

"Yeol…"

"Apa? Sudah mau jawab?"

"Pulang sana. Kau berisik."

"WHA—DAMMIT MIN YOONGI?! YOU LITTLE SHIT!"

Dan malam itu, Min Yoongi harus banyak bersabar walau akhirnya meledak juga menanggapi amukan sahabatnya. Ia jadi ikut berontak dan berteriak-teriak di depan muka Sungyeol. Masa bodoh bundanya akan naik lalu memarahi mereka. Yang ingin ia lakukan sekarang adalah membuat Sungyeol diam dan menyingkir dari urusannya.


xxxXXXxxx


Flashback…

Hari itu cuaca benar-benar cerah. Yoongi sudah selesai dengan kegiatan kampusnya. Ia berniat langsung pulang karena tidak ingin bertemu Jimin setelah tahu dari sahabatnya kalau Jimin sudah mulai masuk kampus.

Yoongi berjalan cepat tanpa mau mempedulikan Hoseok yang memanggilnya. Ia mengabaikan siapapun di sekitarnya yang menyapa. Sampai akhirnya ia tiba-tiba berhenti karena melihat sepasang sepatu berhenti tepat di depannya. Dan Yoongi tahu pemilik sepatu itu.

"Yoongi hyung—"

"Apa." Yoongi menjawab sambil melewati Jimin. Mereka berjalan berdampingan sampai melewati gerbang kampus.

"Jimin antar pul—"

"Mau pulang sendiri. Bye."

"Hyung—"

"Hyung mau pulang sendiri, Jim."

Yoongi menunggu bus di depan kampus. Jimin masih di sampingnya, menatapnya seolah meminta Yoongi tinggal. Namun Yoongi ingin cepat-cepat pergi dari sini. Benar-benar pergi. Ia butuh menjauh dari Jimin beberapa waktu sampai ia memutuskan semuanya akan baik-baik saja dan Jimin akan mengerti itu.

"Yoongi hyung… maaf. Waktu itu—"

"Bisa kita bicarakan itu lain kali? Busku sudah datang. Bye, Jim."

Pun ketika angin berhembus menerbangkan helaian rambut keduanya, Yoongi melangkah masuk ke dalam bus dan meninggalkan Jimin sendirian di sana.

Apa… yang salah dengan mencium pacarmu sendiri? Apa hal seperti itu salah? Apa benar?

Jimin hanya menatap bus yang melaju dengan tatapan nanar. Apa hanya sampai di sini harapannya? Mengapa ia merasa perlu untuk mengetahui perasaan Yoongi kepadanya? Mengapa Yoongi menghindarinya hanya karena satu ciuman?

Mengapa…?

Mengapa rasanya Jimin ingin menangis?

Mengapa cinta ini membuat hatinya sesak?

Mengapa…?

Namun berapa kalipun ia berpikir demikian. Pada akhirnya Jimin akan selalu mengulangnya. Mengucapkan tentang perasaannya kepada angin, berharap angin akan menyampaikannya kepada Yoongi. Selalu… dan tidak akan pernah berhenti.

"Saranghae, hyung…"

Flashback End...


xxxXXXxxx


Beberapa hari kemudian, Yoongi sudah mau didekati lagi oleh Jimin. Ia sudah mulai bersikap biasa pada kekasih bocahnya itu. Walau ia masih menanggapi galak setiap perkataan Jimin, tapi ia tahu, Jimin pasti mengenalnya yang seperti itu.

Jimin tersenyum padanya sekalipun Yoongi sudah menghindarinya. Jimin tidak berusaha bertanya mengapa. Jimin tidak berusaha untuk membawa topik tentang ciuman itu. Dan semuanya berjalan normal lagi bagi mereka.

Jimin bahkan lebih sering menggandeng tangan Yoongi jika mereka jalan ke parkiran dan Yoongi tidak berusaha untuk melepasnya walaupun ia masih protes dan mengatakan bahwa itu hal kekanakan. Pemuda berambut orens itu hanya tertawa, ia menanggapi perkataan Yoongi dengan sikap yang selalu sama.

Sampai suatu hari ketika Jimin mengantarkan Yoongi pulang ke rumah dan pemuda mint itu menawarkan untuk mampir, Jimin langsung mengangguk dan ikut masuk.

Bukan kali pertama Jimin datang ke rumah itu. Bukan kali pertama Jimin masuk ke kamar Yoongi. Namun entah mengapa… ini kali pertama Jimin merasa ia sedang membohongi dirinya sendiri. Jimin ingin berhenti berburuk sangka. Tapi mungkin Jimin merasa ini sudah sampai pada batasnya.

Ia hanya berpikir… jika memang Yoongi tidak pernah serius menerimanya, apa harus hubungan ini diteruskan? Lagipula, Jimin memiliki sesuatu yang harus ia lakukan jika memang ia harus mengakhiri semua ini sekarang.

Saat Yoongi berniat melangkah kakinya ke kamar mandi, Jimin meletakkan begitu saja tasnya di lantai dan menahan Yoongi, memegang pundaknya lalu mendorongnya ke arah ranjang di dekat mereka.

Yoongi melemparkan deathglare padanya. Rahangnya mengeras dan Jimin hanya menatapnya dengan senyuman lemah.

"Park Jimin. Apa-apaan—"

"Hyung… I'm breaking up with you."

"Mwo?"

Jimin meremas erat kedua bahu Yoongi yang ia pegang. "I'm breaking up with you. I have no confident to make you happy with me. But at least…"

Pemuda berambut orens itu mengabaikan pelototan Yoongi yang membuatnya meringis.

"Park Jimin. Get off—"

"But at least, be mine for the first and the last time, hyung."

"Ap-mmhhh…" sebelum sempat protes, Jimin lebih dulu menabrakkan bibirnya pada bibir Yoongi.

Ciumannya kali ini tak beda seperti pertama kali. Masih sama… Jimin berusaha untuk tidak menyakitinya. Jimin ingin Yoongi tahu bahwa Jimin sangat mencintainya sekalipun sosok di bawahnya tidak. Jimin hanya ingin agar ia bisa mengingat bagaimana rasa dan tekstur bibir sosok yang dicintainya. Hanya sekedar itu yang Jimin inginkan.

Jimin melumat bibir Yoongi dengan sedikit bernafsu. Karena pada akhirnya… ia ingin itu. Ia ingin Yoongi mengingatnya. Jimin ingin Yoongi tidak melupakannya. Sekalipun setelah ini semua yang ada di antara mereka akan berakhir.

Semakin Jimin meresapi ciuman yang ia berikan kepada Yoongi, semakin Jimin merasa sosok di bawahnya lelah memberontak. Entah bagaimana, dan harusnya Jimin bersorak, tangan Yoongi memegang kendali ke arah lehernya, memeluknya erat, membawanya mendekat. Membuat ciuman yang mereka bagi semakin dalam dan semakin lekat.

Jimin mengenyampingkan segala sesuatu sekarang ini. Fokusnya hanyalah Yoongi yang sudah lelah menolak. Fokusnya kini… hanyalah membuat kenangan yang takkan pernah bisa lepas dari benaknya. Ya… hanya itu.

'Tuhan… maaf… karena aku menyerah. Biarkan aku memiliki Yoongi hyung untuk kali ini saja…'


xxxXXXxxx


Entah bagaimana caranya, semua benang yang melekat di tubuh mereka sudah lenyap. Entah siapa membuka, entah siapa yang melepas, karena yang bisa Jimin lakukan sekarang hanya mengagumi apa yang tersaji di depannya.

Min Yoonginya… sosok yang begitu dicintainya… berbaring di bawah kuasanya dengan tatapan sayu yang seolah membiarkan Jimin melakukan apa yang ia mau.

Pemuda orens itu mulai menciumi perpotongan leher Yoongi, memetakan segala sudut yang bisa ia gambar di kertas otaknya. Tangannya yang bebas menyapa kedua nipple Yoongi yang sudah memerah.

Napas keduanya terengah. Saling bersautan dalam beratnya hembusan yang mereka keluarkan.

Ciuman Jimin kembali beralih ke bibir tipis Yoongi, memagutnya, mengulumnya. Seolah memakan bibir itu dan tak ingin menyisakan bagian manapun. Selang beberapa menit Jimin melepasnya dan kembali menjalankan bibirnya ke seluruh wajah Yoongi, menciuminya. Lalu turun ke lehernya dan menyesapnya di sana. Meninggalkan bekas kemerahan yang mungkin takkan hilang dalam tiga hari. Tangannya bermain dengan nipple kemerahan Yoongi, menjepitnya di antara ibu jari dan telunjuknya.

Pemuda mint itu melenguh. Ia membawa tangan kanannya menutupi mulutnya, mencegah segala jenis desahan untuk keluar. Tangannya yang lain bermuara pada alas tempat tidur dan mencengkeramnya erat. Pandangannya ke arah samping, tidak berani melihat apa yang tengah Jimin kerjakan pada tubuhnya.

"Jiminhh—" suaranya tertahan ketika merasa satu tangan Jimin meninggalkan tubuh bagian atasnya dan menuju ke arah bawah. Menyapa ujung kepala kejantanannya yang sudah menegang. Tanpa sadar menggerakkan pinggulnya ke atas, mempertemukan kedua milik mereka yang menegang, Jimin maupun Yoongi sama-sama melenguh panjang.

Tuhan… bolehkah ini semua tak cepat berakhir seperti yang direncakan?

"Hyung… Yoongi hyung…" Jimin menciumi seluruh tubuh Yoongi. Benar-benar menyusuri dari atas sampai bawah. Dari sisi satu ke sisi lainnya. Benar-benar memetakan tubuh itu dengan bibirnya, berusaha merekamnya baik-baik di dalam kepalanya. Karena ia tahu ia takkan pernah bisa melakukan ini lagi.

"Hyung… I love you… as always… I've never don't love you…"

"Ugh…" percayalah Yoongi sudah tidak fokus. Entah apa yang dilakukan Jimin padanya. Namun yang ia tahu, ketika jari-jemari Jimin terus menyentuhnya, bahkan menyentuh lubang di bawah sana. Yoongi merasa ia akan gila. Karena seharusnya tidak begini, bukan?

"Ahh… Jimhh…" Yoongi mencengkeram rambut Jimin ketika bibir namja itu mendekati selangkangannya. Menjambaknya kuat, serta merta mengeluarkan respon atas apa yang Jimin lakukan pada tubuh bagian belakangnya.

Jimin mempersiapkannya sampai Yoongi benar-benar siap. Jimin mempersiapkan dirinya untuk hal ini… ia benar-benar akan merasa lebih dari cukup jika setelah ini dia disuruh pergi. Jika memang setelah ini Yoongi akan membencinya… Jimin rela. Jimin rela menghilang selamanya dari hidup Min Yoongi.

Karena ia hanya ingin membahagiakan sosok di bawahnya ini. Ya, hanya itu.

"ARGH—" Yoongi langsung mencengkeram erat seprai saat Jimin membawa kepala kejantanannya ke lubang masuk miliknya. Bibir mereka bertaut sekali lagi, Jimin ingin menyarukan rasa sakit yang mungkin datang.

Perlahan, amat pelan… Jimin memasukkan seluruh kejantanannya ke dalam lubang Yoongi. Yoongi sampai menggigit bibir Jimin dalam ciuman mereka, tangannya terangkat untuk memeluk bahu Jimin dan mencakarnya.

Perih dan sakitnya bukan main. Namun entah mengapa… di saat ia merasa hanya melihat bintang-bintang berputar di atas kepalanya, atau ketika Jimin melepaskan bibirnya dari ciuman mereka. Yoongi tersenyum lemah. Dan kali itu… ia benar-benar memberikan segala hal pertama yang ia punya kepada Jimin—terhitung jauh ketika Jimin memintanya untuk jadi kekasihnya, atau kini ketika pemuda itu mulai menggerakkan dirinya di dalam tubuh Min Yoongi.


xxxXXXxxx


Min Yoongi terbangun ketika merasa ia mendengar teriakan dari bundanya yang menyuruh turun untuk makan malam.

Pemuda berambut mint itu tak langsung beranjak. Ia memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Meraba-raba ranjangnya entah untuk apa tanpa benar-benar melihat. Saat ia melirik ke arah meja belajarnya dan di sana terdapat earphone pemberian Jimin, Yoongi langsung dibuat teringat akan apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya.

"Putus… ya?"

Seluruhnya badannya meronta sakit. Namun apa sekarang Yoongi peduli akan hal itu?

"It seems like you're planning this break-up sex… Park Jimin."

Yoongi tidak menangis… Ia merasa baik-baik saja. Tetapi tolong katakan mengapa hatinya menjerit seperti ini? Apa benar ini yang diinginkannya? Apa benar… Yoongi ingin Jimin menyerah dan pergi darinya?

Namun tolong… seseorang katakan pada Yoongi… beri satu alasan mengapa hatinya merasa kosong ketika mengingat semua yang terjadi sebelumnya. Dan mengapa… mengapa ada sungai yang tercipta di kedua pipinya?

Bisakah… seseorang menjelaskan tentang semua itu kepadanya?

"Park Jimin… you little shit."

Terkadang cinta tak butuh kata, tapi bukan berarti selalu penuh akan perlakukan. Aku tahu… tapi kenapa semuanya harus sesulit ini?

.

.

.

If love is nearly speaking…

But it got cut off by growling…

I'm leaving…

Loving you is the hardest thing…

I could do without panting…

For every single love words I was shouting…

.

.

.


- To be Continue


A/N2 :

Plisss plisss plisss, jangan teror gue, mkay? Jangan teror gue karena lemonnya gagal XD

Udah lama ga bikin lemon euy dan canggung banget. Udah gatau mau ngetik apa, jadi—sorry kalau mengecewakan.

Btw, dek, Jims, next chapnya coming soon, yah. Gue mau uas dulu. Jadi lu nikmatin dulu lah galau-galau karena MinYoon gue bikin putus XDD

Sapa suruh minta Hurt/Comfort – Angst, minta M lagi. Bukan salah gue jiwa sadis dan maso gue keluar /ga.

Ya, pokoknya. I'm truly sorry if they're so OOC. You know laa, I don't know them all. I just know—so far, I just know their face and its quite hardly for me to built the characterization /ya.

Pokoknya maap semaap-maapnya kalau OOC sangat. I've tried my best laa. Next chap—lu maunya mereka begimana? Balikan lagi atau jangan? /dibuang

Ah, yaudehlah gue banyak bacot. Semoga suka ye? Selamat menunggu. Jangan pites gue kalau ketemu. Bye.

Regards,

Yumi