Suara air terdengar dari arah kamar mandi. Senja baru saja terlewati dan Jeon Wonwoo iseng memainkan kaki di bawah air yang ia gunakan untuk berendam. Merasa bosan, ia akhirnya bicara.
"Mingyu, sudah berapa lama sejak kau pergi menemui Jeonghan?"
Mingyu yang sedang membersihkan rambut Wonwoo sambil memberikan pijatan kecil di kepala tersenyum, "Sekitar delapan bulan yang lalu, Yang Mulia."
Raja muda mendengus, "Itu sudah sangat lama, sebenarnya dia becus atau tidak dalam melakukan pekerjaannya?"
"Tapi, Anda sendiri tahu bahwa Tuan Yoon adalah pelayan yang sangat setia dan patuh. Jika tidak, mendiang Ratu pasti akan langsung membuangnya ketika peristiwa meninggalnya ibu Anda. Bukankah setiap bulan beliau juga selalu mengirimkan perkembangan informasinya kepada Anda?" Mingyu mengembalikan semuanya kepada Wonwoo dan Raja muda mendengung rendah pertanda ia setuju dengan pendapat pelayan.
Mingyu meminta Wonwoo untuk menegakkan badannya lalu ia mulai membilas rambut Wonwoo. Sesaat mereka benar-benar tidak memiliki bahan pembicaraan. Bibir Wonwoo gemetar dan Mingyu melihatnya.
"Maafkan saya, seharusnya tadi saya menyuruh maid untuk menyiapkan air hangat." Berucap dengan nada menyesal.
Wonwoo terseyum sambil bicara, "Memang aku yang menyuruh mereka untuk menyiapkan air dingin saja."
Mingyu segera beranjak, "Akan saya ambilkan handuk."
"Tidak usah."
Wonwoo menahan ujung baju Mingyu, "Aku ingin teman bicara, jadi tetaplah disini."
Mingyu tidak punya pilihan lain selain menurut. Wonwoo itu keras kepala, tidak ada gunanya melawannya—lagipula, Mingyu tidak bisa melawan. Tapi, melihat pemuda itu semakin menggigil membuat Mingyu tidak tahan dengan sifat Tuannya.
"Maaf jika saya lancang."
Lengan merangkul tubuh Wonwoo dari belakang. "Saya harus melakukan ini sejak Anda belum ingin beranjak dari air."
Wonwoo tertawa lalu ia tersenyum puas, "Kemejamu akan basah."
"Ini untuk Anda. Saya tidak peduli dengan kemeja."
Wonwoo pelan-pelan mulai bersandar ke belakang, membuatnya bersandar pada Mingyu.
"Kita sudah tidak punya waktu, Mingyu…"
Mingyu memberanikan diri mengeratkan pelukan, "Waktu Anda masih banyak, Yang Mulia."
"Tapi, waktu kita tidak." Tangan Wonwoo menyentuh lengan Mingyu di sekitar pundak, "Nah, apa yang akan kau lakukan?"
Mingyu menyapukan bibir di tengkuk Wonwoo.
"Saya akan melayani Anda sampai ruh saya dicabut dari tubuh ini."
.
.
The Servant © darkestlake
Mungkin saya terlalu lama dalam mengerjakan chapter terakhir.
.
.
Mingyu menyerahkan secangkir teh pada Wonwoo yang sedang memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya, "Bolehkah saya berbicara, Yang Mulia?"
Wonwoo menyambut teh, lalu menyeruput sedikit, "Bicaralah."
Mingyu tersenyum, "Terima kasih, sebenarnya Tuan Yoon sudah datang dan beliau sedang menunggu Anda sekarang."
Wonwoo langsung meletakkan tehnya kembali, "Sial, kenapa kau baru mengatakannya. Apa dia sudah menunggu lama?"
"Mungkin sekitar sepuluh menit."
"Aku akan segera menemuinya, ikut denganku, Mingyu."
"Bagaimana dengan pekerjaan Anda?"
Wonwoo mendengus, berdiri dari kursi, "Kerjakan kapan saja bisa."
Mingyu tersenyum, "Dimengerti, Yang Mulia."
Yoon Jeonghan tidak berbeda jauh dari yang Mingyu temui delapan bulan lalu, hanya beberapa helai dari rambut panjangnya yang terikat sudah berubah warna menjadi putih. Pria itu tersenyum pada Wonwoo yang datang, lekas saja berdiri dan membungkukkan badannya, "Sebuah kehormatan bagi saya bisa bertemu lagi dengan Anda, Yang Mulia."
Wonwoo mengangkat tangannya meminta Jeonghan untuk kembali menegakkan badan, "Sangat senang juga bisa kembali bertemu denganmu. Mari ikuti aku, Jeonghan, kita harus bicara di suatu tempat."
Jeonghan membungkuk sekali lagi sebelum mengikuti Wonwoo dan Mingyu yang kembali berjalan.
"Berapa keakuratan informasi yang sudah kau dapatkan?"
Jeonghan tersenyum, "Dalam jangka waktu selama ini, akan sangat memalukan jika saya tidak memberikan informasi yang seratus persen benar. Nama saya akan tercoreng sekali lagi, Yang Mulia."
Mingyu membukakan sebuah pintu, Wonwoo masuk disusul oleh Jeonghan.
"Saya akan siapkan minuman dan beberapa makanan kecil, permisi." Mingyu membungkuk sebentar sebelum menutup kembali pintunya dan pergi menuju dapur.
Jeonghan baru duduk setelah Wonwoo duduk di kursi yang ada di ruangan itu.
"Bagaimana Mingyu, Yang Mulia? Saya lihat dia bisa melayani Anda dengan sangat baik."
Wonwoo menghela nafasnya, menyandarkan punggung pada sandaran kursi, "Seandainya dia bukan anak yang berasal dari benih yang sama denganku."
Jeonghan melirik pada Wonwoo, sementara yang dilirik sedang menatap keluar lapisan jendela kaca yang tidak dibuka. Jeonghan tersenyum—tapi senyumnya bukan senyum yang bahagia.
"Terlepas dari itu, kesetiaannya pada Anda tidak akan berubah sampai kapanpun." Jeonghan bicara. "Sampai dia mati—sampai Anda mati. Jika saja kalian bisa bertemu di neraka, dia pasti masih akan melayani Anda."
Wonwoo menatap Jeonghan, cukup lama. Ia masih berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Jeonghan.
Mingyu mengetuk pintu sebelum masuk sambil membawa beberapa makanan dan seteko teh. "Sepertinya sedang serius?"
Wonwoo kaget sementara Jeonghan tersenyum, "Ah benar, sepertinya Yang Mulia masih bingung ingin bercerita darimana, dari tadi dia terus berputar-putar bercerita."
Sialan, padahal aku belum bertanya apa-apa. Wonwoo mendelik.
Mingyu menuangkan teh ke masing-masing cangkir saat Wonwoo mulai bicara, "Jadi bagaimana yang sudah kau kumpulkan, Jeonghan? Ceritakan padaku."
"Seperti yang sudah saya katakan, target kita bukanlah orang biasa. Dia punya banyak koneksi—saya yakin Anda sendiri sudah tahu akan hal ini." Jeonghan tersenyum kalem, "Tapi, itu bukan masalah. Saya berhasil melacak keberadaannya meskipun agak lama, semoga saya tidak mengecewakan Anda."
"Untuk ukuran orang sepertinya, wajar jika memerlukan waktu yang cukup lama. Bahkan jika kau adalah pelayan kerajaan." Wonwoo menyeruput teh, "Aku tidak berniat menyindirmu, Jeonghan. Jangan tersinggung."
Jeonghan tertawa, "Sama sekali tidak, Yang Mulia."
"Jadi, ada dimana dan bagaimana kondisinya sekarang?"
"Dia baik-baik saja, dan kulihat kehidupannya cukup damai di desa." Jeonghan mengambil kudapan yang disediakan, "Melihatnya membuatku sangat sebal, tapi Anda hanya memerintahkan saya untuk mengintai dan mencari informasi tentangnya, bukan bertindak untuk menghukumnya."
Wonwoo mengangguk, sementara Jeonghan memberikannya amplop padanya.
"Saya tidak akan menjelaskan apa-apa. Tugas ini saya rasa sudah disini, semua penjelasan yang Anda minta sudah saya tuliskan di dalam kertas."
"Terima kasih banyak, Jeonghan. Kau tidak ingin membawa beberapa makanan untuk dibawa pulang?"
.
.
Malam setelah Wonwoo menyelesaikan seluruh tugasnya, ia baru membuka kertas itu. Mingyu sudah menuangkan kopi untuk cangkir ketiga. Ia sudah meminta Raja Muda-nya untuk segera istirahat, tapi, Wonwoo tidak pernah merubah sifat keras kepalanya.
"Apakah memungkinkan bagi kita untuk berangkat besok pagi, Mingyu?"
Mingyu tersenyum, "Besok Anda memiliki satu jadwal untuk bertemu Ratu Hana, membicarakan masalah kerjasama untuk pertahanan." Menyahut sopan, Mingyu kembali ke posisinya.
Wonwoo mendengus, "Suruh Seungcheol atau Jihoon untuk menggantikanku besok. Katakan bahwa aku tiba-tiba sakit dan kau membawaku berobat ke suatu daerah yang dirahasiakan—hanya kita berdua yang tahu. Suruh semua orang merahasiakan hal ini, akan sangat rawan jika aku ketahuan 'sakit'."
Mingyu meletakkan tangan kanannya di perut dan membungkuk, "Dimengerti Yang Mulia."
"Kau harus mengurus semuanya." Wonwoo menekankan kalimat yang terakhir.
.
.
Pagi-pagi sekali, Mingyu mengetuk pintu kamar Choi Seungcheol—selaku penasihat Raja. Seungcheol membuka pintu kamarnya setengah mengantuk dan Mingyu langsung menyuruhnya untuk diam ketika Seungcheol terlihat ingin bertanya. Pemuda yang lebih tinggi menyelipkan sesuatu di kantong celana piyama Seungcheol sebelum membungkuk dan tersenyum penuh arti sebelum beranjak pergi.
Seungcheol masuk ke dalam kamar dan langsung membaca surat yang diselipkan Mingyu di saku celananya.
Untuk penasihatku yang selalu membantuku untuk memilih pilihan yang bijak, Seungcheol.
Aku harap kau bisa merahasiakan ini, semalam aku merasakan tubuhku remuk dan panas terbakar, ketika Mingyu membangunkanku di pagi hari, tubuhku rasanya sudah tidak dapat kurasakan lagi. Aku meminta Mingyu menemaniku untuk berobat ke sebuah desa. Cukup jauh dari tempat ini, dan tidak usah mencariku, selama ada Mingyu di sisiku, aku akan baik-baik saja.
Aku hanya minta satu hal darimu, tolong rahasiakan hal ini karena jika para pemimpin lain mendengar bahwa aku sakit, maka akan sangat rawan bagi Negara kita. Aku mempercayakan ini hanya kepadamu dan Jihoon. Aku sudah mengirimkan surat dengan isi yang sama dengan ini padanya.
Seungcheol menggaruk tengkuk, "Yang Mulia…"
.
.
Wonwoo tidur di dalam kereta sementara Mingyu yang memacu kuda untuk bergerak. Masih subuh, matahari bahkan belum muncul dari ufuk timur. Mereka bergerak dengan cepat. Mingyu mengenakan pakaian seperti orang sipil pada umumnya dan bukan menggunakan pakaian pelayannya yang biasa.
Wonwoo terbangun ketika ia merasakan guncangan lumayan keras, ia baru saja ingin memaki Mingyu ketika ia sadar hari sudah sangat siang.
"Mingyu," Wonwoo melongok dari dalam kereta, "Kita sudah sampai dimana?"
Mingyu menoleh sebentar sebelum kembali fokus ke jalanan berbatu di depannya, "Ini masih jauh, Yang Mulia. Apakah Anda terbangun karena guncangan?"
Wonwoo mengangguk meski ia tahu Mingyu tidak bisa melihatnya, "Jika kita belum sampai hingga waktunya jam makan siang, kita harus beristirahat."
Mingyu tersenyum, "Dimengerti, Yang Mulia."
Wonwoo merasa Mingyu menepi jadi ia kembali melongokkan kepalanya seolah ingin protes "Kataku kalau sudah masuk waktu makan siang, bodoh." Tapi Mingyu turun dan mengulurkan tangan pada Wonwoo sambil berkata; "Sepertinya Anda tidur sangat nyenyak, ini sudah memasuki waktu makan siang, Yang Mulia. Jangan lupakan pakaian menyamar Anda, kita sedang dekat dengan lahan perkebunan, jadi bisa saja nanti ada yang melihat Anda."
Mingyu menggelarkan tikar dan tanpa diminta atau dipersilahkan Wonwoo langsung duduk bersila. Ia mengenakan mantel lusuh dan menutupi kepalanya dengan tudung, sabar menunggu sementara Mingyu sedang menyalakan api dengan cepat dan menghangatkan makanan yang memang sudah ia bawa dari Istana. Ketika aroma masakan yang dihangatkan Mingyu tercium hidung, Wonwoo sepertinya baru sadar bahwa ia sangat lapar.
Bahkan makan di hutan saja Wonwoo masih menggunakan table manner standar Bangsawan. Mingyu menahan tertawa ketika ia melihat Wonwoo makan dengan anggun tapi menggunakan pakaian gembel dan lesehan di alam terbuka.
"Jangan tertawa melihatku seperti ini, Mingyu."
Mingyu tertawa pelan pada akhirnya, "Maaf, Yang Mulia."
Wonwoo selesai makan dan menolak untuk beristirahat lebih lama—pasalnya ia saja baru bangun tidur. Mingyu hanya menurut dan mengemasi kembali perkakas makan Raja Muda kesayangan. Wonwoo naik ke dalam kereta dan Mingyu kembali mencambuk kuda.
Mereka tiba di sebuah kampung di dekat laut. Ada dermaga besar disana. Mingyu menghentikan kereta kuda di dekat pasar lalu membeli beberapa sayur, buah dan daging karena ia tahu Wonwoo tidak memiliki toleransi terhadap makanan laut.
Mereka lanjut untuk mencari sebuah rumah yang bisa ditempati sementara—yang pasti memiliki halaman yang muat untuk ditempati kereta kuda. Mingyu menemukannya dengan cepat dan mereka membayar berlebih dari tarif yang dikenakan pemilik rumah untuk menginap selama dua hari. Wonwoo memberikan lebihan karena ia melihat rumah itu bersih dan terawat.
Mingyu membukakan pintu dan mempersilahkan Wonwoo untuk masuk lebih dulu. Wonwoo masuk tanpa ragu dan langsung melepas mantel lusuh yang ia pakai. Mingyu memungut mantel itu dari kursi di ruang depan dan menggantungkannya dengan baik di sudut ruangan. Sejelek apapun, properti Raja adalah mutlak untuk dirawat.
Jam milik Mingyu menunjukkan pukul enam sore saat Wonwoo menyuruhnya menyiapkan air hangat untuk mandi. Beberapa menit kemudian ketika air sudah siap, Wonwoo kembali menyuruh Mingyu untuk menggosok punggung. Pelayannya dengan senang hati selalu menurut.
"Mingyu."
Mingyu menyahut dengan kalem, "Ya, Yang Mulia?"
Wonwoo berbalik kepadanya, "Katakan padaku apa yang kau inginkan sekarang."
Mingyu menatapnya dengan bingung, "Saya tidak menginginkan apapun."
Jeon Wonwoo menggenggam tangannya, "Apa kau juga tidak menginginkan aku?"
Mingyu terdiam. Menatap Wonwoo yang sudah menatapnya sejak tadi, bibirnya terbuka ingin bicara, tapi batal. Mingyu tersenyum sambil menghela nafasnya, menggenggam balik jemari Wonwoo yang kurus.
"Anda yang tahu sendiri, seberapa besar keinginan saya untuk memiliki Anda, Yang Mulia."
Jemari basah Wonwoo menggelitik tengkuk Mingyu dan menariknya mendekat, bibir mereka bersentuhan. Mingyu sama sekali tidak menolak, ia tahu apa yang Wonwoo inginkan dan ia ada untuk memenuhi semua keinginan Wonwoo. Jika Wonwoo benar, Mingyu akan menuruti perintahnya. Jika Wonwoo salah, Mingyu akan tetap berada dibelakang Wonwoo untuk mendukung pemuda itu. Raja Muda masih begitu berapi-api, dan ceroboh, dan Mingyu selalu disana—berjaga untuk menangkapnya dan mempertahankannya meskipun suatu saat Wonwoo terjatuh dalam kesalahan fatal yang sudah diperbuat.
Wonwoo menarik diri terlebih dulu. Bibirnya mengkilap oleh air liur dan mulutnya terbuka—buru-buru mencari kubik udara untuk dihirup. Mingyu dengan bibir dan lidah menyapu lembut di leher yang beraroma minyak mawar, tidak tahan lagi, giginya menggigit gemas kulit bersih itu lalu menghisapnya hingga warna merah terlihat.
"Hanya aroma mawar tidak lengkap untuk Anda, Yang Mulia. Ijinkan saya memberikan kelopak merahnya yang indah di tubuh Anda."
Mingyu menangkap geraman rendah dari Wonwoo setelah menggigit kecil daun telinga sang Raja. Suara air beriak di dalam bak mandi ketika Wonwoo dibawa keluar dari dalam bak. Wonwoo submisif sempurna ketika ia menerima kehadiran dua jemari Mingyu, bahkan meminta lebih. Punggungnya dibalikkan untuk bertemu dinding ketika pelepasan pertamanya selesai. Mingyu membiarkannya melucuti pakaian pelayan itu hingga tidak ada lagi sehelai benang menempel.
"Manfaatkan ini, Mingyu—" Wonwoo terengah, "—Selagi kita hanya berdua, hanya kau, dan aku—"
Mingyu mengecup bahu Wonwoo yang basah oleh air dan keringat, "Dimengerti, Yang Mulia."
Setelah berbisik, Wonwoo merasakan Mingyu mulai menembusnya—dan juga batas kesadarannya sebagai Raja, kesadaran bahwa Mingyu hanyalah pelayannya.
Wonwoo terengah lebih cepat, nafasnya berubah menjadi pekikan ringan dan geraman Mingyu terdengar semakin jelas. Sekali lagi Wonwoo mencapai pelepasan, disusul Mingyu pada satu dorongan terakhir dan Wonwoo merasa hangat.
Itu menghilangkan kesadarannya—dan juga Mingyu—bahwa ia adalah Raja, dan Mingyu adalah Pelayan, serta putra dari hasil perselingkuhan ayahnya.
.
.
Masa lalu Wonwoo tidak terlalu baik ketika ia berusaha menerima Mingyu sebagai Pelayan. Bagaimanapun, setiap melihat wajah Mingyu, Wonwoo akan teringat wajah Ayahnya yang bermarga Kim. Mingyu nyaris seperti kloningan sang Ayah. Ingatan samar Wonwoo sialnya bisa menyimpan memori wajah Ayahnya dengan baik.
Namun, kemudian Wonwoo menyadari, kenapa Ibunya bisa sangat mencintai pria itu. Karena ia pun sama dengan Ibunya.
Jeonghan sebelumnya memang baik, semuanya baik, tapi hanya Mingyu yang bisa menerima keadaannya yang sesungguhnya. Wonwoo tidak pernah menyembunyikan apapun dari Mingyu karena ia selalu mendapat bantuan dari pelayan itu. Dari masa transisinya menjadi dewasa, Mingyu selalu berusaha bersikap baik dan menuruti perintahnya tanpa terkecuali dan meskipun usia Mingyu lebih muda, Wonwoo merasa Mingyu bisa melindunginya dari apa saja.
Wonwoo sejak kecil tidak dijodohkan dengan siapapun—tidak seperti calon-calon Raja pada umumnya. Ia hanya dibekali ideologi dan pandangan seorang pemimpin, tindakan yang diambilnya harus tegas, dan ia harus bersikap tidak manusiawi di beberapa keadaan. Di keadaan yang lain ia harus tersenyum dan bicara selembut gula kapas. Dan dalam masa itu, Mingyu menemaninya di fase ketika ia sudah mulai jenuh dengan ajaran yang seperti itu sejak kecil. Di masa remaja, Wonwoo sangat kasar. Yang mengetahui dan menerima perlakuannya hanya Mingyu—karena amarah terbesar Wonwoo selalu ditujukan kepada Ibu dan Ayahnya, sementara Ayahnya menurunkan nyaris seluruh gen yang identik kepada Mingyu.
"Anda harus tetap makan dan melanjutkan ini semua, Yang Mulia."
Di suatu malam, Mingyu yang babak belur dihajarnya beberapa jam lalu mengantarkan makanan ke kamarnya karena Wonwoo tidak ingin keluar barang sesaat pun. Pangeran saat itu mendelik tajam pada Mingyu yang meletakkan makanan diatas meja.
"Aku tidak peduli."
Mingyu menghela nafas pelan-pelan supaya Wonwoo tidak mendengarnya. Ia lalu mendekati Wonwoo yang duduk di pinggiran ranjang dan sedikit menunduk guna melihat wajahnya.
"Apakah Anda sebenci itu kepada saya?"
Wonwoo hanya mendengus.
"Apakah Anda ingin saya mati?"
Wonwoo masih tidak menjawab.
"Yang Mulia, Anda adalah penerus keturunan Anda. Apabila Anda hancur, maka hancurlah mata rantai keturunan terakhir Jeon." Mingyu bicara pelan padanya, "Masihkah Anda menyimpan dendam kepada Ayah saya?"
Wonwoo melirik Mingyu pada akhirnya, bibirnya terbuka sedikit kemudian ia bicara.
"Sangat. Masih sangat." Jawabnya tanpa tedeng aling-aling. Setegas apa yang sudah ditanamkan dalam dirinya sejak kecil.
Mingyu tersenyum, meletakkan makanan di nakas dan kembali untuk membisikkan sesuatu di telinga Wonwoo.
"Teruslah hidup dan berkembanglah dengan dendam Anda. Anda harus membalaskan dendam Anda kepada Ayah saya. Teruslah hidup dengan memiliki tujuan, Yang Mulia, bahkan jika tujuan itu adalah balas dendam."
Mingyu tahu caranya beresiko. Tapi ia berhasil membuat Wonwoo menurut untuk mengikuti beberapa kelas pengajaran tanpa protes dan marah seperti biasanya. Penyerapannya jauh lebih cepat dari biasanya, tapi Mingyu merasa ada yang lain dari Wonwoo dari hari ke hari. Wonwoo tetap angkuh seperti biasa, tapi Mingyu tetap merasa ada yang berubah. Suatu siang di musim panas, Wonwoo duduk meluruskan kaki di dekat telaga dekat rumah pribadinya—hanya Mingyu yang dibolehkan memiliki akses kesana, jadi Mingyu membawakannya minuman dari sari nanas dan delima untuk sedikit menangkal rasa panas.
"Yang Mulia, boleh saya bertanya?"
Wonwoo tidak langsung menanggapi perkataan Mingyu meskipun ia mendengarnya. Mengacuhkan pelayannya beberapa detik demi meminum sari buah sampai akhirnya ia rela berpindah atensi pada Mingyu yang masih menunggu.
"Bertanya apa?"
Mingyu tidak lupa tersenyum, "Apakah ada yang mengganggu Anda akhir-akhir ini?"
Wonwoo terdiam, cukup lama. Lalu menghela nafasnya.
"Mingyu, terima kasih banyak."
Mingyu menelengkan kepala, "Yang Mulia?"
"Aku merasa hanya kau yang bisa kuandalkan selama ini. Dan ternyata dugaanku tidak pernah salah. Aku merasa…kau sangat berharga sekarang."
Mingyu menahan nafasnya saat matanya dan Wonwoo bertemu. Mereka tidak bicara satu sama lain. Angin musim panas membuat dada Wonwoo begitu sesak dan Mingyu masih menunggu apakah masih ada lagi yang ingin disampaikan oleh sang Pangeran.
"Kupikir aku mengerti, kenapa Ibuku bisa jatuh cinta kepada pria sebrengsek Ayahmu."
—kemudian Wonwoo menyadari, kenapa Ibunya bisa sangat mencintai pria itu. Karena ia pun sama dengan Ibunya. Ia mencintai anak dari pria yang dicintai Ibunya.
Nafas dihembus keras, dahi berkeringat dan Wonwoo terlonjak pelan sebelum tersadar dari mimpi.
Wonwoo terbangun tengah malam, setengah sadar meraba ke samping tempat tidur yang kosong. Wonwoo berguling menjadi terlentang dan semenit kemudian ia baru sadar bahwa ia sudah dipakaikan sepasang piyama di badan. Wonwoo beringsut perlahan untuk duduk di tepian ranjang.
Seingatnya, ia jatuh tertidur karena kelelahan. Mingyu lembut namun kasar di saat yang bersamaan dan Wonwoo selalu mabuk kepayang dibuatnya. Kim Mingyu adalah wine terbaik dengan kadar memabukkan yang paling manis sekaligus paling pahit. Wine terbaik dari anggur terlarang yang ditanam Ayahnya, Wonwoo tahu semua itu, tapi semakin ia meneguk, ia tidak bisa berhenti. Eksistensi Mingyu menjadi begitu penting baginya bahkan sebelum sempat ia sadari.
Pintu kamar yang ditempatinya berderit, ada cahaya dari lampu yang menyeruak masuk bersama Kim Mingyu yang menghampirinya.
"Saya merasa gelisah dengan keadaan Anda, jadi saya datang untuk mengecek." Mingyu meletakkan lampu di meja terdekat, "Apakah Anda sakit?"
Wonwoo menoleh sesaat padanya, "Tidak, aku cuma terbangun saja."
Mingyu mendekatinya, kemudian mendudukkan diri di sebelah Wonwoo, "Aku tahu ada yang kau sembunyikan, Kakak."
Wonwoo menutup telinganya, matanya terpejam erat, "Kapan kita bisa bebas, Mingyu?"
Mingyu memeluknya, "Kapanpun kau inginkan, aku akan melakukan apapun untukmu—"
Wonwoo memeluknya balik, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Mingyu sementara sang adik melanjutkan,
"—Kakakku tersayang."
.
.
Ketika bunyi pelabuhan sudah mulai ramai oleh nelayan yang baru pulang melaut pada dini hari, Wonwoo mengendap dengan Mingyu yang berada di depannya. Mereka keluar dari penginapan yang disewa diam-diam dan berjalan menuju sebuah rumah yang paling megah di daerah pelabuhan tersebut. Wonwoo mengingat dengan jelas apa saja yang ditulis oleh Jeonghan di surat laporannya.
"Ayah Anda, Tuan Kim, saat ini tinggal di daerah pesisir pelabuhan di distrik S. rumahnya adalah yang paling besar dan megah disana. Ia selalu sukses dengan sesuatu yang berhubungan dengan laut dan ia masih menjadi saudagar kapal disana dengan identitas palsu. Semua orang disana mengenalnya sebagai Tuan Choi dan ia memiliki seorang putri bernama Choi Yewon yang usianya baru lima belas tahun. Istrinya adalah wanita yang sangat baik dan bekerja sebagai perawat disana. Tuan Choi tidak akan pergi kemana-mana selama musim panas karena itulah, saat ini adalah waktu yang tepat jika Anda ingin membunuhnya. Jangan lupakan Mingyu untuk selalu bersama Anda. Tuan Choi memiliki banyak pengawal dan algojo tapi saya yakin mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Mingyu."
Mingyu berhenti tepat di depan pagar rumah itu. Wonwoo ikut berhenti. Mingyu mengetukkan buku jari telunjuknya pada besi pagar itu dan menggumam mengerti, "Saya bisa merusak pagar ini tanpa menimbulkan suara."
Wonwoo mengangguk sekali, "Lakukan saja, Mingyu."
Sayangnya, Mingyu malah merangkul pinggang Wonwoo dan melompati pagar itu dalam satu kali percobaan. Wonwoo kaget luar biasa, beruntung Mingyu membekap erat mulutnya sebelum ia berteriak karena terkejut.
"Kamar Tuan Choi berada di lantai atas rumah mereka, pintunya dibuat dari perak dan gagangnya emas. Sangat mudah menemukan kamarnya, namun selalu ada yang berjaga. Sekali lagi jangan khawatir, Yang Mulia. Kemampuan penjaga disana ada jauh dibawah Mingyu."
Mingyu selalu ada di depan dan mereka memasuki rumah itu dari jalan bawah tanah yang dibuat oleh Jeonghan (mengejutkan, tapi selama lima bulan berpura-pura sebagai tukang kebun di rumah itu, Jeonghan berhasil membuat jalan yang sengaja dikhususkan demi mendukung rencana Wonwoo untuk membunuh ayahnya).
Mingyu mengecek keadaan sekeliling. Mereka keluar lewat pintu yang hanya dilapis triplek tipis oleh Jeonghan, Mingyu memperbaikinya secepat mungkin setelah Wonwoo juga keluar dari lubang tikus itu—Jeonghan sudah mewanti-wanti dirinya untuk membawa pelapis dinding, rupanya untuk hal ini.
Keduanya berjalan tenang menuju lantai atas rumah. Di lantai bawah dari tempat mereka masuk sama sekali tidak ada orang yang lewat—Jeonghan sungguh pintar memilih tempat yang jarang dilewati pekerja di rumah tersebut. Mingyu mendadak berhenti di persimpangan koridor dan menahan Wonwoo untuk menimbulkan suara ketika ada dua orang pelayan wanita lewat. Aman, Mingyu menarik tangan Wonwoo yang langsung ditepis.
"Jangan seenaknya menyentuhku." Bisik Wonwoo sinis.
Mingyu tersenyum dengan raut muka bersalah dan mengucapkan maaf dengan teramat lirih.
Mereka harus menaiki lantai. Ini yang akan cukup berbahaya. Kali ini Mingyu meminta Wonwoo untuk berjalan lebih dulu karena ia tidak bisa mengecek ke atas dan ia harus tetap bersama Wonwoo. Wonwoo mendecih tapi tidak banyak bicara. Raja muda adalah sosok yang pemberani, Mingyu percaya Wonwoo bisa menghadapi ancaman dari depan jika ia terdesak untuk mengurus yang lain. penjaga dirumah ini cukup banyak dan meskipun Mingyu lebih hebat, jika ia dikeroyok tetap saja akan kewalahan. Mereka harus melakukannya dengan cepat dan tanpa membuat kegaduhan.
Mata Mingyu melirik tajam ke atas di sayap kanan rumah. Ia mengambil sesuatu dari dalam mantel yang ia gunakan dan melemparnya dengan cepat ke atas.
Wonwoo mendengar suara berdebam dan dengan itu, segerombolan pria tiba-tiba muncul dari atas dan bawah tangga sementara posisi mereka berada di tengah-tengah. Wonwoo baru ingin menarik pedang saat Mingyu lebih dulu melempari mereka dengan sesuatu.
Seketika gerombolan pria itu terjatuh, ada beberapa yang tubuhnya berguling hingga ke bawah tangga. Wonwoo melirik salah satu yang ada di dekatnya dan melihat sebuah jarum menancap di leher pria itu.
"Kapan kau membuat jarum-jarum beracun ini, Mingyu?"
Mingyu tersenyum, "Itu bukan jarum beracun, Yang Mulia. Tapi saya hanya menancapkan jarum tersebut di beberapa titik yang bisa membuat mereka rileks hingga jatuh tertidur."
Wonwoo mendengus, melepaskan tangan dari gagang pedang dan kembali berjalan tanpa mengucapkan apa-apa. Mingyu masih tersenyum, mengikutinya dari belakang.
Mereka sampai di lantai atas dan melihat pintu perak dengan gagang dari emas—jelas sekali kalau itu adalah kamar pribadi. Wonwoo nyaris berdecak, bahkan pria itu juga tidak mau tidur bersama istrinya jika bukan karena seks.
Wonwoo masih berjalan di depan ketika ia mendengar suara orang jatuh dua kali dibelakangnya. Ia menoleh dan melihat Mingyu lagi-lagi melempar jarum kepada para penjaga yang berniat menyerang dari belakang.
"Maaf mengganggu Anda dengan suara tersebut." Mingyu membungkuk meminta maaf.
Wonwoo mengendik bahu dan kembali berjalan.
"Kau lihat itu, Mingyu? Para penjaga yang berjaga di depan pintu kamarnya tidur sangat nyenyak." Wonwoo melirik Mingyu yang mengecek dua penjaga yang ada di depan pintu kamar, "Aku merasa beruntung kau selalu ada setiap kubutuhkan."
Mingyu menusukkan jarum lagi ke beberapa titik di tubuh kedua penjaga itu—untuk memastikan mereka tertidur (atau setidaknya jika terbangun mereka tidak akan bisa menggerakkan tubuh dan bersuara). Kemudian ia meraih kunci di dalam saku salah satu penjaga yang ia yakini adalah kunci dari kamar Tuan Choi.
"Saya merasa sangat tersanjung dengan ucapan Anda, Yang Mulia. Anda sangat jarang memberikan pujian." Mingyu berkomentar diselingi tawa kecil sambil berusaha untuk membuka pintu perak tersebut.
Mingyu berhasil membuka kunci, namun ia tidak bisa menahan bunyi klik pada pintu itu. Dengan ini pasti seseorang di dalam tahu bahwa akan ada yang masuk. Mingyu membuka pintunya perlahan dan melirik ke dalam ruangan tersebut. Ada seorang pria duduk memandang keluar jendela. Rambutnya dominan putih dan sebagian wajahnya dapat dilihat oleh Mingyu. Mingyu sangat ingat bagaimana wajah sang Ayah, ia pernah hidup bersama orang itu dan mungkin ia sedikit lebih beruntung dibandingkan Wonwoo karena Mingyu ingat di masa kecilnya ia sering digendong dan menyentuh wajah Ayahnya sebelum pria itu mengecupi wajahnya dengan sayang.
"Itu dia, Yang Mulia." Mingyu berbisik, "Itu memang dia."
Wonwoo diam-diam sedang mempersiapkan hatinya, "Lakukan, Mingyu."
Mingyu masuk dengan santai ke dalam ruangan dan Tuan Choi kaget mendengarkan ada yang masuk ke dalam kamarnya. Ia tahu kalau suara langkah kaki itu adalah langkah kaki yang tenang, yang berarti bukan milik para penjaga atau pengawalnya di rumah ini. Ia berbalik dan terkejut menemukan sosok Mingyu disana.
Mingyu tersenyum manis, Tuan Choi tidak bisa berkata-kata mendapati anak yang sudah lama sekali ia abaikan tiba-tiba berdiri di depannya. Anak yang sudah ia tinggalkan dan dari gesture serta pembawaan Mingyu yang sangat tenang, Tuan Choi tahu kalau pemuda itu sudah melewati banyak sekali hal.
"Mingyu?"
"Lama tidak bertemu, Ayah." Mingyu menundukkan kepala, "Aku tidak akan melakukan apapun pada Ayah, aku hanya mengantarkan Yang Mulia yang ingin bicara dengan Anda."
Yang Mulia? Tuan Choi memucat. Jangan bilang Yang Mulia adalah—
Jeon Wonwoo melangkah lebih teratur, ia berdiri di depan pria yang sudah menghancurkan kehidupan impiannya. Matanya memicing. Meskipun sudah sangat lama, dan ia sangat jarang bertemu dengan sosok Ayahnya, ingatan-ingatan buruk mengenai pertengkaran orangtuanya, bagaimana wajah bengis Ayahnya ketika memukul pipi mendiang Ibunya, bagaimana Ibunya menangisi Ayahnya hanya di depan foto membuat Wonwoo ingat dengan jelas wajah orang yang ia benci setengah mati.
"Lama tidak bertemu, Tuan Kim." Wonwoo tersenyum, "Atau harus kupanggil Tuan Choi sekarang? Putrimu sangat cantik, omong-omong." Wonwoo melirik lukisan besar yang dipasang di dinding ruangan itu. "Sayang sekali, dia tidak tahu bahwa Ayahnya adalah seorang penipu."
"Apa maumu, Wonwoo?"
Wonwoo menundukkan kepala, "Ah, seperti kau lupa kalau aku sudah diangkat menjadi Raja, Tuan Choi. Apa memanggil Raja hanya dengan namanya itu sopan?" Wonwoo mendekatinya, lalu berlutut di depan Tuan Choi yang masih duduk di kursi, "Baiklah, aku akan membiarkannya karena kau adalah orang tua, bagaimanapun jika bukan karenamu aku tidak akan lahir dan hidup sampai sekarang."
"Itu semua adalah salah salah Putri Jeon!"
"Jangan menggunakan nada tinggi padaku! Aku tahu kalau Ibuku memang salah, aku tahu kalau dia yang menjebakmu hingga mabuk dan membuatmu melakukan hal yang sebenarnya tidak kau inginkan!" Wonwoo menaikkan nada suaranya, "Tapi, bisa-bisanya kau meninggalkan Ibuku dan menikah dengan wanita lain? Aku tahu kau membenciku dan kau tidak pernah ingin aku lahir! Tapi tahu apa kau dengan semua beban yang kutanggung dari akibat yang kalian lakukan!? Kau tahu apa?!" Wonwoo menarik Mingyu, "Kau tahu apa yang sudah dia tanggung?!"
Mingyu menurunkan tangan Wonwoo yang menariknya, "Maaf, Yang Mulia."
"Kupikir aku tidak bisa hidup sebagai aib dari dinastiku, Yang Mulia Ratu selalu berusaha menutup telingaku dari omongan-omongan orang, dari semua orang yang meragukanku. Ayahku penipu, Ibuku mati karena sakit yang berawal dari depresi, ketika aku tahu bahwa aku punya saudara, ternyata saudaraku adalah anak darimu dan wanita selingkuhanmu. Lebih sakit lagi saat aku tahu bahkan Ayahku menolak kehadiranku, Ibuku membenciku karena membuatnya selalu mengingatmu. Nenekku selalu menatapku setengah hati meskipun aku tahu dia menyayangiku. Aku hanya bisa menyusahkan semua orang, aku berpikir lebih baik mati saja sebelum aku menemukan tujuanku untuk mencarimu."
Tuan Choi menitikkan keringat di pelipis.
"Apa hanya itu yang ingin kau katakan?" tanyanya.
Wonwoo berdiri, menarik pedang dan mengunuskan ke leher Tuan Choi, "Bukan cuma itu. Tenang saja, aku selama ini mencarimu hanya ingin melakukan ini."
Mingyu masih berdiri melihat tidak jauh dari posisi Wonwoo berdiri.
Wonwoo mengangkat pedang, siap menebas kepala pria tua di depannya. Ia menatap lamat-lamat wajah pria itu yang menatap masih dengan mata yang berapi-api meskipun ia tahu ia tidak bisa melawan.
Mata yang sangat mirip dengan Mingyu ketika Wonwoo memukulinya saat pemuda itu datang untuk pertama kalinya ke istana.
Wonwoo tercekat dengan bayangan sekilas itu, menyadari betapa miripnya Mingyu dengan pria yang paling ia benci.
"YANG MULIA!"
Tuan Choi menarik ujung pedang Wonwoo dan memegangnya dengan cepat sebelum Wonwoo sempat bereaksi. Pria itu berdiri dan mengayunkan pedang itu untuk menebas Wonwoo.
Mingyu datang dengan cepat, menangkis pedang itu dengan siku ketika tangannya yang lain merangkul Wonwoo dan berusaha melindunginya. Mata Wonwoo melotot melihat Mingyu terluka di sikunya.
"Mingyu—"
Mingyu sudah mendorongnya ke pinggir ruangan. Ia merobek ujung kemeja yang dipakai dan melilitkannya dengan cepat ke sekitar lukanya agar darahnya tidak terus keluar.
"Anda menunggu saja, Yang Mulia. Saya tidak bisa melihat Anda terluka biarpun hanya sedikit." Mingyu menarik belati dari balik mantel yang ia pakai, "Karena tugas saya sebagai pelayan Anda adalah harus melindungi Anda."
Tuan Choi tersenyum, "Sayang sekali, Yang Mulia. Padahal tadi posisimu sudah sangat menguntungkan karena aku terdesak dan tidak memiliki senjata. Tapi, kau lengah." Ia mengambil kuda-kuda saat dirasanya Mingyu siap menyerang, "Kau memang tidak bisa melakukan apapun selain menyusahkan orang lain."
Wonwoo terdiam mendadak, matanya kosong, kaget, tidak percaya.
Apa benar ia hanya bisa menyusahkan orang lain? Sesial itukah keberadaannya? Bahkan Mingyu sekarang terluka.
Mingyu menggertakkan gigi, menyerang tiba-tiba, "Tutup mulutmu!"
Lawannya adalah pedang, Mingyu tidak bisa berbuat banyak dengan belatinya sementara ia mengawasi Wonwoo di sudut ruangan.
Kondisi Wonwoo tidak bagus, ia harus secepatnya menyelesaikan ini.
Tuan Choi mendorong pedang kepada Mingyu tepat di leher di sisi kiri Mingyu karena ia tahu tangan kiri Mingyu terluka. Mingyu nyaris terlambat menghindar, tapi ketika Tuan Choi tidak bisa mengontrol tubuhnya seperti sewaktu ia muda, Mingyu mendapat kesempatan. Sebelum tangan kirinya yang terluka mati rasa, ia harus berhasil melakukannya. Apapun. Demi Jeon Wonwoo.
Mingyu memegang sisi tajam pedang, kemudian dengan gerakan cepat ia merendah dan memindahkan pedang itu pada tangan kanan. Tenaganya lebih kuat, ia mendorong pedang itu kearah kanan sekeras mungkin dan Tuan Choi membiarkan pedang itu terlepas dari tangannya. Ia belum sempat bereaksi ketika Mingyu menusuknya dengan belati di perut.
"Apa kau tahu dimana Ibuku sekarang?" bisiknya teramat pelan agar Wonwoo tidak mendengarnya.
"He—Henrietta…" Tuan Choi menahan rasa tersedak darahnya sendiri ketika Mingyu menusuknya di dada—tapi ia tahu kalau Mingyu masih belum mengenai jantungnya, "A—aku tidak tahu."
Mingyu menunjukkan wajah yang teramat dingin.
"Pembohong." Ia menarik pisaunya dan menusukkan sekali lagi, kali ini tepat di jantung.
Tuan Choi memuntahkan darah dari mulut dan sebagian darahnya mengenai bahu Mingyu. Mingyu menarik belatinya dan mundur—membiarkan tubuh Ayahnya tumbang di lantai dengan tiga luka tusukan. Mingyu menatapnya cukup lama.
Entah kenapa ada rasa sakit dan kebas yang muncul perlahan-lahan dari sudut hatinya.
Mingyu sangat ingat bagaimana wajah sang Ayah, ia pernah hidup bersama orang itu dan mungkin ia sedikit lebih beruntung dibandingkan Wonwoo karena Mingyu ingat di masa kecilnya ia sering digendong dan menyentuh wajah Ayahnya sebelum pria itu mengecupi wajahnya dengan sayang.
Wajah itu sekarang berdarah di dagu, matanya masih terbuka seolah tidak percaya. Mingyu berlutut, gemetar menutup mata sang Ayah.
"Maafkan aku, Ayah." Bisiknya, "Dosamu seluruhnya terkandung padaku sekarang."
Mingyu berjalan sedikit untuk meraih pedang milik Wonwoo yang tadi terlepas dari tangan Tuan Choi, ia membersihkannya dengan serbet yang selalu ia bawa kemana-mana sebelum kemudian menghampiri Wonwoo yang masih terlihat syok di sudut ruangan.
"Yang Mulia?" Mingyu tersenyum padanya dan mengusap sebentuk air mata di pipi Wonwoo, "Semua sudah selesai, kita harus pulang."
Mingyu bisa mendengar suara gaduh di luar pintu dan ia tahu ia tidak bisa mengambil jalan yang sama dengan yang ia ambil sebelumnya. Ia mengabaikan rasa linu yang mulai membuatnya tidak bisa merasakan tangan kirinya dan merangkul Wonwoo erat-erat ketika ia membawa Wonwoo keluar dengan melompat melalui jendela.
Mereka berhasil keluar dari sana dan kembali ke kereta kuda. Ketika Mingyu membawa Wonwoo masuk ke dalam kereta, bibir Raja muda mengucapkan kalimat yang membuat hatinya miris.
"Mingyu, aku tidak berguna…"
.
.
"ASTAGA MINGYU, BAGAIMANA BISA KAU BERKUDA DENGAN SATU TANGAN BEGITU?!" Seungcheol adalah orang yang paling pertama menyambut kedatangan mereka dua hari setelah berhasil membunuh Tuan Choi dan ia kaget begitu melihat Mingyu yang datang dengan tangan kiri terluka hebat. Seungcheol tahu Mingyu kidal, karena itulah ia cukup heboh.
Mingyu turun dan membukakan pintu kereta untuk Wonwoo setelah mengerling pada Seungcheol sebagai bentuk bahwa ia tidak apa-apa dan jangan heboh karena sudah sangat malam.
Wonwoo turun dalam diam dan Jihoon datang juga untuk menyambut. Mingyu menghampiri Jihoon, "Tuan Lee, bisakah saya meminta Anda untuk membawa Yang Mulia kepada tabib? Meskipun beliau sudah sembuh, tapi saya pikir tabib istana perlu untuk memeriksanya kembali."
Jihoon bukan orang yang heboh seperti Seungcheol, ia hanya mengendikkan bahu, "Baiklah. Omong-omong kenapa tanganmu?"
"Hanya sedikit kecelakaan kecil."
Jihoon mendengus pelan, "Lain kali jangan sampai terluka, pelayan yang terluka meskipun ia tidak mati itu cukup memalukan."
Mingyu mafhum dengan penasihat yang satu ini, omongannya memang terkenal dingin dan pedas, tapi Jihoon adalah salah satu yang paling setia pada kerajaan, "Terima kasih atas perhatian Anda, Tuan."
Jihoon menghampiri Wonwoo dan meminta kesediaannya untuk dibawa ke tabib. Wonwoo mengangguk tanpa banyak bicara karena alasan awalnya pergi adalah memang karena penyakit.
"Kenapa tidak ikut memeriksa lukamu, Mingyu?" Seungcheol bertanya. Mingyu menggeleng.
"Luka saya tidak ada apa-apanya, Tuan." Sahutnya sopan. "Saya akan menyiapkan tempat tidur Yang Mulia dulu, saya permisi."
Seungcheol tidak mencegahnya lagi dan Mingyu merasa lega.
Wonwoo didampingi Jihoon kembali ke kamar. Mingyu sudah kembali memakai stelan plelayan dan membukakan pintu kamar untuk Wonwoo.
"Terima kasih sudah menemaniku, Jihoon."
Jihoon tersenyum tipis, "Saya senang melakukannya untuk Anda, Yang Mulia. Kalau begitu saya pamit."
Mingyu membungkuk pada Jihoon sebelum Jihoon kembali.
Wonwoo masuk disusul Mingyu yang menutupkan pintu. Mingyu melepaskan pakaian Wonwoo dan menggantikannya dengan piyama. Wonwoo melirik tangan kiri Mingyu yang masih harus disangga kain dan hatinya mendadak berdenyut nyeri. Ia menahan tangan Mingyu dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku bisa sendiri, Mingyu." Ujarnya.
Tapi Mingyu menampik tangannya dan tetap melakukan tugasnya, "Saya yang akan melakukannya Yang Mulia."
Wonwoo menggigit bibir, Mingyu masih mengerjakan pekerjaannya dengan rapi dan tepat waktu seperti biasa meskipun menggunakan satu tangan.
"Mingyu—"
Mingyu mengangkat wajahnya untuk menatap Wonwoo di depannya, "Ya, Yang Mulia?"
"Tolong lakukan perintahku yang terakhir."
Si Pelayan merasakan firasat tidak enak, "Apa maksud Anda?!"
Wonwoo tersenyum, ia memeluk Mingyu dan Mingyu merasakan bahunya basah. Samar-samar ia mendengar suara Wonwoo berbisik di telinganya.
"Aku ingin menghilang, Mingyu. Keinginanku sudah terwujud, dosaku terlalu banyak jika harus menjadi seorang pemimpin." Ia bicara masih dengan suara yang lemah, "Aku memintamu, terakhir kalinya, Mingyu. Aku mohon. Aku mohon padamu. Lakukanlah permintaan terakhirku."
.
.
Ennik Somi Douma sedang asyik memetiki stroberi hasil kebunnya ketika Ayahnya memanggilnya untuk kembali ke rumah saat itu juga. Somi terpaksa kembali ke rumah dengan hanya membawa stroberi yang mengisi setengah keranjang kecilnya.
Di rumah sudah ada sosok lelaki tinggi yang menggunakan pakaian resmi seorang pelayan kerajaan—tangan kiri pelayan itu dibalut perban dan disangga kain. Pelayan itu tersenyum padanya dan membungkuk sopan pada Somi.
"Nona Douma—atau harus saya panggil Nona Jeon," Mingyu menyerahkan sebuah surat, "Ada surat dari Yang Mulia untuk Anda."
Somi melirik Ayahnya yang mengangkat bahu dan kemudian bicara, "Ambil saja, Somi."
Gadis itu meraih surat dengan cap kerajaan yang diberikan Mingyu dan membuka isinya. Gadis dengan paras dominan asing itu membulatkan matanya, "A-apa ini?"
"Ibu Anda—Nyonya Jeon Sunhee adalah putri kedua dari Yang Mulia Ratu terdahulu, adik dari Putri Jeon. Yang Mulia Raja menginginkan saya untuk memboyong Anda serta Ayah Anda ke istana sebagai penerus dinasti Jeon. Anda adalah harapan Tuan saya demi negeri ini, Nona."
"Tunggu." Somi menyela, "Aku—aku tidak tahu ada apa ini? Jangan sekali-kali menipuku dan Ayahku!"
Mingyu masih tersenyum, "Saya tidak menipu Anda, Nona. Jika Anda ingin mengetahui hal yang lebih jelas, maka tanyakanlah pada Ayah Anda."
Somi menatap Ayahnya, "Ayah, jelaskan ini kepadaku nanti."
Mingyu beranjak untuk berdiri, "Baiklah, silahkan bersiap Nona dan Tuan. Saya akan menunggu, kalian harus tetap ke istana, mau atau tidak mau. Dengan sukarela ataupun dengan paksa."
Sore itu juga, Somi beserta Ayahnya dibawa ke istana oleh Mingyu. Ia menghadapkan Somi dan Ayahnya ke hadapan Wonwoo secara langsung dan Tuan Douma—selaku Ayah Somi langsung berlutut begitu Wonwoo berjalan menghampirinya.
"Paman, jangan seperti itu. Kau membuat Somi takut padaku." Wonwoo melirik gadis tinggi di depannya. "Kau menurunkan banyak hal kepada Somi."
Tuan Douma segera berdiri, "Terima kasih, Yang Mulia."
"Meskipun selama ini kalian tinggal di desa, aku yakin kau sudah mengajari Somi banyak hal yang bisa ia jadikan bekal dan pegangan ketika ia menjadi Ratu."
Somi sebagai orang yang dibicarakan bahkan tidak mengerti apapun, ia mengguncang lengan Ayahnya, "Ayah, ada apa sebenarnya?!"
"Jeon Somi." Wonwoo memanggil nama gadis itu dan Somi menatapnya dengan wajah yang cemas, "Aku akan mengumumkan pengunduran diriku sebagai Raja, dan sebagai gantinya, kau akan menjadi Ratu untuk negeri kita dengan Ayahmu sebagai penasihat disamping adanya Seungcheol dan Jihoon disini. Kau bisa memilih pelayan pribadimu besok." Wonwoo tersenyum, "Kecuali Mingyu, karena dia sudah berjanji akan setia padaku seumur hidup."
.
.
Istana sangat heboh dan berita itu menyebar dengan cepat—berita bahwa Yang Mulia Raja; Jeon Wonwoo telah menghilang dan sebagai gantinya akan dilantik pemimpin baru, sepupu dari Raja, Putri Jeon Somi.
Bahkan setelah beberapa tahun berlalu, gosip-gosip hangat tetap santer terdengar. Mengenai Raja yang sebenarnya meninggal karena sakit, Raja yang sebenarnya sedang melarikan diri bersama pelayannya, Raja yang bunuh diri, dan lain-lain. Entah sejak kapan, keberadaan Jeon Wonwoo benar-benar lenyap ditelan Bumi.
Kecuali bagi Jeonghan dan Mingyu.
"Aku benar-benar takjub kau bisa mencari dimana keberadaan anak dan suami Putri Jeon Sunhee." Jeonghan meminum teh dengan wangi bunga ceri di musim dingin, Mingyu baru saja menuangkan secangkir penuh, "Putri Jeon Sunhee adalah kembaran dari Ibu Wonwoo, dan di istana tidak diperbolehkan adanya kembar. Putri Sunhee diberikan pada salah satu keluarga petani yang baik hati di desa, dan keberadaannya dirahasiakan sehingga seolah-olah hanya ada Ibu Wonwoo sebagai putri mendiang Ratu terdahulu."
"Saya lebih takjub dengan kenyataan bahwa kakak saya mengetahui fakta tersebut seorang diri." Mingyu tersenyum, "Bagaimana racikan teh saya, Tuan Yoon?"
"Sangat enak, Mingyu." Jeonghan tersenyum lebar, "Entah kenapa rasanya jauh lebih lembut dibandingkan racikanmu ketika masih di istana."
Mingyu tertawa, "Terima kasih, Tuan."
Setelah Wonwoo meminta Mingyu untuk mencari Somi, ia segera meminta Jeonghan untuk mencarikan mereka tempat tinggal yang jauh dan tidak akan ditelusuri pihak istana, namun tetap nyaman. Jeonghan tidak pernah diragukan untuk hal seperti ini. Ia berhasil mencarikan sebuah rumah kecil untuk ditinggali Wonwoo dan Mingyu di pinggiran desa, yang disebelahnya ditumbuhi pohon plum dan ceri. Di belakangnya ada padang rumput yang luas dan ketika duduk di teras rumah akan ada bunyi lonceng angin yang menyenangkan.
"Wonwoo tidak keluar?"
Mingyu tersenyum lagi, "Demamnya belum turun, tapi sudah lebih baik. Anda ingin melihatnya?"
"Tidak, aku sudah sangat percaya padamu untuk menjaganya." Jeonghan menyeruput habis teh di cangkir dan meletakkannya kembali, "Aku baru ingat aku harus memanen jagung, uangku sudah mulai menipis, besok aku mau membawanya ke pasar."
Jeonghan beranjak, dan Mingyu mengantarkan sampai di depan pagar kayu rumah tersebut, "Terima kasih sudah mau berkunjung, Tuan."
Sepeninggal Jeonghan, Mingyu membawa sisa teh bunga ceri kembali ke dalam rumah dan menghampiri Wonwoo yang sedang membaca buku di dalam kamar.
"Jeonghan sudah pulang?"
"Sudah, kak." Mingyu menuangkan teh dan menyajikannya pada Wonwoo, "Saya menawarkan untuk masuk, tapi beliau menolak."
"Memang sudah waktunya jagung untuk dipanen musim ini." Wonwoo menutup bukunya dan mencicipi teh yang dituangkan Mingyu. "Sebenarnya semua minumanmu terasa lebih baik sejak kita tinggal di desa."
Mingyu tersenyum, menyentuh dahi Wonwoo, "Kurasa demammu sudah turun."
Wonwoo menyingkirkan tangan Mingyu, "Setelah kupikir-pikir, kau cukup menyebalkan jika sudah memanggilku seperti itu, Mingyu." Ujarnya, "Setelah beberapa tahun ini, kupikir Somi cukup pintar mengambil alih, semuanya terlihat damai meski masih banyak spekulasi dan rencana kudeta. Gaya memimpinnya benar-benar sama dengan nenek."
"Ah, jadi ingin aku kembali jadi pelayanmu?" Mingyu sedikit tertawa, "Rupaya masih memantau Ratu?"
Wonwoo mendecih, "Aku sudah memintamu untuk berhenti menjadi pelayan, tapi kau harus tetap setia kepadaku seumur hidup." Pemuda yang sekarang hanya menjadi orang biasa yang tinggal di daerah pinggiran itu mengulurkan tangannya, "Hanya memperhatikan hal-hal kecil, dan aku tidak mau dia mencariku."
Mingyu tersenyum, meraih jemari Wonwoo dan mengecup punggung tangannya dengan lembut.
"Dimengerti, kakakku tersayang."
Wonwoo memberikan senyuman pertamanya hari itu dan menarik Mingyu mendekat, "Kemarilah, aku ingin memelukmu di sisa hari ini. Kau terlalu lama berbicara dengan Jeonghan."
-end
.
.
GUYS SEVENTEEN DAPAT FIRST WIN LIKE ASDFJHGPWFRORMX[QOFIFNFKJKC OMG BABIES YOU DESERVE IT! SOONYOUNGKU NANGISNYA KENCENG AMAT HUHUHU TT-TT LEADER UNIT NANGISNYA PADA LAMA JIHOON DIPELUK HONGBIN ASDFGHJKL, UNTUNGLAH KITA MAsih memiliki Jeon Wonwoo yang tetap bertahan dengan wajahnya yang kalem disana /g
SAYA MASIH SENENG BANGET INI YA AMPUN PARA CEBONGS DAN SAYA NGGA MELEWATKAN OM-OM DI BELAKANG MEREKA YANG NGACUNGIN JEMPOL DALAM WAKTU YANG LAMA PAS CEBONGS DAPET TROPHY ITU. BELIAU ADALAH VISUALISASI SAYA, IYA, ya…
GATAU AH MAU NGOMONG APALAGI, MAAF BANGET SAYA UPDATE TELAT DAN MAKIN KESINI ALURNYA MAKIN GAK MUTU KAYANYA /SLAPPED/ BUT STILL, TYSM BUAT YANG UDAH REVIEW DI CHAPTER SEBELUMNYA DAN MAAF KARENA INI NAIK RATING DAN MUNGKIN GA SESUAI EKSPEKTASI DAN KAYANYA SAYA MAU STOP BUAT UPDATE FF BARU SEBELUM TWO DIFFERENT TAMAT YAK OKE WASSALAMU'ALAIKUM WR. WB /melipir pamit/
Tamban, 05 Mei 2016
darkestlake
