"Kenapa Soonyoung hyung ?"

"Wonwoo," Soonyoung menatap Seokmin seraya memasukan ponsel ke saku celana. "Dia menelponku sambil menangis dan mengadu sakit. Kau tentu paham bukan maksud sakit yang dimaksud Wonwoo?"

Seokmin terdiam. Dia mengalihkan pandangannya ke pintu atap yang tertutup - membayangkan seseorang yang sebelumnya berdiri di balik pintu atap. Siapa lagi kalau bukan Mingyu. Ketua mereka yang beberapa menit yang lalu berdiri di sana dengan kepala tertunduk -menangis. Ya, Soonyoung dan Seokmin berhasil menguping dan mengintip Wonwoo dan Mingyu bertengkar setelah berulang kali mereka berdua salah lantai.

"Aku memang tidak suka mereka berpacaran tapi aku lebih tidak suka Wonwoo hancur." Seokmin berucap dengan mata menerawang.

"Begitupun aku. Aku memang ingin mereka mengakhiri hubungan mereka tapi aku lebih tidak suka mereka menjadi seperti ini. Kau tau Seokmin- ah ," Seokmin menengok ke Soonyoung walau Soonyoung tidak menatapnya. "Aku merasa jahat menginginkan mereka putus. Aku memang marah mengetahui Mingyu juga melanggar peraturan tidak tertulis itu dan begitu ingin mereka berakhir. Tapi entah kenapa aku tidak tega melihat mereka seperti itu."

Seokmin tersenyum tipis, begitu tampan tidak lebar seperti biasa. Dia menepuk bahu Soonyoung. "Aku tau kau bukan orang yang jahat hyung . Aku tau itu."

Soonyoung menghela nafas seraya menundukkan kepalanya, dia mengulum senyum tipis yang terlihat menyedihkan. "Bodohnya aku sebagai wakil,"

Kening Seokmin mengkerut tanda ia tidak mengerti dengan apa maksud ucapan Soonyoung.

Soonyoung kembali mendongak, sorot mata itu terlihat begitu penuh tekad, tangannya mengepal. "Besok aku akan bertemu dengan kepala kepolisian. Aku akan bicara langsung dengan beliau agar beliau menghapus peraturan tidak tertulis itu. Aku akan berusaha."

.

.

.

NO F.U.N

Meanie Couple

Warn; Yaoi, out of character, typo(s), etc

Disclaimer ; Cerita ini sah milik saya. Begitu pula dengan Jisoo (dihajar masa!)

.

Tidak suka, tidak usah baca, segara close!

.

Italic for flashback

.

Selamat membaca

.

.

.

Tiga hari sebelum penggerebekan. Tim khusus ini sibuk latihan dengan anggota yang komplit -Minghao sudah ikut bergabung karena diare yang di deritanya sudah jauh lebih baik. Awalnya Minghao juga merasa aneh (asing) dengan suasana tim nya yang terasa mencekam dan Seungkwan menceritakan semua.

"Oke, sekarang Minghao dan Wonwoo. Kalian battle satu lawan satu, bertarung jarak dekat yang berarti tidak menggunakan senjata apapun, tangan kosong." Junhui, selaku pelatih, menyuruh mereka. "Wonwoo-ya, ini latihanmu. Kau cukup menghindar dari serangan Minghao kalau kau tidak bisa menyerang. Kalau menyerang tidak bisa maka cara paling ampuh adalah menghindar atau bertahan." Nasehat itu memang diberikan untuk Wonwoo, Minghao tidak karena latihan bertarung tangan kosong dengan face to face ini adalah kelemahan Wonwoo. Wonwoo memang jago saat menggunakan senjata namun akan sangat bodoh saat senjata itu tidak berada di tangannya.

"Saya mengerti." Itu jawaban Wonwoo, dengan ekspresi datar.

"Baiklah, mulai!" Junhui menyingkir. Seluruh tim (kecuali Seungkwan, Jihoon dan Mingyu, mereka sibuk mengatur strategi) menatap duel di depan meraka. Minghao dan Wonwoo juga sudah berada di posisi siap menyerang.

Minghao melayangkan pukulan di sisi sebelah kanan, Wonwoo bisa mengelak.

Tendangan dari bawah, Wonwoo bisa menghindar. Pukulan, tendangan dan lainnya Wonwoo bisa menghindar. Kadang Wonwoo juga melayangkan tinju bahkan tendangan namun pukulan atau tendangan itu tidak sekuat Minghao.

Wajah Wonwoo pucat, seharian kemarin ia memang tidak bisa tidur, sibuk menangis dan dia pun kembali tidur di tempat sauna untuk menghindari Mingyu -padahal Mingyu sendiri tidur di kantor untuk menghindari Wonwoo.

"WONWOO-YA, MENGHINDAR!"

BUGH...

Wonwoo oleng, rahangnya kena tendang Minghao dan itu sukses membuat Wonwoo mengeluarkan darah. Wonwoo memegang rahangnya. Minghao tidak merasa bersalah. Jelas, sebuah peraturan telah diterapkan; saat latihan duel dan ada yang terluka karena teman duel nya maka teman duel nya dinyatakan tidak bersalah.

"KONSENTRASI, WONWOO-YA!" Junhui berteriak.

Wonwoo kembali (berusaha) konsentrasi. Walau perih melanda dia harus tetap siap.

"Kalau kau melamun atau lengah sedetik pun, kau bisa mati."

"Huh?"

BRUG...

Belum apa-apa Wonwoo sudah kena pukul lagi.

"SUDAH KU BILANG KONSENTRASI!" Junhui kembali berteriak.

Tadi sebelah kanan kena tendang sekarang sebelah kiri kena pukul.

Wonwoo menggelengkan kepalanya saat merasa pandangannya sedikit mengabur, berkunang-kunang.

Mereka kembali duel. Junhui merasa Wonwoo benar-benar buruk berkelahi. Berulang kali kena pukul dan tendang kalau caranya seperti ini bisa-bisa sebelum penggerebekan Wonwoo sudah mati.

"BERHENTI!"

Bagai film di pause , Minghao dan Wonwoo tidak bergerak. Junhui menghentikan pada saat yang tepat; saat Minghao akan menendang wajah Wonwoo dengan Wonwoo sudah memejamkan matanya.

"Minghao dan Wonwoo, selesai!"

Diberhentikan. Wonwoo mendesah lega dan Minghao buru-buru minta maaf.

"Wonwoo-ya, cepat ke ruang kesehatan."

Wonwoo mengangguk, patuh.

"Dan Minghao tetap di tempat. Biarkan Wonwoo mengobati luka nya sendiri."

Minghao yang tadi hendak mengikuti Wonwoo pun urang.

"Sekarang Soonyoung dan Seokmin."

Melihat adik manisnya itu menatap bersalah, Wonwoo menepuk bahunya dengan tepukan yang menenangkan. "Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri. Kau latihan saja." Wonwoo mengulum senyum sebelum keluar dari ruang latihan untuk mengobati lukanya.

Latihan saja dia begini bagaimana tiga hari kedepan kalau dia masih seperti ini, bisa bisa dia mati.

.

Selesai latihan, mereka semua (tanpa terkecuali) datang untuk rapat. Dengan wajah babak belurnya, Wonwoo ikut rapat diruangan mereka di tempat yang biasa mereka gunakan untuk rapat. Mingyu duduk di paling ujung, matanya melihat satu persatu anak buahnya. Seokmin dengan luka di sudut bubur, Soonyoung dan Minghao bersih tanpa luka sedikit pun lalu Wonwoo-

-tanpa ia sadari, ia menatap Wonwoo dengan sorot mata khawatir dan menatapnya lebih lama.

"Ketua, kita mulai rapatnya." Jihoon menginterupsi.

"Ah, ya, kita mulai."

Dan rapat itu pun dimulai.

Walaupun kata putus sudah terucap namun kata cinta dalam hati mereka tidak pernah terputus.

Rapat di tutup; rapat membahas tentang strategi dan lain sebagainya. Satu persatu mereka keluar untuk pulang. Wonwoo lah yang paling terakhir pulang -sengaja agar Mingyu pergi jauh baru dia akan pulang ke tempat sauna lagi paling.

Merasa keberadaan Mingyu sudah cukup jauh, Wonwoo pulang.

"Aku kira kau akan tidur di dalam."

Baru saja Wonwoo keluar dari ruangan suara Mingyu membuatnya berdiri mematung.

Mingyu berdiri di depan Wonwoo menggenggam tangan Wonwoo. "Ikut denganku. Aku akan mengobatimu." Wonwoo hanya pasrah saja saat Mingyu menarik tangannya.

Di ruang kesehatan Mingyu mengobati Wonwoo dengan telaten. Wonwoo mengamati wajah Mingyu yang tengah serius mengobati lukanya, tepat di depan wajahnya.

"Aku tau aku tampan, tapi jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku salah tingkah."

Pipi Wonwoo memerah. Sentuhan terakhir adalah plester.

"Pulanglah, kau tidur di apartemen. Aku akan pulang ke rumah dan tidur di sana." Mingyu memberikan kunci mobilnya, "bawa mobilku juga." Mingyu berdiri, "Aku akan pulang bersama ayahku. Cepat sembuh. Sampai jumpa besok."

Wonwoo terdiam beberapa saat, otaknya yang sedang dalam mode telmi itu memproses apa yang Mingyu bilang barusan, "T-tunggu," Wonwoo menatap pintu yang sudah tertutup kembali karena Mingyu sudah keluar. "Ayah?" Wonwoo pun bergegas mengikuti Mingyu, dia hanya ingin tau seperti apa ayah Mingyu. Dia hanya ingin tau rupa calon mertu- mantan calon mertua.

Di balik tembok sebelah pintu keluar ia mengintip. Namun sayang, mobil sedan berwarna hitam dengan kaca film mobil yang gelap membuat Wonwoo tidak bisa melihat siapa yang ada di dalamnya. Ia refleks melihat plat nomer mobil tersebut. Saat melihatnya, kening Wonwoo mengkerut tanda berpikir keras.

Wonwoo memang tidak asing dengan mobil itu saat melihatnya, sangat tidak asing. Otaknya masih berpikir; siapa pemilik mobil tersebut.

"Bukankah mobil itu milik..." mata sipit Wonwoo terbelalak, mulutnya terbuka lebar. "Dia... pemilik mobil itu... kepala kepolisian. J-jadi..."

Aku akan pulang bersama ayahku.

Wonwoo hanya mampu terdiam shock.

.

Soonyoung dan Jihoon untuk pertama kalinya setelah mengakhiri hubungan, terlihat berdua. Mereka sedang makan malam bersama.

Butuh keberanian besar bagi Soonyoung untuk mengajak Jihoon. Jihoon memang paling mungil (memperhalus kata pendek yang begitu tidak enak dibaca) tapi saat marah bagaikan monster, begitu mengerikan.

Mereka sudah selesai makan dalam diam.

"Apa yang ingin kau katakan?" Jihoon to the point sekali.

Soonyoung meminum minuman pesanannya, menaruhnya kembali ke meja lalu berujar, "Aku mau minta dukunganmu."

"Dukungan... apa?"

Soonyoung menarik nafas dalam sebelum mengatakan apa dukungan yang ia maksud. "Aku akan berusaha membujuk kepala kepolisian kita agar beliau menghapus peraturan itu."

"Kau menjamin apa sampai mau berusaha seperti itu. Kau tau, kepala kepolisian kita tidak akan mau menerima begitu saja tanpa ada keuntungan."

"Aku memang tidak akan memberikan keuntungan apapun tapi aku akan mengancam beliau."

"Mengancam?"

"Ya, aku akan mengancam beliau dengan aku akan keluar dari tim itu."

Jihoon terkekeh, tawa mengejek yang membuat Soonyoung mengernyit tidak suka -merasa direndahkan. Apa maksudnya Jihoon tertawa seperti itu?

"Kenapa kau tertawa?" Tanyanya sensi.

"Yak! Memangnya kau siapa bagi beliau? Kau hanya wakil di tim kita. Kalaupun kau keluar, kepala kepolisian kita itu pasti akan mencari yang lain. Maaf saja aku bilang," masih dengan senyum mengejek di bibirnya, ia berujar, "masalah kecil bagi kepala kepolisian untuk mencari orang yang mengisi posisimu seandainya kau keluar."

Soonyoung tertohok. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Jihoon itu bermulut pedas. Soonyoung sangat tau bagaimana sifat mantan kekasihnya ini. Walaupun sudah tau tetap saja rasanya sakit hati saat Jihoon berkata begitu pedas padanya.

"Kau hanya mau bicara itu bukan? Kalau begitu aku pulang." Jihoon berdiri dari kursinya. "Terima kasih makan malamnya dan tenang saja aku akan membayar milikku sendiri." Jihoon membungkuk pamit. Jihoon berbalik Soonyoung.

"Apa kau tidak ingin kembali denganku?"

Jihoon berhenti melangkah. Tiga langkah dia melangkah.

"Asal kau tau, aku berusaha seperti ini agar kita bisa kembali bersama." akhirnya Soonyoung mengatakan inti terselubngnya.

Jihoon berbalik. Jujur saja, ia malu saat harus membahas masalah pribadi di depan umum seperti ini. Hey, jangan lupakan para pengunjung restoran di sini?

Jihoon bergegas menghampiri kursinya lagi. "Bisakah kita tidak membahas hal seperti ini di sini?"

"Aku mengajakmu makan untuk membahas ini. Belum selesai kau malah sudah pergi."

Jihoon merotasi matanya. Ia tau Soonyoung adalah orang yang nekat. So, dari pada ia mendengar suara Soonyoung memenuhi restoran dengan cerita cinta mereka yang sudah rampung (maybe) lebih baik Jihoon kembali duduk ditempatnya tadi. "Arraseo, cepat katakan apa yang ingin kau katakan."

Soonyoung tertawa lebar membuat matanya yang sipit itu semakin sipit. Coba saja mereka tidak serenggang ini mungkin Jihoon akan mencubit pipi mantan kekasihnya ini karena gemas.

"Baiklah, dengarkan aku baik-baik."

Jihoon pun memasang telinga, mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir seksi Soonyoung dengan jantung berdegup kencang dan wajah yang memerah panas.

.

Di pagi hari yang cerah, berdiri dengan perasaan gugup serta suasanya mencengkam inilah Jihoon dan Soonyoung (yang entah sadar atau tidak) berdiri saling bergandengan berhadapan dengan kepala kepolisian.

"Kalian mengancamku?" suara kepala kepolisian itu terdengar memehuhi ruangan yang sunyi ini.

"Y-"

"Tidak sepenuhnya mengancam." tidak hanya Sooyoung, kepala kepolisan itu juga menatap Jihoon yang sejak awal dari baru sekarang bersuara -sejak awal memang Sooyoung lah yang bersuara, Jihoon hanya bagaikan kambing conge . Bibir Jihoon kembali berucap, "tidak sepenuhnya mengancam, kami hanya menuntut hak. Jabatan aku dan Soonyoung memang menjadi taruhan, mengancam memang tapi tidak sepenuhnya karena di sini kita menuntut hak; hak saling mengasihi dan mencintai."

Seorang dengan pangkat tertingi di sini tertawa miring, "sekarang aku tau dari mana Mingyu begitu pintar bersilat lidah membela kalian, rupanya dari kau Jihoon."

Kedua laki-laki bermata sipit itu mengernyit, membela kalian?

"Membela kalian? Makud anda, saya dan Soonyoung?" Jihoon kembali bersuara.

"Rupanya si kritis Lee Jihoon sudah kembali dan ya, kalian, kau dan Soonyoung. Hubungan kau dan Soonyoung itu terlalu terlihat jelas, mudah bagiku untuk mengetahuinya. Namun dengan bodohnya ketua kalian terus membela kalian itulah alasan hubungan kalian menjadi lama. Mingyu bergitu gigihnya membela kalian, begitu gigih untuk menghapus peraturan itu."

Sekarang Jihoon dan Sooyoung merasa bersalah. Awalnya mereka berani mengambil jalur seperti ini -bicara langsung dengan orang paling tinggi pangkatnya ini, karena mereka berdua berpikir kalau Mingyu selaku ketua tidak pernah menentang melakukan sesuatu terhadap peraturan itu. Mereka berpikir demikian. Namun setelah mendengarnya sendiri mereka berdua merasa bersalah telah berpikir begitu.

"Karena setengah dari kalian menginginkan peraturan itu maka kita buat negosiasi."

"Negosiasi?"

"Ya. Negosiasi. Kalau kalian berhasil membawa pemimpin dari gembong narkoba internasional itu dalam keadaan hidup, aku akan menghapus peraturan itu, namun kalau sebaliknya maka peraturan itu tetap aja. Bukankah mudah?"

"..." mereka berdua bergeming. Pekara mudah memang, namun yang membuat sulit adalah membawa dalam keadaan hidup. Menurut informasi, pimpinan gemong narkoba itu bagaikan belut, begitu licin.

Mereka bimbang akan membawanya dalam keadaan hidup karena mereka berpikir hanya ada dua; membawanya dalam keadaan mati atau tidak membawanya. Targetnya sekarang benar-benar kelas berat yang membuat mereka latihan ekstra di tengah waktu yang sempit. Terlebih keadaan timnya sekarang dalam keadaan tidak baik.

"Saya terima itu." Soonyoung menerimanya begitu saja, tidak sadar dengan delikan yang Jihoon berikan.

"Kalau sampai kalian gagal, kau, Jihoon, Wonwoo dan mungkin saja Mingyu. Akan dikeluarkan dari tim khusus, akan dipindah ke devisi lain, di tempat lain. Yang berarti pula tim khusus kalian akan aku bubarkan."

.

"Aniyo, Seungkwan-ah. Kau harus tetap di sebelahku tidak boleh kemana-mana."

"Tapi, Jihoon hyung, aku kan-"

"Aku bilang tidak ya tidak. Kau tidak pintar berkelahi akan bahaya untukmu jadi kau cukup di sebelahku!"

"Tapi hyung aku ingin melawan mereka." Seungkwan memasang wajah memelas semaksimal mungkin.

"Kau berani melawanku?"

Melihat wajah galak Jihoon Seungkwan sontak menggeleng.

"Kalau kau mau mati, silahkan lawan musuh itu. Aku mempersilahkanmu mati." Jihoon memutar kursi kerjanya dan kembali berkutat dengan computer, membiarkan Seungkwan yang memberenggut sebal.

Di tempat duduknya Soonyong tersenyum tipis melihat Seungkwan (yang selalu) dimarahi Jihoon. Soonyoung paham bagaimana sifat Jihoon, mantan kekasihnya. Saat marah, mengomel dan sebagainya itu tandanya dia peduli dan saat ia mengabaikannya itu tandanya ia sudah tidak peduli. Hanya saja orang selalu salah menilai.

Matanya beralih menatap Seokmin dan Minghao yang duduk di pojok ruangan, terlihat Minghao dengan wajah mong nya dan Seokmin dengan wajah bersunggut-sunggut kesal. Biar Soonyoung tebak kalau Seokmin pasti sedang mengajari Minghao bahasa Korea yang baik dan benar. Minghao memang bersar di China walaupun kewarganegaraannya Korea, ia lama di China. Itulah yang menyebabkan Minghao sulit berbicara bahasa Korea.

"Ey, kau salah pengucapan lagi. Ulangi!"

"Seokmin- ah ~ aku pusing~"

"Jangan aegyo padaku!"

"Aku tidak aegyo , Seokmin- ah . Aku memang seperti ini~"

"Tuh kan aegyo!"

"Ahni ~"

"Tuh aegyo lagi!"

"Ahniyo , Seokmin- ah ~" Minghao merenggek. Dia memang tidak aegyo, memang bawaannya begitu.

"Oke, oke, aegyo -mu mempan. Kita akhiri belajar bahasa Korea hari ini."

Minghao tersenyum lebar, begitu menggemaskan. "Gomawo, Seokim- ah ~" ia reflkes memeluk Seokmin.

"Yak ! Yak ! Jangan peluk-peluk! Nanti aku baper."

Minghao melepaskan pelukannya dan meringis lebar. "Mianhae."

"Huh~ aku tidak mau dekat-dekat denganmu nanti bisa bahaya." Seokmin meninggalkan MInhao.

Soonyoung terkekeh ringan. Dasar baperan. Ucapnya dalam hati yang di tunjukkan untuk Seokmin.

Mata sipitnya bergulir menatap Wonwoo yang terlelap tidur di meja kerjaanya. Berterima kasihlah kepada Mingyu yang tengah sibuk di dalam tempat kerjanya jadi ia tidak memergoki Wonwoo yang tidur. Walaupun Wonwoo dulu kekasih dari Mingyu namun saat dalam situasi kerja seperti ini mereka berdua bersifat professional. Mungkin ini juga salah satu faktor yang membuat hubungan mereka tidak tercium anggota yang lain.

Ah menggenai Mingyu

Soonyoung menatap ruang kerja Mingyu. Terlihat di sana ketuanya tengah sibuk mengetik - entah apalah itu. Terlihat begitu frustasi. Wajah lelahnya begitu jelas terlihat.

Senyum yang sempat tersemat di bibir Soonyoung perlahan menghilang, ia kembali melihat adik-adiknya -anggota yang lain.

Seungkwan si tukang menggerutu dan gossip.

Jihoon di galak walaupun manis.

Wonwoo si tukang molor.

Mingyu di ketua yang sangat hebat walaupun tertutup.

MInghao yang selalu menampilkan ekspresi mong.

Dan Seokmin si baperan .

Soonyoung melihat kalender yang tertempel di dinging. Perasaan sedih menggerogoti hatinya. Beberapa hari lagi, tidak akan ada celotehan ribut Seungkwan dan Seokmin.

Tidak ada lagi suara imut yang tidak dibuat-buat milik Minghao.

Tidak ada lagi suara malas Wonwoo.

Tidak adal lagi suara galak Jihoon.

Dan…

Tidak ada lagi suara tegas Mingyu.

Karena apa? Karena tim ini akan dibubarkan. Kalian tau, rasanya Soonyong ingin mennagis sekarang. Bukan, bukan ia pesimis ia dan yang lainnya berhasil membawa hidup-hidup target hanya saja peluang ini terlalu tipis. Daripada berharap terlalu besar namun tidak kesampaian lebih baik mengantisipasi.

Soonyoung berdiri dari kursi dan pergi ke kamar mandi. Setidaknya menangis di sana lebih baik dari pada diruangan ini.

.

Perkenalan ini dimulai dari pojok kiri, dimulai dari yang paling muda Seungkwan dan berakhir di Mingyu.

Seungkwan membungkukkan badannya, "Seungkwan imnida." Ucapnya tidak menutupi rasa gugupnya.

"Minghao imnida."

"Seokmin imnida."

"Jihoon imnida."

"Wonwoo imnida."

"Soonyoung imnida."

"Kim Mingyu imnida."

Dengan gerakan yang sama serta kegugupan yang sama, mereka selesai memperkanalkan diri.

Bagaiaman tidak gugup saat didepannya terdapat satu orang berpangkat tinggi yang seluruh kepolisian Seoul pun tau -dengan dua ajudan dikanan dan kiri. Ini hari pertama Mingyu dan keenam rekan kerjanya bergabung menjadi tim khusus -Mingyu dan yang lainnya tau kalau Mingyu lah pemimpin tim khusus ini.

Orang yang berdiri di tengah bersuara, "Apa motivasi kalian mendaftarkan diri menjadi tim khusus?" mata tajam itu menatap bergilir ke ketujuh orang di depannya dan berakhir di Seungkwan. "Dimulai darimu."

Seungkwan menelan paska air liurnya, "Karena saya ingin seperti mendiang ayah saya, menjadi seorang polisi yang hebat dan meninggal karena tugas. Menjadi tim khusus adalah impianku."

Jongin, si pangkat paling tinggi sekaligus yang bertanya menagangguk. "Lalu kau?"

"K-karena saya suka." Dialeg yang berbeda dari mereka semua, MInghao.

"Hanya itu?"

Minghao mengangguk takut-takut. Bahasa Korean nya belum lancar betul jadi lebih baik bicara seperlunya daripada salah bicara.

"Kau?"

"Karena saya mencintai negara ini dan saya ingin memberikan seluruh jiwa dan raga yang saya miliki untuk negaraku. Sama seeprti Seungkwan-ssi. menjadi tim khusus adalah impianku." Ucap Seokmin bersemangat.

Jongin tersenyum tipis. "Oke, selanjutnya?"

"Karena saya suka menganalisa sesuatu, apapun itu selama berhubungan dengan mengasah otak saya suka. Dan saya yakin di tim khusus inilah saya ditakdirkan berada."

"Kau?"

Wonwoo mengepalkan kedua tangannya, mengurangi rasa gugup. "Karena ini mimpi saya." Singkat dan padat.

Jongin menganggukan kepalanya. "Dan kau?"

Soonyoung mendongakkan kepala, 'Karena saya suka berkelahi dan suka tantangan makanya saya mau masuk tim khusus. Sama seperti yang lain, menjadi tim khusus adalah impianku."

"Terakhir, kau, Kim Mingyu."

Dengan ekspresi wajahnya yang tenang, Mingyu menjawab, "bisakah saya menyimpulkan saja? Karena jawabanku pun akan setipe dengan yang lainnya." Tawarnya.

"baiklah, silahkan."

Mingyu mengangguk. "Intinya sama saja, saya dan semua teman saya di sini mendaftar untuk ke tim khusus ini karena mimpi kami, kesukaan kami dan keinginan kami untuk membahagiakan orang tua dan kecintaan kami terhadap negara. Jadi apapun yang terjadi kedepannya kami akan berusaha sebaik mungkin karena kita masuk ke tim ini dengan seleksi yang ketat. Merupakan suatu kebanggaan bergabung dengan tim khusus dan ini merupakan mimpi kami."

Ya, mimpi mereka semua.

.

.

TBC

.

.

Happy Hoshi Day!

.

Sorry lama lagi :(

Berhubung aku sedang merasakan rusak hp dan ngetik bukan dibiasanya, maaf kalau banyak typo :(

Tenang saja ff ini akan segera tamat. Mungkin max dua chap lagi :)

Bye bye