2nd PRIORITY


Writer : Arara1997

Length : Twoshoot - END (alhamdulillah, nggak sibuk nge-lab, tamat sudah!)

Inspired by : Reply 1988 – Deokseon's life.

Thanks for follow, fav, and review!


"Aku menganggap diriku sebagai korban. Korban dari ke-egoisan diriku sendiri."


Moon Heejun, yang sudah tiga tahun menjadi manager dari bocah dihadapannya ini hanya bisa menghela nafasnya. Dia selalu mengalami hal yang sama setiap pagi, tunggu sepertinya ini bukan pagi lagi. Jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 siang. Bocah ini kan artis! Tapi pola tidurnya sangat tidak teratur. Padahal pola tidur kan mempengaruhi tingkat stress dan kondisi kesehatan. Kalau bocah ini tiba-tiba sakit karena pola tidur yang sembarangan, Heejun juga kan yang repot?

Belum lagi, bocah dihadapannya ini sedang berada di masa puncak karier-nya. Bisa-bisa para fans membakar kantor agensi kalau mendengar berita sang idola sedang sakit. Mereka pasti akan berpikir agensi memperlakukannya dengan buruk.

Padahal bocah yang sedang tidur meringkuk bak bayi dalam kandungan ini sendiri yang memperlakukan dirinya sendiri dengan buruk.

Heejun sudah melakukan trik pertama untuk membangunkan Junsu, lebih tepatnya Xiah Junsu, si bocah artis yang sedang naik daun. Maksudnya popularitasnya sedang naik, begitu. Dia sudah menggoyang-goyangkan badan Junsu, namun tidak berhasil. Akhirnya dia terpaksa harus melakukan trik kedua. Dia sudah siap sedia dengan segelas air di tangan kanannya. Dia kemudian mempercikkan air itu di muka Junsu.

"Junsu-yah! Bangun! Kita harus mengungsi! Banjir datang!" Teriak Heejun disamping telinga Junsu dengan heboh. Seolah-olah hal yang dikatakannya memang terjadi.

"Impossible. Kamarku kan ada di lantai delapan," ujar Junsu dengan mata yang masih terpejam.

Heejun kesal mendengarnya, sampai-sampai dia ingin menyeret bocah ini keluar kamar. Dan dia memang melakukannya. Dia menyeret Junsu yang masih terpejam dengan sekuat tenaganya. Dia sudah bosan dengan rutinitas tidak berguna ini setiap hari. Dia bosan dengan artisnya yang seperti kerbau. Bahkan sepertinya, kerbau saja lebih rajin dari pada Junsu.

Heejun tidak menyeret Junsu keluar kamar, tapi dia menyeret Junsu menuju kamar mandi. Dia lalu membaringkan Junsu di bath tub.

"Kim Junsu! Ireona!" Heejun mengguyur badan Junsu dengan air. Namun bocah itu masih tetap saja belum bangun. "YAH! Kau ingin Aku yang memandikanmu?!"

"Aku masih mengantuk, Hyung."

"Bangun!" Heejun memukul bahu Junsu. "Kau ingin kumandikan atau mandi sendiri?"

"Mandikan saja Aku," ujar Junsu yang membuat Heejun kini mengeluarkan dua tanduk dari kepalanya.

"BOCAH!"

Junsu menggerakkan tangannya untuk mengusir keberadaan Heejun. "Iyaaa, iyaaa. Aku mandi sendiri."

"Jangan sampai tidur di bath tub! Mengerti?" tanya Heejun dengan tegas. Namun Junsu tidak menjawab pertanyaan itu. Matanya masih saja terpejam yang membuat Heejun ragu untuk meninggalkannya sendirian di kamar mandi. "MENGERTI?" tanya Heejun lagi. Kali ini dengan sedikit pemaksaan.

"Iyaaaa, Hyung. Cerewet!"


Junsu memakan pizza yang sudah dipesannya dengan sangat lahap. Sebenarnya Heejun memaksanya untuk makan di cafe yang berada di depan apartemennya. Karena cafe itu menyediakan menu masakan sehat serba ginseng yang bagus untuk stamina tubuh. Cocok dengan apa yang dibutuhkan Junsu sebagai seorang artis. Namun Junsu terlalu malas untuk bergerak. Memesan pizza lebih simple, menurutnya.

Kau tidak perlu berjalan sebanyak tiga puluh langkah dari kamar menuju lift, lalu menaiki lift selama tiga puluh detik, jalan lima belas langkah untuk keluar lobi, dua puluh lima langkah untuk menyebrang jalan, dan sepuluh langkah untuk menuju cafe. Itu terlalu melelahkan.

Kalau pesan pizza. Tinggal menunggu beberapa menit, pizza akan diantarkan juru antar. Dan kau hanya perlu membuka pintu. Taraaaa~ Pizza-nya sudah datang!

Setidaknya begitulah pemikiran sederhana tuan artis, Xiah Junsu.

"Aku tidak ada jadwal kan, Hyung?"

"Tidak." Heejun ikut mencicipi pizza yang dipesan Junsu. Tadi pagi dia sudah makan sih, tapi dia jadi pengen setelah melihat Junsu makan pizza. "Tapi nanti malam kau harus menghadiri acara resepsi pernikahan Siwon dan Kibum."

"Aku belum menyiapkan hadiah untuk mereka."

"Tenang saja, Aku yang akan menyiapkannya," ujar Heejun. Heejun lalu melihat ke arah rambut ungu yang hinggap di kepala Junsu selama beberapa bulan ini. "Yang perlu kau lakukan sekarang adalah mengecat ulang rambut dragonball-mu. Itulah alasan kenapa kau harus bangun pagi hari ini."

Junsu tidak terima dengan ejekan Heejun. "Hyung kuno! Rambut seperti ini sedang trend tahu!"

"Trend kepalamu!" Heejun menjambak beberapa helai rambut Junsu yang membuat Junsu meringis. "Pokoknya kau harus ke salon. Aku sudah reservasi tempat di salon milik Kangta-Hyung."

"Okayyyy~ Tapi lepaskan, Hyung!" Rengek Junsu. Sepertinya Junsu harus meminta ganti manager pada Siwon. Sudah tiga tahun ini dia mengalami pemaksaan oleh Heejun. Managernya itu terlalu ganas! "Tapi Hyung, Aku tidak percaya padamu. Aku harus membelikan mereka kado sendiri."

"Kenapa?"

Junsu lalu memulai celotehannya yang sering tidak disaring. Dia memang tipe orang 'blak-blakan'. "Bisa saja Hyung memberikan mereka lingerie, sex toys, atau . . ."

Heejun menarik nafasnya dalam-dalam. Bocah ini sepertinya perlu lakban untuk menutup mulutnya. Heejun bersumpah kalau sekali lagi dia mengoceh yang aneh-aneh, dia akan melakban mulut Jung Junsu agar dia diam.

Heejun memutus perkataan Junsu yang belum selesai. "Hey, Jung! Kau mau kubunuh ya?! Mana mungkin Aku memberikan barang seperti itu pada CEO Agensiku!"


"Hyung, selamat atas pernikahanmu!"

Junsu tersenyum pada Siwon dan Kibum yang kini sangat serasi. Junsu gembira karena akhirnya Siwon tidak menjadi perjaka tua lagi. Dia sudah cukup lelah menghadapi ocehan Siwon saat diperusahaan. Dia berharap Kibum segera mempunyai anak agar Choi Siwon tidak mengoceh lagi.

"Mana hadiahmu?"

Kibum langsung memukul bahu Siwon ketika suaminya itu melontarkan pertanyaan tentang hadiah kepada Junsu. Menurut Kibum itu sedikit kurang sopan. Lagi pula sepertinya Siwon tidak begitu membutuhkan hadiah karena dirinya sendiri adalah CEO agensi paling besar di Korea.

Kibum mengalihkan pembicaraan. "Kau datang sendirian, Junsu-yah?"

Junsu mengambil jus jeruk dari pelayan yang lewat di depannya. "Yep!"

"Kukira kau bersama dengan Jung Changmin. Tadi Aku melihatnya bersama Kyuhyun."

Junsu hampir tersedak. Dia menaruh kembali jus jeruknya ke meja lalu mengelap sudut bibirnya yang basah. Dia masih sensitif dengan pembicaraan tentang keluarganya. Selalu sensitif.

Dan, Jung Changmin? Sejak kapan pasangan pengantin baru ini kenal dengan adiknya yang itu? Junsu kenal dengan baik Siwon dan Kibum. Mereka berdua adalah orang yang menggiringnya keluar dari kubangan kesedihan di masa lalu. Sudah hampir lima tahun dia mengenal kedua orang ini. Dan seingatnya, Siwon dan Kibum tidak pernah kenal dengan makhluk bernama Jung Changmin. Apalagi dalam level akrab sekali sampai harus mengundangnya ke pesta resepsi pernikahan seperti ini.

"Kau mengundangnya?" tanya Junsu.

"Tentu saja. Dia kan adikmu!"

Junsu menatap dengan tajam CEO-nya. Kibum yang menyadari keadaan langsung mencubit pinggang Siwon.

"Calm down, Jung! Dia hanya mewakili Ayahnya. Aku mengundang Tuan Jung, tapi Tuan Jung masih di Paris, jadi dia yang mewakilinya."

Junsu menarik nafasnya dan menghembuskannya pelan-pelan. Entah kemana perginya mood-nya yang tadi sedang bagus. Mood-nya hilang. Padahal sebentar lagi dia harus tampil untuk menghibur para tamu undangan.

Junsu yang tahu dirinya kini dalam mode 'tidak-mau-diganggu' langsung berusaha menyingkir dari hadapan semua orang.

"Hadiahku ada di Heejun-Hyung." Junsu lalu berdiri. "Aku mau ke toiler dulu, Hyung."

"Jangan lama-lama. Sebentar lagi kau akan tampil."


Junsu mencuci mukanya dengan asal-asalan sehingga air dari keran mengenai beberapa bagian di jasnya.

Dia melihat mukanya di kaca. Dia sudah dewasa sekarang. Lima tahun sudah berlalu. Dua tahun dia harus menjalani kerasnya masa-masa training di agensi. Untungnya usahanya tidak sia-sia, karena dia berhasil debut. Dan setelah tiga tahun debut, dia berhasil menjadi penyanyi yang sukses.

Siapa yang menyangka Jung Junsu, putra yang paling tidak berguna di keluarganya Jung ini bisa menjadi penyanyi berkelas internasional? Dia bahkan sudah menggelar belasan konser di luar negeri. Pada akhirnya, dia bisa berdiri dengan bangga sekarang.

Dan dia sangat ingin tahu bagaimana reaksi Jung Yunho dan Jung Jaejoong. Apakah mereka akan bangga padanya, atau tetap merendahkannya seperti dulu?

Cih!

Junsu mengelap wajahnya dan segera keluar toilet. Beberapa menit lagi dia harus menghibur para undangan. Dia berjalan terburu-buru sehingga dia tidak memperhatikan jalan dan menabrak seseorang.

"Oh?" kaget Junsu ketika melihat orang yang ditabraknya.

Junsu hanya melirik sedikit, melengos, lalu melanjutkan langkahnya. Namun beberapa detik kemudian, tangannya ditarik oleh orang itu. Junsu mendecakkan lidahnya. Apa orang ini tidak tahu kalau dia sedang sibuk? Dia punya banyak urusan yang lebih penting dari pada meladeni orang di depannya ini.

Orang itu, Jung Changmin, sedang menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

"Kau menikmati hidup seperti ini?" tanyanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Changmin, Junsu berusaha menarik tangannya yang dicengkram Changmin. "Lepaskan tanganku!"

"Kau bahagia setelah meninggalkan rumah?" tanya Changmin lagi.

"Bukan urusanmu!"

"Memang bukan!" Changmin tertawa getir. "Kau tahu betapa menderitanya Eomma ketika kau pergi? Eomma selalu menyalahkan dirinya! Dan kau malah bersenang-senang di luar sana?!"

Junsu merasa nafasnya mulai sesak. Paranoid selalu menghinggapinya ketika berbicara tentang keluarganya, terutama Eomma-nya. Dia takut. Sangat takut terhadap keluarganya. Makanya selama ini dia selalu menghindari setiap hal yang berhubungan dengan keluarganya. Dia takut dia akan menyiksa dirinya lagi dengan penyesalan seperti yang sering dilakukannya ketika masa awal dirinya meninggalkan rumah.

"Kalian baru menyesal setelah Aku pergi dari rumah?"

"Tidak!" Jawab Changmin dengan lantang.

Junsu tersenyum kecut. Sebenarnya dia mengharapkan jawaban yang berkebalikan dengan pernyataan Changmin. Dia sangat naif. Itulah dirinya yang sebenarnya.

"Siapapun tidak bisa mengekang seorang pria yang ingin hidup di jalannya sendiri. Kau berhak pergi, kau juga berhak kembali. Itu terserah dirimu. Tapi," Changmin menghentikan ucapannya. "Tidak pulang selama tiga tahun? Kau ingin keluar dari keluarga Jung?"

Junsu ingat dengan benar dia tidak pernah pulang selama tiga tahun ini. Di tahun pertama setelah keluar dari rumah, dia masih pulang sekali dua kali untuk mengurus beberapa dokumen karena dia masih SMA. Sama seperti di tahun kedua. Dia harus mengurus dokumen kelulusan sekolah dan pendaftaran Universitas sehingga dia terpaksa pulang. Namun setelah itu, setelah dia berhasil masuk kuliah, dia tidak pernah pulang lagi. Karena di masa itu juga, dia berhasil debut.

Setelah debut, dia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di kediaman keluarga Jung. Padahal ketika itu banyak sekali orang-orang disekitarnya yang menyuruhnya pulang. Siwon, Eunhyuk, bahkan Heejun yang sama sekali tidak kenal keluarganya.

Tapi Junsu takut. Dia terlalu takut untuk menginjakkan kakinya di rumah.

"Aku muak menjadi bayangan dirimu dan Yoochun-Hyung! Aku lelah karena Aku tidak bisa melakukan apapun dihadapan kalian," ujar Junsu sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Kau tahu Jung Junsu, kau adalah orang yang paling bodoh dan pengecut yang pernah Aku temui." Changmin melepaskan pegangan tangannya pada pergelangan tangan Junsu. "Kau harus tahu bagaimana Eomma begitu menyayangimu. Orang tua kita tidak pernah bersikap tidak adil. Mereka selalu adil. Hanya saja, kau, kau yang terlalu iri."

Junsu tidak bisa lagi menahan emosinya. "Karena Aku berada di tengah-tengah kalian, Aku harus terabaikan!"

"Apa kau iri padaku? Kau iri pada Yoochun-Hyung?" tanya Changmin sarkastik. "Kau tidak tahu betapa irinya kami padamu?! Appa bahkan membiarkanmu menjadi seorang penyanyi."

"Itu bukan karena Appa! Aku sendiri yang berada di jalanku!" Teriak Junsu yang kini sudah menitihkan air matanya.

"Begitu?" Changmin memejamkan matanya. "Saat Aku mendaftar di sekolah kedokteran, kau tahu apa yang dilakukan Appa? Dia menyeretku ke Harvard dan mengurungku disana! Dia memaksaku untuk mempelajari Bisnis -bedebah- yang tidak kusukai sama sekali!"

Changmin tidak akan pernah melupakan kejadian itu seumur hidupnya. Tidak akan pernah! Dia nekat mendaftar ke sekolah kedokteran meski dia tahu Jung Yunho tidak akan mengizinkannya menjadi dokter. Dia menentang kehendak Appa-nya untuk mempelajari bisnis. Namun, dia memang selalu tidak berdaya dihadapan Appa-nya sehingga dia terpaksa mempelajari bisnis.

Meski begitu, dia tidak pernah sekalipun menyalahkan Junsu. Dia menyayangi Junsu. Dia tahu Junsu hanya sedang labil.

"Kau tahu apa yang terjadi pada Yoochun-Hyung saat kau pergi? Dia langsung mengikuti wajib militer. Dan kau tahu apa yang dilakukan Appa? Dia meneyeretnya pulang dan mengirimnya ke Oxford!" Changmin malas mengatakan ini semua, tapi, "Kau beruntung karena kau bisa melakukan apa yang kau mau! Tapi karenamu juga, kami harus menanggung semua ini!"

Changmin langsung berlalu setelahnya. Dia rasa percuma bicara dengan saudaranya yang labil itu. Jung Junsu sudah besar tapi sikapnya masih seperti batita.

Junsu kesal. Junsu sedih. Mood-nya semakin memburuk. Padahal kini MC di panggung sedang memanggil namanya untuk tampil.


Heejun menajamkan indra penciumannya. Dia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Junsu yang kini sedang berbaring di sofa. Bau ini? Oh sial! Dia mencium bau alkohol.

"Hei?" Heejun menggoyangkan badan Junsu. "Kau hangover? Kau habis minum?!"

Heejun memelototkan matanya. Dia terkejut. Tiga tahun dia mengenal Junsu. Dia tahu Junsu adalah anak baik-baik. Junsu bukanlah peminum. Anak ini masih innocent dan naif. Dia tahu alkohol bisa merusak hidupnya. Setiap hari dia bahkan selalu mendengungkan kalimat, 'Aku tidak akan minum, Hyung'.

Namun sekarang, dia mendapati sang artis dalam keadaan hangover. Heejun tidak habis pikir. Siapa yang sudah membuat anak kesayangannya seperti ini? Siapa yang sudah membuat Jung Junsu mengingkari janjinya untuk tidak minum?

Heejun menghela nafasnya. Haah~ Junsu pasti mengalami hari yang berat sehingga memutuskan untuk minum alkohol seperti ini. Sebenarnya tidak apa-apa sih, Junsu kan bukan batita lagi. Sah-sah saja kalau dia minum alkohol. Hello bung, ini Korea gitu!

Tapi, apa yang harus dilakukannya? Sebentar lagi mereka ada jadwal pre-recording.

Telinga Heejun mendengar sang artis sedang menggeliat sambil menggumam, namun belum juga bangun dari tidurnya. Heejun kemudian menggoyang-goyangkan badan Junsu lagi untuk membangunkannya. Dia harus segera bersiap.

"Hyung~" ujar Junsu yang dengan suara yang menandakan bahwa dia masih mengantuk.

Heejun menguyel-uyel kepalanya sendiri. Susahnya menghadapi orang yang tidak pernah minum sedang hangover!

"Tiga jam lagi kau harus pre-recording di KBS, Jung! Aish!"


Jaejoong segera berlari menuruni tangga setelah meng-check jam tangannya-nya. Dia lalu menyalakan TV dan memencet-mencet remote TV untuk menemukan channel yang sedang dicarinya. Dia harus segera menonton salah satu acara di KBS, yaitu Hellooo Counseloor (dengan tripel 'O'). Karena dia sudah telat lima menit.

Dia sebenarnya bukan penggemar acara reality show seperti ini. Dia lebih suka menonton acara yang menayangkan berita, seperti berita politik atau kriminal. Namun sejak sang putra menjadi penyanyi yang sering wara-wiri di TV, dia jadi sering menonton acara reality show.

Jaejoong selalu melihat jadwal Junsu dari website atau fanclub putranya. Selama ini dia hanya bisa melihat sang putra dari TV. Karena Junsu selalu menghindarinya. Dia harus puas melihat putranya selama beberapa menit saja daripada tidak melihatnya sama sekali.

Acara itu kini sedang menayangkan sang host dan beberapa guests yang hadir di acara tersebut termasuk Junsu.

"Apa ada pertanyaan?" tanya sang host.

Kemudian ada salah seorang penonton yang mengangkat tangannya. Sang host lalu mempersilahkan penonton tersebut untuk memberikan pertanyaannya.

"Aku anak sulung dari dua bersaudara. Aku harus mengalah pada adikku untuk banyak hal. Mulai dari hal kecil seperti makanan, baju, kendaraan, bahkan Aku juga harus merelakan perhatian orang tuaku yang selalu terfokus padanya. Aku merasa orang tua kami sangat tidak adil. Mereka mengirimnya belajar ke Ivy League. Sedangkan Aku yang lebih pintar darinya hanya bisa kuliah di tempat biasa. Aku tidak iri. Hanya saja, kalian juga pasti kesal kan kalau mengalami hal seperti itu?"

Kamera kemudian menyorot ke arah wajah Junsu yang menunjukkan raut muka lelah. Jaejoong memperhatikan sekali muka putranya. Junsu kelihatan, sangat lelah. Oh, betapa Jaejoong ingin memeluk putranya dan menyuruhnya beristirahat.

"Aku bisa mengerti perasaanmu," ujar Junsu.

Sang host mengalihkan pandangannya ke arah Junsu. "Apa maksud Anda, Junsu-ssi?"

"Aku juga pernah mengalaminya."

"Benarkah?" tanya sang host.

Junsu tersenyum simpul.

"Tentu. Setiap orang yang punya saudara pasti mengalaminya. Kita merasa harus merelakan apa dan apa untuk saudara kita. Tapi, perasaan itu hanya ego tanpa kita sadari, sebenarnya orang tua pasti berusaha untuk adil. Hanya saja, kita terlalu egois. Kita harus melihat diri kita dulu sebelum menyalahkan orang lain. Saudaraku yang mengajariku hal itu."


"Sayang?"

Yunho heran karena Jaejoong tidak menyambutnya seperti biasanya. Biasanya ketika Yunho pulang, Jaejoong akan menyambutnya dengan senyuman lebar dan dengan senang hati membukakan Yunho pintu rumah. Namun sekarang, Yunho membuka sendiri pintu rumahnya. Yunho melongokkan kepalanya ke dapur, namun Jaejoong tidak ada di sana. Apa mungkin Jaejoong sedang tidur dan tidak mendengar suara mobilnya tadi?

Yunho lalu naik ke lantai atas menuju kamarnya. Kamarnya ada di pojok. Jadi ketika hendak menuju kamarnya, dia melewati kamar ketiga putranya -yang sayangnya salah satu dari kamar itu tidak ada yang menghuni.

Yunho mengetuk pintu kamar dua kali lalu segera masuk ke kamar. Dia melihat Jaejoong sedang bergelung dengan selimut. Entah apa yang telah dilakukan Jaejoong. Karena tidak biasanya Jung Jaejoong tidur seseore ini.

Atau dia terlalu lelah? Mungkin Yunho harus mencari pembantu rumah tangga agar Jaejoong tidak kerepotan sendirian mengurusi rumah. Meskipun setiap pagi ada beberapa pegawai yang membersihkan rumah dan taman, namun kegiatan seperti memasak dan mencuci piring tetap dilakukan oleh sang Nyonya besar.

Yunho menggoyangkan badan Jaejoong. "Sayang?"

"Yunniee~" racau Jaejoong tidak jelas.

Yunho membuka selimut yang mengungkung tubuh Jaejoong. Dia terkejut melihat baju Jaejoong yang ternyata basah oleh keringat. Dia lalu membalikkan tubuh Jaejoong menghadap dirinya.

"Sayang, apa yang terjadi?"

Jaejoong lalu bangun dan menatap Yunho dengan pandangan sedih. Dia lalu memeluk Yunho dan meletakkan kepalanya di bahu Yunho.

"Yunnie, apa yang harus kita lakukan?"

"Ada masalah apa?" tanya Yunho khawatir.

Jaejoong mengusap air matanya. "Uri Junsu, hiks~"

"Jae, tenangkan dirimu, oke?"

"Yunnie~"

Yunho segera menenangkan Jaejoong karena dia merasakan nafas Jaejoong mulai tersenggal.

Dokter keluarga Jung sudah pernah mengingatkan Yunho bahwa Jaejoong tidak boleh terlalu lelah atau emosional. Karena kondisi seperti itu bisa mengganggu kesehatan Jaejoong yang memang lemah sejak kecil. Makanya selama ini Yunho selalu berusaha untuk memenuhi permintaan Jaejoong agar Jaejoong selalu bahagia.

"Kau tidak boleh terlalu emosional, oke?"

"Tapi . . ."

Jaejoong merasakan kepalanya pusing. Beberapa saat kemudian dia limbung dan kesadarannya hilang.

"GOD!"


Junsu benar-benar kesal dengan siapapun ini yang telah mengganggu konsentrasi menyetirnya. Orang yang menelponnya ini tidak tahu apa kalau dia baru membeli mobil ini bulan lalu? Dan dia juga baru mendapatkan SIM-nya kemarin. Dia pengemudi baru! Bagaimana kalau konsentrasinya hilang dan terjadi kecelakaan? Kalau cuma mobilnya yang rusak sih tidak masalah. Tapi kalau nyawa manusia yang hilang bagaimana? ISH!

Dia melihat sekilas caller id di smartphone-nya. Heejun-Hyung? Geez~ Apaan sih Manager-nya ini?! Hari ini kan dia free! Kenapa harus mengganggunya disaat kondisi urgent seperti ini sih? Bisa tidak nelponnya di-delay dulu?

Dia memilih untuk menghiraukan telepon dari Heejun dan tetap berkonsentrasi pada jalanan. 'Lama-lama juga pegal sendiri', pikir Junsu. Hingga beberapa saat kemudian dia tiba di tempat tujuannya.

Dia lalu segera menuju lobi dan bertanya dimana lokasi kamar Eomma-nya.

Ya, Eomma-nya.

Beberapa saat lalu dia sedang menonton TV sambil menggunakan hair dryer. Masih dalam proses mengeringkan rambutnya yang basah sehabis keramas sebenarnya. Namun tiba-tiba ada panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya. Seseorang yang mengaku Jung Changmin -dari suara tenor-nya sih sudah kelihatan kalau itu si tiang.

Dan demi Tuhan! Dia tidak pernah berhubungan dengan Jung Changmin meskipun mereka bersaudara. Apalagi dalam level yang sangat dekat seperti saling bertukar nomor telepon. Entah dari mana dia mendapatkan nomor telepon-nya.

Junsu mendengus ketika mengetahui siapa yang baru saja keluar dari kamar Eomma-nya.

"Heh?" kaget Changmin dengan nada suara agak sinis. "Aku tidak menyangka kau akan datang kemari."

Junsu semakin mendengus. "Bagaimana keadaan Eomma?"

"Buruk." Changmin menghela nafasnya. "Emosinya meledak, hipertensi, kemudian jantung lemahnya kambuh. Untungnya Appa saat itu sedang berada di rumah."

"Itulah kenapa kalian harus mencari pembantu, Sialan!" Junsu mulai mengomel tidak jelas. "Dan ngomong-ngomong, kau mendapatkan nomorku dari mana?"

"Mudah saja bagiku untuk mendapatkan nomormu. Kau tidak perlu tahu~"

Junsu menggeplak kepala dongsaeng-nya. "Berengsek!"

"Kasar sekali~ Jadi ini yang kau pelajari saat keluar dari rumah?" ejek Changmin dengan sinis yang hanya dijawab dengan tatapan tajam oleh Junsu. "Masuklah! Eomma pasti senang bisa melihatmu kembali."

Melihat kerendahan hati Changmin, Junsu jadi kesal sendiri dibuatnya.

"Cih! Mereka membesarkanmu dengan baik!"

"Jangan memulai perkelahian denganku, Jung Junsu!"


Junsu menatap Eomma-nya yang sedang berbaring di kamar pasien dengan sedih. Dia melihat ke arah tangan Eomma-nya yang sedang menancap infus panjang. Itu pasti menyakitkan.

Dia lalu mendekati Eomma-nya yang sedang istirahat. Dia menatap wajah rupawan itu. Eomma-nya sangat mengagumkan. Banyak pria yang tertarik pada Kim Jaejoong. Namun hanya Jung Yunho yang bisa membuatnya jatuh cinta hingga bisa menjadi Nyonya Jung seperti sekarang.

Bumonim-nya, mereka berdua saling mencintai. Jaejoong menerima Yunho dengan tulus. Dan Yunho pun sebaliknya. Jadi ketika tahu Jaejoong mengidap jantung lemah dari kecil, Yunho tidak menghentikan niatnya untuk mempersunting Jaejoong.

Junsu tersenyum setelah mengingat kisah bumonim-nya.

"Eomma?" gumam Junsu. Dia lalu menjatuhkan kepalanya di ranjang.

Sepertinya aktivitas kecil Junsu mengganggu tidur Jaejoong. Jaejoong membuka kedua matanya. Dia melihat ke sampingnya. Dia berpikir sejenak. Mengingat-ingat siapakah makhluk di depannya. Seingatnya dia tidak pernah mengenal manusia berambut ungu mencolok seperti ini. Namun sedetik kemudian dia menyadari siapa yang ada di hadapannya.

"Sayang?" kaget Jaejoong. "Eomma tidak sedang bermimpi kan?" Jaejoong lalu bangun dari tidurnya. Dia duduk di ranjang dan beringsut memeluk Junsu. "Eomma begitu merindukanmu."

"Aku juga merindukan Eomma," ujar Junsu dengan sedih.

Jaejoong menghentikan pelukannya. Dia menangkup wajah Junsu. Dia menghapus setitik air mata yang ada di kedua ujung mata Junsu. Putra-nya tetap tampan seperti biasanya meski tanpa make up.

"Eomma minta maaf,"

Junsu menggelengkan kepalanya "Tidak! Aku yang minta maaf."

"Eomma menyayangimu, Sayang. Eomma mencintaimu."

Junsu tersenyum. Dia senang mendengar pernyataan Eomma-nya. "Aku juga mencintai, Eomma."

"Kau mau kan pulang ke rumah?"

Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Eomma-nya. Junsu menghela nafasnya. Aku tidak akan menyesal kan? Pertanyaan itu hinggap di hatinya.

Banyak hal yang dipelajarinya setelah keluar dari rumah. Dia menjadi lebih kuat. Dia menjadi semakin hebat. Bahkan dia menjadi menantu yang paling diidamkan seluruh Ibu di Korea. Tidak ada lagi orang yang memandangnya dengan sebelah mata. Hal yang membuatnya percaya diri hingga bisa berdiri dengan tegak layaknya seorang Panglima. Namun, kembali ke rumah? Junsu tidak yakin. Lebih tepatnya, Ia takut.

"Itu . . .," ujar Junsu dengan ragu.

Jaejoong segera menangkap raut ragu-ragu yang ada di wajah Junsu.

"Temani Eomma. Eomma, kesepian."

Junsu menghembuskan nafasnya dengan berat. Dia tidak mau melihat wajah kecewa yang akan ditunjukkan Eomma-nya kalau dia menolak. Junsu sudah memutuskan. Apapun yang akan dihadapinya nanti, yang jelas Junsu sekarang hanya perlu menjawab 'ya', kan?

"Ya, baiklah."

Jaejoong tersenyum sumringah. "Eomma mencintaimu!"


Heejun mondar-mandir dari tadi di apartemen sang artis. Kemana perginya makhluk ungu, Junsmurf itu? Dia sudah menelponnya puluhan kali namun tidak dijawab. Dia juga sudah mengirim ratusan pesan namun tidak dibalas. Dimanakah dirimu, Jung Junsu?

Dia perlu membicarakan tentang album baru Junsu untuk bulan depan. Promosi untuk album Junsu yang kemarin sudah selesai. Dan selama satu bulan ini Junsu akan rehat sejenak dari dunia pertelevisian demi persiapan album barunya. Heejun sudah mengatur itu semua. Jadwalnya, konsep album, semuanya, semuanya! Hanya satu yang belum dia atur, artisnya!

Heejun lega ketika Junsu menelpon balik dirinya. Heejun mengangkatnya, dan sudah siap untuk mengomel. Namun,

"A-P-A? Hiatus?!" Heejun memejamkan matanya. "Jadwalmu memang sudah selesai! Tapi kau harus merilis album baru dalam waktu dekat, bung! Hei, dengarkan Aku! Hei!"

Sambungan itu terputus.

Dan apa katanya tadi, hiatus? Untuk menemani Eomma-nya penyembuhan? That's an excuse! Itu masalah lain, bung! Tapi hiatus? H-I-A-T-U-S? (tolong dieja). Heejun melemparkan smartphone-nya ke sofa -untungnya tidak jatuh ke lantai. Heejun masih sayang smartphone-nya.

Hiatus ditengah persiapan album barunya? Belum, belum ditengah. Ini masih diawal. Tapi,

"YAHHH! JUNG JUNSU!"


"Aku tahu ke-egoisan bisa menghancurkan sebuah hubungan. Aku rasa, Aku terlalu banyak berspekulasi. Aku tidak mempercayai semua orang. Dan yang kubutuhkan sekarang adalah, mempercayai orang lain. Terutama kedua orang tua dan saudaraku."


THE END.

-dengan absurd-nya :v