OF PROPOSAL AND FIRST LOVE
CHAPTER TWO


Wow, I actually didn't expect you guys would like this kind of story.
Yeah, ok, I know that I let you down. Is it too late to say i'm sorry now? Hihihi, enjoy!


.

Keheningan di perjalanan pulang seolah membunuh Kyungsoo. Jongin tidak mengucapkan sepatah katapun sejak mereka memasuki mobil sampai ketika mereka berada di dalam elevator.

Kyungsoo menunduk, tidak tahu bagaimana cara mencairkan ketegangan di antara mereka. Ia mencoba untuk sedikit berbasa-basi, menanyakan mengapa lelaki itu datang ke pesta peresmian mahasiswa universitasnya, namun Jongin hanya menanggapi dengan satu kata singkat.

"Diam."

Kyungsoo tidak lagi angkat bicara.

Ia membiarkan Jongin berjalan di belakangnya, membiarkan lelaki itu mengamati langkahnya, membiarkan lelaki itu tetap diam hingga mereka tiba di pintu apartemennya. Kyungsoo tidak bisa menyangkal bahwa ia sedikit gusar. Yifan bahkan belum sempat berbuat apa-apa kepadanya, tetapi Jongin seakan sedang menghukumnya karena suatu kesalahan besar.

Terlebih lagi, memangnya mereka ini apa? Bahkan definisi dari hubungan mereka saja belum jelas.

Kyungsoo menekan kode kunci apartemennya kasar—sengaja agar Jongin tahu bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti ini. Tetapi Kyungsoo dibuat melongo dan bertanya-tanya otak si brengsek Kim Jongin itu terbuat dari apa karena saat ia menoleh, Jongin sudah berlalu.

Fine, do whatever you want! Batin Kyungsoo kesal, mengabaikan Jongin yang sudah mencapai seperempat lorong.

Kyungsoo menyentak gagang pintu apartemennya sambil berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan pernah bicara kepada Jongin lagi. Jika sebelumnya Kyungsoo heran mengenai apa yang menyusun otak Jongin, maka sekarang ia lebih mempertanyakan lagi isi dari kepala lelaki itu.

Sebab detik berikutnya, Kyungsoo merasakan tangan Jongin merengkuh pinggangnya—menghentakkan punggungnya hingga bertemu permukaan pintu, diikuti sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya.

Kim Jongin menciumnya.

Kyungsoo berdiri mematung, jarinya masih terkepal pada gagang pintu. Di samping posisi tubuhnya yang kurang nyaman, Kyungsooo tidak mengeluarkan kalimat protes. Ia memejamkan mata, menikmati bagaimana bibirnya melekat rapat dengan bibir Jongin.

Ketika Jongin memutus ciuman mereka, terdapat debar menderu di dada Kyungsoo. Jongin terlihat salah tingkah sejenak. Sorot berapi dari mata lelaki itu berangsur luluh, berganti dengan pedih yang membuat perut Kyungsoo serasa diremas.

Kyungsoo ingin mengucapkan sesuatu. Meluruskan permasalahan atau lebih tepatnya perasaan yang mengganggunya sejak lama. Namun Jongin mendadak berbalik badan, kemudian pergi meninggalkannya untuk yang kedua kali.

Tidak apa-apa. Kyungsoo pikir.

Mungkin mereka butuh waktu untuk meretas kabut yang menghalangi arah pandang mereka selama ini. Mereka bisa membicarakan ini besok, atau lusa, atau kapan saja saat semuanya sudah sedikit lebih masuk akal.

Kyungsoo tersenyum kecil. Tidak bisa mengatasi kebahagiaan yang menyentuh dasar kalbunya. Ia tengah berpijak masuk ke dalam apartemennya ketika Jongin tiba-tiba kembali berdiri di hadapannya dengan mimik ragu.

Keduanya bersitatap sejenak, saling mencari suatu kalimat permisi, sebelum Kyungsoo mengaitkan lengannya ke leher Jongin lalu mencium lelaki itu lagi.

Ciuman kedua mereka lebih membara; berpagut, basah, lembut.

Apa yang Kyungsoo ingin lakukan saat itu juga ialah membawa Jongin masuk ke apartemennya, menghujani lelaki itu dengan ratusan ciuman untuk menyatakan emosi terpendam yang tidak pernah ia ungkapkan.

"Soo," Desah Jongin seraya menjauh, "tidakkah kau setidaknya ingin sedikit menghargaiku?"

Setelah mengatakan itu, seolah tidak terpengaruh dengan aksinya sendiri, Jongin melangkah pergi. Lagi.

Kemarahan Kyungsoo segera tersulut begitu saja. Bukan hanya karena tingkah memusingkan Jongin, melainkan juga karena pertanyaan lelaki itu kepadanya.

"Apa yang barusan kau bilang?" teriak Kyungsoo, membuat Jongin berhenti lalu menoleh ke arahnya. "Apa yang barusan kau bilang?" Ulang Kyungsoo dengan penekanan penuh.

Ia berderap mendekati Jongin yang memasang raut kebingungan. Amarah yang menggebu dalam diri Kyungsoo mendorongnya untuk melepas salah satu sepatunya kemudian melemparkannya ke Jongin.

"Soo!" Jongin memekik panik seraya menghindari serangan Kyungsoo.

"Kau," Kyungsoo melepas sepatunya lagi, melemparkannya ke Jongin lagi, "lelaki bodoh sialan." Jongin berjalan mundur ketakutan sementara Kyungsoo mengambil sepatunya yang Jongin biarkan tergeletak di lantai kemudian kembali melakukan aksi yang sama. "Berani-beraninya kau menanyakan hal seperti itu kepadaku!"

Kyungsoo bisa menyebut bahwa dirinya putus asa. Ia merasa telah melemparkan petunjuk sebesar gajah dalam ruangan kepada Jongin selama ini hanya agar lelaki itu terdorong untuk menyatakan cinta kepadanya.

Hanya agar lelaki itu mengerti siapa sebenarnya yang menguasai seluruh area hatinya.

"Kau kira apa alasanku menolak semua ajakan kencan yang aku terima selama ini?" tanya Kyungsoo dengan nada menggigit. Jarak di antara mereka kini cukup dekat dan Kyungsoo mengganti serangannya menggunakan pukulan ke dada Jongin. "It's because of you, you stupid obnoxious jerk!" Ia meninju Jongin dengan membabi buta. "Aku menunggu selama bertahun-tahun dan kau sama sekali tidak menyatakan apapun. Kau membuatku frustasi, Kim Jongin. Kau membuatku sakit kepala. Kau membuatku kesal. Kau bilang kau ingin menikahiku tetapi tidak mengatakan apapun mengenai perasaanmu!"

Jongin mengerjap pelan, memproses kalimat Kyungsoo ke dalam pikirannya. "T—Tetapi, bukankah itu jelas? Bahwa aku ingin menikah denganmu karena aku jatuh cinta?"

Kyungsoo mengerutkan alis jengkel kemudian menghantamkan kepalan tangannya ke lengan Jongin. "Itu bukan sesuatu yang sama, idiot. Banyak orang mengatakan ingin menikahi idola mereka tetapi bukan berarti mereka mencintainya!"

"Oh." Balas Jongin kaku. "K—Kenapa kau tidak menanyakannya langsung?"

"Karena. Aku. Takut. Kau. Hanya. Menggodaku." Geram Kyungsoo seraya menekankan setiap kata dengan tinju ke tubuh Jongin. Lengannya perlahan terkulai lemah, sementara pandangannya mengait erat pada lelaki yang tengah memasang raut kosong. "Karena aku takut itu hanya sebuah candaan tanpa arti bagimu."

Keheningan mendadak menembus di antara mereka. Bibir Jongin terkunci—diam, berkebalikan dengan debar jantungnya yang seperti mengamuk. Sementara, Kyungsoo tertunduk, jemari lelaki itu berpaut hingga memutih karena pemiliknya terlalu gugup menanti kalimat balasan dari Jongin.

"Soo." Jongin meraih dagu Kyungsoo, memaksa lelaki itu mendongak menatapnya. "Jika semua yang kulakukan selama ini belum cukup jelas, maka aku akan mengatakannya lantang-lantang sekarang." Ia tersenyum sekilas, kemudian mengecup jemari Kyungsoo lembut. "Aku mencintaimu."

"Y—You do?"

"I certainly do."

Kyungsoo mendesah penuh kelegaan, sudut bibirnya membentuk lengkung yang hampir sama dengan Jongin. "I feel the same, Nini."

Mereka larut dalam dekapan, saling tersengal dengan iringan tawa kecil sebab hal ini ternyata begitu mudah. Memiliki satu sama lain ternyata tidak serumit yang ada di kepala mereka.

"Jadi, apa ini berarti kau mau menikah denganku?" Jongin bertanya lirih, memecahkan suasana haru yang sudah berlangsung bermenit lamanya.

Kyungsoo melepaskan pelukan Jongin tanpa pikir panjang. Ia beranjak dari hadapan lelaki itu kemudian mengerutkan hidung dalam mimik mengejek, "Don't push your luck."

Kyungsoo mengira Jongin akan menyerah seperti biasa—mengerucutkan bibir serta mengeluarkan puppy eyes dengan mata berkaca-kaca. Tetapi sepertinya pemikirannya malam itu terus saja meleset. Karena di luar dugaan, Jongin justru mengangkat tubuhnya, memapahnya dalam posisi bridal style lalu berbisik, "I'm gonna make you completely mine tonight."

Kening Kyungsoo mengernyit, kata 'lepaskan' yang sudah siap meluncur di bibirnya berganti dengan, "Ha?"

Seakan sudah mempersiapkan skenario ini matang-matang, Jongin tersenyum penuh kemenangan. "Oh, please." Jongin berdecak remeh. "Semua orang butuh jaminan, Do Kyungsoo."

-o-o-o-o-

Selama dua puluh satu tahun masa hidupnya, Kim Jongin selalu menerapkan perilaku terpuji dalam setiap perbuatan. Ia membantu wanita tua menyebrang jalan, menyisihkan sebagian uangnya untuk disumbangkan, menuruti seluruh perintah orang tuanya tanpa membantah, menjauhi obat-obatan terlarang—atau lebih tepatnya, ia mengikuti semua ajaran budi pekerti yang diterimanya di bangku sekolah dasar.

Jongin memegang prinsip teguh bahwa sesuatu yang baik akan dibalas dengan kebaikan pula.

Namun lambat laun, ia mulai kehilangan kepercayaan. Sebab entah mengapa, Tuhan seakan enggan untuk membuat Do Kyungsoo—sahabat kecil sekaligus kekasih resminya semenjak tiga tahun lalu, menjadi salah satu balasan dari semua perbuatan baik yang telah ia lakukan.

Hingga detik ini, semua lamaran yang ia tujukan ke Kyungsoo berujung penolakan.

Jongin bahkan telah berlangganan akun yang mengirimkan berbagai ide bentuk lamaran ke kotak masuk e-mail nya setiap seminggu sekali, tetapi tidak ada satupun dari eksekusi ide itu yang berhasil meluluhkan Kyungsoo.

Mulai dari lamaran kasual di restoran pada kencan keempat mereka—dengan Jongin yang berinisiatif untuk mencoba hal spontan dan tanpa basa-basi mengutarakan 'Kyungsoo, will you marry me?' tepat setelah Kyungsoo menyelesaikan makanan penutupnya.

Kemudian, lamaran yang dapat dikatakan sedikit lebih romantis—bermodalkan selusin balon warna-warni dilengkapi banner berukuran besar bertuliskan 'Please, be my future' yang segera memancing nada 'aw' iri dari gadis di sekitarnya ketika ia menjemput Kyungsoo di universitas lelaki itu.

Juga lamaran yang menguras isi dompet—karena Jongin harus mendatangkan string quartet untuk membawakan lagu Marry Me milik Train di halaman rumah Kyungsoo saat mereka menyempatkan diri untuk pulang ke kota mereka.

Serta belasan—bahkan mungkin berpuluh lamaran lain yang berakhir sia-sia.

Jongin merasa puncak frustasinya telah berada pada titik dimana ia dapat melayangkan tuntutan kepada pembuat akun ide lamaran sialan itu agar berhenti mengisi hatinya dengan harapan palsu.

Malam ini—setelah berkali-kali memotivasi diri sendiri, Jongin membulatkan niat untuk kembali mencoba peruntungannya. Ia telah menghabiskan dua hari dua malam mengurung diri di ruang tidur, membuat bintang-bintang kertas berisi harapan yang sekiranya dapat membuat Kyungsoo memilihnya sebagai pasangan hidup.

Jongin menunggu di luar universitas Kyungsoo, menanti lelaki itu menyelesaikan kegiatan tambahannya. Tubuhnya sedikit menggigil sementara bagian bawah sepatunya mulai lembab terkubur salju. Ia menggenggam jar berisi bintang-bintang buatannya erat, sesekali merutuk angin musim dingin yang membuat jemarinya berubah kebas.

Mata Jongin segera berbinar cerah ketika ia menangkap bayangan Kyungsoo keluar dari lorong universitas. Jongin melambai riang sembari berlari kecil menghampiri lelaki itu.

Sambutan yang Jongin terima pertama kali adalah tarikan nafas panjang Kyungsoo. Lelaki di hadapannya tampak lelah—ia tahu Kyungsoo sedang bergelut dengan tugas kuliah yang menumpuk, ujung hidungnya terlihat memerah, sedang bibirnya sedikit kering akibat udara dingin yang menerpa.

"Kau baik?" Jongin membenarkan posisi syal Kyungsoo dengan tangannya yang bebas kemudian mengecup kening lelaki itu singkat. "Let's go home."

Kyungsoo mengangguk lemah dan pada detik itu Jongin telah melupakan rencana awalnya datang ke tempat ini. Ia merangkul Kyungsoo mendekat, menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki Kyungsoo.

"Kau tahu ini sudah masuk masa liburan, kan? Tidakkah kau seharusnya menggunakan waktumu untuk melepas penat?" tanya Jongin halus.

Kyungsoo mendesah, uap putih mengepul keluar dari mulutnya membentuk bulatan serupa asap. "Ya, mungkin kau benar." Mata lelaki itu berpaling ke arah Jongin sejenak sebelum mendapati benda yang Jongin genggam di tangan kirinya. "Wait, what's that?"

"N—Nothing." Jongin menjawab cepat.

Ia takut suasana hati Kyungsoo yang buruk mempengaruhi lelaki itu untuk lagi-lagi menjawab tidak. Well, bukan berarti Jongin tidak menyadari suasana hati sebenarnya tidak ada kaitannya dengan penolakan Kyungsoo terhadap lamarannya selama ini. But, you know… Just in case.

Kyungsoo tiba-tiba melepaskan pelukannya, menciptakan sedikit jarak di antara mereka. "Kau mau melamarku lagi, ya?"

"Uh." Jongin berdeham kaku, pikirannya memproses jawaban mana yang seharusnya ia keluarkan. "K—Kurasa?"

"Oh, Jongin." Kyungsoo menjumput kuat pangkal hidungnya, raut lelah membayangi setengah wajahnya. "I think we need to talk."

Kedua mata Jongin membelalak lebar mendeteksi kemungkinan situasi yang sedang terjadi. "But, I don't wanna talk! Talk is bad!" Racaunya sedikit memekik.

Berkeping-keping memori mendadak melintas di kepala Jongin. Ia mengingat lamaran pertamanya, mengingat betapa sakitnya melihat Kyungsoo membuang cincin pemberiannya, dan Jongin sama sekali tidak ingin mengalami rasa sakit serupa untuk kedua kali jika maksud 'we need to talk' yang Kyungsoo bicarakan memang seperti prasangkanya.

"Ah, aku baru ingat! Aku harus pulang secepatnya!" Seru Jongin sambil melangkah lebar, mencoba melarikan diri sebelum Kyungsoo sempat mematahkan hatinya.

Namun Kyungsoo justru terkikik geli, menarik ujung lengan mantelnya sambil berucap, "Oh, God. I love you so much." Sementara Jongin berusaha menahan semu yang memberontak untuk lolos, Kyungsoo melanjutkan, "Jongin, love," Katanya, "aku bukan tidak ingin menikah denganmu."

Pernyataan itu segera membuat jantung Jongin berdebar tidak karuan. Jongin tahu kalimat penolakan Kyungsoo mulai bervariasi akhir-akhir ini—'Jongin, kau harus berhenti', 'Jongin, aku akan membunuhmu', 'Jongin, you won't get any for a whole month' tetapi ia tidak bisa membantah bahwa pernyataan yang baru saja Kyungsoo ucapkan merupakan yang paling dekat dengan definisi hampir menerima.

"Yeah, and?" tanyanya sedikit berharap.

"But right now, things are great between us. Don't you think?"

Jongin bersiap membantah dengan no, things would be even greater if you just say yes when I asked you to marry me. Namun urung, sebab Kyungsoo benar. Semuanya memang sedang menyenangkan sejak ia dan Kyungsoo meresmikan hubungan.

Seolah tidak sabar dengan tanggapan Jongin yang masih diam, Kyungsoo menambahkan, "Jangan terburu-buru. Biarkan kita menikmati masa ini lebih lama dulu. Setelah itu, aku berjanji akan mengatakan ya untuk setiap lamaranmu."

"Sungguh?"

"Sungguh." Kyungsoo menangkupkan tangan Jongin ke pipinya, membiarkan hangat tubuh mereka menjalar menjadi satu. "Aku mencintaimu, okay? Jangan pernah berpikir bahwa aku hanya berencana menjadikanmu milikku sebatas ini saja."

Bibir Jongin merekah membentuk senyuman, menampilkan kebahagiaan yang seolah meletup di nadinya. Ia mencium bibir Kyungsoo seraya berjanji bahwa ia akan lebih bersabar menanti waktu yang tepat untuk melakukan lamaran berikutnya—atau mungkin, ia bisa sebut lamaran terakhirnya.

-o-o-o-o-

Waktu melesat cepat seperti angin yang menelisik di sela-sela jari bagi Kyungsoo. Ia merasa baru kemarin mengenakan toga kelulusan dan menyandang gelar sarjana secara resmi, kemudian tiba-tiba—tanpa ia sadari ia kini tengah berada pada perayaan ulang tahunnya yang ke dua puluh enam.

"Happy birthday, Do Kyungsoo!" Sorak Yixing tepat ketika jarum jam saling menumpuk pada angka dua belas. Lelaki itu meniup terompet dengan begitu ceria kendati Kyungsoo telah mengatakan berkali-kali bahwa ini bukan perayaan tahun baru.

Beberapa orang yang mengelilinginya segera menghujaninya dengan confetti serta kecupan di sana sini. Kyungsoo tersenyum, mengucapkan terimakasih berkali-kali namun enggan meniup lilin di atas kuenya. Para teman yang hadir pada pesta kecil itu mengerti bahwa Kyungsoo sedang menunggu Jongin. Kekasihnya belum juga datang meski lelaki itu seharusnya tiba setengah jam yang lalu.

"Dia mungkin terjebak macet, Hyung." Celetuk Sehun, dan Kyungsoo sungguh ingin mempercayai itu kecuali ia tahu jelas bahwa lalu lintas pada tengah malam seperti sekarang seharusnya sudah lengang.

"Sepuluh menit lagi. Okay?" Pinta Kyungsoo. Ada perasaan berbeda yang menggelayut di dadanya karena ia biasa merayakan ulang tahunnya bersama Jongin. "Setelah itu aku berjanji akan memotong kue walaupun Jongin tidak datang."

Taemin yang berada di sebelah Sehun terkekeh ringan. "Tenanglah, Hyung. Kurasa semua orang yang hadir akan tutup mulut selama persediaan beer dan Jello Shot masih memenuhi kapasitas mereka."

Kalimat candaan dari Taemin tidak membuat gundah Kyungsoo luruh. Ia menggigit bibir kuat, semakin cemas mengingat Jongin selalu datang tepat waktu di setiap kesempatan. "But, he's super late. Aku bahkan tidak bisa menghubungi ponselnya."

"Mungkin dia merencanakan sesuatu yang besar?" Timpal Sehun.

"Ya! Kau tahu, kan bo—" Taemin segera menghentikan ucapannya karena Sehun menyenggol pinggangnya kuat, mengingatkan ia bahwa mereka tidak lagi memanggil Jongin dengan sebutan 'boss'. "M—Maksudku, Jongin-Hyung," Lanjutnya dengan senyum meyakinkan, "selalu merencanakan hal-hal besar tanpa sepengetahuanmu."

"Hm, kuharap begitu." Kyungsoo mendesah pendek. "Kalian pasti lebih tahu tentang rencana-rencana bodoh Kim Jongin karena kedekatan kalian."

"Well—dibanding kedekatan, kami bisa disebut ikut terlibat. Kau pasti tidak tahu ketika di sekolah menengah atas Jongin-Hyung dengan sangat tegas melara—" Kali ini Sehun menginjak kaki Taemin sembari melemparkan tatapan kau-ini-gila-atau-kelewat-dungu, hingga Taemin memutuskan untuk mengunci rapat mulutnya dan menutup cerita sebelumnya dengan, "Ah, lupakan! Bagaimana jika kau meniup lilinnya sekarang?"

Kyungsoo melirik arlojinya, sedikit benci harus setuju dengan Taemin sebab sepuluh menit dari janji awalnya ternyata sudah berlalu. Ia mengangguk setengah hati, membiarkan Yixing yang tiba-tiba menghampiri hanya demi meletakkan topi ulang tahun konyol di kepalanya sebelum menarik perhatian seluruh isi ruangan itu untuk mendengarkan pidato singkatnya.

"Okay," Kyungsoo berusaha memaksakan senyum ketika semua mata telah terpusat padanya. "It's so great to have you guys here for my 26th birthday. Aku ingin berterimakasih kepada siapapun yang telah menyempatkan diri untuk hadir, juga kepada Sehun, Taemin, dan Yixing yang ikut membantu mengatur jalannya pesta, terlebih kepada Kim Jongin—penggagas dari pesta ini yang entah mengapa belum juga hadir—"

Pidato Kyungsoo terhenti di tengah jalan karena dering ponsel dari dalam sakunya. Ia segera menggeser tombol 'angkat' tanpa melihat caller ID yang terpampang di layar. Kata sapaan pertama membuat hati Kyungsoo mencelos seketika.

Sebab itu bukan Jongin, melainkan suara wanita bernada formal dengan intonasi tegas yang terlatih.

Wanita itu mencoba memastikan identitasnya terlebih dahulu yang segera Kyungsoo jawab dengan terbata, "Y—Ya. Sa—Saya Do Kyungsoo."

Terdapat jeda sejenak di sambungan telepon itu yang Kyungsoo manfaatkan untuk bersandar karena firasatnya mengatakan bahwa ini adalah kabar buruk.

"Mr. Do Kyungsoo," Wanita itu kembali memulai, "Kami ingin menginformasikan bahwa anda terdaftar sebagai panggilan darurat dari pasien bernama Kim Jongin. Beliau mengalami kecelakaan pada pukul sebelas dua puluh dan saat ini sedang—"

Kyungsoo mencengkram ponselnya kuat, seutuhnya mengabaikan tatapan keheranan dari tamu yang hadir di pestanya. Ia menguatkan diri, sepenuh tenaga menjaga kesadarannya tetap di tepi karena ia butuh tahu lokasi Jongin. "D—Dimana?" Tangannya bergetar hebat, tetapi ia berupaya membuat subjek pertanyaannya lebih jelas. "Dimana dia sekarang?"

Setelah mendapatkan informasi lengkap yang ia butuhkan,

Kyungsoo berlari.

-o-o-o-o-

Kombinasi antara rasa panik, takut dan kesulitan bernafas adalah penghancuran. Pikiran Kyungsoo berada pada fase dimana dunia terjejak seperti tempat yang semu. Ia terengah, menyusuri lorong rumah sakit dengan wajah pucat akibat berlari tanpa henti.

Entah mengapa, supir taksi yang ditumpanginya memutuskan untuk menjadi orang brengsek dengan melajukan kendaraan dalam laju pelan meski Kyungsoo telah melayangkan berbagai ancaman. Ia terpaksa keluar dari taksi yang membawanya dengan banyak caci, kemudian berlari beberapa blok sebelum sampai ke rumah sakit ini.

Penampilannya berantakan, Kyungsoo bahkan tidak peduli dengan topi yang masih bertengger di atas kepalanya. Bibirnya terus merapalkan nomor kamar Jongin karena ia kurang percaya otaknya bisa menyimpan sesuatu dalam keadaan seperti sekarang.

Begitu matanya menangkap nomor kamar yang tepat, Kyungsoo segera mendobrak pintu kamar itu seraya bersiap dengan apapun yang nanti akan dihadapinya.

Tetapi apa yang ia lihat sungguh di luar perkiraan.

Karena Jongin tengah duduk bersandar di kepala matras, mencomot potongan apel kupas dengan begitu santai sembari berteriak, "Oh. Hey, Soo!" Lelaki itu mengamati penampilan Kyungsoo sejenak kemudian tanpa beban mengutarakan, "Kenapa kau berkeringat?"

Kyungsoo tidak mengacuhkan pertanyaan Jongin. Ia berjalan terlampau pelan mendekati lelaki itu, ekspresinya dapat disandingkan dengan seseorang yang sedang menyaksikan suatu keajaiban terjadi tepat di depan mata.

Setelahnya, suara tangis Kyungsoo meraung menyesaki ruangan.

Jongin terhenyak di atas matras. Dadanya terisi setumpuk perasaan bersalah juga haru melihat Kyungsoo terisak seperti anak kecil. Ia menarik lengan Kyungsoo perlahan, membimbing lelaki itu untuk naik ke atas matras agar ia bisa menenangkannya.

Begitu Kyungsoo bersarang di antara kedua lengannya, Jongin baru bisa merasakan tubuh Kyungsoo yang bergetar hebat. Dan Jongin tidak bisa melakukan apapun selain membelai rambut Kyungsoo sambil mengucapkan permintaan maaf berkali-kali karena telah membuat lelaki itu khawatir.

Namun bahu Kyungsoo berguncang semakin tidak terkendali, air matanya membasahi bagian depan baju pasien Jongin.

"I thought—I thought I was going to lose you." Bisik Kyungsoo lirih—nyaris tidak terdengar sebab ia mengucapkan kalimat itu bersamaan dengan sengguk yang mencekat tenggorokannya. "You scared the hell out of me, Jongin."

"I'm terribly sorry, love." Sesal Jongin dengan nafas panjang. "Aku berjanji akan lebih hati-hati lain kali."

Jongin kemudian memaparkan bahwa Kyungsoo tidak perlu khawatir sebab dokter telah menyatakan bahwa tidak ada pendarahan atau luka dalam apapun di tubuhnya. Ia hanya butuh sedikit beristirahat untuk menghindari trauma yang mungkin terjadi setelah kecelakaan tadi.

"Hey, apa kau tahu bagaimana aku bisa selamat?" Jongin tergelak kecil, mencoba melemparkan candaan agar Kyungsoo berhenti menangis. "Aku berhasil melompat ke atas kap mobil yang ingin menabrakku. Kau harus melihatnya, Soo. Aku terlihat seperti kucing—"

"Itu tidak lucu." Potong Kyungsoo gusar. Ia mendongak, menatap Jongin tajam. "Kau hampir terluka. Jangan menjadikan itu sebagai suatu bahan lelucon." Kelegaannya kini seutuhnya terambil alih oleh amarah karena Jongin tidak menjaga dirinya sendiri dengan baik. "Lagipula alasan cukup bodoh apa yang membuatmu tidak memperhatikan jalan?!"

Jongin mengerucutkan bibir, tidak menyukai mengapa Kyungsoo selalu memiliki celah untuk memarahinya setiap ada kesempatan. Ia berusaha mengulur waktu selama mungkin, memapatkan mulutnya agar tetap diam. Jongin berani bertaruh jika ia tidak memberikan jawaban cerdas, ia akan berakhir dengan amukan yang bisa bertahan hingga berhari-hari lamanya.

"Jongin!" Bentak Kyungsoo keras, lelaki itu bersedekap tidak sabar menunggu Jongin angkat bicara.

Jongin menelan ludah. Ia mengangkat pandangan dan sebisa mungkin menjaga matanya tetap di wajah Kyungsoo walau lelaki itu tengah memasang tampang paling mengerikan. "Ci—Cincinnya jatuh."

"Ha?" Alis Kyungsoo saling bertaut, jengkel sekaligus bingung mengapa Jongin bicara seperti anjing meringkik.

Menghela nafas, Jongin kembali mengulang—dengan volume yang sama. "Cincinnya jatuh."

"Bicara yang jelas atau aku akan memukulmu."

"Cincinnya—"

"Oh, Tuhan. Bisakah kau membuka mulutmu dengan benar?"

"Iya, cin—"

"I literally can't hear any—"

"The fucking ring fucking fell off, damn it!" Sahut Jongin sebal di luar kesadaran.

Ia sungguh tidak berniat mengumpat atau berteriak. Tetapi kenyataan bahwa seluruh rencana sempurnanya untuk melamar Kyungsoo gagal malam ini sungguh membuatnya berang. Terlebih karena penyebab kegagalannya adalah tangan kikuknya sendiri yang tidak sengaja menjatuhkan cincin itu ke jalan.

"Aku pikir malam ini adalah waktu yang tepat untuk melamarmu." Tambah Jongin setelah senyap seolah menyerbu ruangan itu. Kyungsoo berdiri tanpa suara, ekspresi lelaki itu tidak bisa tertebak, namun pandangannya tidak beranjak dari Jongin. "Aku sudah menyiapkan semuanya, Soo! Aku mengundang semua temanmu—semua temanku, aku membeli balon, coklat, bunga, apapun yang sekiranya bisa membuatmu mengatakan 'ya', aku juga meminta restu ke orangtuamu—"

Jongin mengambil jeda sejenak di tengah racauannya untuk menatap Kyungsoo. Perasaannya kepada lelaki itu benar-benar merampas logika. Berawal dari sebuah kotak pasir, Jongin tidak menyangka lelaki itu akan menjadi pusat kebahagiannya.

"And—" Jongin mengingat ketika ia merangkai cincin pertamanya untuk Kyungsoo dengan sebentuk perasaan yang tidak seharusnya dimiliki oleh anak seusianya kala itu. "And I bought you a real ring this time."

Jongin meraba bagian bawah bantalnya, mencari benda lingkaran yang hampir menyebabkan ia mengalami kecelekaan. Para perawat mengatakan bahwa Jongin menggenggam benda itu begitu kuat selama perjalanan dari lokasi kejadian hingga ketika ia berbaring di atas matras ruangan ini.

Jongin menangkap mimik wajah Kyungsoo melunak ketika ia menyodorkan cincin ke arah lelaki itu. Mata Kyungsoo tampak kembali berkaca-kaca, seolah air mata yang telah lelaki itu bendung berhasil menemukan jalan keluar.

"I really think you're the one for me, Soo." Sambung Jongin.

Lamaran sempurna yang telah ia rancang memang gagal berantakan. Namun kegagalan itu justru menuntunnya pada suatu kenyataan paling penting. Bahwa ia tidak membutuhkan berbagai hal romantis maupun klise untuk meluluhkan Kyungsoo, bahwa apa yang ia butuhkan hanya waktu yang tepat, bahwa dinding pucat rumah sakit, aroma pengharum lavender bercampur bau antiseptik, dan baju pasien bermotif norak yang ia kenakan sungguh tidak menjadi masalah.

Karena esensi utama dari seluruh perjuangannya selama ini adalah lelaki yang berdiri kaku kurang dari satu meter di hadapannya.

Barisan pinta untuk memohon Kyungsoo menjadi miliknya seutuhnya begitu kukuh melekat di lidah Jongin. Ia tengah bersiap mengutarakannya ketika Kyungsoo tiba-tiba berjalan mendekat kemudian mencetuskan perintah yang membuat mulut Jongin menganga.

"Give me the ring."

"B—But,"

"Give me the goddamn ring, Kim Jongin."

Tanpa menunggu persetujuan Jongin, Kyungsoo menyambar cincin di tangannya. Jongin segera berteriak panik, memanggil nama Kyungsoo agar lelaki itu mengembalikan cincinnya. Tetapi Kyungsoo justru melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan Jongin dalam dilema antara mencabut selang infusnya lalu mengejar Kyungsoo atau diam dan membiarkan Kyungsoo melakukan entah apa yang ingin lelaki itu lakukan terhadap cincinnya.

Jongin melirik selang infusnya sejenak, berdesis dengan peluh menetes di pelipis begitu ia mengingat darah bisa saja keluar jika ia nekat mencabut alat itu.

Ia melenguh pasrah, kembali merebahkan diri ke atas matras dengan gerutu panjang yang tidak habis hingga pagi menjelang.

-o-o-o-o-

Dedaunan yang jatuh di taman mengguratkan rona musim gugur. Semburat musim semi perlahan layu, berpaling pada jingga dan warna-warna temaram yang hangat. Tanah basah serta rerumputan kecokalatan menjadi suatu pemandangan yang tidak lagi asing. Para pejalan kaki terlihat mengayunkan payung di tangan karena hujan seperti belum bosan bertandang memeluk bumi.

Jongin—biasanya, adalah seseorang yang memuja musim gugur. Lelaki itu selalu menemukan bentuk romansa melankolis di antara pohon yang meranggas juga harum embun pagi hari ketika hujan mengguyur semalam suntuk.

Namun kali ini, ia sama sekali tidak bisa menikmatinya.

Dengan wajah tertekuk masam, Jongin menendang-nendang kecil tanah di kakinya. Bersikap sedikit kekanakan karena Kyungsoo belum juga memberi tahu dimana keberadaan cincinnya semenjak kepulangannya dari rumah sakit seminggu lalu.

Jongin was-was. Ia takut Kyungsoo membuang cincinnya—mengingat lelaki itu sepertinya mudah sekali membuang barang pemberian orang tanpa mempertimbangkan kerja keras dibaliknya.

"Aku membutuhkan tiga bulan untuk menemukan cincin itu." Gumam Jongin merajuk.

Lelaki di sebelahnya menyeringai tipis, wajahnya terlihat cerah ceria kontras dengan Jongin.

"How sweet." Balas Kyungsoo mencibir.

Jongin memincing sinis. Kyungsoo benar-benar bersikap kelewat menyebalkan. Lelaki itu bahkan selalu dengan mudah mengalihkan pembicaraan sesederhana lewat 'Oh, look, Nini. Birds!' yang bodohnya Jongin jawab secara antusias—juga lugu, 'dimana? dimana?' ketika mereka tengah membicarakan tempat Kyungsoo menyembunyikan cincinnya.

"Soo," Jongin menghadap Kyungsoo, tangannya mengguncang bahu lelaki itu, "aku sudah minta maaf karena tidak berhati-hati. Bisakah sekarang kita melupakan masalah ini?"

"Kau belum meminta maaf karena telah menggeledah kamarku secara sembunyi-sembunyi."

"Oke, aku juga minta maaf soal itu."

"Hmm." Kyungsoo memandang Jongin sekilas, jarinya mengetuk-ngetuk sudut bibir meniru gesture seseorang yang sedang serius menimbang sesuatu. "Baiklah."

Dengan binar serta sulut harapan, Jongin memekik riang, "Jadi kau memaafkanku?"

"Tidak."

Tubuh Jongin merosot putus asa di bangku taman. Jika dipikir secara seksama, ia sendiri terkadang heran mengapa ia bisa jatuh begitu dalam pada seseorang yang bisa bersikap dingin kemudian menghangat sesuka hati seperti Kyungsoo.

Ia mendesah seraya mengedarkan penglihatannya ke seluruh penjuru taman. Sedikit ganjil bagaimana banyak orang memilih untuk berolahraga walaupun cuaca seperti ini jelas sangat tidak mendukung untuk beraktivitas di ruang terbuka.

Tetapi suasana hatinya sedang tidak menyediakan tempat untuk berempati kepada orang lain. Ia jauh lebih butuh simpati saat ini.

"Kau membuangnya, kan?"

"Oh, look! Birds!" Sambar Kyungsoo cepat.

Jongin segera melongok ke langit, bersiap mengutarakan 'dimana? dimana?' sesaat sebelum menyadari bahwa ia telah jatuh dalam trik konyol yang sama. Jongin berdecih jengkel, berdiri sigap dari bangku sebab Kyungsoo baru saja memutus tali kesabarannya.

"I hate you!" Jerit Jongin sekuat tenaga yang hanya dibalas dengan gelak geli dari mulut Kyungsoo.

Ia berderap menjauh, sedikit berdoa agar Kyungsoo mengejarnya seperti tokoh utama pada drama televisi. Jongin sungguh butuh suatu tindakan dari Kyungsoo. Selama ini, ia merasa sudah cukup berkorban untuk lelaki itu. Bukankah sepantasnya Kyungsoo menghargainya lebih dari ini?

Namun alih-alih gemerisik langkah kaki Kyungsoo yang beradu dengan dedaunan, apa yang Jongin dengar justru sayup suara orang bernyanyi. Ia ingin mengabaikan suara itu, berjalan semakin cepat sebab amarah begitu gesit meracuni pikirannya.

Tetapi suara itu kemudian bersahutan, menghasilkan harmonisasi merdu yang—mau tidak mau membuat Jongin menoleh untuk mencari sumber asalnya. Berawal dari lead vocal menyanyikan intro, iringan melodi yang dihasilkan dari mulut turut membentuk suara serupa aransemen alat musik yang lambat laun menjalin irama sebuah lagu.

Lalu dalam waktu singkat orang-orang yang tadinya terlihat saling berpencar kini berjalan ke arah Jongin. Membuat ia membelalak ketakutan karena dikepung dari berbagai direksi. Jongin menelan ludah, memilih mengikuti alur dari entah-situasi-apa yang sedang ia hadapi.

Di tengah kebingungannya, Jongin mendadak menyadari sesuatu. Ia mengenali lagu yang tengah dinyayikan para pemusik a capella yang mengelilinginya. Itu adalah lagu yang ia gunakan untuk melamar Kyungsoo ketika ia mendatangkan string quartet ke halaman rumah lelaki itu.

Jongin segera menengok ke belakang, mendapati Kyungsoo yang masih duduk bersilang kaki di bangku taman. Perbedaannya, lelaki itu kini mengulas senyum terhibur, sedikit rona di pipinya meyakinkan Jongin bahwa apa yang ia terka di benaknya sama dengan apa yang sedang terjadi.

"Ini—Ini untukku?" tanya Jongin bodoh, bibirnya membuka dan mengatup seperti kekurangan oksigen.

Kyungsoo mengangguk dan secepat itu pula Jongin kehilangan akal.

Tubuhnya terpaku, matanya mengekor pada tiap langkah Kyungsoo yang menghampiri. Lelaki itu mengambil tempat di tengah lingkaran—tepat di hadapannya kemudian berbisik begitu lembut ke telinga, "Kau sudah cukup banyak melamar. Tidakkah kau pikir sekarang giliranku?"

Jongin meredam kuat hysteria yang meledak di jantungnya, menanti Kyungsoo untuk melanjutkan dengan kalimat yang akan menjadi mimpi indah selama sisa hidupnya.

"Kim Jongin, kau adalah manusia paling bodoh yang pernah kutemui."

Jongin terkesiap. Tidak mengantisipasi sindiran itu. Ia sempat ingin melayangkan protes, tetapi Kyungsoo lantas menekankan telunjuk ke bibirnya agar tidak ada interupsi selama lelaki itu bicara.

"Kau kekanakan, kau terlalu banyak mengeluh, kau gegabah dan ceroboh. Kau selalu bertindak tanpa memikirkan akibatnya terlebih dahulu. Kau mementingkan apa yang kau inginkan jauh di atas orang lain—"

Oh, percayalah. Jongin sungguh berharap ada sesuatu yang baik keluar dari bibir Kyungsoo.

"And you're stupid. So unbelievably stupid," Kyungsoo tiba-tiba menggenggam tangannya, "but I love you. I love you. I love you. Oh, only God knows how much I love you."

Iringan musik a capella yang mengiringi keduanya merendah bersamaan dengan Kyungsoo yang berlutut di depan Jongin. Kendati tidak ada seorangpun mengatakannya, Jongin sekarang mengerti alasan mengapa Kyungsoo tidak memberikan cincinnya. Lelaki itu ingin mencegah Jongin untuk melamarnya terlebih dahulu demi hari ini.

"Baby," Tutur Kyungsoo, menarik Jongin dari isi kepalanya yang melayang entah kemana, "you're my first love, my first kiss, my first at almost everything," Kyungsoo membuka penutup kotak yang sudah berada di genggamannya, menampilkan cincin keperakan yang tidak jauh berbeda dari milik Jongin, "are you willing to be my last too?"

Kepala Jongin hanyut dengan ratusan kalimat lamarannya sendiri. Pada tiap jerih payah berujung penolakan yang mengikis harga dirinya hingga semakin tipis. Pada tiap batu keraguan yang hampir menjegal perasaannya untuk Kyungsoo. Namun saat melihat Kyungsoo berlutut dengan sorot mata berbalut kasih sayang bertubi kepadanya, Jongin merasa penantiannya terbayar lunas.

Semuanya sepadan.

Kyungsoo membuat itu semua sepadan.

Di antara berpasang-pasang mata yang tertuju ke arah mereka, sinar matahari yang tiba-tiba tersenyum dari balik awan, dan tepat ketika lagu yang dinyanyikan oleh lead vocal mencapai lirik 'I promise to sing to you when all the music dies',

Jongin menjawab—dengan isakan tertahan, "Yes, I will."

-o-o-o-o-

Pesta pernikahan mereka jauh dari kata mewah.

Diselenggarakan di sebuah kebun yang bersisian dengan danau, Jongin dan Kyungsoo mengundang tamu hanya sebatas keluarga serta kerabat dekat. Mereka ingin menjaga intimasi selama berlangsungnya upacara pernikahan.

Memilih tidak menggunakan jasa organizer, Jongin dan Kyungsoo seolah ingin mengajak para tamu untuk larut dalam kisah cinta keduanya.

Mereka menggantung foto-foto mereka menggunakan pita violet pada pohon berbatang pendek yang menaungi altar. Mulai dari foto mereka sedang tertidur dengan kepala saling beradu yang diambil diam-diam oleh Mrs. Do ketika mereka berusia tujuh tahun, foto kelulusan mereka pada tingkat sekolah dasar, foto saat mereka merayakan ulang tahun ke empat belas bersama-sama, foto kencan pertama mereka, kemudian banyak foto ketika mereka resmi berhubungan, hingga foto saat mereka berciuman pada hari dimana Kyungsoo melamar Jongin.

Undangan yang mereka sebarkan juga tidak kalah unik. Kyungsoo mencetuskan ide untuk membuat undangan mereka ditulis menyerupai tulisan anak kecil menggunakan font mirip crayon—karena itu adalah memori yang paling mengingatkannya kepada Jongin. Sedangkan Jongin datang dengan gagasan untuk membuat kue pernikahan mereka berbentuk istana pasir lengkap dengan peralatan imitasi mungil di sekitarnya.

Namun dari semua dekorasi yang menguarkan nuansa haru biru di pernikahan itu, para tamu sepakat bahwa apa yang memuncaki kesempurnaan adalah aura kebahagiaan yang dipancarkan kedua mempelai ketika bersanding di depan altar.

Semu merah muda dapat ditemukan memulas pipi mereka, binar kekaguman terpendar begitu kasat walau penerangan di pesta itu telah diganti oleh lentera bersumbu minyak.

Mrs. Kim berkali-kali menghapus air mata yang menggenang di pelupuknya ketika Jongin dan Kyungsoo saling membacakan janji mereka. Ia nyaris tidak percaya cinta masa kecil anak lelakinya ternyata bisa tumbuh menjadi perasaan cinta yang begitu kuat.

Tidak berbeda jauh, Mr. Do bahkan harus mengusap punggung Mrs. Do untuk meredakan tangis wanita itu ketika upacara pernikahan sampai pada bagian inti.

"Kim Jongin," sang minister memulai setelah keduanya selesai mengucapkan janji, "do you take Do Kyungsoo, to be your lawfully wedded husband, to have and to hold, in sickness and health, to love, honor and obey, in good times and woe, for richer or poorer, keeping yourself solely unto him for as long as you both shall live?"

Jongin tersenyum menatap Kyungsoo. Gegap gempita di jalinan kapiler darahnya mengirimkan ingatannya jauh kepada seorang anak lelaki berpipi gempal dengan senyum berbentuk hati yang paling banyak mengisi memori masa kecilnya. Dan walaupun anak lelaki itu kini telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa berfigur memikat, serangga kecil yang merangkak di dada dan perutnya masih belum juga enyah setiap kali suara tawa lelaki itu mengisi telinga.

Ia meraih tangan Kyungsoo, menyematkan cincin—yang akhirnya bisa melingkar di jari manis lelaki itu seraya teguh berucap, "I do."

Sorot mata Kyungsoo menyiratkan trenyuh, mengirimkan getaran yang menjalar hingga ke tiap ujung jari Jongin.

Ia sangat ingin mencium Kyungsoo detik itu juga.

Seolah membaca pikiran Jongin, minister yang berdiri di antara mereka dengan cepat menyela, "And Do Kyungsoo," Ucapnya, "do you take Kim Jongin, to be your lawfully wedded husband, to have and to hold, in sickness and health, to love, honor and obey, in good times and woe, for richer or poorer, keeping yourself solely unto him for as long as you both shall live?"

Kyungsoo menggigit bibir kuat, berusaha meloloskan suara yang terperangkap di tenggorokannya. Ia merasa bodoh telah menolak lamaran-lamaran Jongin selama ini. Lamaran dari seseorang yang jelas mengerti dirinya, yang mencintainya tanpa tahu apa itu waktu, yang terus berada di sisinya dalam keadaan apapun bahkan sebelum mengucap janji pernikahan.

Maka dari itu, Kyungsoo berkirar kuat, menyatakan kalimat selanjutnya bukan hanya sebagai syarat peresmian pernikahan, namun juga sebagai komitmen untuk membahagiakan Jongin selama yang ia mampu.

Selama yang waktu mau.

"I do."

Kyungsoo menyematkan cincin ke jari Jongin. Kakinya refleks berjinjit untuk menyejajarkan tinggi dengan lelaki di hadapannya, berlomba dengan minister yang buru-buru menutup upacara pernikahan itu.

"I now pronounce you as husband and man, you may now kiss your spouse."

Namun sebelum kalimat permisi itu sempat usai, bibir Jongin ternyata telah menemukan bibir Kyungsoo terlebih dahulu.

-o-o-o-o-

"Kurasa aku jatuh cinta padamu lagi." Kyungsoo menelusupkan tangannya ke pinggang Jongin, matanya menelusuri satu per satu bagian wajah Jongin secara lebih teliti.

"Oh, ya?" tanya Jongin dengan nada memancing.

Ia membalas pandangan Kyungsoo, menarik senyum yang tiba-tiba muncul dari bibir keduanya. Kaki mereka bergerak pelan menyesuaikan irama The Way You Look Tonight yang dibawakan secara akustik oleh penyanyi di atas panggung.

"Ya, dan kurasa aku tidak akan berhenti jatuh cinta padamu setelah ini."

Jongin tergelak kecil, menebak bahwa kemungkinan kadar alkohol dalam darah Kyungsoo sedikit lebih tinggi saat ini. Lelaki itu jarang merayu atau mengungkapkan kalimat romantis jika dirasa tidak perlu.

"Kau ingin membuatku mati karena terlalu banyak bersemu, ya?"

Kyungsoo membelalak bodoh. "Seseorang bisa mati karena terlalu banyak bersemu?"

Jongin menyentil ujung hidungnya, kemudian menanamkan ciuman di depan berpasang mata di lantai dansa yang sedang mengamati mereka diam-diam. "Kau mabuk."

Kyungsoo berani bersumpah ia tidak mabuk. Sungguh.

Ia hanya sudah sepenuhnya jengah dengan rangkaian pesta pernikahannya sendiri. Para tamu seolah enggan melepaskan mereka. Keduanya harus meladeni berbagai obrolan basa-basi serta pengulangan kisah cinta mereka hingga cerita itu berubah menjadi naskah di luar ingatan.

Sayangnya, kepekaan Jongin berada pada tingkatan paling rendah dari semua orang di dunia.

Karena seberapa kalipun ia menyandarkan kepala ke bahu Jongin, memberi sinyal bahwa ia sudah cukup lelah dengan pesta pernikahan ini, Jongin hanya menanggapi dengan senyum lembut diiringi kecupan di kening.

"Hey." Bisik Jongin tiba-tiba, bibir lelaki itu menempel di daun telinga Kyungsoo. Oh, ia benar-benar tidak sabar untuk menikmati waktu berdua dengan lelaki ini sebagai pasangan suami yang resmi. "Aku baru menyadari bahwa aku tidak pernah tahu kapan kau jatuh cinta pertama kali kepadaku."

Jongin bukan hanya satu-satunya orang yang menyadari itu. Kyungsoo-pun lupa bahwa ia tidak pernah angkat bicara mengenai awal mula ia mulai jatuh cinta.

"Kau harus membayar informasi berharga itu dengan harga sepadan, Mr. Kim." Tutur Kyungsoo sambil terkikik, ia tidak menyangka akan betingkah sekonyol ini di depan Jongin. "Satu ciuman. Aku akan memberitahumu jika kau menukarnya dengan satu ciuman."

"Hanya itu?" Balas Jongin menggoda sembari merapatkan bagian bawah tubuh mereka hingga saling bersentuhan. "Aku bisa memberimu lebih jika kau mau."

Tanpa membuang waktu, Jongin menangkupkan tangannya ke pipi Kyungsoo. Gigi lelaki itu menjepit bibir bawahnya sebelum lidahnya menyusup untuk masuk lebih dalam, menjilat dengan lebih rakus. Kemudian bibir Jongin berpindah semakin bawah, membiarkan Kyungsoo mencecap kata-kata yang lelaki itu ucapkan hanya lewat gerak bibir di lehernya, "Kau berhutang banyak."

Pengendalian diri Kyungsoo mendadak hilang entah kemana.

"Baiklah." Katanya, ia ingin membuat ini sesingkat mungkin dan secepatnya menerjang Jongin ke ruang tidur terdekat. "Kau ingat saat kita sedang memakan es krim lalu kau mencium pipiku pertama kali?" Kyungsoo menarik kerah jas Jongin, membuat lelaki di hadapannya sontak membungkuk, "Sejak saat itu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."

Bersama itu, Kyungsoo memagut bibir Jongin, mengirimkan sinyal kepada siapa saja yang ada di sekitarnya untuk mengakhiri pesta ini.

Sesegera mungkin.

.


OF PROPOSAL AND FIRST LOVE : THE END


.

Author's Note:

HELLO!

Maaf telat update huhuhu.Kemarin ada urusan pribadi yang gabisa ditinggalin. Tapi aku serius ga nyangka loh kalian bakal suka sama cerita ini. Padahal aku bikinnya asal banget makanya agak kurang memuaskan.

BUT YOUR REVIEWS ARE SO SWEET! TERIMAKASIH SEKALI YA UDAH MAU NYEMPETIN REVIEW, BACA DAN BAHKAN NUNGGUIN UPDATENYA. PENGEN PELUK SATU-SATU JADINYA. HIKS.

Oiya, mau bilang terimakasih juga buat jejenriska1 dan Sexy Rose yang ngoreksi beberapa penulisan. (BTW SUMPAH YA, AKU UDAH PROOFREAD BEBERAPA KALI TAPI KENAPA MASIH ADA TYPO NYEMPIL YANG GA KETAUAN SIH. SEDIH DEH.)

Dan buat pcyms7 sama guest88 semoga part dua-nya tidak mengecewakan yah. Hihihi. Makin saying deh liat kalian heboh gegara baca in. Mwah!

Juga buat yang terus-terusan setia menuhin kolom review, yaampun makasih banget serius, serius, serius! Coba kalo ada prompt menarik lempar ke ask fm (un: redsherr) atau lewat PM. Siapa tahu kalo luang aku bisa bikin drabble (KALO LUANG ATAU ISENG AJA YA, HIHIHIHI JADI GA JANJI).

Oke, so review, kritik dan saran sangat dipersilahkan! :)

KAISOO FTW!

Red Sherry