SUPPOSED

.

Byun Baekhyun

Park Chanyeol

And OCs

.

ChanBaek (GS)

Drama, Romance, Hurt/Comfort

.

Warn: chapter pertama ini sebagian besar menceritakan masa lalu orangtua kedua tokoh utama dan bakal drama banget.

DON'T LIKE DON'T READ!


Happy Reading!


-5 januari 1990-

"Aku akan melamarnya.."

Satu kalimat yang membuat Park Sojin menatap nanar kepada lelaki yang saat ini duduk di sampingnya, terbesit rasa tidak percaya.

"Byun Hana.. aku akan melamarnya." Kembali lelaki itu berucap, ekspresi bahagia mengiringi setiap kata yang terlontar dari mulutnya.

Untuk sejenak, Sojin hanya mampu tertegun namun beberapa detik setelahnya ia tersenyum, senyum yang bahkan tidak sampai matanya.
"Aku senang mendengarnya. Selamat, Lee Hyunjae." Dengan nada yang terdengar senormal mungkin, Sojin menutupi rasa sesak yang menyergapnya tiba-tiba.

Sojin berharap ini hanyalah mimpi.

Hyunjae tersenyum senang. Sahabatnya, Sojin selalu mendukung apapun keputusan yang ia buat. Lelaki itu bersyukur mempunyai sahabat sepertinya. Meskipun pada kenyataannya Sojin adalah putri tunggal tuan Park, majikan ayah Hyunjae yang merupakan supir keluarga konglomerat tersebut selama bertahun-tahun.

Mereka berteman sejak kecil, tumbuh dan mengahabiskan waktu bersama.

"Hei, aku harus pergi. Atasanku akan marah besar jika aku terlambat." Kata Hyunjae sambil mengusak rambut Sojin lembut sebelum akhirnya ia berlalu, meninggalkan Sojin yang memandang lirih pada punggungnya yang semakin menjauh.

Tangis wanita itu pecah setelahnya, air mata yang sedari ia tahan berlomba-lomba untuk keluar membasahi pipinya.

Hyunjae adalah sosok lelaki dewasa yang selalu ia kagumi. Selain tampan, Hyunjae adalah lelaki yang mandiri, gigih dan pantang menyerah. Kecerdasan dan kecakapannya membuat lelaki itu menarik minat perusahaan besar yang saat ini memperkerjakannya sebagai pegawai tetap. Lelaki itu membanggakan.

Dan Sojin menyukainya, ia menyukai lelaki itu sejak dulu. Ia menyukai sifat dewasa Hyunjae yang seolah mampu mengimbangi sifatnya yang kekanakan dan manja. Bangku sekolah menengah menjadi saksi tumbuhnya rasa suka yang sekaligus membuat nyali Sojin ciut untuk sekedar mengutarakannya, hingga mereka memasuki perguruan tinggi Sojin harus menelan pahitnya kenyataan ketika mengetahui Hyunjae resmi berpacaran dengan seorang mahasiswi yang ia ketahui bernama Byun Hana.

Seseorang yang Sojin anggap hanyalah anak yatim piatu dan sebatang kara yang mengandalkan beasiswa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi kenamaan di kota Seoul. Namun Hana selalu berhasil membuat Sojin iri. Kecantikannya, kecerdasannya, bahkan kesederhanaannya yang mampu meluluhkan hati seorang Lee Hyunjae, dan Sojin tidak menyukai fakta tersebut, rasa iri itu perlahan berubah menjadi benci ketika semua perhatian Hyunjae tercurah hanya kepada Hana. Bukan lagi kepadanya.

Lamunan Sojin membuyar, membayangkan betapa sakitnya perasaannya dulu setiap Hyunjae menceritakan kedekatannya dengan Hana membuatnya tersenyum miris.

Dan sekarang, ia harus kembali merasakan kenyataan pahit yang lebih menyakitkan. Tidak ada kesempatan lagi untuknya, Hyunjae akan menikahi kekasihnya. Membuat rasa benci itu semakin tumbuh lebih dalam.

.

.

Sementara hari berganti, seorang wanita cantik berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya. Rona bahagia terlihat jelas begitu melihat bayangannya di dalam cermin. Dengan gerakan anggun Hana berbalik untuk sekedar memamerkan gaun pengantin yang tengah ia pakai kepada calon suaminya.

"Kau cantik.." Ucap Hyunjae tiba-tiba, membuat Hana mengernyit.

"Aku belum bertanya.." Kata Hana.

"Dan kau akan menanyakan itu." Hyunjae berucap, ia menggigit bibir bagian dalamnya menahana tawa.

"Akh kenapa mendadak panas, aku buka saja gaunnya." Ucap Hana enteng namun terdengar mengancam.

Dengan cepat Hyunjae menghampiri Hana, direngkuhnya tubuh wanita itu.
"Kau mau melepas gaun itu?" Tanya Hyunjae.

"Tentu saja" Sahut Hana ketus.

Hyunjae tersenyum jahil.
"Kau akan melepasnya disini? Di depanku?" Tanyanya dengan ekspresi geli.

Tawa Hyunjae meledak ketika mendapati Hana yang merengut lucu, wanita itu bertambah kesal lalu menghentakkan kakinya.

"Kau cantik, sangat cantik." Kata Hyunjae lembut sesaat setelah tawanya mereda, lelaki itu mendekap erat tubuh Hana dan mengecup rambut sebahu wanita itu dengan sayang.

"Aku membencimu." Ucap Hana sebal sembari membenamkan wajahnya di dada bidang Hyunjae.

"Aku juga mencintaimu." Sahut Hyunjae yang dibalas dengan cibiran pelan oleh Hana.

.

.

Hari berlalu dengan cepat, sudah enam bulan sejak Hyunjae dan Hana resmi menjadi sepasang suami istri. Dan selama itu pula Sojin berubah menjadi wanita yang tidak terkontrol. Cemburu dan sakit hati merubahnya menjadi pecandu alkohol, ia menjadi wanita liar yang selalu pulang larut dalam keadaan mabuk, membuat kemarahan tuan Park semakin meradang.

Sebuah tamparan keras dilayangkan pria paruh baya tersebut kepada putrinya.

"Beraninya kau mencoreng nama baik keluarga ini!" Wajah tuan Park mengeras, menyiratkan betapa marahnya ia saat ini.

Sojin bergeming sementara kepalanya menunduk, terlalu takut untuk sekedar berucap.

"Gugurkan kandunganmu itu." Ucap tuan Park dingin.

Sojin mendongak, matanya memerah menahan tangis. Lidahnya kelu, dengan gerakan pelan ia membawa tangannya mengusap pelan perutnya. Wanita itu menggeleng keras.
"Tidak!" Ucap Sojin mutlak.

"Kau bahkan tidak tahu siapa ayah dari bayi yang kau kandung," Tuan Park memejamkan matanya sejenak, hatinya berdenyut sakit. "Kau harus menggugurkannya!" Tambahnya dengan suara payah.

"Tidak! Kumohon, aku memang bersalah. Tapi jangan menyuruhku untuk membunuh bayi tidak berdosa ini, Appa. Kumohon.." Tangis Sojin pecah, ia membawa tubuhnya bersimpuh di atas lantai, kedua tangannya saling bertautan di depan dada, memohon belas kasih dari ayahnya. Sojin mengalihkan pandangan kepada wanita paruh baya yang hanya menangis dalam diam meratapi nasib putri tercintanya.

"Omma? Kumohon, kumohon. Omma seorang ibu, katakan pada Appa bahwa bayi ini tidak berdosa." Ia menyeret lututnya menghampiri sang ibu dengan tangis yang terdengar pilu.

Sojin akan mempertahankan bayinya, meskipun lelaki bajingan itu pergi entah kemana. Ia juga tak mungkin mengatakan kepada ayahnya siapa yang telah menghamilinya, jika tuan Park tahu maka harapan untuk mempertahankan bayinya akan sirna.

Tuan Park memejemakan mata, sebelah tangannya memijat dahinya yang berdenyut sakit. Pria paruh baya itu menghela nafas berat. Ia tak pernah melihat Sojin seputus asa dan semenyedihkan seperti sekarang ini. "Aku akan mengirimmu ke Amerika." Ucapnya kemudian.

Sojin kembali mendongak, tidak setuju dengan penuturan sang ayah.
"Aku tidak bisa pergi sekarang," Ucap Sojin 'Appa tahu? Ada orang-orang yang harus bertanggung jawab atas keadaanku saat ini.' Tambahnya dalam hati. "Setidaknya tolong tunggu sampai bayi ini lahir, kumohon Appa." Lanjutnya lirih terdengar semakin putus asa.

.

Dan hari-hari setelahnya Sojin lalui dengan kebencian yang mendarah daging, orang-orang yang membuatnya menjadi wanita yang terjebak dalam dunia malam dan bertemu dengan lelaki brengsek yang menghamilinya tanpa bertanggung jawab dan menghancurkan masa depannya harus membayar sakit hatinya berkali-kali lipat. Wanita itu bertekad.

Dan ia menyalahkan Hyunjae dan Hana atas apa yang terjadi padanya. Akan Sojin pastikan mereka terutama Hana yang telah merebut Hyunjae darinya merasakan sakit lebih dari yang ia rasakan saat ini.

Sembilan bulan Sojin mengasingkan diri dari dunia luar, sampai akhirnya hari itu tiba. Seorang anak yang di kandungnya dengan rasa marah dan dendam yang menggerogoti hatinya terlahir kedunia, Park Chanyeol.

.

.

.

-13 juni 1992-

Hyunjae menatap nanar pada sebuah peti mati mengilat tempat dibaringkannya jasad sang ayah. Lelaki itu meratapi kepergian ayahnya dengan tangis pilu. Hana sang istri terus mendampingi Hyunjae, memberi kekuatan dan menenangkan suaminya tersebut.

Beberapa orang datang untuk sekedar mengucap bela sungkawa, termasuk tuan dan nyonya Park. Mereka turut berduka atas kepergian ayah Hyunjae, karena bagaimana pun beliau adalah orang yang sudah mengabdi bertahun-tahun untuk keluarga Park.

Hyunjae membungkuk hormat kepada tuan dan nyonya Park.

"Aku turut berduka cita, Hyunjae-a.." Kata Sojin dengan raut muka sedih. Memasang wajah simpati yang berlebihan. Di belakangnya berdiri seorang wanita lain yang menggendong bocah lelaki berumur satu tahun, bermata bulat dan bertelinga lebar.

"Terima kasih, Sojin." Bukan Hyunjae yang menyahut, melainkan Hana. Wanita itu mengerti, suaminya masih terkejut dengan kehadiran Sojin yang selama ini tidak terdengar kabarnya.

Sojin yang mendapati sahutan dari Hana hanya mengangguk kecil, sekilas ia melempar tatapan sinis kearah Hana.

Hana tahu bahwa Sojin tidak pernah menyukainya semenjak dulu. Ah, Hana jadi mengingat masa-masa kuliahnya dulu. Beberapa preman yang mengganggunya dalam perjalanan pulang mengaku diperintah oleh Sojin sesaat setelah Hyunjae membuat mereka babak belur. Namun Hana lebih memilih berbesar hati dan memaafkan Sojin yang nyaris membuatnya diperkosa oleh preman-preman itu.

Hana menghela nafas pelan begitu potongan masa lalu itu terlintas di benaknya. Wanita itu tersenyum kepada Sojin yang tengah memandang suaminya dengan tatapan yang semakin menguatkan dugaannya selama ini.

.

.

Sebulan setelah pertemuannya dengan Hyunjae dan Hana di rumah duka, Sojin semakin memantapkan niatnya. Ia sudah menyusun beberapa rencana jahat untuk melancarkan balas dendamnya. Melampiaskan semua kemarahan yang selama ini ia pendam, kemarahan yang membuat iblis jahat bersarang ditubuhnya.

Sojin akan melenyapkan wanita itu dengan harapan bisa kembali dekat dengan Hyunjae, dan mengutarakan perasaan yang bertahun-tahun ia pendam.

Wanita itu tersenyum licik, ia mengalihkan atensinya pada bocah lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Dikecupnya sayang puncak kepala putranya.

Sojin tidak bisa membenci anak itu, Chanyeol seolah memberi kekuatan di masa-masa sulit yang ia hadapi. Ia terlalu takut untuk melampiaskan kemarahannya kepada putranya.

"Channie akan mengerti mengapa Omma melakukan ini semua." Ucapnya lirih namun terdengar seperti meyakinkan dirinya sendiri.

.

.

.

-15 juli 1992-

Hana merasa resah, sudah selarut ini namun suaminya belum juga pulang. Wanita itu cemas, takut hal buruk terjadi. Ia menggeleng pelan begitu beberapa pikiran negatif itu terlintas.

Seseorang mengetuk pintu pelan, Hana mengernyit. Bukankah suaminya membawa kunci cadangan? Oh mengapa perasaannya berubah tidak enak?

Hana melirik jam dinding, dan kembali mengernyit. Siapa yang yang berkunjung selarut ini?

Dengan ragu ia membuka pintu rumahnya namun sesaat setelahnya Hana menyipitkan mata, tidak ada siapapun. Ia mengedarkan pandangannya ke berbagai arah dengan dahi mengkerut , ah ia tak menemukan siapapun hanya ada sebuah mobil yang melaju pelan dari kejauhan. Wanita itu menghela nafas sebelum akhirnya berbalik dan berniat menutup pintu, namun sesaat kemudian ia di buat terperangah oleh sosok lelaki berperawakan tinggi berpakaian serba hitam dan memakai penutup kepala berada di dalam rumahnya, ia tak tahu bagaimana caranya orang tersebut bisa masuk.

"S-siapa kau? A-pa yang kau lakukan di rumahku?" Tanya Hana yang terdengar ketakutan begitu atensinya berlabuh pada sebuah benda tajam mengilat yang lelaki itu genggam.

Namun lelaki itu hanya bergeming, tanpa menunggu lama ia menyambar lengan Hana dan menghempasnya kasar hingga wanita itu terjatuh ke atas sofa, dengan gerakan cepat lelaki itu menindih tubuh Hana dan hendak menghujamnya dengan pisau tajam di tangannya sebelum akhirnya seseorang menarik bajunya dari belakang.

Hyunjae menerjang tubuh lelaki itu berkali-kali, namun setiap pukulan yang ia layangkan berhasil ditepis. Mereka saling menyerang dan dan menghancurkan apa saja yang ada di dalam rumah itu, Hana menangis ketakutan, tubuhnya lemas membuatnya tak mampu melakukan apapun.

Lelaki itu berhasil melumpuhkan Hyunjae, dihujamnya tubuh Hyunjae berkali-kali dengan pisau tajam mengilat hingga tangannya dilumuri darah segar. Teriakan Hana menyadarkannya, lelaki itu panik dan melarikan diri setelahnya.

Dengan gerakan lambat Hana menghampiri suaminya yang sudah terkapar, tak sadarkan diri. Tubuhnya yang tak tersisa tenaga sediktpun bergetar dengan hebat.

Darah segar membanjiri lantai, dan sebagian menodai karpet beludru berwarna putih. Pisau mengilat itu masih tertancap di perut Hyunjae. Dengan tangan bergetar Hana memegang pisau itu dan berniat menolong suaminya, namun naas hal itu justru membuat lembar kelam dalam hidupnya terbuka.

.

.

Sojin menghentikan mobilnya tepat di depan rumah hyunjae, ia berniat menjadi sahabat baik hati yang akan berada di sisi Hyunjae dan menghibur lelaki itu setelah kematian istrinya. Wanita itu tertawa licik, pembunuh bayaran itu sudah pasti berhasil melenyapkan Hana. Dan sekarang gilirannya untuk beraksi, menarik simpati Hyunjae dan membuat lelaki itu jatuh ke dalam pelukannya.

Wanita itu turun dari mobilnya, berjalan di halaman rumah sederhana dengan perlahan ia memasuki rumah dengan pintu yang sedikit terbuka.

Sojin sedikit mengernyit melihat beberapa benda hancur dan berserakan di lantai, meja dan kursi hancur terbelah. Wanita itu mematung di tempatnya, melihat tubuh Hyunjae terkapar dengan darah segar menodai baju di bagian perutnya.

Setengah berlari Sojin menghampiri Hyunjae, ia mendorong Hana hingga membuat wanita itu tersungkur. Sojin memeluk tubuh Hyunjae dan tangisnya pecah terdengar pilu.

"Pembunuh!" Ucap Sojin dingin kepada Hana "Kau membunuhnya!" Lanjutnya sembari berteriak keras memanggil-manggil nama Hyunjae

Wanita itu semakin marah membayangkan Hyunjae yang menyelamatkan Hana, lelaki yang ia cintai mempertaruhkan nyawanya untuk wanita yang Sojin benci.

Dan kembali ia menyalahkan Hana atas apa yang terjadi.

.

.

.

-20 agustus 1992-

Ketukan palu sebanyak tiga kali terdengar memenuhi ruang sidang setelah sebelumnya hukuman vonis dua puluh tahun penjara dijatuhkan kepada Hana.

Wanita itu terbukti melakukan pembunuhan terhadap suaminya, Hyunjae.

Sebenarnya tidak akan semudah itu jika tidak ada campur tangan kekuasaan keluarga Park.

Beberapa saksi palsu termasuk Sojin didatangkan, mereka melempar tuduhan silih berganti, tuduhan yang berisi kebohongan keji.

Sojin memprovokasi tuan Park, mengatakan bahwa ia melihat sendiri Hana yang membunuh Hyunjae. Mengiringi setiap kebohongan yang terlontar dengan tangis pilunya yang menjanjikan kepercayaan. Tuan Park yang pada dasarnya sudah menganggap Hyunjae sebagai putranya sendiri merasa marah dan tidak terima. Dengan kekuasaan yang beliau punya, membuat Hana membusuk di dalam penjara sekalipun bisa ia lakukan. Sebenarnya bisa saja tuan Park mengikuti keinginan Sojin untuk membuat Hana di vonis hukuman mati, namun ia rasa tak perlu melakukan hal-hal yang menyangkut kekuasaannya terlalu jauh.

Dua puluh tahun penjara dirasanya cukup dan pantas untuk menghukum wanita itu.

Sojin merasa senang, setidaknya Hana akan mendekam di balik jeruji besi dalam waktu yang lama, meskipun ia sedikit kecewa karena tak bisa membujuk ayahnya untuk berbuat lebih.

Sojin masih tak bisa merelakan kepergian Hyunjae, hatinya selalu berdenyut sakit sekaligus merasa takut karena bagaimanapun ia yang telah menyebabkan kematian lelaki itu.

Wanita itu harus meninggalkan Korea.

Sojin memutuskan untuk pergi ke Amerika membawa serta Chanyeol dan berniat menetap di sana dalam waktu lama. Ia tak bisa mengabaikan rasa takutnya ketika dihantui bayang-bayang akan kematian Hyunjae.

.

.

.

Hana memandang lurus ke depan. Beberapa menit kemudian matanya menyapu setiap sudut tembok dingin penjara yang saat ini sudah resmi menjadi tempat tinggal barunya dengan nanar.
Berulang kali ia berharap bahwa apa yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, berulang kali pula ia menampar pipinya keras, namun hanya rasa sakit memanas bersamaan dengan kekecewaan yang ia rasakan begitu menyadari semua itu bukanlah mimpi belaka.

Ratusan kali Hana berkata bukan dirinya yang membunuh suaminya, namun mereka semua seolah menulikan telinga.

Apa yang terjadi pada suaminya. Oh Tuhan, Hana bahkan tidak sanggup lagi membayangkan kejadian yang menimpa suaminya, selama sebulan ini ia menangisi kepergian suaminya setiap detik. Air matanya seolah sudah mengering.

Kenapa Tuhan?

Keluarga kecilnya, kebahagiaannya, suami tercintanya, Kenapa Tuhan tega merenggut itu semua darinya?

Satu isakan lolos terdengar, Hana tersenyum kering. Ia pikir sebulan menangisi kepergian suaminya akan cukup, namun pada faktanya ia tak cukup berbesar hati untuk menerima itu semua.

"Aku bosan melihatmu menangis." Salah satu tahanan yang berada di jeruji yang sama berucap dengan nada bosan. Tentu saja, mendengarkan Hana menangis setiap hari membuatnya merasa jengah.

Hana bergeming. Ia bahkan diam saja ketika teman satu sel nya itu mengangkat wajahnya seolah menelisik, membuat Hana mau tak mau bersitatap dengan wanita yang ia ketahui bernama Heechul.

"Tch, wajah seperti ini kau pakai untuk membunuh?" Tanyanya sebelum akhirnya kembali menghempas wajah Hana sedikit kasar.

Dan Hana hanya semakin bungkam, Heechul terus menerus mencemoohnya dengan sinis selama ini.

"Sabarlah.. Tuhan tidak tidur." Kata Heechul sebelum akhirnya membawa tubuhnya berbaring dan memejamkan mata. Entah mengapa ia merasa Hana bukanlah seorang pembunuh.

Apa katanya? Tuhan tidak tidur? Lalu dimana Dia saat suaminya meregang nyawa? Dimana Tuhan ketika ketidakadilan harus membuatnya mendekam di sini? Batin Hana berseru marah.

Wanita itu tertawa keras, menertawakan takdir yang mempermainkan hidupnya. Hana terus tertawa sebelum akhirnya menangis dengan pilu.

Heechul mengernyit masih dengan mata terpejam tatkala suara tangisan yang terdengar pilu itu terhenti. Wanita itu berbalik sesaat setelah beberapa hal buruk terlintas di benaknya. Heechul terperangah melihat Hana yang terkapar pingsan dengan wajah pucat pasi. Dengan cepat ia memanggil beberapa sipir untuk meminta pertolongan.

.

.

Hana terjaga, membuka matanya pelan ketika rasa sakit yang berdenyut di kepalanya menyergapnya tiba-tiba.

"Kau sudah sadar?" Seorang wanita memakai jubah putih bertanya dengan nada datar.

Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Merasa heran berada di ruangan yang berbau obat tersebut.

"Kau harus berhenti banyak berpikir sekarang, pikirkan kondisi janinmu." Kembali dokter itu berucap sembari meneliti rekam medis.

Butuh waktu beberapa saat untuk Hana mencerna apa yang dokter itu katakan.

Janin?

"Ya, kau hamil." Kata Dokter tadi seolah tahu apa yang Hana pikirkan.

Dan setelahnya Hana hanya mampu mematung. Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana bisa ia mengandung dan melahirkan anaknya di tempatnya seperti? di tempat yang mencapnya sebagai seorang pembunuh? Bagaimana nasib anaknya kelak?

.

.

.

-6 mei 1993-

Seiring berjalannya waktu Hana menyadari satu hal. Tuhan masih begitu menyayanginya. Bayi dalam kandungannya adalah malaikat yang Tuhan kirim untuknya, malaikat kecil yang membuatnya kuat, alasan terbesarnya untuk tidak lagi meneteskan air mata, alasan terbesarnya untuk bertahan dan menghadapi ketidakadilan yang begitu kejam.

Tuhan tidak tidur..

Hana tersenyum samar, Heechul benar. Tuhan tidak tidur.

"Kau terlihat lebih mengerikan jika seperti itu." Sindir Heechul sedikit ngeri saat melihat Hana yang tersenyum sendiri. Apakah dia sudah gila?

Hana mengalihkan pandangannya kearah Heechul, wanita itu semakin mengembangkan senyumannya. Dengan sedikit menyeret tubuhnya yang terasa berat karena perutnya sudah membesar, Hana mendekatkan diri kepada Heechul, ia memeluk wanita yang lebih tua darinya tersebut.

"Terima kasih Eonni, kau selalu menjagaku selama ini." Ucap Hana tulus.

Memang benar, meskipun Heechul orang yang sinis, namun ia peduli kepada Hana. Wanita itu selalu melindungi Hana dari bual-bualan teman sel nya yang lain. Heechul selalu menjadi orang pertama yang berteriak memanggil sipir setiap kali Hana jatuh pingsan selama sembilan bulan terakhir.

"Terima kasih telah menjagaku dan Bayiku selama ini." Kata Hana masih mempertahankan senyumannya.

Heechul tersenyum tulus, entah mengapa ia menyayangi Hana dan sudah menganggap wanita itu adiknya sendiri. Hana yang malang yang terjebak dalam kebohongan keji. Dan mengapa perasaannya mendadak tidak nyaman? Hana jarang sekali mengutarakan perasaannya, dan sekarang Hana memeluknya erat dan mengucapkan Terima kasih berulang-ulang.

Mudah-mudahan Hana baik-baik saja.. Pikirnya. Namun beberapa detik kemudian harapannya sirna, tubuh Hana menegang di pelukannya. Cairan bening mengalir di kaki Hana.

.

.

.

Ruangan itu dipenuhi dengan suara erangan yang keluar dari mulut Hana, keringat sudah membasahi rambut dan keningnya. Berulang kali Hana mendongak sembari mencengkram kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya, berharap mendapat kekuatan lebih.

Dengan bantuan dokter, Hana berjuang sekuat tenaga mendorong sesuatu yang mendesak untuk keluar di bagian bawah tubuhnya.

Hana merintih tertahan tatkala teriakannya tak membuahkan hasil, wanita itu terus mengikuti instruski dokter yang membantu persalinannya. Hana menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya kembali mengerang. Tenaganya sudah habis terkuras, namun ia tak bisa menyerah.

Bayinya, malaikat kecilnya, Hana harus memberinya kesempatan untuk melihat dunia.

Sekelebat memori-memori lama terputar di otaknya. Hatinya berdenyut sakit meratapi hal-hal buruk yang terjadi kepadanya.

Oppa.. Hyunjae Oppa.. beri aku kekuatan.. Batinnya. Wanita itu menangis, menyakitkan.

Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, Hana mendorong kuat bayinya untuk keluar. Wanita itu berteriak nyaring dengan kepala mendongak.

Dan setelahnya seolah berjalan dengan lambat, pandangannya memburam, samar-samar ia mendengar beberapa suara yang menggema, suara haru dokter yang menyerukan sesuatu yang tak terdengar jelas, suara tangisan bayi, Hana mendengar tangisan bayi.

Memori-memori lama itu kembali berputar di otak Hana, kenangan manis dan menyakitkan bercampur menjadi satu, air matanya mengalir bersamaan dengan pandangannya yang semakin memburam dan berubah gelap sepersekian detik setelahnya.

Meninggalkan tangis seorang anak yang di kandungnya dalam dinginnya tembok jeruji besi dan ikut berjuang bersamanya melawan penderitaan dan ketidakadilan.

Seorang anak yang mungkin akan menanggung beban berat di masa depan.

.

.


-Supposed-


-6 mei 2003-

Orphans Home, Seoul

Namamu, Byun Baekhyun.

Kau lahir pada tanggal 6 mei 1993.

Aku berjanji akan menjemputmu kelak, ketika kau dewasa nanti.

Sampai hari itu tiba, jadilah anak baik-baik.

-Heechul-

Gadis kecil berusia sepuluh tahun bernama Byun Baekhyun itu menghela nafas panjang, tubuh mungil itu duduk di rerumputan hijau yang terhampar luas, menjadikannya alas bagi beberapa pohon sakura dengan bunga merah mudanya yang bermekaran di bawah langit biru yang sedikit berawan. Ia membawa tubuhnya bersandar pada salah satu pohon. Kepalanya mendongak, dengan mata tertutup ia menikmati terpaan angin yang membelai wajahnya. Taman belakang panti asuhan itu adalah tempat favoritnya untuk mengasingkan diri, tempat yang selalu ia pakai untuk membaca pesan dari kertas usang yang di genggamnya saat ini. Tidak terhitung sudah berapa kali ia membaca pesan dari orang yang bernama Heechul tersebut.

Orang yang membuat secuil harapan di hatinya tumbuh, orang yang mungkin bisa menjawab dengan benar setiap pertanyaan yang akan ia lontarkan nantinya. Orang yang mungkin akan berkata jika mereka semua bohong.

Bukanlah hal sulit untuknya memahami kata demi kata yang ia dengar dengan tidak sengaja waktu itu, dewasa sebelum waktunya membuat gadis itu mencerna dengan baik setiap kalimat yang ibu panti lontarkan dengan penuh iba kepada salah satu perawat di panti tersebut tentang ibu Baekhyun, tentang bagaimana masa lalu kedua orang tuanya.

Tentu saja mereka tahu, kasus pembunuhan yang dilakukan sang istri terhadap suaminya sangat memanas dan menjadi perbincangan di seluruh negeri pada waktu itu.

Baekhyun bersikap tenang ketika orang-orang dewasa itu dengan hati-hati menceritakan secara rinci mengenai masa lalu kedua orang tuanya. Gadis itu membuat mereka semua mengernyit bingung ketika tak mendapati banyak respon darinya. Untuk anak perempuan seusianya, Baekhyun terlalu tenang ketika mengetahui fakta yang begitu menyakitkan tersebut.

Mereka hanya tidak tahu, Baekhyun adalah gadis kecil biasa seperti kebanyakan. Ia hanya terlalu pintar bersembunyi di balik pembawaannya yang tenang dan senyumannya yang menjanjikan keyakinan.

Karena, menjadi anak seorang pembunuh bukanlah hal yang bagus bukan?

"Baekhyuneeee.."

Pekikan seorang gadis kecil lain terdengar, Baekhyun membuka matanya dan melihat sahabatnya berlari menuju kearahnya.

Dengan sedikit membungkuk Kyungsoo menetralkan nafasnya yang terengah-engah. Rambutnya yang terkuncir dua sedikit berantakan.

"kenapa berlari sih?" Tanya Baekhyun yang malah terdengar seperti omelan, gadis kecil itu bangkit dari duduknya. Ia membawa tangan mungilnya merapikan rambut Kyungsoo yang berantakan lalu mengusap keringat yang membasahi kening sahabatnya itu.

"Kau harus ikut denganku" Kyungsoo berucap dengan nafas tersengal.

Kedua alis Baekhyun terangkat.

"Ada dua mobil besar dikirim kesini," Kyungsoo membawa tangannya ke udara dan membentuk sebuah lingkaran besar dengan gerakan lucu. "Mobil itu berisi makanan." Seru Kyungsoo dengan binar di kedua mata bulatnya.

"Benarkah?" Tanya Baekhyun sembari tersenyum melihat tingkah sahabatnya.

Kyungsoo mengangguk antusias.
"Assa! Aku akan mengambil beberapa makanan lezat itu dan memberikannya padamu sebagai hadiah ulang tahun." Ucapnya kemudian.

"Oh? Aku tidak mau jika kau mencurinya." Kata Baekhyun seraya melipat tangannya di dada. Ia sudah sangat hafal dengan kenakalan Kyungsoo.

"Tidak, tidak, karena mereka sedang membagikan makanan itu sekarang." Sahut Kyungsoo. "Ayo kita lihat, di depan sangat ramai sekarang." Tambahnya sembari menyambar tangan Baekhyun.

Dan Baekhyun hanya pasrah ketika sahabatnya itu menyeretnya menuju halaman depan panti. Kedua gadis kecil itu berlarian hingga sampai di depan, anak-anak panti yang lain sedang mengantri ketika beberapa makanan kecil dibagikan.

Baekhyun mengalihkan atensinya pada sebuah mobil sedan hitam mengilat, mungkin pemilik mobil itu adalah donatur pikirnya menebak-nebak.

"Akh, panjang sekali antriannya." Keluh Kyungsoo.

"Kita bisa menunggunya, Kyungsoo." Kata Baekhyun menepuk bahu sahabatnya.

"Tapi— Ah, aku punya ide." Sahut Kyungsoo sambil menyeringai begitu atensinya berlabuh pada mobil besar lainnya, gadis kecil itu yakin bahwa isi mobil besar itu adalah makanan.

Belum sempat Baekhyun berucap, tangannya sudah kembali ditarik oleh Kyungsoo.

"Kenapa kita kesini?" Tanya Baekhyun curiga ketika keduanya berdiri di bagian belakang mobil besar itu.

"B-bantu aku membukanya.." Kata Kyungsoo dengan suara berat, ia kesusahan membuka pintu ganda bagian belakang mobil itu.

"Hei, nanti kau jatuh. Turun!" Perintah Baekhyun.

"Whoa, lihat itu!" Kata Kyungsoo ketika berhasil membuka pintu ganda tersebut, beruntunglah tidak terkunci. Mungkin sengaja karena makanan yang berada di dalam mobil itu memang akan dibagikan kepada anak-anak panti.

"Kyungsoo, kau bisa jatuh. Dan untuk apa kau mengambil makanan itu, kita bisa mengantri di sana." Kata Baekhyun cemas begitu Kyungsoo naik dan masuk kedalam mobil tersebut.

"Itu terlalu lama, kau tidak lihat antriannya tadi?" Kyungsoo mendengus.

"Pencuri!" Sebuah suara lain terdengar oleh Baekhyun dan Kyungsoo.

Di belakang mereka berdiri seorang bocah lelaki dengan wajah datar sembari melipat tangannya di dada.

Kyungsoo yang seolah tertangkap basah langsung menjatuhkan beberapa makanan yang sempat ia ambil dan segera turun dari mobil dengan panik kemudian berlari setelahnya.

"Kyungsoo-a.." Panggil Baekhyun dengan nada cemas, jika ibu panti mengetahui hal ini sudah pasti Kyungsoo akan dihukum. Baekhyun hendak menyusul Kyungsoo namun pergelangan tangannya ditarik paksa.

"Mau kemana kau, pencuri?" Tanya si bocah lelaki masih dengan wajah datarnya.
"Kau mau melarikan diri setelah tertangkap basah olehku?" Tambahnya.

"Aku bukan pencuri." Sahut Baekhyun seadanya.

"Kau masih mengelak? aku melihat sendiri kau dan temanmu mencuri makanan itu."

"Aku tidak mencurinya!" Tegas Baekhyun satu oktaf lebih tinggi, karena ia yakin bocah lelaki itu melihat jika hanya Kyungsoo yang mengambil beberapa makanan tersebut.

"Channie, sedang apa kau di sini sayang? Omma mencarimu sedari tadi." Seorang wanita cantik dengan langkah anggun menghampiri kedua bocah yang sedang bersitegang, menginterupsi kalimat yang putranya, Chanyeol akan katakan.

"Anak ini mencuri makanan yang kita bawa." Kata Chanyeol terdengar yakin seraya menunjuk kearah baekhyun dengan dagu terangkat, sedikit angkuh.

"Aku tidak mencurinya, aku bukan pencuri!" Kembali Baekhyun menyahut sembari melepaskan tangan yang sedari Chanyeol tahan. "Ahjumma, saya tidak mencuri makanan itu." Baekhyun mengalihkan pandangannya pada wanita dewasa di depannya.

"Tapi putraku bilang kau mencurinya, putraku tidak mungkin berbohong." Kata Sojin dengan raut wajah yang sulit diartikan, anak perempuan di hadapannya saat ini seolah mengingatkannya pada seseorang, tapi siapa? Sojin sendiri tidak tahu.

"Kita harus melaporkannya!" Kata Chanyeol terdengar mutlak dan tak terbantahkan.

.

.

"Maafkan aku.." Kata Kyungsoo sembari terisak. Karenanya Baekhyun di hukum untuk berdiri selama dua jam di halaman panti sembari mengangkat sebelah kakinya.

"Aku tidak apa-apa, Kyungsoo" Kata Bakehyun terdengar payah, kelelahan.

"Kau bisa katakan jika aku yang mencoba mengambil makanan itu, kenapa kau malah mengiyakan tuduhan Ahjumma dan bocah bertelinga lebar itu pada ibu?" Balas Kyungsoo terdengar kesal, Baekhyun selalu saja melindunginya, selalu menutupi kesalahannya.

"Berhenti menangis!" Titah Baekhyun. "Masuk dan bersihkan dirimu, ini sudah sore." Tambahnya.

"Tapi aku tidak mau meninggalkanmu sendirian disini." Kembali Kyungsoo terisak.

"Aku tidak apa-apa, hukumannya akan berakhir beberapa menit lagi. Sebaiknya kau masuk, sepertinya akan turun hujan. Cepatlah.."

Kyungsoo mengangguk, ia paling tidak bisa membantah ucapan Baekhyun. Ia berlari meninggalkan Baekhyun yang semakin kesusahan menyeimbangkan tubuhnya yang hanya ditopang oleh satu kaki.

Dan setelahnya hujan turun, membasahi tubuh mungil Baekhyun yang tetap berdiri menjalankan sisa waktu hukumannya.

"Kau bahkan bukan pahlawan, kenapa malah membelanya?" Suara dingin itu kembali menyapa indera pendengaran Baekhyun, atensinya beralih pada Chanyeol yang masih dengan wajah datarnya, bocah lelaki itu berdiri di bawah payung yang melindungi tubuhnya dari air hujan.

"Karena dia sahabatku, dan lagipula kau menuduhku tadi." Sahut Baekhyun terdengar tenang, ia sedikit menyesal karena terbawa emosi ketika Chanyeol menuduhnya tadi, padahal ia hanya harus mengaku dan melindungi Kyungsoo dari hukuman bukan?

"Naif sekali." Cemooh Chanyeol seraya melipat satu tangannya di dada.

Bocah lelaki berusia dua belas tahun itu menghampiri Baekhyun dan melindungi tubuh keduanya dari air hujan dengan payung yang ia bawa.

"Jangan berbesar kepala, aku melakukan ini karena kau terlihat menyedihkan." Ucap Chanyeol cuek.

"Aku bukan pencuri" Kata Baekhyun.

"Tidak, kau tetap pencuri karena bersekongkol dengan temanmu itu." Sahutnya datar.

"Baiklah, apapun itu terserahmu." Baekhyun mengangkat bahunya.

Chanyeol merogoh saku celananya dan mengambil sapu tangan kemudian melap wajah pucat Baekhyun yang basah dengan perlahan, dihafalnya wajah gadis kecil itu baik-baik. Matanya jernih, hidungnya mancung, bibirnya merah namun sedikit pucat dan bergetar karena kedinginan. Penampilannya sedikit berantakan, rambutnya yang dikepang rumit terlihat lepek.

Chanyeol mendengus kasar.
"Aku akan pulang, simpan ini." Ucap Chanyeol sembari memberikan sapu tangannya kepada Baekhyun.
Ingin sekali ia mengatakan bahwa sapu tangan itu sebagai tanda permintaan maafnya karena telah membuat Baekhyun dihukum. Namun ia merasa tidak perlu mengatakan hal itu.

Belum sempat Baekhyun menyahut, tangan Chanyeol dengan cepat memberikan payungnya kepada Baekhyun, sedikit berlari di bawah hujan bocah lelaki itu menghampiri Sojin yang sudah berada di teras panti.

PCY

Baekhyun menelisik inisial yang tertulis di sapu tangan yang ia genggam. Gadis itu tersenyum karena ia menganggap sapu tangan itu adalah hadiah ulang tahun untuknya. Bocah lelaki berekspresi datar dan bertelinga lebar yang memberikannya.

.

.

.

"Sampaikan rasa terima kasih saya kepada tuan Park, nona." Wanita paruh baya yang bertugas sebagai kepala panti itu berucap dengan tulus kepada Sojin sesaat setelah ia mengantarkan putri tuan Park itu sampai teras panti.

"Ah tentu saja akan saya sampaikan, beliau memohon maaf karena kali ini saya yang mewakilinya untuk berkunjung." Kata Sojin terdengar ramah.

"Tidak apa-apa nona, saya mengerti kesehatan beliau sedang tidak baik."

"Kalau begitu saya mohon undur diri."

Dan setelahnya Sojin memasuki mobil menyusul Chanyeol yang terlebih dahulu masuk, bocah lelaki itu terlalu malas mendengar omelan sang ibu jika mengetahui ia basah kuyup, karenanya ia mengganti pakaiannya dengan cepat di dalam mobil.

"Kenapa rambutmu basah?" Tanya Sojin ketika mobil yang ditumpanginya mulai bergerak menjauhi area panti.

"Aku mencucinya sedikit karena kotor terkena bola." Sahutnya datar.

Sojin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang bersandar pada jok mobil di kursi penumpang, ini sangat melelahkan namun cukup menyenangkan. Setidaknya tugasnya mewakili sang ayah untuk menjadi donatur menutup hari terakhirnya di Korea dengan baik, dan sedikit mengalihkan rasa takutnya ketika bayang-bayang masa lalu itu kembali menghantuinya.

"Omma.."

"Hn.."

"Kapan kita kembali ke Amerika?" Tanya Chanyeol.

"Malam ini, pekerjaan Omma tidak bisa ditinggalkan terlalu lama." Sojin menyahut mencoba memberi pengertian, karena ia tahu Chanyeol suka berada di Korea. Namun ia sendiri tak bisa mengabaikan rasa takutnya.

"Kapan kita akan kesini lagi?" Kembali Chanyeol bertanya sedikit berharap.

"Nanti.." Jawab Sojin terdengar tidak menjanjikan, membuat harapan Chanyeol untuk bertemu kembali dengan gadis kecil itu sirna.

Namun siapa yang tahu?

Tuhan selalu bisa berkehendak lain bukan?

.

.

.

TBC

.

.

AN:
Annyeong..
aku bawa ff baru nih #Gananya #JangannanyaLandscapiadulu T.T
Okay.. Scene yang melahirkan di penjara itu terisnpirasi dari drama korea yang pernah aku tonton. Mungkin chapter pertama ini lebih menceritakan tentang masa lalu orang tua CY sama Baekhyun ya. Sejujurnya aku itu payah dalam bikin Flashback di pertengahan chapter, jadi untuk chapter pertama ini aku mulai langsung dari masa lalu yang menurutku penting sih buat jalan cerita ff ini ke depannya. Gpp dong? kan ff aku wkwkwk

Tengilnya udah keliatan ya itu bocah lelaki berusia dua belas tahun haha.

Buat Readers aku tercinta, sejujurnya panggilan thor, kak thor, min dsb itu kurang enak di denger haha gimana kalo kalian manggil aku Raisa? biar bisa ngopi bareng Uhhuukkkk #DigamparReaders

Jangan khawatir. Sesungguhnya T disini akan berubah menjadi M suatu hari nanti Hahahahaha

I want to thank My Beloved Sister 'goodgalriri'.

Thanks for the great suggestions.

And thanks for always supporting me.

I love you :*

.

So guys, mind to review?