Salvia's note : No profits taken in this story. Please no hard feeling ^^

M-Rated with no explicit sex scene. its appropriate to T+ rated;

which is contain drunk scene, disloyalty, very implicit sex scene like deep-kiss or foreplay

you've been warned, Darla :)

Lastly, reading without leaving a review/comment is criminal, duh ^^


Mark membuka matanya di pagi hari pukul tujuh. Kemudian ia mengalihkan tatapannya kepada sosok anggun yang tertidur memeluk tubuhnya dengan posisi setengah tengkurap sehingga hampir tujuh puluh lima persen tubuhnya menempel pada tubuh Mark yang telanjang.

Tunggu.

Telanjang?

Iya. Mark menemukan dirinya terbangun dengan rasa pengar –sisa mabuk semalam- yang belum menghilang, disertai tubuhnya yang telanjang bulat di bawah selimut berwarna putih itu bersama gadis yang sangat dicintainya.

Mark seharusnya merasa bahagia karena kejadian semalam, namun dia merasa bodoh; karena sama sekali tak bisa mengingat apapun yang ia lakukan bersama Jie-nya tadi malam. Sekuat tenaga pun ia tak bisa mengingatnya. Hanya kejadian dia minum berbotol-botol vodka dengan frustasi dan perasaan sakit luar biasa saja yang diingatnya.

Tak ingin kehilangan momen, akhirnya Mark memutus lamunannya secara paksa, kemudian mengelus-elus rambut gadisnya dengan penuh kasih sayang –disertai hati yang masih terasa nyeri. Beberapa menit melakukan kebiasaan yang disukai Jinyoung, membuat gadis itu terusik yang pada akhirnya membuka matanya sambil tersenyum cerah meskipun wajahnya masih terlihat sangat mengantuk. "Selamat pagi, Oppa." Sapa gadis itu riang sambil mengeratkan pelukannya di tubuh kurus berotot milik Mark lalu mengecup ringan bibirnya.

Mark hanya tersenyum kecil; representasi dari perasaannya yang tak menentu, senang atau sedih karena bayangan tentang hubungan Jinyoung dan Jaebum yang berputar secara masif dan konstan di otaknya. Kemudian dia mengangkat tubuh telanjang Jinyoung ke dalam kamar mandi lalu menjatuhkannya dengan lembut ke dalam bathup. Ia menghidupkan keran yang mengalirkan air hangat kemudian menuangkan sabun beraroma sitrus yang diklaim terbuat dari madu dan asam amino yang berfungsi untuk melembabkan kulit. Tak lupa, Mark meneteskan beberapa tetes minyak esensial rosemary yang ampuh membangkitkan semangat untuk melalui hari yang melelahkan. Mark memang selalu menyediakan semua jenis minyak esensial di kamar mandinya hanya untuk mendapatkan kualitas terbaik bagi kegiatan mandi gadisnya. "Mandilah, Sayang," –Mark mematikan keran setelah air hampir memenuhi bathup dan busanya naik penuh hingga menutupi tubuh Jinyoung sampai area dadanya– "Akan ku siapkan sarapan untuk kita." Putusnya final, kemudian pria itu memakai bathrobe warna abu-abu gelap –tanpa bersusah payah memakai pakaian dalam di bawahnya–yang tersampir di capstock, kemudian pergi ke dapur untuk membuat toast dan matcha latte instan.

.

Jinyoung tertegun.

Ia mulai merasakan –dan menerima– ketulusan kasih sayang Mark yang begitu besar kepadanya. Dadanya terasa sesak dan ia merasa sungguh menyesal. Seolah-olah dunia menghimpitnya dan memojokkannya sebagai gadis paling kejam karena mengacuhkan kasih sayang dan cinta Mark yang begitu besar dan tulus. Ia merasa sangat bersalah hingga hatinya berduri dan berdarah karena rasa bersalah yang menggumpal. Ia mengutuk perasaannya, yang mengapa begitu kebingungan tentang akhir yang diinginkannya. Ia tak akan menerima Jaebum kembali, sekuat apapun pria itu berusaha meraihnya kembali; karena kembali pada Jaebum adalah sesuatu yang mustahil–sangat mustahil, karena ia baru saja memiliki tekad untuk berjalan menuju Mark dan menggapai tangannya, apapun yang terjadi.

Karena ketulusan Mark berhasil membuka sanubari terdalamnya, bahwa cinta itu ada, dan perasaannya akan aman jika Mark yang menjaganya. Ia mulai menyadari bahwa Mark adalah sosok sempurna untuknya–dan juga hatinya. Mark yang memperlakukan layaknya seorang tuan puteri yang serapuh kaca, menyentuhnya dengan kelembutan yang menyamankan, melindunginya dengan segenap keberanian dan tekadnya. Mark adalah segala yang Jinyoung inginkan, dan ia sungguh menyesal.

Menyesal, karena membohongi Mark tentang kejadian semalam. Karena yang terjadi tadi malam tidaklah seperti apa yang terlihat di mata Mark.

Sepulangnya Jackson tadi malam, Jinyoung langsung memasuki kamar Mark kemudian membuka sepatu dan kaos kaki Mark, beserta kemeja dan celana jeansnya. lalu ketika ia hendak melepas kaos Mark, tiba-tiba terbesit ide gilanya untuk melepas seluruh pakaian pria itu hingga telanjang –dan ia pun juga menanggalkan seluruh pakaiannya– lalu membuat keadaan mereka berantakan seolah-olah mereka telah bercinta semalam. Semua itu ia lakukan karena perasaan bersalah yang menggumpal hingga membuat dadanya terasa sesak karena telah melakukan penghianatan; kepada Mark dan Yi-En.

Menghianati. Satu kata itulah yang terbesit di otak Jinyoung hingga gadis itu tak bisa tertidur hampir semalam penuh. Ia terus memikirkan pembelaan yang paling rasional dibalik ciuman intensnya dengan Jaebum, namun ia tak mendapatkan jawabannya hingga pukul empat pagi di saat matanya tak kuat lagi menahan kantuknya.

Setengah jam bergelut dengan akal untuk merasionalkan dan menghilangkan rasa bersalahnya terhadap Mark, membuat Jinyoung menggigil di dalam air hangat yang seharusnya dapat membangkitkan semangatnya itu. Setelah memukul-mukul busa tak bersalah itu karena frustasi yang menggerogoti hatinya, akhirnya Jinyoung memutuskan untuk membilas tubuhnya di bawah guyuran shower dengan suhu normal untuk menetralisir agar kulitnya tidak kering. Setelah itu ia berjalan menuju walk-in closet di kamar Mark dan menemukan satu-satunya gaun kasual yang bertengger di dalam lemari pakaian. Round neck ruffle tie-up sleeveless dress warna amber –oranye kekuning-kuningan, mini dress tanpa lengan berpotongan sederhana yang menutupi seluruh area dadanya hingga setengah bagian lehernya, yang sangat pas dipakai di pagi hari karena terlihat enerjik namun tetap elegan.

Setelah lima belas menit bergelut dengan perlengkapan rias untuk membuat kesan cantik dan segar dengan riasan minimalis, akhirnya Jinyoung keluar dari kamar Mark kemudian berjalan menuju dapur bersih dan duduk di atas kursi tinggi retro yang terlihat sangat cocok bertengger di apartemen Mark yang interiornya berdesain Industrial Loft itu.

Mark meletakkan setangkup toast dengan selai sarikaya yang lezat dan secangkir matcha latte hangat kesukaan kekasihnya tepat di depan gadis itu. "Dandanmu cepat sekali, sayang," –Mark duduk di hadapan gadis itu lalu mengendus aroma cairan kental berwarna hijau susu itu tanpa meneguknya. "Aku mandi setelah kulihat kau selesai –mandi, lalu belum sempat aku mengganti bajuku, kau sudah selesai berdandan." Katanya sambil tersenyum manis kemudian memasukkan satu gigitan toast ke dalam mulutnya.

"Apa perlu kubuatkan sup?" tawar Jinyoung dengan raut wajah khawatir ketika melihat Mark yang masih terlihat kesusahan karena pengar di perutnya. Apalagi melihat Mark memakan toast itu dengan raut wajah yang sedikit murung, membuatnya merasa khawatir. Ini adalah kali pertama Jinyoung mengkhawatirkan Mark, karena biasanya gadis itu tak pernah mengkhawatirkan prianya walau apapun yang terjadi.

Mark menggeleng pelan sambil menatap Jinyoung. "Tidak perlu, aku sudah baikan," lalu pria itu menyeruput teh lattenya. "Kau habiskan saja sarapanmu, lalu kuantar kau ke tokomu."

Jinyoung menggeleng kuat, lalu meraih tangan Mark dan menggenggamnya, membuat hati pria itu seketika mencelos dan terasa nyeri –lagi. "Aku tak akan ke toko untuk hari ini, aku ingin disini. Hari ini kau libur, 'kan?"

Seketika Mark berdiri kemudian memeluk Jinyoung dari belakang dengan erat dan sarat akan kerinduan yang membuncah. "Terima kasih, kita memang membutuhkan waktu seperti ini, Sayang." Katanya lembut kemudian mengecup pipi Jinyoung. Jinyoung tersenyum lebar, ia merasa hatinya menghangat ketika Mark memeluknya seperti ini. Rasanya begitu hangat, nyaman, dan aman. Lalu, sejak kapan Jinyoung merasakan jantungnya berdesir dan hatinya terasa sangat hangat saat Mark memeluknya seperti ini? Padahal sebelumnya, ia tak pernah merasa begini hangat dan bahagia; hanya perasaan nyaman yang ia rasakan sebelum ini. Entahlah, semuanya terasa mengalir begitu saja. Dan kini, ia mulai menikmati setiap alur dan momen yang tercipta dengan sendirinya, dan keinginan untuk menyangkal semua perasaan yang datang; seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya, sudah tak ada lagi.


Zurich, Swiss.

.

Sudah hampir seminggu ini Jackson berada di Zurich untuk mengikuti Konferensi Pengacara Pajak Sedunia yang diadakan di ballroom mewah Park Hyatt Zurich–hotel bintang lima paling populer di Zurich untuk saat ini.

Di hari keenam, saat ia akan keluar untuk berjalan-jalan mengelilingi Swiss pada sore hari, tiba-tiba ia mendapati seorang wanita langsing berambut panjang warna pirang dengan gaun voile spliced sleeveless warna razzmatazz –merah pink– yang terlihat sangat cantik di tubuhnya. Gadis itu benar-benar terlihat mewakili musim panas yang mempesona; manis, anggun, dan seksi di saat yang bersamaan.

"Senang bertemu denganmu disini, Jackson-ssi." Sapa gadis itu ramah sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Jackson berdeham kaku lalu menyambut uluran tangan gadis itu. "Apa kabar, Yi-En?"

.

.

Setelah berbasa-basi selama beberapa menit, akhirnya mereka memutuskan untuk berkeliling Swiss bersama-sama. Yi-En mengatakan bahwa ia menginap di hotel yang sama dengan Jackson sejak dua hari yang lalu, setelah ia menginap selama tiga hari di Prague, Republik Ceko. Ia sengaja menyapa Jackson di hari terakhir konferensinya agar ia tak mengganggu kegiatan pria itu.

Gadis itu terus menceritakan pengalamannya selama beberapa hari mengelilingi kawasan Eropa Tengah dengan ceria dan bersemangat. Ia menceritakan betapa mempesonanya bangunan-bangunan di Blatislava Old Town yang cantik dan melegenda di negara Slovakia, kemudian beralih ke pertunjukan tari balet yang berkelas di Vienna State Opera House yang megah, lalu pergi ke Cologne Cathedral–gereja yang bergaya gothic– dan ke tempat indah lainnya. Jackson hanya mengangguk dan meringis mendengarkan cerita Yi-En. Bukan karena ia merasa bosan, karena rasa kasihan pada gadis itu adalah gambaran yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaannya. Jackson merasa kasihan pada Yi-En yang memiliki segalanya, namun harus terjatuh pada pria berengsek yang bahkan tak bisa melupakan mantan kekasihnya yang notabene sudah memiliki kekasih baru. Ia merasa bahwa penghianatan Jaebum membuat eksistensi atas kesempurnaan hidup yang dimiliki oleh Yi-En menjadi cacat. Dan sepanjang perjalanan, Jackson merasa gamang; antara berpura-pura tak tahu apapun atau memberitahukan segalanya sebelum semuanya terlambat.

Hingga pada sepertiga malam awal, mereka memutuskan untuk minum di Heldenbar untuk melepas penat dan stres. Begitu masuk ke dalam klub, Yi-En langsung memesan California Kiss cocktail; yang terbuat dari campuran brandy california dan galliano liqueur. Setelah menghabiskannya dalam sekali teguk, gadis itu meminta sebotol Liqueur dan meminumnya langsung –tanpa sloki–dari botol kristal bening mewah berbentuk kotak tersebut. Matanya berkunang-kunang setelah ia menghabiskan hampir setengah botol minuman dengan kadar alkohol tinggi itu, namun ia tak berhenti disitu, justru ia menambah kegilaannya.

Gadis itu turun ke lantai dansa setelah meneguk habis liqueurnya tanpa sisa, kemudian bergabung dengan kerumunan manusia penikmat kesenangan dunia disana. Ia menari dengan penuh semangat dan totalitas, membuatnya mendapatkan sorakan dari para manusia penuh dosa di sekelilingnya. Hingga pada akhirnya ada sesosok pria kaukasian mendatanginya dan menari bersamanya bahkan hampir menyentuh tubuh seksinya jika saja Jackson tak mengambil alih adik kandung Mark yang mabuk berat itu.

Yi-En yang masih menari tanpa menyadari bahaya di sekitarnya itu akhirnya melakukan hal gila lagi, hal paling gila dari semua hal gila yang biasanya ia lakukan di klub.

Ia mencium Jackson.

Ralat. Bukan mencium, namun mengulum dan melumat bibir Jackson dengan penuh gairah. Ia mendominasi pria itu dalam ciumannya, bahkan kepala Jackson terasa kosong saat gadis itu menciumnya dengan begitu basah dan menggairahkan, membuat pria itu tak tahan untuk tak membalasnya, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan permainan mereka di dalam suite room hotel tempatnya menginap; yang hampir selama seminggu ini hanya digunakannya untuk beristirahat setelah konferensi, namun kini dapat ia gunakan untuk fungsi lain yang lebih menyenangkan dan tentunya panas.


Mark dan Jinyoung sudah duduk di sofa ruang tengah itu selama beberapa jam tanpa komunikasi intens yang berarti. Jinyoung sibuk mengelus kepala Mark yang bersandar di pahanya dengan lembut, menyalurkan sekaligus menyerap kehangatan prianya. Sedangkan Mark hanya memejamkan matanya dengan tangan kirinya yang mengelus tangan Jinyoung yang menganggur. "Apa kau merindukanku, Babe?" tanya Mark lembut, membuat Jinyoung menghentikan aktivitasnya. Lalu gadis itu hanya mengangguk diiringi senyum yang sangat manis.

Seketika hati Mark menghangat, mulai merasakan bahwa Jinyoung mulai berjalan menujunya meskipun saat ini di antara mereka ada tembok pemisah yang luar biasa menguji kesabaran.

Mark bangun dari posisi berbaringnya, kemudian membawa Jinyoung bersandar di dadanya. Sementara Mark mengelus rambutnya, Jinyoung menghela napas kemudian membuangnya dengan lembut. "Aku benar-benar tak ingin kehilanganmu." Bisiknya lirih hampir tak terdengar.

Mencelos. Itulah emosi yang dirasakan Mark tepat ketika gadis itu selesai mengucapkan kalimat yang sangat berarti untuknya. Lalu Mark menangkup kedua pipi gadisnya, kemudian menyatukan bibir mereka dengan lembut. Ciuman yang sarat akan cinta dan kasih sayang; yang kini tak hanya dirasakan oleh Mark, namun juga mulai dirasakan oleh Jinyoung.

.

Setelah beberapa menit menyelesaikan ciuman itu, akhirnya Mark mengajak Jinyoung untuk berbelanja bahan makanan di supermarket yang tersambung dengan pusat perbelanjaan modern sehingga Jinyoung bisa berbelanja baju atau apapun yang diinginkannya.

Mark menggandeng tangan Jinyoung ketika mereka turun dari mobil dan mulai memasuki pusat perbelanjaan itu. Mereka memutuskan untuk berbelanja baju Jinyoung terlebih dahulu, kemudian akan pergi ke supermarket setelah semua keinginan Jinyoung terpenuhi.

Mark menunggu dengan sabar di kursi tunggu sebuah toko bernama Lucky Choutte –salah satu brand asli korea yang mendunia. Jinyoung memilih pakaian untuk keperluan musim gugur untuknya dan Mark. Dia memilih dengan semangat tanpa menyadari bahwa Mark terus memandanginya sejak tadi dengan penuh cinta dan kelegaan yang melapangkan paru-parunya yang sebelumnya terasa begitu sempit dan sesak. Setelah selesai membayar dengan golden credit cardnya, akhirnya mereka meninggalkan toko itu lalu beranjak ke supermarket yang terletak di lantai dasar pusat perbelanjaan tersebut.

Saat mereka akan menaiki eskalator menuju supermarket di lantai dasar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seorang gadis yang memanggil Mark dengan akrab. Dan ketika menoleh, Mereka mendapati gadis itu tersenyum lebar, sementara Jinyoung merasakan sesak, yang tak ia ketahui penyebabnya. Gadis itu dengan tidak sopannya memeluk Mark tanpa mempedulikan Jinyoung yang berada di sampingnya. "Apa kabar, Oppa?" tanya gadis itu setelah melepas pelukan posesifnya dari Mark.

Sementara Mark merasa agak canggung dengan situasi seperti ini. Ia mengusap belakang lehernya dengan ekspresi wajah yang terlihat seperti orang yang tertangkap basah setelah melakukan suatu kesalahan. "B-Baik...kau sendiri bagaimana... er–Bam?" tanyanya agak terbata, membuat Jinyoung merasa semakin tak nyaman. Sedangkan gadis yang ternyata bernama Bambam itu hanya tersenyum dengan seringai samar. "Ah, perkenalkan... dia pacarku, namanya Park Jinyoung." Mark memperkenalkan Jinyoung kepada Bambam, lalu memperkenalkan Bambam kepada Jinyoung.

"Bambam, mantan pacar Mark." Kata gadis itu mantap, membuat Mark dan Jinyoung terlonjak dengan ekspresi wajah yang kaget dan bingung. Mark tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan gadis Thailand itu karena ia pikir Bambam tak akan pernah kembali ke Seoul setelah lulus kuliah di universitas yang sama dengannya. Sementara penyebab kekagetan Jinyoung sudah sangat jelas; seorang gadis memeluk kekasihnya lalu menyatakan bahwa ia mantan kekasih dari prianya. Dada Jinyoung terasa semakin sesak saat melihat senyuman Bambam yang terlihat seperti ancaman baginya. Senyuman yang sebenarnya sangat manis dan cantik, namun terlihat menyeramkan dan penuh ancaman di mata Jinyoung.

"Ada urusan apa sampai kau datang ke Korea lagi?" tanya Mark berusaha memecah situasi yang canggung itu. Saat ini mereka bertiga sudah duduk di sebuah kafe yang masih ada di kawasan pusat perbelanjaan tersebut.

Gadis yang ditanyai hanya tersenyum samar lalu menyedot lime citrus sodanya dengan gerakan yang terlihat elegan sekaligus arogan. "Minggu depan, aku ada pertemuan dengan beberapa orang." Katanya ringan, namun terlihat mencurigakan di mata Jinyoung. Entah mengapa, Jinyoung sangat tidak menyukai kehadiran gadis itu. Dia merasa terganggu, atau lebih tepatnya, ia takut bila gadis itu merebut Mark darinya.

Mark mengangguk paham, lalu ia berpamitan kepada Bambam setelah beberapa obrolan ringan sambil menggandeng tangan Jinyoung, mengatakan selamat tinggal pada gadis itu, lalu memeluk pinggang Jinyoung sambil beranjak dari situ. Namun sebelum mereka benar-benar keluar dari kafe itu, Bambam menginterupsi. "Oppa, bisakah kau menemaniku ke suatu tempat; sekali saja, kumohon?" Mark sedikit menoleh, dan tubuh Jinyoung mendadak kaku dengan tangan yang tanpa sengaja mengepal di kedua sisinya. Lalu saat Bambam menyusul mereka dengan senyum penuh kemenangan, tiba-tiba Mark menggelengkan kepalanya pelan, sebagai tanda bahwa dia menolak permohonan Bambam. Lebih tepatnya, ia menolak presensi Bambam, karena Jinyoung saja sudah sangat cukup –lebih dari cukup– baginya. Bambam ada di angka nol dan Jinyoung ada di angka seratus jika mereka berada dalam skala rasio yang sama.

Namun penolakan Mark tak membuat Bambam menyerah, ia justru menyeringai lebar yang terlihat menakutkan dibalik wajah cantik dan sensualnya.


Jackson terbangun dari tidur nikmatnya semalam. Ia mengusap matanya, kemudian menemukan sosok gadis yang terbalut bathrobe hotel warna putih yang bersandar di kepala ranjang dengan tatapan yang menerawang jauh. Seketika itu juga hati Jackson mencelos; merasa bersalah karena meniduri adik temannya sekaligus tunangan seseorang. Ia merasa bodoh, karena tergoda oleh orang yang seharusnya ia anggap sebagai adiknya sendiri, seperti layaknya Jinyoung.

"Jackson-a." Gadis itu menyebut nama Jackson dengan nada mengambang yang membuat kepala Jackson semakin pusing. Tanpa panggilan honorifik, apa maksud gadis itu memanggilnya dengan panggilan tak formal?

Di saat ia terjebak dalam lamunan payahnya, tiba-tiba ia mendapati gadis itu menatapnya dengan sorot mata yang sulit didefinisikan. "Kau tak perlu merasa bersalah, bukankah kau sudah sering melakukan hal seperti ini, hm?"

Jackson semakin merasa bersalah. Lidahnya terasa kelu, ia ingin berteriak dan menjelaskan bahwa semua ini salah; meskipun pada faktanya ia memang berengsek karena meniduri wanita yang berbeda setiap malam, tapi meniduri saudara kandung temannya merupakan pantangan baginya. Namun semuanya sudah terjadi karena wajah penuh dosa Yi-En yang terlihat begitu menggairahkan hingga mau tak mau membawanya ke dasar neraka jahanam semalam. Pria itu memukul-mukul kepalanya lalu mengusap kasar wajahnya; tanda bahwa ia frustasi dan menyesal.

Lagi-lagi Yi-En membuyarkan lamunannya. Gadis itu menyentuh tangan Jackson kemudian membawanya ke paha mulusnya yang tertutup bathrobe, membuat Jackson menelan ludahnya dengan susah payah. "Bukan hanya kita yang berkhianat, Jaebum pun melakukannya, 'kan?" Jackson tersedak ludahnya sendiri. Ia merasa bahwa kalimat Yi-En barusan tak ubahnya seperti sebilah belati yang siap mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang pria yang selalu menjunjung tinggi rasionalitas di atas kepalanya. Ia mengutuk perbuatannya semalam yang irrasional, dan ia mengutuk kecerdasan seorang Yi-En yang tak terduga.

Jadi... ini semua rencana Yi-En? Tapi untuk apa?

Jackson menghembuskan napas. Pasrah tanpa syarat dengan semua permainan yang disusun oleh Yi-En. Lalu ia menarik tangannya yang tersampir di paha gadis itu kemudian mengecup pipi gadis itu; bersikap seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih. Lalu dia membawa kepala Yi-En dan menyandarkan di dada bidangnya yang telanjang. "Jadi, sejauh apa kau tahu?" tanyanya –berusaha– santai.

"Semuanya," jawab gadis itu ringan, namun terdengar pahit di telinga Jackson.

Lalu gadis itu mulai mengusap perut Jackson, membuat Jackson mati-matian menahan gejolaknya. "Sebanyak apa yang kau tahu, Jackson-a?" tanyanya dengan jari yang bergerak pelan menggambar lingkaran imajiner di perut seksi milik pria itu.

Jackson berdeham. Akalnya kepayahan untuk menolak godaan yang tersaji di depan matanya karena sesuatu yang lembut menabrak dadanya yang keras. "A-aku tahu s-semuanya, bahkan seperti apa perasaan Jinyoung dan Mark," –lagi-lagi Jackson menghembuskan napas– "Lalu, sejak kapan kau tahu tentang mereka?"

Yi-En mulai mencumbu leher Jackson, hampir membuat pria itu kehilangan rasionalitasnya –lagi. "Aku hanya tahu kalau mereka memasuki apartemen milikku dan Jaebum."

Jackson melepaskan cumbuan Yi-En, memberikan jarak untuk mereka. Dadanya terasa nyeri karena membayangkan sedalam apa rasa sakit yang dialami oleh Yi-En karena perbuatan tunangannya hingga gadis itu frustasi dan berbuat senekad ini. "Kau memasang cctv atau semacamnya di apartemenmu?" Jackson hanya ingin memastikan bahwa hal ini cukup aman untuk Jinyoung, karena jika Yi-En tahu dari sesuatu yang lain maka–

"Aku mendapat kiriman foto mereka dari orang kepercayaan ayahku di Korea."

–Jinyoung berada dalam bahaya.

Setidaknya itulah yang ada di pikiran Jackson saat ia mengetahui jawaban Yi-En yang membuat hatinya mencelos;nyeri. Orang-orang yang berkecimpung di dunia bisnis seperti Jackson pasti paham benar akan segala resiko yang ditimbulkan oleh sebuah kata sederhana yang memiliki akibat yang kurang-lebih menyeramkan, yaitu 'penghianatan'.

Dan dada Jackson terasa semakin sesak saat ia mendapati Yi-En tersenyum dengan seringai tipis yang mengagumkan. "Sebenarnya aku punya rencana sendiri, dan–ya, kuharap ayahku tak ikut campur," Gadis itu menunjukkan mimik wajah menyesal yang dibuat-buat; namun ekspresi itu lebih tepat digambarkan sebagai ekspresi kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Yi-En sama sekali tak cocok untuk memasang tampang jahat, omong-omong. "Aku ingin melihat apakah aku berharga untuknya atau tidak, dengan memanfaatkan dirimu," –ia menatap Jackson dengan raut wajah memohon– "Sesampainya di Korea, katakan kepadanya bahwa kita berkencan, oke?"

Jackson tersentak sambil menggeratakkan giginya. "Kau gila?! Bagaimana kalau dia malah berlari ke Jinyoung?! Apa kau tidak mempedulikan perasaan Mark?! Atau bagaimana dengan perasaanmu sendiri?! Bagaimana jika Jie meninggalkan Mark?! Mark bisa hancur!" serunya penuh amarah, namun gadis itu tetap tak bergeming.

Yi-En mengulas senyum misterius, yang membuat kepala Jackson semakin berdenyut sakit. "Cinta akan menemukan jalannya sendiri, Jackson-a."

Lalu tanpa memberikan waktu bagi Jackson untuk menjelaskan analisis-analisis dari segala hipotesisnya, tiba-tiba Yi-En menerjang bibir Jackson dan menjatuhkannya ke dalam surga yang panas, sekali lagi.


Jinyoung terduduk lesu di kursi kerjanya. Ia memegangi ponselnya dengan gamang. Kejadian beberapa hari yang lalu; momen bertemunya Mark dan mantan kekasihnya, membuat jantung Jinyoung teremas setiap kali memikirkannya. Ia merasa terkutuk. Mengapa di saat ia mulai terbuka, pun membuka hati untuk Mark, mantan kekasih prianya harus datang dan mengganggu hubungan mereka. Jinyoung mengumpati dirinya sendiri yang menjadi lemah ketika perasaannya sudah lebih dalam. Jinyoung membenci dirinya karena ia bisa mencintai lagi, sementara ia sudah bertekad untuk tak jatuh cinta pada pria manapun seumur hidupnya. Ia membenci dirinya yang takut kehilangan Mark dan kasih sayangnya, sementara ia selalu meyakinkan dirinya bahwa tak apa jika sewaktu-waktu Mark pergi darinya dan meraih tangan gadis lain.

Ia sudah berusaha keras untuk membangun benteng pertahanannya, namun semua itu runtuh karena ulahnya sendiri; perasaan bersalah yang menggerogotinya, lama-kelamaan berubah menjadi perasaan cinta yang baru ia sadari sekarang.

Jinyoung menyesal, karena ia jatuh cinta lagi. Perasaan yang sama seperti yang ia rasakan pada Jaebum dulu, yang kini beralih kepada Mark. Jinyoung takut –sangat takut– jika Mark meninggalkannya; sama seperti Jaebum yang meninggalkannya dengan begitu kejam. Ia tak siap untuk menyambung hatinya yang patah untuk ketiga kalinya, jika itu memang terjadi. Ia tak yakin bisa bertahan hidup jika Mark tak mempedulikannya lagi seperti Jaebum yang dulu dengan mudahnya mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja meskipun mereka berpisah.

Lalu Jinyoung benar-benar merasa kesulitan bernapas ketika sesosok pria tampan dan berpostur tegap menghampirinya dengan senyum cerah. "Jie, mari kita makan malam."

Jinyoung menatap Jaebum dengan sorot mata tajam penuh antisipasi dan kemarahan. Lalu sebelum ia sempat menjawab ajakan itu, Jaebum melanjutkan, "Untuk mengakhiri semuanya, aku berjanji," Jinyoung tak menunjukkan reaksi apapun dan masih mempertahankan ekspresi marahnya, membuat Jaebum menghembuskan napas. "Aku berjanji, setelah ini, kita bisa bersikap seperti orang yang tak saling kenal, Percayalah," Pria itu berniat untuk meraih telapak tangan Jinyoung, namun ia urungkan, lalu ia putuskan untuk membalik badannya dan berjalan menjauh, setelah sebelumnya menentukan jadwal makan malam mereka. "Minggu depan, kujemput di apartemenmu pukul delapan."

Dan pada akhirnya, janji yang diucapkan oleh Jaebum selalu dipercayai dan dimaknai oleh Jinyoung. Jinyoung tak ingin percaya, namun pada akhirnya ia mempercayai lalu mengiyakan; bahwa setelah makan malam itu, mereka benar-benar tak akan saling mengenal dan akan bersikap layaknya orang asing, sebelum semuanya terbongkar dan menjadi masalah besar.


Backless sphagetti strap dress; mini dress warna hitam terbuat dari bahan velvet yang berbelahan dada rendah dan memperlihat kemulusan punggungnya, adalah gaun yang dipakai Jinyoung untuk makan malam bersama mantan kekasih yang sebentar lagi akan benar-benar ditinggalkannya. Ia menggelung rambutnya dengan elegan sehingga leher jenjangnya semakin terlihat menawan. Tak lupa ia menyandang clutch dan stiletto cantik sebagai penyempurna penampilannya; semuanya berwarna hitam elegan.

Dan ia sudah siap ketika seorang pria sangat tampan dengan suit warna hitam tak terlalu formal yang membungkus tubuh gagahnya, berdiri di depan pintu apartemennya dengan senyum manis yang menghanyutkan. Jinyoung membalas senyum itu dengan kaku, lalu berjalan beriringan menuju mobil mewah milik pria itu.

Four Season Hotel Seoul –hotel mewah dengan rating tertinggi saat ini, adalah tempat dimana Jinyoung dan Jaebum makan malam untuk pertama dan terakhir kalinya–setelah mereka dipertemukan kembali. Mereka berjalan menuju International Cuisine Restaurant yang terletak di lantai lima hotel tersebut tanpa banyak bicara karena keheningan adalah pilihan terbaik untuk dua orang yang akan benar-benar berpisah meskipun keduanya tak benar-benar terlibat dalam sebuah hubungan yang terlarang.

Sesampainya mereka di depan pintu restoran itu, Jaebum menawarkan lengannya untuk diapit oleh tangan kecil Jinyoung, dan Jinyoung menerima tawaran itu; karena hal itu sudah seperti aturan tidak tertulis untuk acara makan malam formal antara seorang pria dan seorang wanita. Mereka berjalan beriringan setelah mereka saling menatap satu sama lain dengan senyum kecil yang maknanya hanya dapat ditelaah oleh diri mereka masing-masing.

"Aku sudah memesan restoran ini hanya untuk kita agar kau merasa nyaman, namun ternyata masih ada pasangan lain yang memesan di hari yang sama–jadi, ya–" Jaebum berusaha menghilangkan ketakutan Jinyoung atas kemungkinan yang mungkin terjadi jika Mark menangkap basah mereka. "Tapi kau tenang saja, pihak restoran mengatakan bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang sudah tua." Katanya meyakinkan; membuat Jinyoung melepas senyum kelegaan, karena tak dapat dipungkiri bahwa dia merasa was-was apabila langkah terakhirnya untuk melepaskan Jaebum secara utuh ini akan berantakan jika Mark yang sudah dicintainya ada disana lalu membuat segalanya menjadi berantakan.

Setelah disambut oleh beberapa pelayan di restoran berkelas itu, mereka mengikuti salah seorang pelayan menuju meja yang telah dipesannya. Dan beberapa langkah sebelum mereka sampai, tiba-tiba mata Jaebum menangkap sesuatu yang benar-benar membuatnya terkejut–luar biasa terkejut. Saking terkejutnya, ia mematung di tempat, membuat Jinyoung mau tak mau menghentikan langkahnya mengikuti ritme kaki Jaebum.

Sama halnya dengan Jaebum, ia pun terkejut. Lebih dari itu, Jantungnya terasa teremas hingga rasanya sakit sekali, bahkan rasa sakitnya menjalar ke otot-otot kakinya hingga nyaris membuat kakinya lemas tak berdaya.

Siapa yang tidak terkejut? jika di sebuah meja yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri terpaku, ada sepasang manusia yang menatap mereka tatapan yang berbeda. Tatapan wanita itu terlihat arogan dan penuh kepuasan, sedangkan tatapan pria di depannya, begitu sulit untuk diartikan.

Pria itu duduk berhadapan dengan seorang gadis; yang dikenali Jinyoung sebagai Bambam, di meja makan yang dihias seromantis mungkin, yang seharusnya meja itu untuk empat orang namun entah mengapa hanya diduduki oleh mereka berdua. Tatapan pria itu begitu membingungkan untuk dideskripsikan, bahkan oleh nalar Jinyoung maupun otak cerdas luar biasa milik Jaebum.

Tatapan itu menggambarkan kemarahan namun memantulkan rasa bersalah yang begitu besar di saat yang sama. Dan tanpa menunggu lama, Jaebum menghampiri mereka dengan tangan yang memegang pergelangan Jinyoung dengan erat.

"Apa yang kau lakukan disini, Mark?!"

To Be Continued?


Hallo para kesayanganku, terima kasih untuk review di chapter sebelumnya yang sangat manis sampai bikin Salvia bahagia dan senyum-senyum sendiri. Sumpah, Seriusan! I love you to the moon back and back again emuach :*

Dan maafkeun, belum bisa balas review kalian satu-satu, tapi percayalah, review kalian bener-bener bikin aku semangat buat lanjut di tengah-tengah kesibukanku :)

Jadi, please leave a review, jika kalian ingin ff ini dilanjut lebih cepat; setidaknya lebih cepat dari ffku yg lain [karena salvi juga lagi nulis ff chaptered di situs lain, dan dapet ide baru lagi. Yah, inilah penyakit seorang author. Harap maklum dan semangatilah hehe]

So, review Juseyo. Saranghae :*

And big thank for you, yang udah nge-fav ataupun nge-follow ff ini. Gomawo!

Sincerely,

.

Salvia Im