Kala itu langit sore sedang cerah. Awan kumulus putih, lalu diatasnya awan sirus berjalan beriringan pelan. Warnanya terlihat berkilau keemasan karena matahari di ufuk barat menyinarinya.
Suara murid-murid sekolah menengah pertama yang masih mengikuti kegiatan klub di lapangan. Seperti sepak bola. Dan dari menengah atas pun juga. Mereka sedang berlatih base ball.
Ya, sekolah ini terdiri dari sekolah menengah pertama dan menengah atas dalam satu kawasan. Gedungnya yang besar dan luas, terdiri dari empat tingkat, dan paling atas adalah atap yang masih bisa dipijaki. Pinggirnya dibatasi pagar yang tinggi dan sebagian terdapat karat juga lumut yang menempel di sela-sela batas lantainya.
Dan situ lah, seorang gadis berdiri sambil melihat kegiatan di lapangan. Sesekali dia menatap lurus ke depan. Sebuah pemandangan matahari perlahan terbenam di balik pegunungan. Yang ia lakukan hanyalah menghela napas, seolah banyak sekali beban di pikirannya. Rambut potongan bob itu berkibar terkena hembusan angin. Warnanya yang coklat terang, bersinar seperti emas karena diterpa cahaya matahari.
Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi dia tidak bisa menahan rasa dingin yang menyelimuti lututnya. Setelan seragam pelaut lengan panjang dengan rok selutut belum cukup mengusir rasa dingin sore hari. Seragam terkutuk, katanya. Dia benci memakai rok yang mengembang seperti ini jika terkena angin. Dia iri pada mendiang ibunya yang dahulu, saat masih sekolah roknya mencapai mata kaki, tidak terasa dingin sama sekali.
Lalu terdengar suara deritan pintu dibuka. Gadis itu terkejut. Ada orang yang datang ke atap. Seorang remaja laki-laki bertubuh tinggi berjalan menuju ke arah ia berdiri. Gadis itu terlihat waspada. Tapi laki-laki itu malah tertawa.
"Ahahaha. Hei, jangan menatapku seperti itu. Seram sekali. Eh… kau murid SMP?"
Gadis itu tidak menjawab.
Lelaki yang mempunyai rambut ikal coklat tua itu duduk bersandar di pagar. Dia mendesah, "Ah, lelahnya…"
Almamater merah disingkap ke bahu kanannya. Dia mengambil botol air mineral dari tas dan meminumnya.
"Tidak pulang? Sudah sore lho," katanya.
"Kau sendiri?" gadis itu balik bertanya.
"Ahahaha, aku habis mengikuti kegiatan klub kendo, aku terlalu capek untuk pulang jadi ke sini saja cari angin."
Gadis itu menutup hidungnya, "Pantas kau bau,"
"Heiii kejaaam!"
Mereka terdiam. Kehadiran laki-laki itu membuat gadis itu merasa risih. Tapi entah kenapa dia ingin berlama-lama di atap.
Laki-laki itu melihat dasi yang dikenakan gadis itu, warnanya merah.
"Kau kelas tiga? Wah, berarti… kita sama-sama akan berjuang ya?" tanyanya.
Sang gadis tidak mengerti, dia mengerutkan dahinya, "Sebentar lagi kita mengikuti ujian kelulusan. Aku akan melanjutkan pendidikan ke universitas, dan kau akan masuk SMA. Oh, kau akan masuk SMA di sini? Atau ke daerah lain?"
"Apa urusanmu?"
Laki-laki itu tertawa. Tawaannya sangat aneh, si gadis tidak menyukainya. Berisik.
"Kau itu dingin sekali ya… haha, maaf jika kehadiranku mengganggu. Tapi… aku sangat menyukai tempat ini," ucapnya, sambil mendongak ke atas.
Si gadis mengikutinya. Matanya melebar, ketika ia melihat langit seolah seperti terbelah dua. Sisi timur mulai gelap dan beberapa bintang mulai terlihat, dan di sisi barat masih disinari matahari yang semakin keemasan namun mulai menggelap juga. Angin berhembus lagi. Surai mereka berkibar lembut, mengikuti arah angin.
Si gadis itu menatap laki-laki yang duduk di kanannya. Dia masih menatap langit. Iris matanya yang sebiru laut dalam, namun terlihat bersinar seperti hamparan bintang di langit malam. Wajah yang tak menunjukkan rasa kesedihan. Hanya ada senyum lebar menghiasi wajanya. Berbeda sekali dengannya. Diam-diam, dia terpesona dengan wajah lelaki itu.
"Hei!"
Suara lantangnya memecah lamunan si gadis. "Hah- ….ya?"
"Ahahaha, kau melamun ya? Ahahaha! Kau bisa kerasukan nanti. Hmm, sepertinya kau sedang ada masalah ya?"
Pertanyaan yang sangat tepat.
"Ti…tidak!" jawab gadis itu.
Laki-laki itu tertawa lagi, "Yah, atap sekolah ini memang asik sih untuk tempat menyendiri. Apalagi kalau lagi ada masalah. Aku sering melakukannya."
"Berarti kau sedang ada masalah?" tanya gadis itu.
"Tidak, tidak juga. Kan sudah kubilang, aku hanya ingin melepas lelah di sini sejenak," jawabnya.
Laki-laki itu menatapnya sambil tersenyum. Dia berdiri dan menjulurkan tangan kanannya.
"Mau melihat bintang bersamaku? Setelah ini kita pulang bersama."
IKATAN
Fanfiction by: Chikara Hoshi
.
.
.
Gintama ( Hideaki Sorachi )
.
.
.
[Slice of Life, Romance, Tragedy, sedikit komedi. Warning: AU, OOC, OOT, typo, gaje, konten dewasa]
Don't like, don't read
.
.
.
"Hah!"
Mutsu membelalakkan matanya. Tubuhnya terasa kaku dan nafasnya terengah-engah.
"…mimpi?" gumamnya.
Tangan kirinya terasa berat. Ia terkejut, suaminya tertidur dengan tangan yang menggenggam tangan kirinya. Pria itu –Sakamoto tertidur sambil mendengkur. Dengkurannya keras.
Pasti dia sangat kelelahan, pikir Mutsu. Dia membelai kepala Sakamoto dengan lembut. Ini baru pukul dua pagi. Matanya masih terasa perih dan mengantuk. Tetapi dia tidak bisa tidur. Dia ingat ini masih di rumah sakit.
Pikirannya masih memenuhi mimpinya yang tadi. Seorang gadis dan laki-laki yang memakai seragam sekolah. Berdiri di atap bersama melihat langit malam dipenuhi bintang dan bimasakti yang terlihat jelas. Sangat indah.
Ia merasa matanya seperti tidak bisa berkedip. Apa itu barusan? Apakah itu hanya sebuah mimpi? Apakah itu potongan masa lalunya? Mutsu bertanya-tanya. Semakin memikirkannya, kepalanya terasanya nyeri. Dia meringis kecil.
Sebuah mimpi yang menceritakan pertama kalinya mereka bertemu…
Apa itu sebuah mimpi…
Atau kenyataan…
Dia masih belum mengetahuinya.
"Terima kasih atas semuanya," ucap Sakamoto. Dokter mengangguk. "Jika terjadi sesuatu, cepat datang ke sini lagi."
Ya, pagi ini Mutsu diperbolehkan pulang. Maka dari itu Sakamoto mengambil cuti nya lagi. Makhluk kepala sekolah ungu itu juga sudah mengizinkannya. Dia memaklumi hal tersebut.
Sakamoto tidak membawa mobilnya, jadi dia memanggil taksi untuk pulang ke rumah. Dia menuntun Mutsu masuk ke dalam taksi.
"Kita akan pulang ke rumah," bisik Sakamoto. Dia menyunggingkan senyum.
Mutsu hanya mengangguk. Dengan gugup, dia menyandarkan kepalanya ke bahu Sakamoto. Dia memerhatikan jari-jarinya yang digenggam erat oleh lelaki di sampingnya. Mobil berhenti karena lampu merah. Mutsu gemetar ketika ia melihat ke depan, di mana orang-orang menyebrang. Entah mengapa pikirannya kacau, dia membenamkan wajahnya di dada Sakamoto.
"Kenapa?"
Dia hanya menggeleng.
Sakamoto sadar apa yang Mutsu lihat tadi, jadi dia biarkan Mutsu memeluknya.
.
.
.
"Yaaa! Akhirnya pulang ke rumah. Ahahaha! Aku kangen sekali!" seru Sakamoto. Dia menenteng koper berisikan pakaiannya dan Mutsu selama di rumah sakit. dia melihat Mutsu yang sedang melihat sekeliling isi rumah. Wajahnya terlihat bingung.
"Ini… rumah kita?"
Sakamoto tersenyum tipis, "Ya… Oh, kamu duduk dulu di sofa, atau ikut aku ke kamar?"
"Ikut… aku ingin ganti baju," katanya.
Mereka menaiki tangga menuju kamar. Mutsu berjalan di belakang Sakamoto. Dia masih memikirkan mimpinya semalam. Apa itu benar-benar mereka di masa lalu? Dia memegang kepalanya. Lagi-lagi terasa sakit. Sakamoto yang sedang memutar kenop pintu kamar seketika kalap. Dia sangat panik.
"Kamu kenapa? Sangat sakit?"
Mutsu tersenyum kecil, "Ya ampun…. Kamu terlalu khawatir. Aku tidak apa-apa kok," ujarnya.
Sakamoto meletakkan koper di samping lemari. Dai menuntun Mutsu dan membaringkannya di kasur. Dia membuka gorden dan jendela. Angin musim panas mengalir masuk ke dalam. Terasa angin tertiup ke dalam.
"Kamu istirahat dulu. Wajahmu pucat. Akan kuambilkan roti ya?"
"Tidak. Aku tidak ingin makan. Nanti saja,"
Sakamoto duduk di pinggir kasur, dia meletakkan bahu tangannya di dahi. Tidak terlalu panas. Mungkin dia hanya kelelahan saja, pikirnya. Laki-laki itu tersenyum.
"Jangan paksakan dirimu untuk mengingat sesuatu,"
Mutsu tertawa kecil, "Kok tahu?"
"Ya tahu lah."
Mata coklat itu menatap mata biru di depannya. Melihatnya dalam. Dia teringat apa yang ia lihat di dalam mimpinya. Mata yang sama, tidak pernah melepas pandangannya pada dia yang di depannya. Dengan senyuman yang selalu terpatri di wajahnya.
"Sakamoto…" panggilnya pelan.
"Hm-mm?"
Mutsu meraih pipi lelaki itu dan mengelusnya pelan. "Aku ingin ceritakan sesuatu,"
"Ceritakan saja. Oh, sebaiknya… kamu panggil aku Tatsuma saja. Namamu kan juga Sakamoto."
Mutsu tersenyum, dia terkikik kecil, "Baiklah. Tatsuma, apa sebuah mimpi itu… sesuatu yang telah terjadi… atau hanya imajinasi kita saja?"
Sakamoto memicingkan matanya. Dia memegang tangan mungil Mutsu yang masih berada di pipinya.
"Entah. Mungkin… bisa jadi keduanya. Memangnya kenapa? Apa kamu bermimpi sesuatu?"
"Iya," jawabnya singkat.
"Apa itu?"
Mutsu menggeleng, dia terdiam cukup lama.
"Tatsuma… aku lelah. Kupikir aku akan tidur sebentar saja. Kurasa, aku belum yakin untuk menceritakannya," ujar Mutsu.
Sakamoto menghela napas pelan, "Ya, istirahatlah."
Dia menarik selimut, dan mengecup keningnya.
Sakamoto berbisik lagi,
"Maaf."
Juli, 2006
…
"Indah…"
"Iya kan?"
Dia tertawa lagi.
Aku memerhatikannya sedari tadi.
Berisik sekali. Tapi, entah mengapa aku merasa tenang. Sedikit. Dan melanjutkan melihat pemandangan yang luar biasa di hadapanku.
Gugusan bintang-bintang di galaksi besar, di mana kami tinggal di dalamnya.
Bima Sakti.
Dia menunjuk kepada sebuah bintang yang paling terang.
"Lihat yang paling terang itu. Itu adalah Vega. Si bintang tercerah…yang cerdas," ucapnya.
Lalu jarinya turun, menunjuk sebuah bintang terang namun ukurannya kecil, "Itu Deneb. Angsa putih nan cantik, konon katanya tarian angsanya memikat dewa-dewi,"
Dan berpindah lagi ke arah kanan, jarinya membentuk sebuah segitiga.
"Yang terakhir Altair. Bintang yang paling kuat. Dia diartikan sebagai elang, pelindung bagi kedua sahabatnya, Vega dan Deneb. Mereka adalah segitiga musim panas."
Aku hanya mendengarkannya sambil melihat bintang yang ia tunjuk. Langit semakin menggelap, dan gugusan bintang-bintang semakin banyak dan membentuk seperti kabut. Ya, itu Bima Sakti. Langit benar-benar cerah, hingga fenomena yang belum kutemui sebelumnya sangat menakjubkan seperti ini. Aku yakin, jika laki-laki di sampingku itu melihatku sambil nyengir.
"…Dan kau pasti sudah tahu kisah cinta Orihime dan Hikoboshi, bukan? Mereka terpisah, lalu si angsa Amanogawa mempertemukan mereka," lanjutnya.
"Aku tidak mengerti," gumamku. Dia tertawa lagi.
"Kau benar-benar menyukai bintang?" tanyaku.
"Iya. Karena, ruang angkasa itu tenang. Di sana… jika aku berada di sana, aku akan tenang dan nyaman. Bahagia setiap detik jantungku berdetak, dikelilingi bintang-bintang yang bersinar. Lalu menjelajahi planet."
Dia berceloteh panjang. Aku tercengang mendengarnya. Aku merasa, ada sesuatu yang telah terjadi padanya. Karena kulihat sorot matanya mulai layu.
"Oh… aku tidak bertanya alasannya, Kak. Tapi, keinginanmu itu bagaikan wasiat sebelum kau mati. Kau ingin abu mu dibuang ke ruang angkasa. Aku bisa lihat. Isi hatimu itu menyedihkan,"
Dia menggertakkan giginya, dia menatapku sewot, "Haaah!? Hei kata-katamu itu pedas banget sih! Apa salahya aku memberi tahu alasannya? Oh, bisakah kau jaga lidah tajammu, nona? Kau hampir memotong hatiku sekaligus nyawaku, dasar bodoh."
Aku hanya tersenyum mengejek, "Kau sendiri mengatai orang yang baru kau temui itu bodoh, dasar bodoh."
Kami terdiam. Lalu melanjutkan kembali menatap langit. Eh, kalau dipikir lagi, kok aku da laki-laki itu bisa langsung akrab? Padahal harusnya aku bisa mengusirnya sebelum dia berada di sampingku.
Tapi, mungkin jika dia tidak datang, aku akan terus mendesah dan melamun. Mungkin benar aku akan kesurupan, karena berdiam diri di tempat tua ini. Dan mungkin, jika ia tidak datang, aku tidak menyadari adanya langit seindah ini, dan tidak mengenal segitiga musim panas; Altair, Vega, dan Deneb yang ia jelaskan tadi.
Secara tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku menjerit.
"Apa-apaan sih!"
"Ini sudah pukul enam lewat. Kau tidak mau pulang? Lihat, gerbangnya sudah ditutup tuh!"
"Kau pikir ini salah siapa, hah?!"
Aku dan dia berlari menuruni anak tangga. Dia terlihat waspada, dan menyuruhku menunduk ketika penjaga sekolah lewat dengan tatapan heran seperti mencari sesuatu seperti pencuri.
"Aku malas ditanya-tanya olehnya," bisiknya. Aku menggerutu.
"Ehm… namaku Sakamoto Tatsuma. Siapa namamu?"
Sekarang kita berdua sudah sampai di halaman belakang. Ada lubang cukup besar di pojok pagar tembok. Dia menyuruhku keluar lewat situ.
"Mutsu… panggil saja begitu."
Aku keluar dengan mudahnya. Dan dia sedikit kesusahan, dan meraih-raih rumput untuk menarik tubuhnya keluar.
"Mutsu? Hmm oke. Eh, bisa kau tarik tanganku?"
Aku meraih kedua lengannya, dan menariknya keluar.
"Wow, tak kusangka. Kau cukup kuat juga ya, hahaha!"
"Berhentilah tertawa," ucapku gusar.
Aku berjalan di samping kirinya.
Jalanan sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Dan samar-samar suara klakson kereta berbunyi nyaring.
"Hei…Mutsu. Sepertinya, yah… ini hanya perasaanku saja sih. Sepertinya kita berdua sedang ada masalah ya?" tebaknya.
"Mana kutahu. Aku baik-baik saja."
"Wajahmu terlihat sedih,"
"Kau juga."
Kami berhenti di pertigaan. Di depan kami –palang pembatas kerta api tertutup. Suara bel nya berbunyi lagi.
"Bisa kau ceritakan?" tanyanya.
Aku menatapnya tidak yakin, "Kata orang tua ku, aku tidak boleh menceritakan masalah pribadi kepada orang yang tidak dikenal."
"Ahahaha!"
Kereta melintas dengan cepat.
"Kau itu sengaja mendekatiku hanya untuk modal dusta saja kan?" tuduhku.
"Ahahahaha! Mana mau aku cari gebetan anak SMP. Gak level… dadamu juga rata."
Aku menendang betis kanannya, dan dia meringis kesakitan. Palangnya terbuka. Aku segera lari untuk menyebrang. Dia menyusul, lalu berhenti mengarah ke gang sebelah kanan.
"Sayang sekali kita berpisah di sini. Rumahku menuju arah ini. Kalau begitu… hati-hati di jalan ya!" ucapnya sambil melambaikan tangan.
Aku membalasnya dengan membungkuk sebagai ucapan terima kasih. Lalu aku memerhatikan dia berjalan, hingga punggungnya tak terlihat lagi oleh mataku.
"Sakamoto Tatsuma…ya?"
To Be Continued
Yhaaa akhirnya balik juga ke fanfik ini wkwk. Kejam banget ya, baru dilanjutin. Iya, authornya emak pe'ak! Pukulin aja rame-rame wkwk.
Karena sedikit lagi authornya sibuk karena kuliah /cieh mahasiswa ceritanya hahahaha/ saya akan hiatus untuk beberapa bulan. Jadi, ya mohon maaf kalau kelanjutan ceritanya bakal lebih lama. Hiks…
Jadi… sbelum memulai kegiatan kuliah, Hoshi update satu chapter buat kali ini. Jadi ceritanya yang part terakghir di Juli 2006 itu flashback masa sekolahnya Sakamoto sama Mutsu. Gak penting sih sebenarnya, tapi berkaitan sama mimpinya si Mutsu. Yah begitulah, aku gak bisa berenti mikirin part terakhirnya sampe kebawa mimpi sendiri hahaha. Semoga suka ya sama chapter kali ini XD
Kritik dan sarannya ditunggu~
