Karma: You are the Poison in my glasses

.


Sebenarnya harusnya fanfic ini cuma oneshot, tapi ada yang request lagi.. sooo, i made an extra bonus for you guys^^

Hope you enjoy it, and please RnR!

Warning: I didn't own Assassination Classroom and this fic might be OOC.

.

.

.


Akabane Karma awalnya menyangka bahwa ia akan menjalani masa SMAnya dengan membosankan di Kunugigaoka. Selama tiga tahun hidup tanpa gairah di masa SMA yang seharusnya berwarna.

Akan tetapi, ia tahu ia memiliki harapan untuk hidup lebih berwarna ketika mendengar desas-desus akan ada murid pindahan baru besok pagi.

"Aneh sekali, ya, masa' dia pindah di tahun terakhir begini?"

Celetukan Nagisa itu tidak Karma hiraukan karena ia sibuk berpikir dan memanjatkan do'a serta guna-guna. Berharap murid baru itu gadis cantik berkacamata. Atau gadis seksi berkacamata. Atau gadis imut berkacamata.

Apapun itu, ia harus memakai kacamata!

Iya, benar. Akabane Karma memiliki obsesi tersendiri terhadap kacamata—dan hampir semua murid di Kunugigaoka yang berkacamata ia dekati—minus untuk para cowoknya.

Hanya saja, kepribadian mereka semua sama saja. Selalu terpana akan ketampanan Karma dan menerimanya dengan mudah. Karma tidak menyukai itu. Para perempuan itu terlalu mudah!

Esok harinya, ia berangkat ke sekolah seperti biasa—jalan kaki dengan Nagisa karena rumah mereka berdua dekat dari sekolah.

Nagisa meminta Karma menaminya sebentar ke ruang guru, dan Karma menunggunya di lorong yang letaknya agak berjauhan. Alasannya, ia takut bertemu dengan guru BP.

Kenapa?

Karena kemarin ia habis menaruh katak di seluruh tas perempuan di kelas—menimbulkan kericuhan dan ia dihukum—namun kabur. Jika bertemu lagi dengan Karasuma-sensei, bisa-bisa ia di gantung di tiang bendera. Jadi, Karma memilih jalan aman.

Karma menunggu Nagisa dengan bosan. Sudah lima belas menit terlewati, namun orang yang sering dipertanyakan gendernya itu masih belum juga menampakkan rambutnya yang biru.

Baru saja Karma akan melangkah duluan ke kelas, terhenti ketika sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya. Ia menoleh.

Kacamata.

"A-ano, apakah kau t-tahu di mana ruang guru?" Orang itu bertanya seraya memilin ke dua tangannya gugup.

Karma jarang sekali menemui orang dengan penampilan culun seperti gadis di hadapannya ini. Rambut ungu gelap dan dikepang dua, rok panjang melebihi lutut, dan kacamata.

KACAMATA!

Sekali lagi ditekankan, gadis itu memakai kacamata dan itu membuat wajahnya menjadi ratusan kali lebih cantik dan imut—itu menurut Karma.

Ia begitu terkesima dengan kacamata jadul, bulat dan ketinggalan jaman yang dipakai gadis itu sampai-sampai tak tahu harus berkata apa. Tanpa kata, Karma menunjukkan arah ke ruang guru.

Orang itu berterima kasih, kemudian pergi meninggalkannya. Bersamaan dengan itu, Nagisa sudah kembali dan langsung menarik Karma pergi ke kelas.

.

.

.

.

.

Karma biasanya tidak percaya dengan takdir ataupun cinta pada pandangan pertama. Tapi, ia langsung merubah jalan pikirannya ketika di kelas, ia kembali bertemu dengan orang itu. gadis yang tadi pagi ia temui di lorong.

Heh. Ternyata dia murid barunya.

Secepat panah, Karma langsung melesat menghampirinya dan mencium punggung tangannya. Sebagai pertanda bahwa gadis itu akan menjadi miliknya.

Iya. Miliknya.

.

.

.

.

.

Acara pedekate tadi pagi gagal total!

Karma kesal sekali ketika Nagisa tiba-tiba merusak momen romantisnya dengan Okuda. Ia menendang Karma hingga ia pingsan!

Tidak hanya itu, saat jam istirahat, Okuda juga malah menghilang di telan oleh perempuan berdada rata alias Kayano. Hal itu terang saja membuat Karma keki.

Sekarang sudah pulang sekolah dan Okuda tak terlihat di manapun. Karma mendesah kecewa, "Padahal kita sudah janjian mau kencan sepulang sekolah dan membeli kacamata," ujarnya.

Iya, kencan. Seharusnya mereka kencan. Apakah Okuda melupakan janjinya?

Hanya saja, Karma tidak pernah mengerti kalau gadis bernama Okuda Manami alias si murid baru itu tak pernah menyetujui ajakan kencannya. Ckck.

.

.

.

Karma baru saja akan melangkah keluar gedung, namun langkahnya terhenti ketika manik merkurinya menangkap siluet seseorang yang ia kenal di atap gedung sekolah.

Ia memicingkan matanya.

"OKUDA-SAN?" Karma membelalakkan matanya terkejut. Jantungnya berpacu cepat melihat Okuda yang memejamkan matanya lelah dan bersandar pada pagar pembatas yang pendek itu. oleng sedikit, Okuda pasti akan langsung terjun bebas.

Atau...

"Hei, dia tidak mungkin berniat bunuh diri, kan?" Karma panik.

Secepat kilat ia berlari, menyusuri lorong demi lorong, menaiki anak tangga demi anak tangga, hingga akhirnya ia sampai di lantai paling atas dan mendobrak pintu dengan sekuat tenaga.

"OKUDA-SAN!" Karma langsung reflek berteriak memanggil namanya. Bersamaan dengan itu pula ia melihat Okuda mulai terjatuh.

Tidak.

Karma tidak akan pernah membiarkan gadis cantik berkacamata itu mati di hadapannya. Tidak sekarang, besok, ataupun lusa. Takkan pernah!

.

.

.

Grep!

.

.

Karma berhasil menarik Okuda tepat pada wakunya. Meski pada akhirnya mereka jatuh dengan Okuda yang berada di atasnya. Melihat Okuda yang memejamkan matanya erat-erat, memeluknya dengan takut, membuat Karma merasa marah.

Ia marah!

Ugh..Karma lega sih, ia berhasil menyelamatkannya, tapi..

"Bodoh! Jangan bunuh diri!"

Karma tak dapat menahan dirinya untuk membentak gadis itu. Sungguh, ia tidak mengerti jalan pikiran calon gadisnya ini. Ehem—ralat, sejak tadi pagi Karma sudah mendeklarasikan pada semua anak sekolah kalau Okuda adalah miliknya-meski Okuda menyangkalnya mentah-mentah.

"Kau itu sangat cocok dengan kacamata. Menurutku, orang-orang berkacamata sangatlah cantik! Aku—aku menyukai Okuda-san yang memakai kacamata!"

Karma tidak tahu apa alasan yang mendorong Okuda hingga ingin mengakhiri hidupnya.

Jika itu hanya karena kacamata atau karena orang menyebutnya jelek—sumpah, Karma akan membunuh orang yang mengatakan itu, karena, Okuda itu cantik!

"K-kenapa kau menolongku?"

Gadis itu akhirnya mengangkat kepalanya dan bertanya dengan bingung. Bibirnya dan bahunya masih bergetar akibat insiden tadi. Yah, wajar saja. Siapa juga yang tidak takut ketika hampir jatuh dari gedung lantai empat?

Karma tersenyum.

"Aku akan selalu melindungi gadis cantik berkacamata sepertimu."

Ah, salah, pikir Karma. Aku hanya akan melindungi kamu, Okuda Manami. Hanya kamu.

"Kumohon, tetaplah hidup bersamaku dan jangan pernah lagi bunuh diri." Karma memeluk Okuda, masih dengan posisi mereka yang dapat membuat orang salah paham.

Ia menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher gadis itu dan menghirup aroma lavender yang menguar lembut. Sepertinya mulai sekarang Karma akan menyukai aroma lavender.

Dan tanpa di sangka, gadis itu balik melingkarkan tangannya ke pinggangnya. Ia balik memeluk Karma.

.

.

.

"Jadi, Okuda-san mau kita terus berpelukan seperti ini sampai malam, atau kita pergi kencan? Yah, opsi pertama tak masalah, aku menyukainya. Apalagi kalau lanjut ke tahap—"

"MESUM!"

.

.

.

.

Karma tahu semenjak pertama kali melihat iris ametis gadis itu, ia tahu takdirnya akan berubah—ke arah yang lebih baik tentu saja. Ia tahu kehidupannya akan menjadi berwarna.

.

.

.

Bagaimanapun juga, gadis itu sudah menjadi racun dalam kacamatanya. Membuat Karma candu akan kehadirannya.