Fade Into You (Yoonmin ver)

.

.

Story belongs to Katy Dawes

.

.

Warn: GS!Uke, Typo(s)


Hoseok mengingatkanku untuk menyebutkan namanya pada penjaga gerbang, dan dalam waktu lima menit aku sudah berada di mobilku, membelah kepadatan lalu lintas Seoul, dan benakku berpacu dengan pikiran akan bertemu Jimin lagi.

.

.

Selama perjalanan ke studio, aku tersadar bahwa mungkin Jimin memberi peran kepada Jessica hanya untuk agar aku datang ke kantornya. Apakah itu mungkin?

Tidak, tentu tidak. Paranoid sepertinya telah menguasaiku. Tidak mungkin seorang produsen besar Hollywood akan menyewa seorang aktris hanya untuk mendapatkan sedikit waktu kebersamaan dengan seorang asisten agen aktris. Terlalu banyak resiko dan uang yang dihamburkan. Seluruh reputasinya bisa jatuh hanya karena satu film yang gagal.

Sangat konyol memikirkan bahwa semua ini adalah hanya tipu muslihatnya agar aku datang ke kantornya. Dia memiliki banyak cara untuk melakukan itu. Mungkin tidak secepat ini, tapi dia bisa mendapatkan apa saja yang dia mau.

Aku sampai di gerbang penjaga dan diberitahu di mana untuk memarkir. Saat aku berjalan, mataku melihat sekeliling mencari apakah ada artis terkenal. Ya, aku masih cukup baru di Seoul untuk melihat para bintang.

Aku menemukan kantor Jimin tanpa kesulitan. Ketika berjalan, aku disambut oleh seorang wanita pirang tinggi, dan terpana oleh kemungkinan yang sangat nyata bahwa dia adalah wanita yang sama ketika sedang berbicara dengan Jimin pagi itu saat di Jeju. Aku tidak melihat wajahnya, tapi itu masuk akal bahwa asistennya mungkin ada di sana. Mungkin dia bepergian dengan dia sepanjang waktu. Mungkin dia ada di sana sendiri dan mereka kebetulan bertemu satu sama lain. Atau mungkin dia sedang tidur dengannya...

Apapun masalahnya, aku belum pernah bertemu denganya ketika pertama kalinya aku berada di sini.

Dia melihatku dan berkata, "Hai, bisa saya bantu?"

"Saya Min Yoongi. Untuk bertemu Jimin…Mr. Park."

"Oh, ya, dia sudah menunggu Anda. Ke kanan dan masuk." Dia memberiku senyum ramah.

Area menerima tamu milik Jimin lebih besar dari seluruh kantor kami dan sepertinya tumitku mengklik ekstra keras saat aku berjalan ke pintu kaca buram yang mengarah ke kantornya. Aku mengambil napas dalam-dalam, memutar pegangan, dan melangkah masuk.

Jimin sedang duduk di sofa tepat di bawah poster besar film terakhir yang ia buat. Aku begitu gugup, terakhir kali aku di sini, aku tidak melihat detail kantornya. Ada cermin besar dan meja krom, kursi kulit hitam besar di balik itu, dan dua kursi yang lebih kecil di sisi lain. Di dinding ada poster film yang besar, menggunakan bingkai yang mahal, dan masing-masing memiliki pencahayaan sendiri.

"Yoongi," katanya, berdiri untuk menyambutku.

"Hai, Jimin."

"Silakan duduk." Dia menunjuk ke sofa.

Aku ingin duduk di salah satu kursi di seberang sofa, dengan meja kopi besar yang memisahkan kita. Setiap langkah yang dibuatnya memancarkan kepercayaan diri, kewibawaan, dan seks. Aku tahu aku tidak seharusnya duduk di sampingnya.

Ia mengulurkan tangannya, mengundangku, dan aku menyambutnya. Tapi aku duduk beberapa meter darinya.

Jimin mengangkat lengannya dan dengan dramatis mengendus. "Apakah aku bau?"

"Tidak." Sebenarnya anda harum luar biasa. "Kenapa?"

"Karena kau duduk begitu jauh dariku. Kupikir kau memiliki alasan."

Ya aku punya alasan. Tapi aku tidak bisa benar-benar mengatakan padanya bahwa aku membutuhkan sedikit ruang diantara kami jadi aku tidak akan terjebak dalam permainannya di kamar hotel dulu.

Aku terus menjaga suara agar tetap terdengar profesional. "Aku ke sini hanya untuk mengambil kontraknya."

Jimin turun dari sofa sampai dia tepat di sebelahku. Aku melihat kembali secara dekat pada matanya yang dalam, dan bibirnya yang berbentuk sempurna.

Dia menaruh jari di bawah daguku. "Aku sudah tidak sabar menunggumu sampai di sini." Dia membungkuk dan menciumku, ciuman lembut, tidak dengan lidah.

Ketika ia mundur kembali, aku berkata, "Kita benar-benar harus menghentikan ini. Atau...setidaknya membicarakannya."

"Kenapa merusak momen ini dengan bicara?"

Apakah dia serius? Dia tampaknya memiliki cara yang halus dengan wanita dalam segala aspek, jadi mengapa dia mengisyaratkan bahwa bicara itu tidak perlu?

"Tidakkah kau pikir ini adalah ide yang buruk?" Tanyaku.

Matanya meninggalkanku, dan tatapannya melayang ke tubuhku, kedadaku, kemudian kakiku, yang terlihat dari rok yang kupakai. "Aku tak bisa memikirkan ide yang lebih baik daripada kau dan aku bersama-sama."

"Dan 'bersama-sama' yang kau maksud adalah seks, kan? Hanya seks."

Dia mengangkat bahu. "Apa pun yang kau suka. Apa yang kau suka, Yoongi?"

Aku tak pernah melakukan diskusi yang begitu terus terang seperti ini sebelumnya. Itu membuatku sedikit gugup, tapi tidak sampai ketitik di mana aku akan kehilangan tekadku. Aku meminta sesuatu untuk minum, dan Jimin segera menawariku White Russian.

"Apakah hanya itu yang kau minum?" Tanyaku.

Dia mengangguk sambil berdiri dan berjalan ke area bar dikantornya. "Sejak SMA. Aku tak pernah menyukai bir. Tidak pernah menyukai semua yang pernah aku coba, Tapi White Russian...dari awal mencoba aku sudah menyukainya dan tetap setia sampai sekarang."

Aku tertawa. " Air, terima kasih."

"Dingin atau panas?"

"Hanya air putih saja. Apa pun yang kau punya."

Aku melihat dia berdiri di bar, membelakangiku. Hari ini ia mengenakan kaos putih lengan panjang, celana jeans biru, dan sepatu bot coklat gelap. Kaos menempel ditubuhnya, memamerkan bahu dan punggungnya yang lebar, pinggangnya langsing. Berkat celana jeans, aku melihat pantatnya yang indah untuk pertama kalinya, dan harus membuang mata darinya sebelum ia berbalik dan menangkap basah diriku. Dia seolah-olah sudah diciptakan dengan sangat hati-hati, dan dengan susah payah dibangun oleh seseorang yang mempunyai selera yang bagus dan sangat detail.

Aku memandang ke luar ke arah jendela besar dan untuk pertama kalinya melihat ke dalam area studio. Dari lantai tiga kantornya, aku bisa melihat beberapa set luar ruangan, beberapa di antaranya tampak tidak asing dari film yang pernah kulihat.

Jimin sedang membuat minumannya sambil berkata, "Hanya air putih saja, ya? Aku tak pernah mengira kau seorang gadis yang suka sesuatu yang biasa."

"Saya tidak suka sesuatu yang rumit."

"Ah, sayang sekali. Kadang-kadang kerumitan bisa sangat menarik. Setidaknya, itulah yang aku temukan."

Jelas, kami tidak berbicara tentang air di sini, dan kami berdua tahu itu.

Dia bergabung denganku di sofa, sambil menyodorkan sebotol air putih.

"Jadi," katanya, "Kau ingin bicara. Mari kita bicara."

Aku meneguk air dingin itu, mencoba untuk mencari tahu apa yang akan kukatakan.

"Aku yang bicara duluan," katanya, menyelamatkanku. "Mari kita terbuka. Kita tertarik satu sama lain. Kita berdua lajang-"

"Apakah kita begitu?" Aku menyela.

"Aku iya. Apakah aku salah menilai situasimu?"

Aku menggeleng. "Tidak, kau tidak salah."

"Baik. Jadi apa yang menghentikanmu?"

Aku menaruh botol air di atas meja dan menyilangkan kakiku. "Aku tidak melakukan...ini. Aku tak akan tidur dengan dengan seorang pria secara tiba-tiba hanya karena mereka hot."

Jimin tersenyum. "Jadi kau pikir aku hot."

Kepalaku langsung jatuh. "Ya. Ya, kupikir dirimu hot, oke? Puas?"

Dia meneguk White Russian-nya. "Senang? Ya. Meskipun aku bisa lebih senang lagi."

"Dengar, apa yang ku maksud adalah bahwa dibutuhkan lebih dari sekedar beberapa baris naskah dan langkah yang halus untuk bisa masuk ke dalam celanaku."

"Sebenarnya, kau memakai rok. Tapi itu hanya masalah teknis."

Aku menyukai selera humornya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

"Dan, untuk di catat," ia melanjutkan, "Aku belum menulis satu baris naskah pun untuk ini."

"Oke, aku percaya kata-katamu untuk itu."

Dia duduk kembali di sofa, sekarang lebih dekat padaku. Aku mencium lagi aroma yang luar biasa maskulin dan hampir saja bertanya padanya apa yang ia gunakan, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya.

Sebaliknya, aku berkata, "Aku tidak tertarik pada casting cauch romp*."

Ia melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahak. Ketika ia kembali menatapku dia berkata, "Aku juga tidak, Yoongi. Bahkan, aku belum pernah mendengar 'casting cauch romp' seperti yang kau katakan sepanjang karirku di kota ini."

"Tidak?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Ini adalah sesuatu dari masa lalu. Setidaknya, kupikir begitu. "

"Kau memiliki wanita pilihanmu sendiri, aku yakin. Omong-omong, ketika aku meninggalkan Jeju Minggu pagi, aku melihatmu dengan wanita berambut pirang di luar restoran."

Dia memiringkan kepalanya ke samping. "Ah, ya. Dia mencoba untuk menjual sesuatu padaku."

"Ya, aku berani bertaruh dia pasti melakukan itu." Aku meraih botol air.

"Dia bukan seorang pelacur. Dia bekerja di perusahaan yang memiliki hotel dan kasino dan satu lagi di the strip. Dia mencoba membujukku untuk membeli penthouse yang satu lagi."

"Satu lagi?"

Dia mengangguk. "Aku punya satu di hotel tempat kita menginap."

Ya Tuhan. Jika dia membawaku ke penthouse, aku tak akan pernah bisa keluar dari sana tanpa memberi apa yang dia inginkan. Malam itu hampir saja aku menginginkan sesuatu dan itu nyaris menjadi hal yang pasti.

"Jadi," kataku, "Kau akan membeli satu lagi?"

Jimin mengerutkan dahi. "Aku tak melihat adanya kebutuhan punya dua penthouse di Vegas."

"Pemikiran yang bagus."

"Terima kasih." Dia menyeringai dan meneguk minumannya. "Mari kita kembali ke casting couch..."

"Jangan. Aku ingin kembali membahas pekerjaan saja."

Ini akan menjadi waktu yang tepat untuk berdiri, meminta kontrak, dan kembali pulang. Tapi tangan Jimin tiba-tiba bertumpu pada kakiku. Aku menunduk dan melihat dia menggerakkan tangannya, dan telapak tangannya mengusap lututku dengan punggung jari telunjuknya.

Aku melihat dia melakukan itu selama beberapa detik, mengagumi bagaimana sedikit sentuhan mengirimkan kejutan rangsangan dikakiku. Dadaku terasa berat, dan aku merasa putingku mengeras.

"Kau menginginkan ini seperti aku menginginkannya," katanya. "Aku melihatnya dalam caramu melihatku."

Aku menoleh untuk menatapnya dan dalam sekejap wajahnya bertemu dengan tatapanku, bibirnya menyentuh bibirku. Mulutku terbuka dan lidahnya masuk mengikuti undanganku tanpa ragu-ragu. Tak ada yang bisa menghentikannya, dan pada saat itu, aku tak lagi memiliki keinginan untuk menghentikan apa yang dia lakukan.

TBC.


*Casting Cauch Romp; melakukan seks untuk mendapatkan peran.


see ya!


~SugaTrash~