Three Days

Boboiboy © Animosta Studio

Warn : Typo! OOC, Fem! Ice

Happy Reading ^^

Chapter 19 : Three Days

Gelap…

Sesak…

Kenapa tiba-tiba dingin..?

Blaze…?

Semua ini, begitu mengerikan. Di telan oleh kegelapan dan kehampaan diluar dari yang bisa dibayangkan. Kegelapan yang sempurna tanpa bertemu secercah cahaya, sampai kapan? Sepenuh hati percaya bahwa di suatu tempat di ujung sana, aku semakin dekat dengan rahasia semesta.

"Hey, Ice…"

Suara baritone memanggil namaku lembut. Perasaan ini, terasa seperti déjà vu yang amat sangat. Apakah mimpi?

Seperti sebuah perjalanan menanti kereta, aku dibawa menuju suara itu, semakin keras dan juga jelas.

Ketika ku sadari, hawa dingin ini perlahan menghangat seperti uap air, pandangan gelapku kini juga mulai bercahaya dan tampak di sekeliling.

Ruangan yang sudah tidak asing bagiku, tempat terakhir kali aku menutup mata, aku tak pernah lupa.

Ruang operasi…

"Hey, Ice, bangun. Aku ada di sini."

Iris aquamarine ku teralih pada sumber suara, pemandangan aneh bagiku. Semua orang berada di satu tempat yang sama, dengan ekpresi yang tak bisa terlukiskan. Baru pertama kali ini, aku melihat Ying meraung-raung, Yaya yang lemas memeluk Ying, ekspresi terburuk Fang, ayah yang terdiam terpaku, dan Blaze yang menangis di samping seseorang.

Dan ketika ku tajamkan pandanganku untuk menengok seseorang di ranjang itu, kulitnya pucat, bibirnya biru dan nafasnya terhenti.

"I-itu aku?!" pekikku.

Aku sudah mati? Tubuh yang terbujur kaku di ranjang itu, aku. Ku lihat kedua tanganku hanya seperti embun tipis yang menyambut pagi.

Tidak! Bukan ini yang ku inginkan! Seharusnya aku bangun ketika Blaze datang!

"Blaze! Lihat aku! Aku di sini!" seruku terus memanggil, aku mencoba memeluk Blaze dan hal yang paling aku takutkan terjadi.

Dimana aku tak bisa menyentuh siapapun, tubuhku tembus akan cahaya ruangan itu. Apa aku benar-benar sudah mati?

Tidak! aku belum mau mati? Masih ada janji yang harus aku tepati, aku tidak mau menjadi arwah gentayangan karena urusanku belum selesai di dunia ini.

"Siapa saja, sadari aku di sini!" panggilku tapi tak ada seorangpun mendengarku. Ayah, dokter Kaizo, Yaya, Ying, bahkan Fang, semua menghiraukanku. Pandangan mereka memilukan tertuju pada sosok di samping tubuhku.

"Tidak, aku mohon jangan berakhir seperti ini."

Aku terisak, tapi tak seorang pun mendengar. Meski pita suaraku rusak, tak seorang pun akan mendekapku untuk menenangkanku. Karena sekarang aku tak lebih dari embun yang berharap menyentuh matahari.

Di tengah keputusasaan dan kegalauan yang melanda hati, tubuhku yang ringan bagai mahkota dandelion seolah kabur di bawa angin.

"Tidak! Aku tidak mau berakhir seperti ini!"

Seperti matahari memiliki gravitasi, aku seperti tertarik menuju lubang hitam yang tak terdasar.

Orang bilang, ketika seseorang mati, ia akan melihat cuplikan kehidupannya dalam sekejap. Dan kulihat semua hidupku tervisual di depan mataku. Semua ini, déjà vu, dengan sedikit akhir manis dirasa tapi pahit dalam satu waktu.

Kenangan manis…

Kenangan pahit…

Kebahagiaan dan penyesalan…

Apa itu yang sedang terjadi padaku saat ini?

"Kalau begitu, berjanjilah! Kau akan kembali! Kau akan tetap hidup! Berjanjilah, kau akan kembali, untukku."

Itu, janji kami hari itu. Janji untuk tetap hidup, tapi sekarang aku bisa apa? Memang manusia bisa melawan takdir? Seperti menahan sakura yang gugur dari rantingnya? Aku sudah benar-benar mati saat ini.

Aku tak ingin melihat jalan hidupku lagi, aku hanya bisa memeluk lutut sambil menangis. Seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya.

Dunia di sekitarku sepenuhnya gelap, dingin juga sesak. Tapi sebenarnya bukan ini aku yang takutkan, aku telah melanggar janji.

"Maafkan aku Blaze."

Beribu-ribu kata maaf terus terucap, tanpa ada jawaban, tanpa ada kepastian. Apakah kata maaf yang terucap ini akan tersampaikan? Akankah dia memaafkanku?

"Kenapa kau belum mau mati?" suara terdengar berat bertanya padaku, sesaat kudongakkan kepalaku melihat sosoknya. Cahaya dari tubuhnya menyilaukanku, apakah dia malaikat maut?

"Ada janji yang belum aku tepati, yang membuat sebagian hatiku tertinggal di sana."

"…"

Aku kembali terisak, "Bukankah janji itu harus di tepati? Tapi ajal menjemputku sebelum aku menepati janji itu." Ku tutup wajahku yang basah akan air mata, "Ada banyak hal yang belum aku sampaikan, seperti betapa aku berterima kasih padanya karena dia tetap berada di sisiku. Seperti betapa bahagianya aku saat dia mengatakan bahwa dia mencintaiku."

"Tuhan sangat baik padamu, Ia memberimu hidup untuk kedua kalinya. Dan kau masih menuntut untuk hidup? Bukankah kau dulu sangat ingin mati?"

"Waktu itu, saat aku jatuh di titik terdalam dalam keterpurukan, saat aku ingin mati, Tuhan tidak mengijinkanku mati dan memintaku untuk berjuang sekali lagi. Dimana setiap jalan hidupku penuh penderitaan, dan aku mulai untuk berjuang. Tidakkah Tuhan itu adil? Tapi saat ini, dimana semua orang ada untukku, dimana aku merasa bahagia atas rasa sakit yang tubuhku rasakan, Tuhan mengambilku saat aku tengah mengecap sedikit rasa bahagia. Ketika aku sadar betapa berartinya hidup, terutama untuk orang lain. Apa itu adil?"

Cahaya putih bersinar di atas kami, gelap seolah tersapu seketika. Terang benderang membuka pandanganku. Kurasakan alas tempatku berpijak hancur lebur, dan aku terjatuh bersamaan cahaya yang semakin terang menyelimuti pandang.

"Tuhan sangat baik padamu, untuk ketiga kalinya kau hidup." Suara itu bergema.

"!?"

"Tapi hanya 3. Kau masih bisa bertahan hidup untuk tiga hari ke depan, saat waktumu benar-benar tiba. Bersiaplah." Ucapnya untuk yang terakhir kalinya.

"Eum, bukan masalah. Itu lebih lebih dari cukup. Terima kasih."

Setetes air telah jatuh dalam cerita panjang penuh misteri tak berujung. Tubuhku terbang bebas, terhempas terbawa gravitasi. Seperti terjun ke dalam lautan dalam, dengan setitik cahaya di ujung menanti di ujung sana.

Normal POV

Suara monoton dari ECG berubah menjadi berirama, garis lurus berubah naik-turun secara perlahan namun pasti. Semua netra langsung tertuju menatap mesin itu. Semakin lama semakin teratur. Angka yang menunjukan tingkat kesadaran mulai naik. Seketika itu semua pandangan tertuju pada sosok Ice.

Nampak samar, namun bisa terlihat, air mata perlahan mengalir dari ujung matamya. Perlahan, jari itu bergerak. Disusul olah terbukanya tirai kelopak mata, terbuka secara perlahan hingga menampakan iris aquamarine.

"Bla-ze." Panggil Ice lirih.

Blaze yang saat itu melihat Ice membuka matanya langsung menghampirinya dan menggenggam tangan Ice yang masih terasa dingin.

"ICE!? Syukurlah kau bangun. Aku tau kau akan menepati janjimu." Air mata Blaze kembali meleleh, tak bisa membendung rasa senangnya.

Kaizo yang sadar akan bangunnya Ice segera menghampirinya, dan dengan cepat melakukan penanganan pertama dengan mengecek kesadarannya.

"Jantungnya kembali bekerja, meski belum teratur." Ujarnya sesaat memandang alat ECG yang terus bergerak naik-turun. "Siapa namamu?" Tanyanya.

"I-ce." Untuk pertama kali setelah kematiannya sesaatnya, Ice menghirup nafas panjang. "Ice," ulangnya lagi.

"Tolong form pengkajian post anastehianya." Pinta Kaizo pada seorang perawat di sana.

Sesaat ia membaca dengan teliti kajian tersebut, "Kondisinya cukup stabil, setelah ini pindahkan dia ke recovery room." Kemudian ia beralih memandang Ice, seraya mengulas senyum, "Kau sudah berjuang dengan baik, Ice.". Dan dibalas dengan senyuman lemah.

Sepeninggalannya, Kaizo meminta ayah untuk menemuinya di ruangannya untuk membicarakan tindakan berikutnya.

"Aku kembali, aku menepati janjiku kan?" lirih Ice sebelum di pindahkan ke ruang pemulihan.

Blaze mengangguk mantap masih beruraian air mata, "Eum, aku tau kau akan menepati janjimu, karena aku juga begitu. Cepatlah sembuh dan kita akan memulai cerita sebagai sepasang kekasih."

Ice hanya tersenyum mendengar ungkapan Blaze, sayangnya hanya ia seorang yang tau, bahwa hidupnya hanya seperti jam pasir yang menanti butiran terakhir terjatuh. Menjadi seorang kekasih selama 3 hari, mungkin akan menjadi kisah terakhirnya sebelum menutup buku kehidupannya.

~LucKyra~

Hari 1/3

"Selamat pagi," Axel membuka pintu ruang recovery room itu dan menjumpai seorang gadis yang untuk kedua kalinya ia temui dan seorang lagi rekan yang menemaninya.

Orang beriris jingga itu mendongak, "Oh, Axel? Kau juga datang?"

Axel mengangguk, "Yah, sebenarnya aku kemari juga karena diajak Gempa." Ujarnya sambil menunjuk seseorang di belakangnya. Sesosok Gempa bersama Yaya, disusul Fang dan Ying menampakan batang hidung mereka.

"Ah, iya. Ice, perkenalkan rivalku, Axel Blaze. Kami sesama penyerang utama dalam tim." Blaze memperkenalkan Axel.

"Ah, Axel." Sahut Ice.

"Heh!? Kau mengenalnya?" heran Blaze melongo.

Ice mengangguk singkat, "Eum, tentu saja, walau hanya sekilas. Dia kan striker dan juga top scorer tahun lalu, dia juga ikut nominasi pemain sepak bola terbaik. Kalau dibandingkan denganmu yang baru naik daun, kau masih kalah pamor." Akunya polos.

JLEB…

Blaze pundung di pojokan suram, "Hidoi...*"

*Jahat

"Akui saja Blaze, kau bahkan masih kalah populer denganku. Aku pernah masuk ke majalah sport dalam topik basket." Ujar Fang bangga.

"Argh! Siapa yang peduli!" seru Blaze bersungut-sungut.

Tawa membahana mewarnai ruangan putih itu. Seulas senyum Ice sunggingkan, waktu yang seperti ini, tak akan terulang lagi, ia harap waktu berhenti saja. "Apakah Blaze merepotkan dalam tim?"

"Yah, tidak juga. Dia juga striker yang bagus. Tapi kadang juga bikin kesal karena sikap kekanakanya dan juga sering bermain sesuka hati." Timpal Axel.

Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Blaze memasang tampang sok jenius, "Sepak bola itu butuh spontanitas dan fast thinking."

"Memang kau berpikir saat bermain?" cibir Axel dengan seringaian mengejek.

"Ahhh! Kau ini selalu mengajakku ribut!" Sembur Blaze berapi-api.

Dalam sekejap ruangan menjadi penuh, sesekali drama terjadi dengan Ying menangis bawang di pelukan Ice, atau perkelahian kecil yang selalu melibatkan Blaze di dalamnya.

Ying berdehem, mengubah topik pembicaraan. "Ehem, seharusnya hari ini kita dapat traktiran dari yang baru aja pacaran. Lumayan lah hari ini ada 2." Desis Ying dengan memutar pandangan.

"Eh, siapa? Ada yang lain?" heran Blaze.

Ternyata selain pasangan Blaze dan Ice, ada satu lagi. Sementara itu wajah Yaya blushing berat melebihi tomat cherry dan Gempa menyembunyikan senyuman malu-malunya hanya menutup mulut dengan sebelah tangan.

"Eh, Yaya?" ~ "Gempa, kau?" seru Ice dan Blaze bersamaan.

"Astaga Gempa, aku tak tau kalau kau itu sudah dewasa. Selama ini aku khawatir dengan masa SMA mu yang suram karena kau tak kunjung mendapat pacar. Tapi syukurlah kau mendapatkannya sebelum lulus." Celoteh Blaze terharu.

"Pujian macam apa itu!?" seru Gempa dengan perempatan imajiner mendominasi kepalanya.

Sesekali tawa dan ocehan menguasai suasana. Sayangnya kesenangan hari ini harus berakhir, jam besuk Ice telah habis karena ia memang harus beristirahat lebih banyak. Hal yang ia sayangkan, padahal ia ingin menghabiskan waktunya bersama mereka. Waktu yang tak lebih dari 72 jam.

~LucKyra~

Hari 2/3

Lelaki dengan hoodie tak berlengan itu melangkahkan sepatu ketsnya pada lantai putih. Seikat bunga iris biru dan sebuah kotak hadiah berada di masing-masing tangannya. Sesekali gumaman tak jelas terdengar sepanjang koridor yang didominasi warna putih.

Seulas senyum di wajahnya tak bisa menutupi suasana hatinya.

"Ingin menemuinya lagi?" suara baritone dari persimpangan koridor, memaksa kakinya berhenti melangkah untuk senjenak menoleh pada pemilik suara.

Kaizo yang nampak baru saja keluar dari salah satu ruangan menyempatkan diri untuk menyapa Blaze.

"Memangnya siapa lagi yang biasa ku temui selain dia?" senyum Blaze mengembang, "Ah, terima kasih atas kerja keras anda selama menangani Ice." Perkataannya mendadak sopan ketika bertemu dengan Kaizo.

Pandangan Kaizo melembut, "Sebenarnya itu juga suatu keajaiban, dia sudah berjuang dengan keras."

"Anda benar. Ah, kalau begitu saya permisi." Pamitnya dan segera beranjak dari tempat berdirinya.

"Ah, iya aku lupa. Dia sudah dipindahkan ke rawat inap pagi ini." Ujar Kaizo.

Senyuman Blaze semakin mengembang, bukankah jika sudah dipindahkan ke rawat inap kondisinya semakin membaik?

"Terima kasih."

.

.

"Huft, kemana dia? Dokter Kaizo bilang sudah dipindahkan." Gerutunya seorang diri.

Blaze baru saja keluar dari kamar Ice, sekian lama ia menunggu, tapi tak seorangpun datang. Hanya bunga iris biru yang ia tinggalkan di ruangan itu, sementara kotak kado kembali ia tenteng di tangannya.

'"Blaze..?" panggil seseorang dari kejauhan, seorang pria paruh baya menghampiri dirinya yang masih terdiam di tempat.

"Oh, om. Selamat pagi," sapanya pada lelaki itu yang rupanya ayah Ice.

"Selamat pagi. Apa kau datang untuk bertemu dengan Ice?" tanya lelaki itu.

Sebuah anggukan Blaze berikan sebagai jawaban, "Dr. Kaizo bilang dia sudah dipindahkan, tapi dia tak ada dikamarnya."

"Ah, dia," ayah Ice menggantungkan kalimatnya, netranya memandang keluar jendela dimana hamparan taman terbentang.

Di atas kursi roda yang dilindungi bayangan pohon cemara yang rindang, seorang gadis dengan piyama khas pasien duduk termenung bersama sebuah buku di tangannya seolah menjadi bacaan yang menarik.

"Bisa kau temani dia sebentar, aku ada urusan mendadak yang tak bisa ku tinggalkan." Pintanya.

"Dengan senang hati."

Angin yang berhembus lembut tak lagi bisa menerbangkan rambut Ice yang biasa terurai panjang, hanya membelai kulit pucat yang tak berbeda jauh dari saat terakhir ia kemari.

HUP…

Seseorang yang datang mengendap-endap dan mendekap Ice dari belakang, membuatnnya melepas pandangan dari bukunya.

"Blaze!?" serunya tak lepas dari terkejut.

Blaze menahan tawa melihat ekspresi lucu kekasihnya, "Hai,"

"Bagaimana kau tau aku di sini?" heran Ice.

"Hatiku yang membawaku kemari." Jawaban Blaze cukup membuat wajah Ice bersemu.

Ice segera memalingkan wajahnya, "Gombal."

Blaze menyudahi untuk menggoda kekasihnya, kemudian melepas dekapannya dan duduk di samping Ice.

"Hahaha, ngga. Aku bertemu dengan ayahmu tadi dan memintaku untuk menemanimu. Hey, aku ada hadiah untukmu." Kata Blaze sambil menyodorkan kotak yang ia bawa tadi.

"Apa ini?" Jemari Ice membuka kotak itu, sebuah topi biru muda dengan lambang air di atasnya.

"Sama seperti milikku kan?" kata Blaze sambil menunjuk topinya, "Kau suka?"

"Hmm, bagaimana caraku memakai topi?" pikir Ice nampak menimbang-nimbang. "Eum, bagaimana kalau begini?"

Ice memakainya dengan model menyamping, "Bagaimana kalau seperti ini?"

"Pfft, kau jadi terlihat seperti Taufan."

"Hmm, baiklah.. Kalau begitu seperti ini." Ice memutar topinya menghadap ke depan, dan merendahkannya sedikit.

"Sekarang kau 11-12 seramnya dengan Halilintar. Bagaimana jika ada seorang yang suka padamu karena penampilanmu?" tanya Blaze antusias.

Ice bergumam, berpikir sejenak, "Hmm, mungkin aku akan menduakanmu." Godanya.

"Heh!? Kau jahat Ice." Seru Blaze tak terima, dan sukses membuat Ice terkekeh kecil melihat kecemburuan Blaze.

Pandangan Ice tercuri pada sepasang anak kembar yang tengah menyalakan kembang api. Mengingatkannya pada sesuatu yang familiar.

"Besok tahun baru ya?" tanya Ice tanpa mengalihkan pandang.

Manik jingga Blaze ikut terarah pada hal yg dipandang Ice, "Iya, kau mau melihatnya?" Usulnya.

"Aku tidak mungkin ke kota dengan kondisi seperti ini kan? Lagi pula Dr. Kaizo pasti juga tidak akan mengijinkanku." ujar Ice lesu.

Blaze bangkit dan bersimpuh di depan Ice, "Aku yang akan mengatur semuanya, kupastikan kau bisa melihat pesta kembang apinya." Ujarnya penuh tekad.

Ice tersentuh, ia hargai kerja keras Blaze untuk membuatnya senang.

Event pergantian tahun, akan jadi event terakhir yang terindah.

Hari 3/3

30 Desember, 23.31

Di bukit belakang rumah sakit, kota malam nampak seperti gelapnya langit dengan hamparan jutaan bintang, seperti cerminan langit malam itu. Atmosfer kota menjadi lebih dingin menyambut pergantian tahun.

Blaze mendorong kursi roda Ice menuju puncak bukit, mendekat pada salah satu pohon pinus. Di rengkuhnya tubuh kurus itu dan memindahkannya ke sebuah kursi panjang di sana. Ice menarik nafas dalam, udara segar langsung menyeruak mengisi paru-parunya.

"Pemandangan di sini indah sekali kan?" Blaze mendudukan diri di samping Ice, beralih memandang pemandangan yang sama.

"Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu. Aku ingin bisa membuat banyak waktu yang menyenangkan bersamamu" celetuk Blaze seorang. "Malam ini seperti déjà vu, kau ingat waktu malam perayaan festival holi? Waktu itu juga seperti malam ini kan?"

Pandangan mereka kembali menerawang langit gelap, Ice merasa kelopak matanya menghangat.

"Apa dunia gemerlap di atas kita itu dunia indah dan damai? Setiap kali aku memandang langit malam, aku selalu merasa ada hal yang aneh. Cahaya yang indah terbentang menutupi gelapnya malam, sebenarnya cahaya apa itu? Apa suatu hari nanti aku bisa ke sana." Ice bermonolog tanpa sadar.

Sekali lagi, dada Blaze bergemuruh karena perkataan Ice, namun ia kembali menyinggingkan senyuman. "Tidak ada yang aneh, mulai sekarang, kapanpun kau merasa sendiri dan ingin memandang langit, aku akan ada di sampingmu."

"Bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, seakan-akan mereka muncul keluar dari langit malam. Aku sungguh berpikir itu adalah pemandangan yang indah. Lalu aku melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama. Dan teringat lagi saat melihatmu." Aquamarine bertemu dengan manik jingga berlian.

"Bintang-bintang bersinar terang melawan luas dan gelapnya malam. Ku pikir kalian sama," Lanjut Ice.

Dahi Blaze mengkerut, "Sama?"

Ice mengulum senyum, "Kau seperti bintang dalam hidupku. Hidupku dulunya kosong dan gelap, lalu suatu hari dengan sebuah kerlip cahaya, kau muncul di dalamnya. Kemudian satu per satu, kau menyalakan cahaya dalam hidupku." Tangan Ice beralih menyentuh dadanya, "Begitupun dalam hatiku. Ada begitu banyak momen yang bersinar, semua itu mungkin terjadi karenamu. Seperti bintang yang muncul di langit malam. Saat kau pergi tur asia, aku sangat merindukanmu. Dulu, aku benar-benar menghabiskan lebih banyak waktu sendirian, tapi kemudian di suatu titik, aku jadi terbiasa dengan kau berada di sisiku. Terima kasih sudah menjadi cahaya dalam hidup yang sangat gelap." Ucap Ice bernostalgia.

Sudut bibir Blaze terangkat, "Kau mengingatkanku pada dirimu satu tahun yang lalu." Ujarnya sedikit terkekeh.

10 menit lagi menuju pesta kembang api bersama perayaan pergantian tahun. Dan kini, waktu seolah semakin lambat bergulir.

"Blaze, kau tau betapa sulitnya bagi seseorang untuk terus bersama sedemikian lama? Tapi kau tetap bersamaku, hingga saat ini. Apakah kau tau? Seandainya suatu hari aku tiba-tiba menghilang, aku berpikir telah memberi dan melakukan segalanya yang kubisa untukmu."

Blaze memandang paras Ice lekat, tangannya terulur menggenggam erat jemari Ice, "Keberadaanmu di hatiku sudah melebihi apapun yang kuinginkan. Bertemu denganmu adalah suatu anugerah terindah seumur hidupku."

Atmosfer ini terasa menyedihkan walau secara tidak langsung. Diselumuti rasa sendu bercampur cemas.

"Hey, Blaze. Apa yang kau sukai dariku? Hmm, kalau aku, banyak yang ku suka darimu. Eum, contohnya seperti caramu membuat onar untuk meramaikan suasana. Kita mengatakannya secara bergilir ya? Kalau kau?" Ice mencobe merubah suasana.

Blaze nampak berpikir, "Entah, mungkin caramu menahan diri meskipun tersakiti, tapi tetap berusaha tersenyum seolah tak terjadi apapun. Caramu tersenyum juga sangat menakjubkan, tapi itu sedikit mengkhawatirkanku."

"Itu terlihat menyedihkan ya? Eum, aku suka sifat kekanak-kanakanmu."

"Hahaha tak ada orang yang suka dengan sifat seperti itu. Aku wajahmu yang kesal, terlihat menggemaskan."

Ice menggembungkan pipinya, "Itu artinya kau lebih suka aku yang pemarah? Oke…" ujarnya ketus.

Blaze mencubit pipi Ice, "Sudahku bilang, wajahmu yang kesal itu menggemaskan. Membuatku ingin mencubit pipimu."

"Aduh, sakit,," ujar Ice polos sambil mengelus bekas cubitan Blaze, "Hmm, aku suka kau yang ceroboh."

"Sepertinya aku hanya dapat hinaan saja." Kesal Blaze dibuat-buat.

Raut wajah Ice berubah cepat, "Tapi semua itu hal yang ku suka darimu." Katanya tulus.

Hiruk pikuk kota terdengar hingga telinga mereka, sorakan mulai menghitung mundur menuju pergantian tahun. Berbeda 180° dengan bukit yang ditenggak keheningan malam.

Ice menyandarkan kepalanya di bahu Blaze, "Hei, Blaze.. Begini, akhir-akhir ini aku takut tertidur."

"Eum? Kenapa?"

"Aku takut, semua ini hanyalah mimpi. Dan ketika aku bangun, aku akan kembali dengan rasa sakit yang sama. Tapi sebenarnya ada hal yang lebih aku takutkan dari itu. Aku takut ketika aku membuka mata, kau tak lagi di sampingku."

SYUUUUUUUTTTT.. DUAR…

Merah, biru, hijau, warna-warna yang tak mungkin menghiasi gelap kini seperti tumpahan cat di kanvas hitam. Yang satu padam tergantikan dengan kembang api yang lain, saling bersahut mengusir malam yang biasanya senyap.

"Ini bukan mimpi." Jawab Blaze.

Tak seorangpun tahu, pemilik manik aquamarine itu merasa sesak memenuhi dadanya, hingga air mata yang tertahan di pelupuk mata jatuh melewati sisi pipi.

'Aku tahu ini tak akan berlangsung selamanya, seperti kembang api yang bersahutan di atas sana. Tapi meski hanya beberapa saat saja, aku bahagia. Syukurlah aku masih hidup. Hari ini hanya datang sekali.' ~ Ice

Kembang api terakhir telah dilepaskan, jejak percikannya pecah dan menghilang tak membekas di kegelapan. Bersamanya, butiran pasir terakhir telah terjatuh. Menyisakan kehampaan dalam ruang kosong.

Blaze melirik, Ice telah tertidur. Wajahnya yang pucat dan juga dingin dengan seulas senyum. Perlahan tangan Blaze bergerak, merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya.

"Etenia Ice, aku sangat mencintaimu."

Dengan mudah, Blaze mengangkat gadis yang terlelap itu dalam dekapan hangatnya. Tubuhnya ringan dan juga dingin, mungkin karena langit di atas saja juga cerah. Ia masih ingin dekat dengan Ice.

"Blaze, apa Ice sudah tidur?"

Blaze menatap teman-temannya yang sengaja menunggu di sana. Blaze tersenyum, senyuman getir yang seolah menunjukan seberapa hancurnya dia

"Tidak, Ice tidak tertidur." Blaze tersenyum pahit, air matanya mulai berlinang. "Dia meninggal."

Semua bisu, bahkan kemeriahan pergantian tahun lenyap begitu saja di telan duka. Blaze berjalan menjauh, sosok yang selama ini terlihat kuat, dalam seketika nampak rapuh walau hanya dilihat dari punggungnya.

~Etenia Ice, kau sudah berjuang keras sampai akhir~

~LucKyra~

Kau dan akhir musim panas, mimpi masa depan

Harapan-harapan besar, aku tak akan melupakannya

Percaya kita akan bertemu lagi

Di bulan Agustus, 10 tahun kemudian

Kenangan terindah

Pagi itu, matahari lebih berwarna jingga, kabut tebal perlahan memudar, berangsur sirna. 1 Januari, awal tahun yang memilukan bagi keluarga dan teman yang ditinggalkan. Etenia Ice meninggal 3 hari setelah operasi pengangkatan kanker di otaknya. Meninggal dalam pelukan orang yang disayanginya.

Kembang api merekah dilangit malam dengan indah

Ini sedikit menyedihkan

Angin bertiup bersamaan dengan waktu

Menjadi bahagia, bersenang-senang

Kita juga banyak berpetualang

Di dalam markas rahasia kita

Blaze berdiri jauh dari tempat pemakaman. Ia tak sanggup melihat jasad Ice dikebumikan. Saat ia memerhatikan proses pemakaman dari tempatnya berdiri, tiba-tiba seseorang menepuh pundaknya. Ia menoleh dan melihat ayah Ice berdiri dibelakangnya.

"Ah, om? Saya turut berduka cita atas kepergian Ice." Ujar Blaze sedikit membungkuk, setelah melepas earphone dari telinganya.

Senyum sendu nampak jelas di wajah keriput itu, "Kau tidak ke sana?"

Blaze berbalik, menatap lurus ke depan, "Dari sini saja sudah cukup. Ice pasti tau jika aku berada di sini."

Ayah tidak berkata apa-apa, ia sudah menduga alasan yang sebenarnya. "Terima kasih sudah menjaganya selama ini, telah membuat hari-hari terakhirnya menjadi terkenang, dan semua yang telah kau berikan padanya."

Blaze tersenyum getir. "Padahal aku merasa tak melakukan apapun." Gumamnya.

"Ini, surat yang Ice tinggalkan untukmu." Kata ayah sambil menyodorkan selembar amplop. "Sesuatu yang Ice tulis di hari-hari terakhir hidupnya." Kemudian ayah pergi dengan menepuk pundak Blaze lembut.

Blaze kembali memasang earphone dan terlarut dalam dunianya sendiri. Di sampul depan tertulis : "To Boboiboy Blaze".

Dari dalam hatimu hingga saat nanti

Aku tau kau meneriakan kata terima kasih

Menahan air mata, senyuman perpisahan

Ini menyedihkan

Kenangan terindah

~Dear Boboiboy Blaze~

Lucu rasanya mengirim surat di masa modern seperti ini, tapi ku pikir ini akan lebih terkenang. Ketika kau menerima surat ini, sudah pasti aku tak bisa bersamamu lagi di dunia.

Entah bagaimana, aku bisa mengingat semua kejadian dalam hidupku. Semua menjadi terkenang dalam hidupku.

Sejak ibuku meninggal, aku lupa rasanya memiliki teman karena aku terlajur menutup diri untuk orang lain. Dan hari itu kau datang. Kau tau penampilanmu saat itu? Hancur, acak-acakan seperti habis dikejar anjing. Aku bahkan harus menahan nafas ketika kau duduk di depanku.

"Seburuk itukah aku waktu itu?"

Tapi sejak saat itu, secara tidak langsung kau mengajariku cara untuk berteman, dan aku menjadi tau apa arti 'teman'. Hidupku sangat menyedihkan bukan? Akupun juga tak tau sejak kapan aku menjadi selemah itu. Jujur aku sangat senang bisa mengenalmu. Semua momen sejak pertama kali kita bertemu, semua kenangan berharga yang kita bagi bersama.

Hei, apa kau percaya aku pernah bertemu malaikat?

"Satu-satunya malaikat tercantik yang pernah ku temui adalah dirimu."

Kau tau rasanya melihat pemakaman kita sendiri atau melihat tubuh kita terbaring dengan alat kardiograf yang menunjukan garis lurus? Aku pikir Tuhan tidak adil padaku, tapi Tuhan memberiku hidup untuk ketiga kalinya, walau hanya terhitung hari aku sangat bersyukur.

Semilir angin yang kita nikmati bersama saat istirahat di atap sekolah sangat menenangkan ya? Mendukungmu dari trimbun itu sangat menyenangkan, apa kau tau kalau kau itu keren saat berlarian di tengah lapangan hijau? Kembang api yang kita lihat malam itu seolah tengah berpesta bersama bintang-bintang. Festival holi yang kita rayakan hari itu juga penuh warna. Saat kita membuat janji itupun aku sangat bahagia.

Aku ingat semua itu,

Sangat menyenangkan, saat-saat yang kita habiskan bersama. Dan desiran angin, suasana yang nyaman, juga hati kita. Tolong genggam erat-erat semuanya itu dan jangan lepaskan. Kau bisa melakukannya kan?

"Tentu saja."

Senyum cerahmu yang selalu menguatkanku, sekarang hanya bisa ku kenang. Bisa bertemu denganmu, aku bahagia, selama ini aku benar-benar bahagia

Kalau aku mengucapkan salam perpisahaan, 24 jam pun tak cukup, sebanyak apapun waktu yang diberikan tak akan cukup. Semua waktu yang telah berlalu, sangatlah berharga.

Terima kasih telah berada di sisiku selama ini. Ku harap kita bisa tersenyum dan tertawa bersama saat kita bertemu di masa depan. Terima kasih untuk semua kenangan yang sangat berharga. Seperti betapa bersyukurnya aku bisa bertemu denganmu, seperti betapa aku menghargai waktu yang kita habiskan bersama. Dan kalau kelak kita bisa bertemu denganmu lagi, aku janji untuk mengatakan padamu, bahwa aku sangat mencintaimu.

Selamat tinggal, Blaze.

Jangan lupakan aku ya, ^^

Regard

~Etenia Ice~

Aku berbicara padamu di penghujung musim panas

Melihat matahari terbenam dan menatap bintang-bintang

Aku tak akan pernah air mata yang bergulir di pipimu

Aku tak akan pernah melupakanmu

Melambaikan tanganmu hingga saat nanti

Selamanya seperti ini, di dalam mimpi kita

Tintanya memudar, titik air membasahi kertas itu, air mata tak bisa lagi terbendung di pelupuk mata Blaze.

"Mana mungkin aku bisa melupakanmu. Kau yang sudah memahat hatiku, mana bisa kembali ke bentuk semula setelah semua hal yang telah kita lewati? Itu terlalu membekas." Di dekapnya secarik kertas itu sebagai kenangan terakhir.

~LucKyra~

Ice POV

Awan putih menggulung, cahaya kuning hangat menembus melewati celahnya dan menyebar. Kini aku benar-benar menyaksikan pemakamanku sendiri. Meski sedih, meski berat untuk melepasnya, meski aku telah meninggal, tapi aku yakin aku masih bisa hidup di hati mereka. Orang-orang yang menyayangiku.

Yang kulihat ini bukan mimpi, déjà vu yang seutuhnya menjadi nyata. Seorang wanita paruh baya dari kejauhan memanggil namaku, tubuhnya bersinar terbalut gaunnya putih tak membuatku lupa akan sosok itu.

"Ice, sudah waktunya." Ujarnya seraya melambaikan tangan.

Aku mengulas senyum, "Iya, ibu."

Untuk terakhir kalinya, kupandangi lelaki yang kucintai. Aku akan menjalani hidup yang panjang, jadi aku bisa menunggumu lebih lama lagi. Kalau ada kesempatan, aku ingin kau menceritakan bagaimana dunia dibawah sana setelah aku pergi. Dan kutinggalkan hatiku untuk kau kenang.

"Selamat tinggal Blaze, aku mencintaimu."

.

.

Pemakaman Ice telah berakhir telah berakhir beberapa saat lalu, para pelayat beranjan meninggalkan pemakaman, menyisakan Blaze yang memandangi nisan kekasihnya. Tinggal kenangan.

Seseorang menepuk bahu Blaze pelan, "Blaze, ayo pulang." Kata Gempa. Yaya, Ying juga Fang hanya memandang sendu pada sosok Blaze yang masih belum beranjak dari sana. Memahami perasaan lelaki itu.

Blaze mengangguk singkat dan sejenak mengusap ujung matanya yang nyaris menitihkan air mata lagi. Ia mendongakkan kepala memadang langit dari pandangannya yang buram. Dan angin berhembus sepoi, menggugurkan dedaunan kering berguguran, seolah membawa pesan dari langit.

Angin lembut berbisik, 'Aku mencintaimu Blaze'.

"Aku juga mencintaimu, Ice."

.

~ Aku hidup bahagia untuk waktu yang lama bersama kalian semua. Dan aku harap, bahwa saat aku menutup bukuku, kalian akan tersenyum.~ Etenia Ice

~FIN~

Yeeee! Selesai.. 19 Chapter kelarnya setahun T,T … Makasih semua atas dukungannya selama ini, hingga bisa sampai sepanjang ini.. Kyra ngga bakal bisa nyelesaiin dengan baik tanpa kalian semua.

Makasih yang udah Ngefavorite, ngefollow dan yang review. Minna mo hounto ni arigatou gozaimasu.. Meski masih banyak kesalahan di sana-sini, Kyra juga masih belajar untuk yang lebih baik ^^.. Semoga chapter terakhir ini ngga mengecewakan kalian semua.

Lanjut ke review ya . . .

Willy0610 : Eum, aku kadang juga ngebaca ulang chapter sebelumnya, lupa juga soal nya

Blaze : Lah, authornya aja lupa chapter" sebelumnya ckckckc

Jeng! Jenggg! Ice mati beneran kali ini… Ya ampun, aku mempermainkan hidup cast ku sendiri TT .. Makasih dukungannya ^^ Hahaha, dari ceritanya ngga nunjukin sifatku ya? Aku 100% cewek kok ^^ Yoroshiku

Zahra123 : *Spechlees* Aku bener" tersanjung lo baca coment mu, hounto ni arigatou gozaimasu ... Kalo dipikir" 19 chapter itu ngga sedikit lo buat kematian Ice, ah lebih jika digabung sama yang Loneliness Ice… Hahaha, ya ampun, jangan dibawa sampe kelebih baper.. Hihihi, masih jauh kali kalo sama Agnez Davonar.. Tapi makasih pujiannya..

Eum, mochiron.. Aku tetep lanjut buat fic di fandom ini, dan semoga cerita" selanjutnya ngga kalah seru sama yang sebelumnya ^^

Regietta580 : Yes! This is power of author.. Hihih walau ada keajaiban akhirnya juga sama aja.. Eum, emang beberapa chapter ini aku ngga liat kamu sih, hihihi.. Seminggu lama ngga buat up?

Tika : Yey, surprise! Akhirnyaa Ice meninggal juga.. Hmm, genre angst kalo dibuat happy end gimana? Emang updatenya lama bgt ya? Rasanya aku ngrasain sambil mikir jalan ceritanya, 2 minggu rasanya cepet bgt T,T.. Makasih udah nyempetin review ^^

Boo Jimin Ice : Hai, Boo.. Hihihi, ngga kok.. Yang tewas disini Etenia Ice, bukan Boo Jimin Ice.. Hmm, sebenarnya emang sengaja aku potong sampe Blaze POV, biar bikin penasaran readers gitu.. Hihihi, tapi kali ini beneran selesai, ngga ada surprise lagi –maybe- Okay, makasih dukungannya ^^

Vanilla Blue12 : Yah, mau gimana lagi, genrenya aja udah angst.. Kalo tiba-tiba Ice hidup trus nikah sama Blaze kan ngga nyambung sama genrenya, hihihi.. Eumm makasih dukungannya ^^..

Illilara : Eum, semangat kegiatannya ^^.. Makasih udah nyempertin review.. Makasih dukungannya.. ^^

Salsabila Tasnim : Yah, kayaknya banyak yang berharap Ice hidup lagi. Well, Ice emang hidup lagi.. Tapi akhirnya, yah begitulah.. Makasih ya udah review n makasih juga dukungannya (^.^)

Sekali lagi, makasih buat dukungannya semua.. Ugh, bikin terharu.. Apapun itu tetap dukung Kyra dan tunggu cerita seru lainnya ya ^^

Sekian dari Kyra, dan sampai jumpa ^^