Halo, terima kasih sudah menunggu chapter 3 sekaligus chapter terakhir untuk fanfiksi ini. Disclaimer dan glossary ada di chapter 1. Dan seperti sebelumnya, chapter ini juga dilengkapi dengan ilustrasi yang bisa dilihat di akun AO3 saya (neoratu), atau wattpad (neoratu).

Selamat membaca!


Mimpi Hitam Putih

Three

2004, Summer. Teikou High Shcool.

Tetsuya memandangi sosok Akashi yang duduk di sisi jendela ruang klub film SMA Teikou. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya dilihat oleh Akashi di luar sana, tapi ia bisa menebak. Kemungkinan, perhatian Akashi tertuju pada Kise yang tengah menghibur para penggemarnya di lapangan sekolah.

Kepindahan Kise ke SMA yang memang ditujukan untuk mereka yang fokus bekerja di bidang hiburan sudah diputuskan. Ia pun sudah mengajukan pengunduran dirinya dari klub film. Tetsuya hadir ketika Kise berbincang dengan Akashi, dan ia pun tahu apa yang tersirat dalam benak Akashi saat ia memberikan persetujuannya.

Kise yang dengan pasti melangkah mengejar mimpi, pasti terlihat begitu menyilaukan bagi Akashi.

"Akashi-kun?" Tetsuya memulai.

Akashi menyandarkan dahinya pada kaca jendela. Ia menutup mata. "Kuroko, aku sedang tidak mood."

Tetsuya mendekat. Sejujurnya, ia sudah mulai lelah dengan perilaku Akashi. "Apa terjadi sesuatu lagi di rumah?"

Rahang Akashi mengeras. Ia lagi-lagi melayangkan pandangan ke luar jendela. Kini dari posisinya, Tetsuya bisa melihat Kise yang tersenyum ceria, dikelilingi para gadis. Tetsuya melirik Akashi, dan hatinya sakit menyaksikan apa yang tersirat di wajahnya.

"Akashi-kun."

"Kubilang aku sedang tidak mood."

Tetsuya menghela napas. "Percuma kaumarah padaku. Atau pada Kise-kun."

"Diamlah."

"Kau tetap akan melanjutkan sekolah ke jurusan film, kan? Akashi-kun," Tetsuya berkata. Daripada pertanyaan, itu lebih terdengar seperti hardikan. "Kau juga bisa seperti Kise-kun."

Akashi hanya melihat Tetsuya sekilas. "Kau tidak tahu apa yang kaukatakan."

"Hmm," gumam Tetsuya. Suasana hati Akashi yang terus memburuk membuat mereka tidak pernah bisa untuk berbicara tanpa bertengkar akhir-akhir ini. Tetsuya tidak tahu di mana letak kesalahannya. Apakah pada dirinya? Ataukah Akashi? "Apa kau sudah menyerahkan formulir pilihan universitas?"

"Belum."

Tetsuya menahan kesal. "Kau masih bingung?"

Akashi memijat pelipisnya. Dahinya berkerut dan tampak jelas ia sedang menahan amarah juga. "Tidak, aku sudah berjanji padamu, kan? Percayalah padaku."

Tetsuya tidak menyahut untuk beberapa saat. Ia mengatur napas, masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya salah pada mereka. Pada akhirnya ia mengangguk pelan. "Maafkan aku. Bukannya aku tidak percaya, hanya saja akhir-akhir ini kau—"

"Kuroko," Akashi memotong, "diamlah."

Tetsuya mengepalkan jari-jarinya. Amarah yang sedari tadi ia tahan, memuncak. Ia menggigit bibir, lalu berbalik sebelum ia mengatakan sesuatu yang bisa memperburuk keadaan. Berdasarkan pengalaman, tidak ada gunanya berdiskusi ketika Akashi sedang seperti ini.

Sesungguhnya hati kecil Tetsuya masih mengharapkan Akashi memanggilnya, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Tetsuya keluar dan harus mengendalikan diri untuk tidak membanting pintu seperti anak SD.


2015, Autumn. Dream Studio, Inc.

Di awal musim gugur, ketika syuting Mimpi Hitam Putih mencapai penghujung, Akashi mendatangi Tetsuya dengan secangkir kopi hangat di tangan. Tetsuya mengerjap bingung. Ia terlampau serius dengan pekerjaannya yang sudah mencapai masa genting—alias menghitung total pengeluaran yang harus ditebus oleh manajemen proyek Hitam Putih—hingga tidak menyadari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Ia masih sedikit disorientasi saat Akashi meletakkan kopi itu di meja.

"Kau terus di depan komputer. Istirahatlah sebentar," kata Akashi.

Tetsuya memijat ujung dalam matanya. "Terima kasih. Tapi ini sudah tanggung."

"Sudah mau selesai?"

"Sedikit lagi. Aku harus berhati-hati jika tidak mau rugi."

"Justru karena kau harus teliti, istirahatlah dulu. Semakin lelah, semakin besar peluang melakukan kesalahan." Akashi mengintip file Excel yang sedang dikerjakan Tetsuya. "Apa kau sudah makan malam?"

Tangan Tetsuya yang sedang menggerakkan mouse, terhenti. Jantungnya berdetak cepat tanpa diundang.

"Belum," katanya pelan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan bersama?" tanya Akashi. "Aku tahu restoran yang bagus di dekat sini. Kita bisa kembali ke sini sebelum larut."

Tetsuya menelan ludah. Ia akhirnya benar-benar memandang Akashi. "Untuk apa?"

Wajah tenang Akashi berubah. Mungkin ia tidak menyangka Tetsuya akan bertanya. Atau mungkin ia merencanakan hal lain di balik pembawaannya yang percaya diri.

"Sudah kuduga aku harus jujur kalau denganmu," kata Akashi akhirnya.

"Apa maksudmu?"

"Kuroko," Akashi memulai. Tatapannya intens dan membuat perut Tetsuya bergejolak. "Aku tidak pernah bisa melupakanmu. Tidak sekali pun selama sembilan tahun kita berpisah."

Sesuatu menusuk-nusuk dada Tetsuya. Ia mengepalkan tangannya yang mendadak dingin.

"Karena itu aku ingin memulai lagi," Akashi menambahkan, "jika kau bersedia."

Tetsuya menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Kalau ia harus jujur, itu adalah kata-kata yang ia harapkan malam itu ketika Akashi mengusirnya. Bahkan, sampai sedetik yang lalu, hatinya masih mendambakan kata-kata itu. Menginginkan koreksi atas apa yang terjadi bertahun-tahun silam. Namun sekarang ….

"Kalau kau mengundangku makan bersama sebagai teman, aku akan menerimamu. Tapi kalau kau mengharap lebih, Akashi-kun, maaf … aku tidak bisa."

Akashi hanya memandang dalam diam. Jika Tetsuya tidak mengenalnya, mungkin ia akan menebak bahwa Akashi sangat dewasa dan tenang. Namun tidak. Di balik postur tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang kini nyaris tidak berekspresi, Tetsuya tahu Akashi menyimpan emosi lain.

Sesuatu yang tidak bisa Tetsuya acuhkan. Tidak.

Akashi kemudian mengangguk, lalu menyentuh tangan Tetsuya untuk beberapa saat. Sebelum pergi dari ruang kerja Tetsuya, ia berkata dengan lembut, "Istirahatkan matamu sebentar. Sampai nanti."

Tetsuya menjatuhkan pandangan pada punggung tangannya yang masih merasakan kehangatan Akashi. Sesuatu yang buruk mengaduk-aduk dadanya. Mengacaukan ketenangannya.

Malam itu, Tetsuya mencoba untuk berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya … tanpa hasil.


2004, Summer. Teikou High School.

"Kudengar kau tidak jadi melanjutkan kuliah di jurusan film," ujar Tetsuya. Ia menghalangi Akashi di lorong lantai tiga gedung sekolah yang sunyi. Hanya ada perpustakaan yang nyaris tidak berpengunjung di ujung lorong. Tempat yang hanya didatangi Akashi jika ia ingin menyepi selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA Teikou.

"Cepat juga beritanya menyebar," jawab Akashi. "Aku baru saja mengganti pilihanku minggu lalu." Ia menapak ke samping, berusaha melewati Tetsuya, tapi Tetsuya menghadangnya lagi.

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengubah cita-citaku. Itu umum terjadi di usia kita, kan?"

Tetsuya merengut. "Akashi-kun, memang sejak naik ke kelas tiga ini kau terlihat tidak menikmati film lagi …."

"Baguslah kalau kau tahu."

"… tapi kau juga jadi tidak pernah tersenyum."

Akashi tertawa tanpa humor. "Tersenyum? Memang apa fungsinya itu, Kuroko? Sudahlah, kalau kau ingin melanjutkan kuliah di jurusan film, aku akan mendukungmu."

Kekesalan Tetsuya membumbung. "Mendukung? Kau bahkan tidak bisa mendukung keputusan Kise-kun untuk pindah ke sekolah yang lebih mengerti pekerjaannya sebagai aktor."

Raut wajah Akashi berubah. Senyuman lenyap dari bibirnya. "Aku menyetujui kepindahannya."

"Tidak dengan tulus. Sesungguhnya kau iri karena ia bisa mengejar mimpi, kan?"

"Iri? Aku—"

"Ini karena ayahmu, kan?"

Akashi membuang muka. Ia mencengkeram sebelah lengannya dan pundaknya tertekuk. Untuk pertama kalinya, Tetsuya menyaksikan Akashi yang gentar, rapuh. Namun saat ia bicara, suaranya tetap terdengar tenang. "Aku tidak mengerti maksudmu."

"Karena ayahmu menginginkanmu melanjutkan usaha kakekmu, walau ironisnya ia sendiri mengejar mimpi."

"Kuroko, diamlah."

"Kenapa kau tidak boleh mengejar mimpimu sendiri?"

"Kuroko!" Akashi setengah berteriak. Napasnya tersengal. "Ini sudah perjanjianku dengan Ayah. Aku hanya boleh bersenang-senang di klub film sampai SMA."

Tetsuya menggeleng. "Tapi Akashi yang kukenal … tidak pernah menyerah. Ke mana tekadmu untuk tetap mengejar mimpi?"

"Ayahku membenci mimpinya," kata Akashi. "Dia hanya tidak ingin aku mengalami hal yang sama."

"Itu aneh. Apa pun yang terjadi pada ayahmu saat ia memutuskan mengejar mimpi, itu bukan salahmu."

"Itu sudah perjanjian Ayah dengan Kakek. Bahwa anak laki-laki selanjutnya yang akan menjadi pewaris."

"Lalu apakah si anak laki-laki tidak punya hak untuk memutuskan hidupnya sendiri?" kata Tetsuya dengan nada yang sedikit kasar. Ia tidak mengerti. Ia benar-benar tidak mengerti hubungan keluarga Akashi. Hubungan yang terlalu egois dan mengatasnamakan cinta orangtua. "Akashi-kun, kau bahkan tidak berkonsultasi dulu denganku."

Ekspresi wajah Akashi mengeras. Sorot matanya dingin dan ia menegakkan badannya. "Kuroko, ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Memangnya kau siapa, apa hakmu untuk mengaturku?"

Tetsuya bagai ditampar mendengarnya. Ia memandang Akashi dengan tidak percaya. "Akashi-kun …?"

Tetsuya sadar ia terlalu lemah pada Akashi. Ini memang bukan kali pertama Tetsuya merasa apa pun yang Akashi katakan padanya bisa berdampak besar. Bukan kali pertama ia menahan diri atas tingkah Akashi yang terlalu menjunjung harga diri dan ego. Namun tidak pernah sekali pun Tetsuya menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Akashi.

Ia meminta dalam hati. Memohon agar Akashi menarik kata-katanya dan mengakui bahwa ia tidak bermaksud mengucapkan itu. Namun detik dan menit berlalu, Tetsuya tidak menemukan penyesalan dari Akashi.

Alih-alih meminta maaf, Akashi malah menghindari mata Tetsuya dan berkata, "Pergilah, Kuroko. Tinggalkan aku."

Lidah Tetsuya kelu. Ia ingin berteriak dan memarahi Akashi yang berlaku seenaknya. Yang sudah berkali-kali tidak menghargai hubungan mereka. Namun ….

Memangnya kau siapa, apa hakmu mengaturku?

Mungkin … Tetsuya memang bukanlah seseorang yang berarti bagi Akashi.

Dengan hati yang lebur, Tetsuya berbalik dan bergegas menuruni tangga. Jika memang Tetsuya bukanlah siapa-siapa bagi Akashi, ia akan mengabulkan permintaan Akashi.

Hubungan mereka hanya sampai di sini.


2015, Autumn. Ebisu Alley.

White Smoke, bar langganan Tetsuya yang terletak di kawasan Ebisu. Tempatnya kecil, terjepit di antara tempat pachinko dan toko buku bekas. Berbagai model gitar dipajang di sepanjang dinding, dengan penerangan yang temaram. Musik jazz mengalir merdu. Biasanya, Tetsuya mampir setelah membeli buku hanya untuk minum segelas bir penghangat badan di hari-hari dingin. Beberapa kali ia datang untuk meredam emosi atau lari dari kenyataan. Seperti malam ini.

Proyek Mimpi Hitam Putih sudah nyaris rampung. Hanya tersisa satu adegan yang belum diambil, dan pekerjaan Tetsuya pun sudah sembilan puluh persen selesai. Tidak begitu banyak pernak-pernik baru yang harus ia buru. Karena itu ia bisa meluangkan waktu untuk minum-minum. Walaupun ia tidak begitu menyukai alkohol, setidaknya alkohol bisa menumpulkan kekhawatiran yang terus menghantuinya.

"Jadi, bagaimana Akashi?" Aomine langsung bertanya tanpa basa-basi. Ia mengisyaratkan pada bartender untuk mengisi ulang gelas whiskey miliknya, lalu mengangkat sebelah alis pada Tetsuya.

Tetsuya menghela napas. "Aku ingin melupakannya. Kenapa kau harus membicarakannya sekarang …."

"Karena kita jarang ketemu." Aomine menenggak whiskey on the rock yang baru saja diberikan oleh bartender. "Dan, kau tidak pernah mengajakku minum-minum kalau sedang tidak punya masalah."

"Aku bisa saja punya masalah lain. Seperti pekerjaan misalnya."

Aomine memandang Tetsuya, seakan mengatakan kalau hanya orang bodoh yang percaya hal itu.

"Baiklah, kau benar. Akashi-kun mengajakku makan malam."

"Hmm," kata Aomine. "Lalu?"

Tetsuya mengerucutkan bibir. Ia mengusap permukaan gelas birnya yang setengah kosong. "Dia mengharapkan lebih. Aku menolak."

Aomine melongo. Tangannya yang mengangkat gelas whiskey berhenti di udara. "Kau bodoh atau apa?"

"Aomine-kun, aku tidak bisa bersama Akashi-kun lagi," kata Tetsuya tegas.

Aomine melengos. "Tidak bisa? Apa alasanmu?"

"Masa lalu kami—"

"Masalahnya, Tetsu, sudah jelas kau juga tidak bisa melupakan Akashi."

Tetsuya menyipitkan mata. "Aku tidak bisa melupakannya bukan karena ingin."

"Sebelas dua belas," kata Aomine sembari mengedikkan sebelah bahu. "Lagipula, katamu Akashi sudah kembali normal."

"Lebih tepatnya, ia sudah berubah. Seperti perpaduan keduanya, dan mungkin yang lain lagi. Entahlah."

"Terus, apa lagi masalahmu?"

Tetsuya mendesah lelah. "Aomine-kun …."

Aomine mengangkat telapaknya, menyuruh Tetsuya diam. "Serius, Tetsu. Entah dia sudah berubah atau kembali normal, yang jelas dia sudah bukan Akashi yang menyeramkan, kan?" Aomine bergidik tiba-tiba. "Aku tidak mau mengingat bagaimana dia tiba-tiba berubah seram waktu SMA."

"Kondisi mentalnya—"

"Aku tahu, aku tahu." Aomine mengibaskan tangan. "Poinku tetap sama, apa lagi yang kaumasalahkan?"

Tetsuya menahan diri untuk memutar bola matanya. "Mungkin kalau kau membiarkanku bicara sampai selesai, kau akan mendapat jawabannya."

Aomine memajukan bibir bawahnya, lalu meneguk whiskey. Tetsuya mengikuti dengan menenggak sisa birnya hingga habis.

"Maaf, Tsuruga-san, tolong segelas lagi," katanya pada bartender, seorang pria paruh baya dengan wajah ramah tapi pendiam dan kumis yang memutih.

Tsuruga tersenyum dan mulai meyiapkan segelas bir lagi. Tetsuya memainkan jari-jarinya di atas meja, sadar akan mata Aomine yang terus mengobservasi gerak-geriknya.

"Aku bisa menerimanya sebagai teman lagi," kata Tetsuya. "Tapi tidak semudah itu untuk kembali berhubungan. Kau tahu, saat SMA, aku bermaksud untuk berbaikan dengannya. Tapi …." Tsuruga menyodorkan gelas bir yang terisi penuh pada Tetsuya. Tetsuya menggunakan kesempatan itu untuk mengisi kerongkongannya dengan bir lagi sebelum melanjutkan. "Tapi dia berubah. Aku sampai terus-terusan memimpikan kejadian itu."

"Sampai sekarang?"

Tetsuya mengingat-ingat. "Tidak. Tapi di bulan-bulan pertama proyek, aku masih sering bermimpi."

Aomine mengangguk. "Kau sudah mulai memaafkannya?"

"Aku tidak tahu."

"Akashi masih menyukaimu, kan?"

"Bukan itu masalahnya."

"Tetsu," Aomine berkata dan memaksa Tetsuya untuk menatap matanya. "Yang mana pun itu, Akashi tetap Akashi. Apa mungkin Akashi pernah tidak menyukaimu?"

"Dia pernah mengusirku, Aomine-kun."

"Hmm," ujar Aomine. "Aku tidak tahu isi otak Akashi karena yang mana pun dia tetap aneh, tapi mungkin … mereka hanya punya cara yang berbeda dalam menghadapi masalah."

Tetsuya tertunduk. Jemarinya memeluk gelas bir, merasakan dinginnya menusuk pori-pori.

"Akashi yang sekarang menginginkanmu. Itu yang penting, kan?"

Mungkin. Atau mungkin juga tidak. Tetsuya tidak tahu lagi harus berpikir apa. Ia tidak bisa begitu saja menghapus rasa sakitnya yang sudah bertahun-tahun. Ia tidak bisa membenarkan perilaku Akashi, meskipun ia mengerti semua itu bukanlah kemauan Akashi sendiri. Ia mengerti, tapi, lagi-lagi … bagaimana ia bisa menerima?

Musim semi tahun 2005, tepat di hari kelulusan SMA, masih terbayang jelas bagaimana Tetsuya berpapasan dengan Akashi yang dengan percaya diri tersenyum pada adik-adik kelas. Ia berjalan dengan langkah pasti, punggung tegap, dan wajah yang yakin bahwa pilihan hidupnya adalah benar.

Akashi melihat Tetsuya di masa itu, dan, dengan senyuman yang sekilas tampak seperti Akashi yang ia kenal, Akashi menepuk pundak Tetsuya.

"Good luck, Tetsuya."

Ia lalu melanjutkan perjalanan, melintasi jalan setapak menuju gerbang SMA Teikou. Tetsuya menyentuh tempat yang ditepuk Akashi. Tidak ada bekas apa pun di sana. Tidak ada yang tersisa. Kemudian Tetsuya berbalik untuk memandangnya dengan hati yang remuk, masih menumpukan harapan pada Akashi.

Namun, Akashi tidak kunjung menoleh.

Kini sepuluh tahun kemudian, Tetsuya merasa seakan ia masih berada di sana. Di lapangan SMA Teikou yang dipenuhi kegembiraan akan kelulusan. Seorang diri memandangi punggung tegap Akashi hingga hilang dari pandangan.

"Kau tidak cocok berkata bijak, Aomine-kun," kata Tetsuya. Ia menepis memori yang membuat dadanya perih dari benaknya, dan menghabiskan sisa bir di gelasnya. "Tapi terima kasih."

"Hmm," kata Aomine. "Mungkin suatu saat kau akan mengakui kalau kata-kataku benar."

Tetsuya memutuskan untuk tidak merespons.


2015, Autumn. Kabukicho, Shinjuku.

Syuting Mimpi Hitam Putih resmi selesai di sore hari akhir bulan Oktober. Rangkaian bunga dan tepuk tangan meriah diberikan pada para aktor dan aktris yang terlibat. Kise dan Momoi membungkuk sopan. Wajah mereka sumringah, kedua tangan penuh dengan rangkaian bunga besar—karya Minamoto Aiko.

Proses editing dan promosi memang masih akan berlangsung, tapi bagi banyak kru di departemen lain, selesainya syuting juga menandakan berakhirnya pekerjaan mereka di Mimpi Hitam Putih. Kemeriahan selesainya syuting, sekaligus perpisahan sementara untuk sebagian orang, dirayakan dengan minum-minum di kedai minum yang sama dengan saat perayaan dimulainya proyek setahun yang lalu. Novelis Mimpi Hitam Putih, Kawahara Gou, pun hadir meramaikan.

Tetsuya duduk di tatami dan menyandar ke dinding, lagi-lagi dipepet oleh Kagetora dan Sakurai. Sutradara Fushimi yang sudah terlepas dari separuh bebannya, kini tertawa lepas dan bertepuk tangan mengiringi tarian mabuk Takao dan Hayama, salah satu Best Boy, di tengah ruangan. Bahkan Kise dan Momoi yang supersibuk juga ikut bergabung, meski kabarnya mereka tidak akan bisa lama. Kise akan dijemput manajernya dalam setengah jam untuk berangkat ke lokasi syuting drama serinya, dan Momoi harus rekaman untuk single terbaru.

Begitu pula dengan Akashi yang kini mengobrol dengan Produser Mitsuhige. Kabar yang Tetsuya dapat dari Kagetora, Akashi sudah terlibat dalam proyek besar lainnya—dan tentu saja ia tidak bisa membuang waktu lama untuk ikut pesta seperti ini. Itu berarti, kemungkinan besar Tetsuya tidak akan bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat. Atau tidak selamanya, jika mereka tidak bekerja sama dalam proyek film lagi.

Tetsuya menenggak sake dan merasakan cairan tajam membakar kerongkongannya.

Tidak apa-apa. Memang seharusnya begini. Semua hal antara dirinya dan Akashi sudah berakhir sepuluh tahun lalu, dan biarlah tetap demikian.

"Kuroko! Ini adalah pesta, pesta!" Kagetora mengangkat tinggi gelas birnya. "Kenapa wajahmu ditekuk begitu, hah?"

"Wajahku memang sudah begini dari sananya. Dan Kagetora-san, aku tidak mau mengurusi dirimu jika kau tidak bisa menyetir karena mabuk."

"Ah, kau bercanda. Kau menyukaiku, tentu saja kau akan mengantarku pulang," kata Kagetora.

Tetsuya tidak dapat menahan senyum kecil. Walaupun setahun ini ada berbagai kejadian dengan Akashi yang membuat Tetsuya lelah lahir batin, ia tetap senang bekerja di bawah Kagetora dan kru lain di Mimpi Hitam Putih. Begitu banyak ilmu yang ia serap, dan Tetsuya yakin ia akan terus mengingat proyek ini sebagai pengalaman yang berharga.

Tetsuya lalu melirik ke arah Sakurai, yang sudah terlelap berbantalkan kedua lengannya di meja. Sesekali ia berkata "Maafkan aku" dalam tidurnya, tapi dilihat dari raut wajahnya yang tenang, Tetsuya menebak ia tidak bermimpi buruk.

"Kuroko."

Tetsuya tersentak. Ia memutar badan untuk melihat ke arah suara yang memanggilnya, dan menemukan Akashi yang berdiri dan sudah mengenakan jaket cokelatnya di ujung meja.

"Aku ingin bicara sebentar," kata Akashi lagi.

Kagetora menepuk pundak Tetsuya. Ia mengedipkan sebelah mata. "Go, anak muda."

"Kagetora-san, hentikan," kata Tetsuya, tidak dapat menyembunyikan gugup. Namun ia tetap membungkus diri dengan jaketnya sendiri, lalu merangkak melewati punggung Kagetora. Ia menjaga agar pandangannya tetap ke bawah meski ia sudah berdiri dan berjalan ke pintu keluar. Langkah kaki Akashi mengikuti dari belakang.

Mereka mengenakan sepatu yang diletakkan di rak dekat pintu masuk, sebelum keluar untuk disambut oleh udara musim gugur.

Hanya kebisuan yang mewarnai kebersamaan mereka. Mobil-mobil yang berlalu lalang dan kebisingan dari dalam kedai mengingatkan Tetsuya akan setahun yang lalu. Akashi memandang ke arah jalan raya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. Mau tidak mau, dari posisinya, Tetsuya harus mengakui kesempurnaan tulang pipi Akashi, garis hidungnya yang tinggi, tubuhnya yang membuat jaket biasa terlihat seratus kali lebih menarik. Layaknya Tetsuya mengakui ketampanan dan kecantikan para model dan artis yang pernah bekerja sama dengannya.

"Kuroko," Akashi memulai, membuyarkan lamunan Tetsuya. "Aku tidak bisa berlama-lama."

"Oh," kata Tetsuya. "Ya, aku tahu. Kagetora sudah menceritakan tentang proyek barumu."

Akashi tersenyum. Ia mendekat, dan tiba-tiba saja ia menarik Tetsuya ke dalam pelukannya. Aroma Akashi yang Tetsuya kenal menyelimutinya.

"Akashi—"

"Maafkan aku," kata Akashi di telinga Tetsuya. Rambutnya menggelitik pipi Tetsuya, dan Tetsuya hanya bisa terdiam mendengarkan. Akashi yang begitu bangga … telah meminta maaf dan memeluknya … di tempat umum. Kedua tangannya hangat menyentuh tengkuk dan melingkari pinggang Tetsuya. "Aku mengharapkan kebahagiaanmu. Selalu."

Kemudian ia melepaskan Tetsuya. Pelukan yang singkat dan kata-kata yang membuat hati Tetsuya teriris. Dan kini Tetsuya mengerti arti senyuman itu. Sedih, pahit, dan ….

Selamat tinggal.

Akashi memasukkan kedua tangannya ke saku jaket lagi, lalu berjalan menjauh. Ia melintasi trotoar yang penuh dengan pejalan kaki tanpa sekalipun menoleh ke arah Tetsuya. Bagai deja vu, Tetsuya hanya bisa mematung. Lidahnya kelu dan sesuatu yang pahit naik ke kerongkongannya. Tetsuya menahan mual.

Sekali lagi, Tetsuya hanya bisa melihat punggung Akashi. Bagai sejarah yang selalu terulang. Atau kaset rusak yang terus berputar tanpa henti. Lagi, lagi, dan lagi.


2015, Winter. Koen Dori, Shibuya.

"Oke, Kuroko-kun. Aku akan mengabarimu lagi kalau ada tawaran baru," kata Mibuchi Reo, salah satu agen perfilman yang Tetsuya gunakan. Mibuchi menyatukan beberapa helai kertas dengan penjepit, lalu memasukkannya ke dalam laci meja. "Dengan pengalamanmu di Mimpi Hitam Putih, aku yakin akan semakin banyak tawaran kerja yang masuk."

"Terima kasih, Mibuchi-san. Kalau begitu aku pamit," kata Tetsuya. Ia mengangguk kecil pada laki-laki yang tersenyum dan mengedip genit dari mejanya itu. Bertahun-tahun bekerja dengan Mibuchi, Tetsuya sudah hapal dengan tingkah lakunya. Profesional dan ulet, hanya … sedikit senang bermain mata dengan laki-laki.

Tetsuya menuruni tangga sempit yang langsung terhubung dengan tepi jalanan Shibuya. Gedung tempat Mibuchi beroperasi memang tidak begitu besar, dan ia juga tidak seterkenal agen-agen lain. Namun itu bukan berarti ia tidak lihai. Tetsuya berhutang banyak padanya—karena Mibuchilah karirnya bisa berkembang sejauh ini.

Tetsuya mengenakan sarung tangan yang sedari tadi ia kantungi. Menurut ramalan cuaca, suhu hari ini akan turun hingga lima derajat celsius. Kemungkinan, ini akan menjadi musim dingin terdingin selama lima tahun belakangan. Bulan Desember belum berakhir, dan Tetsuya sudah menyaksikan salju turun beberapa kali.

Kakinya yang terbungkus bot hitam menyusuri jalanan licin. Napasnya membentuk uap, dan Tetsuya membenarkan letak syal biru tuanya di leher. Sesekali ia memerhatikan barang-barang yang dijual di etalase sepanjang jalan. Baju-baju musim dingin, buku-buku, serta ornamen-ornamen Natal dipajang dengan cantik. Seandainya Tetsuya tidak menabung untuk modifikasi mobil yang ia gunakan untuk berburu barang-barang proyek film, ia pasti sudah sibuk membeli berbagai buku terbitan baru—

Langkah Tetsuya terhenti. Matanya tertuju pada sederetan poster berukuran A3 yang terpampang di sepanjang dinding. Wajah Kise Ryouta dan Momoi Satsuki menghias poster yang bernuansa klasik itu. Tulisan 'Coming Soon on March 22nd, 2016' tertera besar di dasar poster. Tetsuya mendekat, menyentuh permukaan salah satu poster tersebut.

Sudah dua bulan berlalu sejak perayaan berakhirnya proyek Mimpi Hitam Putih. Dua bulan sejak kali terakhir Akashi memeluknya, dan … mengakhiri semuanya.

Tetsuya mengerjap. Ia bisa merasakan air mata terkumpul di sudut-sudut matanya. Dorongan untuk merutuki diri sendiri pun hadir kembali.

"Terus, apa lagi masalahmu?"

Kata-kata Aomine membuat Tetsuya semakin jauh tenggelam dalam penyesalan. Tidak ada masalah, tentu tidak ada. Semua ini hanyalah kebodohan tetsuya sendiri yang mempersulit keadaan. Ia terlalu keras kepala, pendendam. Gengsi. Bersikeras ingin membuktikan bahwa cara Akashi salah. Padahal, Tetsuya sendiri tidak luput dari kesalahan.

Sekarang … semua sudah terlambat.


2016, Winter. Yodobashi, Shinjuku.

Penayangan spesial Mimpi Hitam Putih dilakukan di awal Februari. Tetsuya menerima undangannya, lalu menghabiskan waktu untuk berguling-guling di atas kasur. Dari segi profesionalitas, ia tahu bahwa ia harus datang. Apalagi ia tidak punya alasan yang bagus untuk tidak datang. Proyek filmnya yang baru masih dalam tahap perencanaan, dan ia masih belum harus bekerja full time. Namun jika datang, artinya ia harus menghadapi kebodohannya sendiri.

Rasa takut membuat perutnya mulas.

Namun pada akhirnya, setelah Aomine berteriak padanya dari seberang telepon, "Mau berapa kali kau berlaku idiot, hah, Tetsu?", Tetsuya memutuskan ia memang harus pergi. Dan … meminta maaf pada Akashi.

Penayangan spesial itu diadakan di studio pribadi yang disewa khusus oleh tim Mimpi Hitam Putih. Di lantai satu gedung kecil bercat dominan putih itu sudah disiapkan jamuan untuk dinikmati selepas menonton film. Studionya sendiri terletak di lantai dua, dan hanya dipenuhi oleh segenap kru, artis, penulis novel, dan orang-orang berpengaruh di dunia perfilman.

Tetsuya datang dengan setelan jas hitam dan dasi keperakan. Berkat hawa keberadaannya yang tipis, ia berhasil menghindari ramah tamah yang, sejujurnya, hanya akan membuat mual di perutnya semakin menjadi. Ia naik ke lantai dua dan duduk di deretan bangku paling belakang. Gugup menguasai dirinya. Setiap beberapa menit sekali, Tetsuya menengok ke arah pintu masuk studio untuk melihat apakah Akashi sudah datang.

Tepat sebelum lampu dipadamkan dan film dimulai, Takao duduk di bangku kosong sebelah Tetsuya. Ia nyengir dan berkata, "Baguslah kau juga bisa datang. Aku sedih begitu banyak yang tidak bisa hadir."

"O-oh, siapa saja yang tidak bisa hadir?" tanya Tetsuya. Firasat buruk memenuhi dadanya.

"Morio-kun, Kise-kun, Hayama-kun, Akashi-san …."

Tetsuya tidak mendengarkan kelanjutannya. Pikirannya terfokus hanya pada satu nama, Akashi.

Tentu saja. Akashi sudah sibuk luar biasa dengan proyek besarnya yang baru. Berbeda dengan Tetsuya, ia memiliki alasan yang bagus untuk tidak datang. Dan mungkin, ia memang ingin menghindari Tetsuya.

Lampu studio dipadamkan dan lagu pembuka mengalir merdu. Wajah dan suara tawa Kise mencuri perhatian seisi ruangan. Adegan-adegan yang tadinya hanya Tetsuya saksikan sepotong-sepotong, kini menjadi satu kesatuan yang memukau. Beberapa kali Tetsuya mendengar desahan kagum dari para kritikus film yang duduk di depannya.

Namun, walaupun mata Tetsuya tidak lepas dari layar, pikirannya tidak di sana. Ia tidak bisa berkonsetrasi, hingga … ia melihat lampu berdiri yang ia cari bersama Akashi di layar. Suara tawa Akashi di hari itu terngiang kembali di telinganya, bercampur dengan milik Kise yang bergaung dari pengeras suara. Tetsuya menggigit bibir bawahnya.

Air mata Tetsuya menetes. Berbulan-bulan Tetsuya menahan, tapi kali ini ia tidak punya tekad untuk itu lagi. Tetsuya tidak menangis sepuluh tahun yang lalu. Ia tidak menangisi Akashi yang dulu.

Namun ia menangisi Akashi yang mengucapkan selamat tinggal dengan pelukannya.

Film sudah memasuki adegan terakhir ketika Tetsuya memutuskan untuk keluar. Ia menyeka matanya, lalu bergegas melewati deretan penonton lain dan menuju pintu. Ia setengah berlari menuruni tangga, dan sekali lagi bersyukur atas hawa kehadirannya yang tipis. Sungguh ia tidak ingin ditanya-tanya apa yang terjadi padanya. Ia hanya ingin pulang dan mengunci diri di kamar, dan mungkin memutuskan untuk tidak pernah keluar lagi.

Tetsuya menyambar mantel cokelat tuanya dari tempat menggantung jaket, mengenakan sarung tangan, lalu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. Ia melewati pintu utama dan menyusuri jalanan menuju tempat parkir umum yang selang beberapa gedung. Ia tidak ingin berbincang dengan siapa pun termasuk menggunakan vallet.

Matahari mulai tenggelam di barat. Gedung-gedung bagai dicat oranye. Tetsuya memandang langit, menghalau sinar matahari dengan sebelah tangan di dahi.

Dahulu kala, Kakek pernah menjelaskan pada Tetsuya kecil bagaimana ia terkagum-kagum pada pembuat film zaman dulu, yang bisa menangkap adegan indah tanpa memerlukan warna. Tetsuya tidak mengerti. Baginya, seindah apa pun film hitam-putih, tidak mungkin seindah film berwarna. Sampai ketika ia melihat Kakek memutar film sederhana dengan proyektor 8mm kuno yang bisa membuat Tetsuya menitikkan air mata. Indah, menyentuh. Kemudian Tetsuya memutar, dan memutar ulang film itu hingga pitanya putus.

Tetsuya meraung-raung kala itu. Ia merasa, seiring dengan putusnya pita film itu, penghubungnya dengan impiannya pun terputus. Kakek pun tertawa. Ia mengusap rambut Tetsuya, meyakinkan Tetsuya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Saat kau terjatuh meraih mimpi, ingatlah bahwa kau bisa memperbaiki semuanya. Seperti Kakek memperbaiki pita yang putus ini," kata Kakek saat itu. Tangan tuanya membongkar gulungan rol film, dan memulai proses menyambung kembali pita yang putus.

Tetsuya memerhatikan semua itu dengan kekaguman.

Saat itu Tetsuya tidak tahu. Dalam meraih mimpi, ada hal-hal indah yang memabukkan. Ada rintangan yang membuat putus asa. Dan ada sesuatu yang harus dikorbankan. Selalu. Seperti Akashi dan Tetsuya. Mungkin mereka adalah korban kekejaman mimpi. Atau semata-mata individu yang diperbudak ego.

Tetsuya melangkah masuk ke area parkir umum. Mobil-mobil para tamu undangan berjajar rapi. Tetsuya mengangguk pada petugas yang duduk di posnya, lalu menuju tempat Mitsubishi Pajero miliknya diparkir. Ia mengangkat tangan untuk membuka kunci otomatis, lalu berhenti. Matanya membelalak dan … ia sulit memercayai yang ia lihat.

Akashi ada di sana. Bersandar di kap belakang Pajero, berbalut jaket biru laut dan syal abu-abu muda. Seketika ia menegakkan badan saat melihat Tetsuya datang.

"Kuroko …."

Tetsuya tidak bisa bergerak selangkah pun. Di dalam kepalanya, ia berteriak. Ia merutuki dirinya yang tidak sanggup berkata-kata. Ada sejuta hal yang ingin ia ungkapkan. Dan yang terpenting, kata maaf yang ia tangguhkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

"Apa filmnya sudah selesai?" tanya Akashi. Ujung hidungnya memerah, dan uap mengepul dari napasnya. Sudah berapa lama ia menunggu di sini?

"Kenapa kau ada di sini?" Tetsuya balik bertanya. Suaranya terdengar tidak stabil di telinganya sendiri, tapi Tetsuya tidak memedulikan itu. Akashi ada di sini, menunggunya.

Akashi tersenyum. Ada kegugupan yang terpancar di sana. Sesuatu yang hanya bisa disadari oleh Tetsuya, mungkin. "Jadwalku tidak memungkinkan untuk ikut menonton bersama. Tapi … bagaimana pun aku ingin bertemu denganmu," kata Akashi.

Jantung Tetsuya berdetak lebih kencang. "Denganku?"

"Mungkin kau tidak akan suka dengan apa yang kukatakan, tapi …." Akashi mengambil jeda, menyisir poninya ke belakang dengan jari, seperti berusaha menutupi gugup. Helaian poni itu kembali menutupi dahinya dengan lembut. "Aku tidak bisa mengakhiri perasaanku padamu."

Tetsuya menatap bagaimana Akashi melempar pandangannya jauh ke arah matahari yang sudah setengah tertutup deretan rumah. Bagaimana garis rahangnya mengeras dengan tekad. Dan bagaimana tangannya yang terbungkus sarung tangan abu-abu muda itu sedikit bergetar. Tetsuya menemukan dirinya pada Akashi.

"Aku sudah pernah melakukan hal … bodoh itu," kata Akashi. Ia bertemu pandang dengan Tetsuya lagi. "Kau pernah bertanya, kan, apakah aku setuju dengan ayahku tentang mimpi."

"… Bahwa mimpi adalah beban?"

"Aku tidak percaya," ujar Akashi cepat. "Tidak pernah percaya. Mungkin memang apa yang kucari hanya ilusi. Tapi apa yang kurasakan ini …." Akashi menggeleng, raut wajahnya membuat Tetsuya sakit melihatnya. "Itu bukan ilusi."

Dada Tetsuya sesak. Ia melangkah lebih dekat. "Akashi—"

"Aku tidak mau menghabiskan hidupku untuk menyesal."

"Aka—"

"Aku tidak mau mengulang semuanya lagi—"

"A—"

"Kuroko, aku tidak mau—"

"Akashi-kun!"

Tetsuya menghambur ke pelukan Akashi.

Ia melingkarkan tangannya di pinggang Akashi. Pipi Akashi begitu dingin, bersandingan dengan pipinya sendiri. Tetsuya merasakan seluruh tubuh Akashi yang tegang, sebelum perlahan kedua tangan Akashi menyentuh punggung Tetsuya.

"Kuroko …?"

"Tidak apa-apa," kata Tetsuya. Sesuatu yang hangat hadir di matanya. Ia mengerjap. "Semua akan baik-baik saja."

"Semua …?"

"Semua, jadi …." Tetsuya mempererat pelukannya, berusaha menahan begitu banyak emosi yang meluap-luap di dada. "Jangan akhiri perasaanmu padaku."

Sudah terlalu lama. Terlalu panjang jalan yang mereka lalui untuk menghindari satu sama lain. Sudah cukup. Tetsuya sudah muak dengan semua ini. Mengapa mereka tidak bisa jujur saja dari awal? Mengapa mereka harus menyiksa diri sendiri, untuk sesuatu yang sesungguhnya begitu jelas?

Seperti halnya memperbaiki pita film yang rusak, ada bagian yang harus digunting karena tidak bisa diselamatkan. Begitu pula dengan mereka. Ada yang harus dibuang, ditinggalkan. Ada bagian yang tergores dengan luka permanen. Namun, selalu ada hal baru kalau saja mereka mau mencari. Bukankah begitu?

"Maafkan aku," kata Tetsuya setengah berbisik. "Maaf, Akashi-kun."

Tetsuya merasakan jemari Akashi menyapu tengkuknya. Napas Akashi hangat membelai daun telinganya. Kemudian, Tetsuya melonggarkan pelukannya dengan perlahan. Ia memandang mata Akashi dan menemukan seseorang yang selama ini dicarinya.

Tetsuya tidak tahu siapa yang memulai, tapi perlahan jarak di antara mereka menghilang. Bibirnya menyentuh bibir Akashi. Lembut, membuat rindu.

Kecupan pertama hanya percobaan. Sesuatu yang dilakukan untuk mengetes apakah ini semua kenyataan. Apakah tidak ada yang akan berubah pikiran. Namun seiring kecupan demi kecupan, keyakinan pun tumbuh. Bahwa Akashi adalah Akashi, yang mana pun itu. Bahwa Tetsuya menginginkannya lebih dari apa pun.

Selalu.

Namun, layaknya mimpi yang membuat pengejarnya terjatuh dan tertatih, mungkin suatu saat akan ada hal-hal yang membuat mereka kembali saling menyesali. Saling menyakiti. Tapi …, biarlah. Untuk saat ini.

Dan mungkin seterusnya.

Tetsuya hanya perlu memperbaikinya. Seperti film hitam-putih Kakek yang kini masih berputar dengan baik. Lagi dan lagi.


2004, Spring. Teikou High School.

"Akashi-kun," Tetsuya memanggil.

Bunga-bunga sakura berguguran di halaman depan yang ia lihat dari atap sekolah. Murid-murid baru bercanda. Penuh dengan semangat menjalani hari pertama mereka di SMA. Tetsuya melipat tangan dan menyandarkannya di atas reling yang memagari area atap.

Di sebelahnya, Akashi menyahut, "Hmm?"

"Kita sudah kelas tiga. Apa kauingat mimpi yang … pernah kuceritakan?"

"Tentu saja. Waktu menginap di pantai di kelas satu, kan? Kauingin terus membuat film."

Tetsuya mengangguk. "Aku masih menginginkannya."

"Apa kau sudah menentukan untuk masuk jurusan film di universitas?"

"Ya," kata Tetsuya. Ia melirik ke arah Akashi dengan gugup. "Um, bagaimana denganmu? Kita akan masuk jurusan perfilman bersama, kan?"

Akashi mengulas senyum. "Memang itu mauku."

Tetsuya tidak bisa menahan kebahagiaan yang menguasai dirinya. Ia balas tersenyum pada Akashi.

"Dan suatu saat nanti kita harus membuat film bersama," kata Akashi. "Aku yang akan membuat desain setting-nya."

"Benarkah?" tanya Tetsuya dengan bersemangat. "Kalau begitu aku yang akan merealisasikan desain itu."

"Jadikan itu impian kita."

Tetsuya mengangguk setuju. Tangannya yang masih berada di atas reling kini berkaitan dengan tangan Akashi. Kehangatan Akashi menyelimuti jemari Tetsuya. Angin musim semi yang mengawali kisah mereka di kelas tiga SMA pun berembus.

"Suatu saat … suatu saat pasti terkabul," kata Tetsuya dengan yakin.

Fin


Akhirnya selesai. Terima kasih banyak untuk semua yang sudah mengikuti kisah Tetsuya dan Seijuurou dalam meraih mimpi ini sampai akhir. Seperti biasa, review akan sangat saya hargai (dan saya menerima guest review).

Saya juga berencana untuk merilis Light Novel Akashi/Kuroko sebentar lagi. Jika ada yang terarik, mungkin bisa sapa saya melalui PM atau email (ada di profile), atau add Facebook saya (Neoratu).

Akhir kata, sampai jumpa di fanfiksi selanjutnya!