Disclaimer: Haikyuu! sepenuhnya adalah milik Furudate Haruichi-sensei. Saya tidak mengambil keuntungan materiil apapun dalam penulisan fanfiksi ini.

.::Selamat membaca::.

Kapan terakhir kali pagi di rumah kecil mereka itu tenang? Entahlah, sang ibunda pun lupa kapan. Kapan terakhir kali sang kepala keluarga mampu menarik napas dengan tenang tanpa urat-urat yang muncul di kepala? Entahlah, dia pun tak ingat kapan. Semula pasangan suami istri itu pikir dengan kehadiran seorang anak di antara mereka akan sedikit memberikan warna di kediaman mereka yang nyaman. Namun harapan mereka dikabulkan oleh sang Maha Pencipta dengan berlimpah ruah. Rumah mereka tidak lagi hanya sekedar berwarna, namun sudah sangat abstrak dan tidak teratur lagi bagaimana bentuknya sekarang. Bukan dalam arti harafiah.

"Mama!" Seorang bayi belum dua tahun bertubuh mungil berlari-lari dari kamar mandi dengan menangis. Rambutnya yang berwarna jingga masih basah dan tubuhnya telanjang, kuyup, tanpa dihanduki satu inci pun salah satu kulitnya. Dia menjerit luar biasa dan berkeliling rumah mencari sang ibu, ketakutan jika lepas dari sisi ibunya. "Mama! Chobio nyakai!"

Dia segera memeluk kaki ibunya dan menangis dengan kencang. Sang ibu membenarkan bandana di rambutnya yang perak terlebih dahulu sebelum menggendong anak bungsunya tersebut yang tak pernah absen menangis setiap pagi, siang, sore, dan malam. Intinya, si bungsu itu menangis setiap waktu. Dan penyebabnya tidak lain karena kakak-kakaknya yang terkadang sangat keterlaluan.

"Shouyou bego! Cengeng!" Tiba-tiba seorang lagi anak berumur lima tahun datang dan marah-marah. Wajahnya mengerut sebal sambil membentak-bentak sang adik. Matanya kemerahan. "Kenapa kau menyemprotkan air sabun ke mukaku!"

"Tobio, siapa yang mengajarimu kata-kata itu!" Bukannya mempermasalahkan perselisihan kedua anaknya, sang ibu menegur anak kelimanya yang tidak dia sangka mengucapkan kata-kata kasar kepada sang adik. Mendengar teguran dari sang ibu, Tobio terdiam sejenak, merengut, lalu mengumpat-umpat sembari kembali ke kamar mandi sebelum sang ayah muncul dari ruang tamu dan menjitak kepala kecil Tobio. Dia menggendong bocah berambut hitam itu ke kamar mandi untuk membantu si bocah meneruskan mandinya sekaligus memberikan nasihat untuk tidak mengatakan hal-hal buruk kepada adiknya.

Lain di lantai satu, lain lagi di lantai dua. Ryuunosuke, si anak sulung membentak si adik nomor tiganya yang nampaknya banyak belajar kata-kata sindiran dari sang ayah. Tadashi yang justru tidak diapa-apakan oleh kakak tertuanya menangis karena melihat Kei, kakaknya, dimarahi si sulung. Chikara, si anak kedua dan Yuu, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu masih menunggu si ayah memandikan adik mereka sambil bermain shiratori. Yuu yang luar biasa bersemangat selalu berteriak ketika dia mendapatkan kosakata yang pas. Namun karena kosakatanya sendiri masih terbatas, dia selalu mampu dikalahkan kakak keduanya dan berakhir dengan marah-marah karena tidak mau mendapatkan hukuman.

Sang ibu terkadang kerepotan harus mengurus ketujuh anaknya yang masih kecil-kecil itu, terutama sekali anak-anaknya yang masih suka menangis seperti Shouyou dan Tadashi, atau bocah tengik yang mulai belajar kata-kata kotor seperti Ryuu, Yuu, dan Tobio, atau anaknya yang mulai menunjukkan mewarisi gen dari ayahnya, Kei. Beruntung anak keduanya sedikit jauh lebih pintar daripada sang kakak, sehingga tidak jarang dia meminta tolong Chikara untuk mengurus adik-adiknya—terkadang juga kakaknya.

Usai memakaikan baju pada Shouyou, sang ibu ke ruang tamu, menjitak Yuu yang ternyata bahkan belum menyikat giginya dan memberi pesan pada Chikara untuk bermain dengan si bungsu, lalu dia kembali melanjutkan memasak sarapan untuk keluarga yang terlalu besarnya itu.

.::.

Mereka makan dengan berisik. Terkadang Ryuunosuke dan Yuu berebutan lauk, terkadang Kei menyisihkan makanan yang tidak dia suka ke piring Tadashi dan selalu mendapat pelototan dari sang ayah. Tidak jarang Shouyou melemparkan sendok ke arah Tobio karena masih kesal tadi pagi kakaknya itu menarik rambutnya saat mandi, dan Tobio selalu mengembalikan sendok adik bungsunya dengan teriakan sebal. Bahkan jika sendok Tobio tidak sengaja mengenai kepala Shouyou, si bungsu jingga itu menangis keras dan merajuk kepada ibunya. Jika sudah begitu, Tobio selalu mendapat jitakan pelan dari sang ayah dan tawa menghina dari tiga kakaknya.

"Aku lelah lama-lama begini." Koushi melepaskan bandana di rambutnya. Tangan kirinya masih memeluk sang bungsu yang akhirnya tertidur setelah merajuk untuk ikut Ryuu, Chikara, dan Yuu pergi ke sekolah. Namun, Shouyou sama sekali tidak peduli ketika Tobio dan Kei diantar oleh sang ayah pergi ke playgroup terdekat. Tadashi bermain-main di ruang tamu, namun karena terasa tenang, nampaknya anak keenam dari keluarga besar Karasuno itu pun sudah tertidur.

Daichi yang hari itu mengambil cuti kerja, memperbaiki pot-pot bunga yang dirawat oleh istrinya selama ini dan baru hancur berantakan karena kenakalan tiga anak tertua mereka kemarin. Sang kepala keluarga sama sekali tidak menanggapi keluhan Koushi. Dia hanya tersenyum diam-diam sambil terus memunguti pecahan-pecahan pot. Dia tahu, meskipun pasangan yang sudah dia nikahi selama sepuluh tahun itu mengeluh begitu, Koushi sama sekali tidak membenci ketujuh anak mereka.

"Mungkin kita perlu seorang lagi anggota keluarga perempuan." komentar Daichi membuat Koushi terbelalak.

"Kau mau menikah lagi, maksudmu? Ho, jadi begitu kau membayar jasaku selama ini yang sudah memberimu anak dan mengurus mereka semua?" Koushi rasanya ingin berteriak pada sang suami, namun mengingat anak bungsu mereka di pangkuannya, bahkan bergerak seinchi pun dia tidak berani. Dia tidak ingin anaknya yang paling cengeng itu terbangun dan mulai menangis lagi.

"Bukan. Bukan begitu," lirikan nakal Daichi tiba-tiba membuat wajah Koushi memerah. "Mungkin bocah-bocah nakal itu perlu diberi satu saudara perempuan lagi."

Koushi menoleh ke arah lain. "K… kau juga bilang begitu saat aku mengandung Tobio maupun Tadashi. Dan… dan kau benar-benar yakin akan mendapat anak perempuan saat aku mengandung Shouyou." Meskipun tidak bisa melihat wajah istrinya yang bersemu-semu, Daichi terkikik melihat telinga Koushi yang menjadi jauh lebih merah.

"Aku yakin, terakhir kali ini pasti perempuan. Ya?" Entah sejak kapan tiba-tiba Daichi berada di samping Koushi dan membuat si anggun berambut perak itu sedikit terpekik. Membuat Shouyou terbangun dengan kejut dan nyaris menangis sebelum ditenangkan oleh sang ayah dan digendong dengan manja olehnya.

.::.

"Chouchan ikut. Ikut Mama!"

Meskipun sudah diterangkan beberapa hari sebelumnya bahwa ayah ibunya akan pergi selama beberapa hari mengunjungi salah satu teman, tapi tak ada satupun bocah Karasuno yang mau ditinggal. Terlebih lagi si bungsu yang merasa akan kehilangan pahlawan jika tiba-tiba kakaknya melakukan hal yang jahil kepadanya. "Mama!"

"Shouchan. Mama dan Papa sebentar saja, kok. Beneran." Koushi sama tidak relanya meninggal si bungsu dengan kakak-kakaknya yang masih belum memiliki rasa tanggung jawab meskipun sudah memiliki adik.

"Bohong! Mama bohong! Mama bawa banyak tas! Mama mau jalan-jalan! Pokoknya aku juga ikut!"

Koushi dan Daichi membeku mendengar terkaan Yuu. Mereka memang berencana untuk 'berbulan madu' untuk yang kesekian kalinya.

"Enggak, kok. Mama dan Papa mau jenguk teman Mama yang sedang sakit. Kalau kalian ikut, nanti kalian juga tertular sakit."

"Ikuuuut." Ketujuh bocah Karasuno itu masih merengek sebelum Asahi, paman mereka datang sambil membawa es krim. Sontak Ryuu, Chikara, Yuu, Kei, dan Tobio mengikuti langkah es krim yang dibawa paman mereka yang diam-diam mengedip nakal pada Koushi dan Daichi, seolah berkata, 'Serahkan soal anak-anak padaku. Kalian bersantailah!'

Tadashi yang memang selalu mengikuti Kei turut masuk ke dalam rumah, meskipun tidak tahu mereka sedang mengejar apa. Sedangkan Shouyou yang juga sama tidak mengertinya merasa ragu-ragu untuk ikut kakak-kakaknya atau tetap bertahan di gendongan sang ibu. Namun karena senyuman Koushi dan kata-kata, "Nah, masuk ambil es krimnya. Mama tunggu di sini," Shouyou meloncat dan berlari cepat ke dalam rumah untuk ikut rebutan es krim. Ketika dia dapat dan kembali ke luar rumah, dia meraung keras karena sang ibu sudah tidak ada di sana lagi. Hatinya hancur luar biasa karena sudah ditipu oleh ibunya sendiri, dan dia tidak berhenti menangis, hingga raungannya terdengar ke dalam. Chikara menjemput Shouyou yang masih menangis di luar dan dengan lembut memeluk adik bungsunya.

"Mama cuma sebentar, kok. Nanti Mama datang bawa es krim yang banyak. Shouchan jangan nangis."

Rupanya tangis Shouyou tidak hanya mengundang Chikara untuk berlari ke luar rumah. Lima kakak Shouyou yang lain pun turut ke luar, dan ikut-ikut menangis karena orang tua mereka pergi meninggalkan mereka. Asahi yang sebelumnya merasa baik-baik saja karena sudah berhasil menyogok keponakan-keponakannya dengan es krim secara tidak sengaja merasa panik.

"Anak-anak. Mama dan papa perginya cuma sebentar. Sepuluh menit lagi datang kok."

"Bawa mainan?" Yuu tiba-tiba berhenti menangis. Matanya berbinar-binar saat Asahi mengangguk. Begitu juga Ryuunosuke yang menjadi girang sendiri. Tobio tidak tertarik dengan mainan, tapi saat dikatakan bahwa orang tuanya akan datang dengan membawa balon, dia berhenti menangis. Kei hanya menangis sebentar, dan berhenti sesaat kemudian tanpa dirayu dengan apa pun. Tadashi berhenti menangis ketika Kei tidak menangis lagi. Yang masih menangis hanya Shouyou hingga akhirnya Asahi memutuskan untuk menelpon Koushi dan memperdengarkan suaranya kepada si anak bungsu.

Setelah mengatasi anak-anak yang menangis, Asahi merasa aman. Dia kembali santai dan bermain-main dengan mereka sebelum timbul perkelahian di antara ketujuhnya yang membuat pemuda itu panik bukan main. Bahkan dia merasa ingin ikut-ikutan menangis jika ada keponakannya yang menangis.

"Daichi, Koushi. Cepat pulang. Aku bisa gundul kalau kalian lama-lama pergi ini."

.::.

"Bokuto-san. Kita disuruh memasok lagi."

Dua orang pemuda sedang duduk-duduk di kursi taman. Mereka memperhatikan lalu lalang orang-orang tua yang berjalan-jalan sore dengan anak-anak mereka di sana. Terkadang pemuda yang rambutnya sedikit putih terpaku pada tingkah laku satu dua anak.

"Hei, hei, hei, Akaashi. Aku juga ingin punya anak." Bokuto tiba-tiba menatap kawannya, "Ayo bikin anak."

Si rambut hitam menatap malas Bokuto, "Aku tidak mau, Bokuto-san. Lagipula, kata boss kita harus memasok lagi."

Si perak merajuk. Dia terus mendesak kawannya itu yang justru sibuk mempermainkan gadgetnya. "Akaashi. Ayolah, Akaashi."

Tidak tahan pada rajukan Bokuto, Akaashi mengalah meski masih tidak suka, "Baiklah, Bokuto-san. Tapi kita melakukan pekerjaan kita dulu."

Mata keemasan Bokuto berbinar, "Sungguhan? Yaho! Aku akan bekerja dengan semangat!"

Akaashi mengingat-ingat bahan-bahan di dapurnya. Tepung masih lumayan banyak, telur di kulkas pun masih ada. Mungkin dengan bahan-bahan itu masih bisa membuat satu atau dua anak nanti malam, seperti keinginan Bokuto. Akaashi mendesah, padahal dia paling tidak suka jika harus ada di dapur dan memasak.

"Tapi anak-anak yang ada di sini ada orang tuanya, Bokuto-san. Kita harus berkeliling untuk mencari yang sendirian."

Bokuto mengamati seluruh isi taman dan setuju pada keputusan kawannya. Mereka beranjak dari sana, memutuskan berkeliling di perumahan sekitar. Berkali-kali Bokuto terpana pada banyak anak-anak yang bermain-main dengan orang tua mereka dan merasa tidak sabar untuk segera punya anak juga. Bagaimana anaknya nanti, mirip seperti dirinya kah, atau justru menawan seperti Akaashi? Ah, dia tidak bisa membayangkannya.

"Bokuto-san." Akaashi menyikut kawannya dan menunjuk sekumpulan anak-anak yang bermain di perkarangan sebuah rumah. Ada tujuh anak, dengan dua anak termuda dipangku oleh seorang pemuda tua berambut gimbal. Pemuda itu terlihat kelelahan dan sama akan tertidur seperti bocah termuda yang ia gendong jika saja seorang anak kecil lain yang dipangkunya tidak menanyainya terus menerus.

"Ne, paman Asahi, Papa dan Mama kapan pulang?" Dijawab lelaki itu, "Tidak tahu, Tadashi. Mungkin nanti malam."

"Bagaimana kalau nanti malam mereka tidak pulang?" Tadashi seperti akan merajuk, namun Asahi segera menepuk kepalanya dan tersenyum lembut, "Paman yang akan bersama dengan kalian. Tenang saja."

Yuu, si bocah ketiga yang tadinya bermain bola dengan kakak dan adiknya, datang menghampiri dan ganti menanyai Asahi dengan suara nyaring dan nyaris membangunkan si bungsu, "Paman Asahi! Kenapa paman belum punya pasangan juga? Apa karena paman penakut? Apa karena paman pecundang?!"

Asahi panik dan kewalahan menghadapi si bocah tak bisa diam itu. "Ya ampun, Yuu. Siapa yang mengajarimu kata-kata itu? Daichi? Apa Daichi yang mengajarimu? Kau masih kecil jaga mulutmu, Yuu."

"Sepertinya orang tua mereka sedang pergi, Bokuto-san." Akaashi dan Bokuto sejak tadi mengamati dari balik tiang listrik dan mencuri dengar pembicaraan mereka. "Sepertinya penjaga mereka hanya si om-om penakut itu."

"Oya? Kau benar, Akaashi. Haha. Kita akan melakukannya sore ini, bagaimana?" Bokuto menggaruk-garuk dagunya dengan senyum khasnya, "Kita akan segera melakukannya sebelum orang tua bocah itu datang."

Akaashi menaikkan alisnya heran, tidak biasanya Bokuto begitu bersemangat dan terburu-buru begitu mengambil keputusan. "Kenapa harus sore ini, Bokuto san? Bukankah malam jauh lebih baik?"

"Karena malam ini aku sudah mengagendakan acara membuat anak kita. Hoho."

-bersambung-

Catatan penulis: semula ini niatnya dipersembahkan untuk event hari anak nasional, tapi karena isinya rada gak pantes, jadi dialihfungsikan. Hanya sekitar dua dan tiga chapter saja. Semoga saya konsisten.