SEARCHING FOR HER PRINCE CHAPTER 8 ( Final Chapter )
Cast : KaiHun
Warning : Untuk penyesuaian karakter Sehun, ff ini aku bikin GS
Ini remake dari novel karya Karen Rose Smith dengan judul yang sama, aku hanya mengubah nama sesuai cast.
Syakila8894
.
.
.
.
.
.
Saat Kai menyesap kopi dari cangkir pertamanya hari itu, ia mendengar suara pnacuran air di kamar mandi atas. Malam kemarin merupakan malam yang membuatnya frustasi, tetapi juga paling memuaskan. Membuatnya frustasi karena ia begitu dekat dengan Sehun untuk bisa menciumnya saat mereka duduk di sopfa, di depan perapian dan bermain scrabble. Memuaskan karena Sehun bermain dengan lihai, cerdas dan lucu, dan tidak hanya bermain, tetapi juga mengobrol, menggoda dan tertawa. Kai tidak ingat kapan ia pernah begitu santai dengan seorang wanita, cukup nyaman untuk mencopot sepatunya dan tidak khawatir harus mengatakan apa atau berbuat apa atau harus bagaimana. Ia bisa berlaku apa adanya.
Hanya saja... Sehun tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Telepon berbunyi dan Kai otomatis mengangkatnya. "Halo?"
"Saya ingin bicara dengan Oh Sehun."
Kai kemudian memeriksa identitas peneleponnya dan melihat kode internasional. "Maafkan saya. Ia tidak bisa menerima telepon saat ini. Apakah anda ingin meninggalkan pesan?" tanya Kai dengan lancar, seolah olah ia resepsionis.
Hening sejenak, kemudian ia mendengar, "Ini Ratu Junmyeon dari Penwyck."
Wanita inilah yang mungkin akan meletakkan tanggung jawab atas sebuah negara di atas pundaknya. "Halo, Ratu Junmyeon. Apa ada pesan untuk Miss Oh?"
"Tahukah anda kapan dia bisa dihubungi kembali?"
Kai hanya ingin cepat cepat memutuskan hubungan telepon dengan wanita itu. kai memperhatikan berapa lama waktu yang biasanya diperlukan Sehun untuk berdandan, ia menjawab. "Dia akan kesini unuk sarapan sekitar setengah jam lagi."
"Kurasa dia sedang lari pagi?"
"Menurut saya dia tidak sedang lari pagi hari ini, tetapi saya yakin dia akan ke sini untuk sarapan setengah jam lagi."
"Baiklah, tolong sampaikan padanya agar segera meneleponku kembali."
"Akan saya sampaikan, merupakan kehormatan bagi saya untuk bisa berbicara dengan anda yang mulia."
Ketika meletakkan gagang telepon, Kai merasa lega tetapi gelisah juga. Itu tadi adalah wanita yang mengira dia adalah ibu kandungnya.
Dua puluh menit kemudian Sehun masuk ke dapur. Ia terlihat segar dan santai dengan jins dan sweaternya. Ia memakai sepatu barunya dan rambutnya di ikat ke belakang model ekor kuda.
Kai menuangkan secangkir kopi untukny adan meletakkannya di atas meja. "Tadi ada telepon untukmu."
Sikap santainya langsung lenyap dan ia bertanya. "Dari siapa?"
"Dari ratumu."
Mata Sehun terbelalak. "Mengapa kau tidak memanggilku?"
"Karena kau sedang mandi."
"Itu tidak masalah, kalau Ratu memerlukan aku..."
Kai merasa tidak sabar dengan Sehun dan semua situasi menyulitkan ini. "jangan berlebihan, Sehun. apa yang bisa kau lakukan? Menjawab telepon itu dalam keadaan basah kuyup?"
"Ya!"
Membayangkan Sehun menerima telepon dengan keadaan begitu membuat Jongin menggeleng. "Menurutku beberapa menit tidak akan menjadi masalah. Bahkan, kau mungkin bisa sarapan dulu dan dunia tidak akan runtuh."
Kai merasa frustasi dengan keterikatan Sehun pada keluarga kerajaan, ia juga merasakan waktu mereka yang semakin menipis dan memikirkan kemungkinan tidak akan bertemu dengan gadis itu lagi benar benar mengganggunya lebih dari yang ingin ia akui.
"Apa kata beliau?" tanya Sehun, suaranya terdengar cemas.
"Dia bilang kau disuruh menelepon balik secepatnya."
Sehun segera meraih gagang telepon dan bertanya dengan nada dingin, "Bisakah aku bicara secara pribadi?"
"Baik," kata Kai dengan gusar pada Sehun. "Aku akan menunggu dikantorku."
Sehun mengedipkan mata untuk menyingkirkan air matanya. Ia emrasa kesal pada Kai karena sudah memutuskan panggilan telepon dari ratu Junmyeon, seolah olah ratu adalah pengumpul derma. Sambil berusaha menyingkirkan Kai ke sudut pikirannya, Sehun menghubungi nomor telepon ratu, sekretaris pribadinya yang menerimanya dan langsung menghubungkan dengan ratu.
"Sehun?"
"Benar, ratu Junmyeon. Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Memang benar. Pangeran Dylan akhirnya sudah kembali. Ia sudah melakukan perjalanan ke pelosok pelosok Eropa, itu sebabnya kita tidak bisa menghubunginya."
"Tapi ia sekarang sudah pulang?"
"Benar. Ia singgah di Paris dan mendengar tentang kesehatan raja, penculikan Owen dan kepulangannya."
"Apakah ia sudah tahu tentang...?" Sehun tidak tahu bagaimana mengangkat peristiwa kemungkinan tertukarnya pangeran kembar ini dengan cara yang halus.
"Apakah ia sudah tahu kemungkinan bahwa ia bukan pangeran yang asli?" Ratu Junmyeon menyuarakan pertanyaan itu untuknya. "Ya, aku sudah memberitahukan padanya apa yang dikatakan Broderick dan bagaimana aku berusaha menggagalkan akal bulusnya itu. tetapi Dylan tidak begitu peduli, ia selalu merasa Owen lebih hebat darinya dalma berbagai hal, dan merasa pasti saudaranya itu yang akan ditunjuk sebagai raja. Jadi kemungkinan bahwa Jongin dan Taemin adalah ahli waris yang asli tidak mengganggunya. Ia lebih memikirkan kemungkinan Raja Chanyeol dan aku bukan orang tua kandungnya, seperti pada Owen, aku mengatakan pada dua putraku bahwa aku tetap ibu mereka, apapun hasil pemeriksaan DNA nantinya.
"saya senang Dylan sudah pulang, dan anda sudah bisa berhenti mengkhawatirkannya."
"Aku akan selalu mengkhawatirkan anak anakku. Dylan bilang dia akan membantu kita dengan cara apapun untuk mengungkap rencana Broderick sampai ke dasarnya. Kurasa ia juga sangat ingin berjumpa dengan Wu Jongin."
"Saya akan berusaha keras semampu saya untuk berbicara dengan Wu Jongin kalau ia kembali ke kota."
Setelah Sehun menutup telepon, ia merasa harus meluruskan sesuatu dengan Kai, dan itu harus dilakukannya sekarang.
Ia menemukan Kai duduk di depan meja besar mahoni, laptopnya menyala. Ketika ia mendengar Sehun masuk, ia berputar ke arah Sehun. "Well, apa negaramu masih berdiri?"
"Kau boleh menertawakan aku kalau kau mau." Kata Sehun dingin. "
Tapi jika aku menerima telepon dari ratu, tolong langsung beritahu aku. Seorang hamba tidak akan pernah membiarkan ratunya menunggu."
Kai berdiri, "Tak ada seorangpun yang sepenting itu sampai kau tak sempat mengambil napas sebelum membalas teleponnya. Kau bersikap seolah olah dia memilikimu."
Perasaan Sehun untuk Kai yang berada di antara mimpi dan harapan membuat matanya berkaca kaca/ "Kau tak pernah memahami tugas-tugasku, duniaku... kehidupanku..." Sehun berbalik dan berjalan menuju dapur lalu ke luar, tanpa tahu keman ia pergi. Yang diketahuinya hanyalah bahwa ia tidak ingin kebahagiaannya bersama Kai ini berakhir. Ia tidak ingin kembali ke dunianya, kehidupannya, namun harus. Ia tidak punya pilihan. Penwyck adalah tempat asalnya. Kai tidak akan pernah mengerti hal itu... tidak akan pernah mengerti bagaimana kehidupannya.
Sewaktu tadi meninggalkan rumah Sehun dalam keadaan berlari dan sebelum menyadarinya, ia sudah sampai di jalan setapak yang dinaungi pohon pohon birch dan menemukan dirinya di tepi danau.
Kai berhasil menyusul Sehun yang berdiri di tepi danau, sedang mengamati kapal ponton yang berada tak jau dari tepian.
Sehun bisa mendengar saat kaki Kai bergerak di antara daun daun ketikan mendekatinya dari belakang. "Bantu aku memahami duniamu."
Waktu Sehun berbalik untuk menghadapnya, jarak Kai begitu dekat. ia bisa melihat kekesalan Kai padanya sudah hilang sekarang.
"Aku tidak mengerti Sehun," kata Kai lembut. "Tapi aku ingin belajar."
Sorot mata Kai yang tajam benar benar membuatnya tak sanggup untuk melihat, sehingga ia memalingkan muka. "Sulit sekali untuk dijelaskan."
Dengan lembut, sangat lembut, Kai menangkup wajah Sehun dengan tangannya. "Kau tidak akan lari dari masalah. Aku sudah mengenalmu."
Memang benar. Jadi Sehun berusaha melalukan apa yang dimintanya. "Di Penwyck segala sesuatu terpusat pada keluarga kerajaan, mereka hampir tak bisa berjalan jalan tanpa di ikuti wartawan..." dan ceritapun mengalir dari mulut Sehun.
"Kau mendapat pelajaran mengenai kenyataan dalam kehidupan." Komentar Kai saat Sehun selesai bercerita.
Sehun menyadari saat kematian ayahnya menjadi titik balik baginya, Kai juga mengalami hal serupa ketika kedua orang tuanya bercerai dan dipisahkan dari saudaranya. "Aku belajar dari kenyataan," Sehun menyetujui. "tetapi aku juga belajar tentang kesetiaan dan kebaikan."
Ketika Kai dan Sehun kembali ke rumah, sepanjang jalan Sehun membisu, tetapi seseklai ia melirik cepas pada bahu Kai. Tadi saat ia berbicara dengan Kai, ia melihat baju yang di pakai Kai basah mungkin karena terkena ranting pepohonan saat lelaki itu mengejarnya.
"Aku akan pergi ke Reunion House ..."
"Kau tidak serius bukan?"
"Tentu saja aku serius." Kai memandang Sehun dengan seksama. "Ada apa?"
"Aku mengkhawatirkanmu. Kau harus mengizinkan aku memeriksa bahumu."
"Begini saja. Sebaiknya kau masuk dulu dan membuat minuman cokelat panas untuk kita berdua, aku akan segera kembali, aku janji."
"Kau akan segera kembali?"
"Paling lama lima belas menit."
"Baiklah aku akan menyiapkan makan siang untuk kita."
Setelah Kai berangkat, Sehun melangkah ke dalam dan membuat beberapa sandwich, menutupnya dengan plastik , lalu memasukkannya ke dalam kulkas. Sesuai janjinya, Kai kembali lima belas menit kemudian. Ketika melepas jaketnya, Sehun bisa melihat saraf rahang Kai bergerak gerak. Itu berarti dia kesakitan.
"Kain kasa dan plesternya ada di atas. Ayo kita obati dulu bahumu."
"Isi pikiranmu benar benar terfokus ya." Kata Kai dengan sabar campur geli.
Saat mereka melangkah menaiki tangga, Sehun bisa merasakan tatapan Kai padanya. pada puncak tangga, Kai bertanya, "Kamar mandi atau kamar tidurku?"
"Akan lebih mudah kalau kau duduk di ranjang." Sehun teringat waktu ia terkahir kali melakukan hal itu dan bagaimana ia meninggalkan pria itu sesudahnya. Dilihatnya Kai juga sedang mengingat hal yang sama.
Seperti waktu itu, Sehun juga berdiri di antara dua kaki Kai saat mengganti perbannya. Tapi kali ini ada yang berbeda. Kali ini Sehun tidak mau mengingkari perasaannya. Kali ini ia memasang plester terakhir, lalu menatap mata Kai.
Sehun tak pernah tahu kalau ujung ujung jarinya berhubungan dengan hatinya. Ia tak pernah tahu kalau hatinya bisa terasa begitu penuh atau begitu sedih dalam saat bersamaan. "Kita hanay punya wkatu beberapa hari," bisik Sehun.
Mata hijau Kai oenuh tanda tanya saat ia mendongak. "Aku tahu. Apa yang ingin kau lakukan dengan sisa hari hari itu?"
"Aku tidak peduli... selama itu kuhabiskan bersamamu."
Kai melepaskan tangan Sehun lalu memeluknya dan mendekapnya erat erat. "Aku menginginkanmu," kata Kai, suaranya penuh dengan hasrat mendalam.
"Aku juga menginginkanmu," bisik Sehun.
"Apakah kau yakin?" tanya Kai, dan Sehun tahu kalau ia terlihat ragu ragu, pria itu akan menahan diri dan mundur teratur.
"Aku yakin sekali."
Kai menarik Sehun ke pangkuannya dan menciumnya seperti yang belum pernah dilakukannya dan mungkin tidak akan pernah dilakukannya lagi. Dibukanya bibir Sehun, dinikmatinya bibir itu dengan gairah membara seorang pria yang sudah lama menunggu. Sehun mendesah pelan, tak kuasa menahan sensualitas ciuman itu, ia ingin menyerahkan seluruh dirinya pada Kai.
Kai melepaskan diri dan menarik napas panjang. "Aku ingin melakukannya dengan perlahan, Sehun. aku ingin kau bisa merasakan semua kenikmatan yang bisa terjadi di antara pria dan wanita."
"Kita tidak perlu bergerak perlahan, aku percaya padamu." Kata Sehun polos.
Kai menciumnya lagi, lalu membaringkan tubuh Sehun di atas kasur. "Ini akan sangat indah, Sehun. aku berjanji."
Sehun tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Kai dengan indah, tetapi begitu Kai menghujani bibirnya dengan ciuman ciuman, yang turun ke dagu dan lehernya, terus menyusuri lekuk v sweaternya, Sehun bergetar. Saat bibir Kai melakukan keajaibannya, tangannya menyusup ke balik sweater Sehun dan menariknya ke atas. Kulit Kai yang menyentuh kulitnya terasa panas, menggoda, begitu erotis sampai Sehun tidak bisa menahan diri untuk menggoyang tubuhnya agar pria itu terus menyentuhnya.
"Pelan-pelan." Kata Kai pada Sehun. "Ayo kita buka ini dulu." Dengan hati-hati Kai melepas sweater Sehun melalui kepalanya, lalu mengagumi payudaranya yang terbalut bra berenda. Kai kemudian melepas bra-nya, menyentuh payudaranya dan menciumnya.
Belum pernah Sehun merasakan sesuatu yang begitu luar biasa, dan ia meneriakkan nama Kai.
Tangan Kai beralih ke jins Sehun. "Selanjutnya akan lebih hebat lagi, sweetheart. Aku janji."
Kai sudah akan membuka ritsleting Sehun ketika tangannya tiba tiba berhenti.
Mula mula Sehun begitu menghayati apa yang terjadi di antara mereka, ia hampir tidak menyadari Kai tidak bergerak. Tetapi Kai lalu bergeser dan duduk, dan Sehun merasa kehilangan tubuh Kai yang tadi menutupinya. "Ada apa?"
"Aku mendengar suara di bawah..."
"Apa ada orang di rumah?" terdengar suara berat seorang laki laki dari bawah anak tangga.
Sehun menarik sweternya, lalu menutupi payudaranya. "Aduh. Fritz kah itu?"
"Bukan. Itu bukan Fritz. Itu ayahku. Sebaiknya aku segera turun sebelum ia naik."
Kai turun dari ranjang dan berdiri, lalu menarik napas panjang. Kemudian ia membungkuk ke arah Sehun, mencium bibirnya keras-keras dan menenangkannya. "Kau akan menyukai ayah dan dia akan suka padamu. Nanti malam setelah dia tidur, kita lanjutkan lagi yang tertunda."
Saat Kai berjalan ke lorong dan memanggil ayahnya, Sehun sudah tidak sabar lagi menunggu malam tiba. Ia mencintai Kai, dan ia akan menunjukkan pada Kai seberapa besar cintanya.
e)(0
Saat memandang ke luar jendela dapur, Sehun melihat Kai dan ayahnya sedang berbincang sambil memanggang hamburger di atas alat pemanggang. Sehun sangat menyukai ayah Kai. Dia langsung minta dipanggil Yifan, dan matanya yang hijau kecoklatan tampak bersahabat. Sehun sangat malu tadi ketika menuruni tangga dan pandangannya bertemu dengan Kai. Tapi senyum Kai tetap semesra sebelumnya, senyum itu seakan mengatakan bahwa ia ingin selalu bersamanya, sebesar keinginan Sehun untuk selalu bersamanya.
Ketika telepon berdering, Sehun ingin membiarkan mesin penjawab menerimanya, tetapi dilihatnya nomor identitas penelepon yang tertera adalah milik Cole Everson.
Kepala institut intelijen kerajaan itu berbicara langsung tanpa basa basi. "Aku sudah mendapat fotonya, Sehun. aku akan segera mengirim faxnya padamu setelah ini. Aku juga sudah mendapat alamat rumah Jongin. Mengamati kotak pos di kantor pos sia sia saja, tak ada yang datang untuk mengambil surat setelah aku memulai pengamatan. Seakan akan dia tahu dirinya sedang di amati. Tapi kami menemukan sebuah akte pembelian rumah di dekat De Kalb, dan kami menemukan alamat rumahnya di surat surat pembelian. Akan ku kirimkan juga padamu beserta fotonya."
"Sebuah rumah dekat De Kalb?" mula mula ada perasaan aneh merambat turun di tulang punggung Sehun. tapi kemudian ia berpikir lagi. Banyak penduduk Chicago yang memiliki rumah di luar kota, dan mungkin saja De Kalb adalah daerah yang di sukai orang.
"Begitu kita menutup telepon, aku akan langsung mengirimkan faxnya padamu. Semoga berhasil Sehun."
Setelah menaruh telepon, Sehun tidak lagi memikirkan saus untuk pasta salad atau sayuran beku yang ada di meja dapur. Ia justru beranjak ke ruang kerja Kai untuk menunggu faxnya.
e)(0
Aroma hamburger menguar di udara musim gugur ketika Jongin memandang ayahnya dengan heran. "Taemin dan aku anak angkat?"
Wu Yifan sudah menuruti keinginan anaknya yang minta dipanggil sebagai Kai ketika ia datang ke Shady Glenn. Tetapi begitu mereka beranjak ke luar dan tinggal berduaan saja, Yifan ingin tahu alasannya. Jongin menceritakan segalanya, menyampaikan apa yang diceritakan Sehun dan menambahkan juga apa yang dikatakan Sehun tentang kehidupan di Penwyck. Ayahnya kemudian membuka rahasian yang sudah dipendamnya selama 23 tahun.
Mata Yifan menyorotkan kepedihan. "Aku tidak ingin kau mengetahuinya seperti ini, begitu mendadak."
"Mendadak? Dad, aku sudah 23 tahun!" sekarang perasaan Jongin lebih dari sekedar terkejut. Ada amarah di dalamnya. Dunianya terguncang lagi oleh pengakuan ayahnya ini.
Wu Yifan menarik napas panjang, tetapi tatapannya tetap terfokus pada mata Jongin. "Ketika aku dan ibumu bercerai, kami merasa kalian masih terlalu muda. Kami sepakat untuk menunggu sampai kau dan Taemin berumur delapan belas tahun. Tetapi waktunya tidak pernah tepat. Kami ingin menyampaikan padamu dan Taemin bersama sama, tetapi kita berempat jarang berada dalam satu negara bagian..."
Meskipun Jongin mencoba mengendalikan semua emosinya, kegundahannya tetap saja tampak di wajahnya karena ayahnya tiba tiba berhenti bicara dan berkata. "Kau punya hak untuk marah. Tetapi kami tidak memberitahukanmu karena kami mencintai kalian berdua. Dalam segala hal yang penting, kami adalah orang tuamu."
Jongin menatap ke arah danau. "Siapa sebenarnya orang tua kandung kami?"
Ayahnya cepat menjawab. "Menurut pengacara kami, orang tuamu adalah pasangan muda yang mengalami kecelakaan hebat. Keduanya tewas. Pada saat itu bibi kalian yang merawat kau dan Taemin."
"Mengapa bibi itu tidak terus merawat kami?"
"ia sudah tua dan tidak sanggup membesarkan sepasang anak kembar. Tetapi ia juga tidak ingin memisahkan kalian. Ia ingin kalian dibesarkan oleh keluarga baik baik."
Jongin berbalik dan memandang ayahnya lagi. "Apakah kau pernah bertemu dengan bibiku itu?"
"tidak. Tidak pernah. Mereka mengatakan pada kami bahwa dia sudah tidak sanggup lagi bepergian jauh. Pengacara kami dan istrinya mengantarkan kalian ketempat kami."
Kesadaran penuh atas semua yang telah diceritakan ayahnya tadi seakan memukulnya. "Kalau begitu cerita Sehun mungkin benar."
Sekarang ia harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Sehun, bukan hanya untuk mengembalikan kejujuran ke dalam hubungan mereka, tetapi karena ia mungkin saja benar benar salah satu pewaris takhta Penwyck!
Ketika mendengar pintu belakang terbuka, Jongin menoleh dan melihat Sehun menuruni anak tanggan dengan muka tertunduk. Sungguh tak masuk akal, tetapi Jongin selalu merindukan Sehun saat mereka berpisah, meskipun sebentar saja. Ditengah tengah semua yang telah dipelajarinya, kejujuran di antara mereka merupakan prioritas utama. Ketika Jongin memutuskan bahwa makan malam harus ditunda sampai ia mengungkapkan kebenarannya kepada Sehun, ia baru menyadari kertas kertas di tangan gadis itu.
Sehun mengangkat mukanya dan memandang Jongin, dan Jongin tak perlu lagi menanyakan kertas apa itu. ia langsung tahu.
Jongin memutuskan untuk berkata jujur sambil berharap hubungan mereka tidak akan berubah. Ia terlalu berharap. Ekspresi wajah Sehun yang terluka merobek hatinya, dan sorot matanya yang merasa dikhianati menusuk nuraninya.
"Mengapa kau melakukan itu?" tanya Sehun, suaranya naik saat ia menguncang kertas kertas ditangannya pada Jongin. "Mengapa kau mengaku sebagai orang lain?"
Jongin melangkah lebih dekat tetapi Sehun menjauh dan Jongin berhenti. "Aku tidak bermaksud sampai sejauh ini. Izinkanlah aku menjelaskan."
"Menjelaskan? Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kau Wu Jongin! Aku memberikan hatiku padamu. Kukatakan padamu seberapa pentingnya aku untuk menemuinnya dan mengapa. Kau duduk di sana dan mendengarkan, dengan penuh perhatian, mengetahui betapa pentingnya masalah ini bagiku dan semua orang di Penwyck. Dan kau tetap tidak mengatakan apa apa. kau membohongi aku selama ini, mempermainkan perasaanku, merayuku. Aku tak percaya telah begitu bodoh untuk tidak melihatnya sejak awal. Aku bertemu denganmu di hotel tempat kantormu berada. Sekretarismu bernama Barbara. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkannya?"
Untuk sesaat, Jongin menyimpan perasaannya tentang pengakuan ayahnya dan berkonsentrasi pada Sehun. "Kau melewatkannya karena alasan yang sama mengapa aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya padamu. Kita sedang dalam proses pendekatan dan yang lain tidak penting."
"Bagiku tugasku penting."
Jongin bisa melihat air mata Sehu merebak karena emosi yang begitu kuat sampai suaranya bergetar. "Sehun..."
"Saat pertama kali kita bertemu dengan penjaga di pintu penthousemu," lanjut Sehun. "Kau memotong kata katanya. Ia hampir menyebut nama aslimu. Dan pria yang datang ke sini kemarin... aku tahu aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat. Di salah satu kesempatan saat aku duduk menunggu di luar ruang kerjamu, pria itu kelur. Kau benar benar membodohiku. Sore ini aku pikir..." pipi Sehun bersemu merah, bibirnya bergetar dan Jongin belum pernah merasa serendah ini.
"Kejadiannya tidak seperti yang kau kira."
"Kejadiannya persis seperti yang ku kira. Kau menganggapku sebagai gadis pemalu yang tidak tahu apa apa tentang pria. Kau pikir kau bisa mengambil keuntungan dariku..."
Jongin tahu ia tidak bisa membela diri. Tetapi ia sudah berjuang keras agar tidak terjadi apa apa di antara mereka karena alasan siapa dirinya dan dari mana Sehun berasal, dan karena kenyataan bahwa Sehun pemalu dan lugu. "Aku tidak pernah mengambil keuntungan darimu."
"Bagaimana dengan kejadian tadi sore? Kalau ayahmu tidak datang, kau tidak akan berhenti."
Mendadak Jongin merasa tidak enak harus membicarakan masalah ini di depan ayahnya, tetapi ia tahu mereka harus membicarakannya di situ karena Sehun tidak mungkin mau di ajak bicara baik baik di dalam. Namun ia harus mencobanya. "Ayo kita ke dalam untuk membicarakan ini."
"Aku tidak mau kemana mana denganmu."
Itu adalah jawaban yang sudah Jongin duga. "Sore tadi, Sehun, kita berdua di atas ranjang itu. tak satupun dari kita akan menghentikan hal itu seandainya ayahku tidak datang. Kau memang terkadang pemalu dan kau memang lugu, tetapi kau juga wanita dewasa. Kau yang memutuskan untuk bersamaku."
Tatapan mata Sehun berpindah kepada ayah Jongin dan saat ia sadar bahwa merkea sedang membicarakan hal yang sangat pribadi di depan pria itu, Sehun terlihat sangat malu.
Jongin berharap ia bisa merangkulnya, membujuknya agar percaya bahwa ayahnya tidak akan berpikir yang tidak tidak. Tapi ia tahu Sehu tidak akan membiarkan Jongin mendekatinya. Ia tahu Sehun tidak akan mengizinkannya untuk menyentuhnya lagi.
Meskipun matanya berkaca kaca, Sehun menegakkan bahunya. "Aku akan pergi dari sini malam ini. Kalau sudah sampai kota, aku akan pulang dengan pesawat pertama. Seseorang dari Penwyck akan menghubungimu. Kuharap kau tidak mempermainkan mereka seperti kau mempermainkanku." Lalu gadis itu berbalik dan setengah berlari masuk ke rumah.
Ketika pintu dibanting, Jongin bermaksud untuk menyusul Sehun, tetapi tangan ayahnya menahan bahunya. "Kurasa bukan ide yang baik untuk berbicara lagi dengannya sekarang."
"Aku tak bisa membiarkan dia pergi seperti ini."
"Kurasa kau harus membiarkannya. Dalam keadaannya seperti sekarang ini, kalau kau mendekatinya selangkah saja, gadis itu akan pergi ke Chicago berjalan kaki. Aku akan menawarkan sopirku untuk mengantarnya. Dia ada di motel di De Kalb, dia sampai di sini dalam setengah jam."
"Aku tidak bisa membiarkan Sehun pergi." Kata Jongin sekali lagi.
"Kalau kau tidak membiarkan dia pergui, kau mungkin tidak akan perah mendapatkannya kembali. Kalau itu yang kau inginkan. Menurutku kau kau harus memastikan dulu apa yang kau inginkan sebelum kau berbicara dengannya lagi."
Jongin menatap Wu Yifan lama lama, teringat bahwa pria ini bukanlah ayah kandungnya. Namun saat mendengar nasehatnya, Jongin merasa kemarahan yang tersimpan dalam kegelapan selama dua puluh tiga tahun ternyata menghilang. Lelaki ini adalah ayah 'asli'nya menurut segala definisi yang ada. "Baiklah. Tawarkan padanya sopirmu."
Ketika Wu Yifan berjalan ke dalam, Jongin merasa fondasi hidupnya sudah terbelah dua dan semuanya tak akan pernah sama lagi.
e)(0
Jet ski yang dinaikinya meluncur di atas permukaan danau, tetapi meskipun mengebut Jongin tidak bisa menikmatinya. Ia merasa dunianya jungkir balik sejak Sehun meninggalkannya. Memperbaiki Reunion House tidak bisa membantu, melakukan perjalanan jauh dengan mobilnya tidak bisa menolong, membangun jungle gym tidak bisa membantu, berlari sampai kepayahan tidak menolong, berbicara dengan ayahnya tidak bisa membantu. Apapun yang dilakukannya, ia selalu memikirkan Sehun, tentang siapa dia, tentang apa yang bisa mereka raih kalau mereka bersatu.
Sehari setelah Sehun pergi, Jongin berusaha menyingkirkan gadis itu dari pikirannya dengan berbincang bincang dengan ibu dan ayah asuh Jared, kemudian dengan pihak berwenang. Keluarga yang mengadopsi Jared juga akan mengangkat Lena. Mereka tak bisa melakukannya tahun lalu, tetapi sejak saat itu mereka telah pindah ke rumah yang lebih besar dan Mr. Brickman juga naik pangkat hingga mereka bisa mengangkat Lena menjadi anak asuh mereka juga.
Sewaktu kembali ke dermaga, ayahnya sudah berdiri di sana menunggunya. Ayahnya tadi pagi ikut bersamanya ke Reunion House untuk membantunya memasang jungle gym. "Ada telepon untukmu," kata Yifan.
"Sehun?" tanya Jongin, mengetahui bahwa kemungkinan kecil sekali, tetapi ia tetap berharap.
Ayahnya menggeleng. "Maaf, bukan dia. Ini dari Mrs. Dunlap, pemilik Monggu. Rupanya dia menelepon Barbara dan Barbara memberinya nomor di sini. Dia menghubungi seorang dokter hewan yang memberitahunya bahwa kau menemukan Monggu. Hanya saja namanya bukan Monggu, tetapi Brownie. Aku katakan padanya ke mana Brownie kau bawa dan betapa anak anak menyayanginya. Kata wanita itu, rematiknya parah dan dia tidak bisa membawa Brownie jalan jalan sesering dulu. Pada suatu hari Brownie terlepas dari talinya saat mereka berjalan jalan. Kurasa Mrs. Dunlap ingin mengunjungi Reunion House untuk melihat apakah anjingnya dipelihara dengan baik. Kalau memang begitu, ia ingin berkunjung sekali-sekali."
"Itu jalan keluar yang terbaik untuk semua orang," kata Jongin. "Aku akan menyuruh Fritz mengantar MRs. Dunlap ke sini begitu aku sampai di kota."
"Apa kau akan kembali besok?"
Besok hari minggu. Ia sudah berjanji akan makan malam bersama Marilyn dan anak anak sebelum pergi. "Fritz akan tiba sore, jadi kami akan pulang setelah itu. bagaimana denganmu?"
"Aku akan berangkat pagi-pagi sekali," ia berhenti sejenak, lalu bertanya, "Apa kita baik baik saja, Jongin? Apakah kau masih bisa menganggap aku sebagai ayahmu?"
Mendapat kesempatan beberapa hari untuk menghadapkan semua masalahnya terbukti sangat membantu. Jongin menyadari bahwa ayahnya masih orang yang sama dengan yang selama ini dikenalnya, dan ia masih merasa kagum, hormat, dan sayang padanya. "Kita baik-baik saja, Dad. Aku tidak bisa membayangkan punya ayah yang lain."
Ayahnya merangkul pundaknya, dan matanya terliaht berkaca kaca, ia berdeham. "Apakah kau akan memberitahu Taemin?"
"Aku harus memikirkan dulu cara terbaik untuk menyampaikannya."
"Aku heran kau belum mendapat telepon dari Penwyck sampai sekarang."
"Aku bahkan tidak tahu apakah Sehun sudah kembali ke sana atau belum. Mungkin dia masih di sini. Mungkin dia akan menunggu di kantorku Senin pagi untuk menemuiku secara resmi." Harapan Jongin sedikit terangkat saat memikirkan hal itu.
"Apa kau pikir itu mungkin?" ayahnya membuatnya menyadari bahwa hal itu sangat tidak mungkin.
"Tidak, memang kecil kemungkinannya."
"Kau tahu, Nak, aku memang bodoh dalam urusan dengan ibumu. Kami punya masalah, dan kurasa aku telah meminta terlalu banyak darinya. Aku membuat kesalahan besar yang tak mungkin bisa dimaafkan olehnya. Tapi aku juga tidak berusaha sungguh sunggu untuk mendapatkan maafnya. Gengsi menghalangi aku untuk mengatakan padanya bahwa aku masih mencintainya. Jika Sehun memang wanita yang kau inginkan dan kau butuhkan, jangan biarkan dia terbang begitu saja."
"Dia tidak akan pernah memaafkan aku."
"Kau tidak tahu pasti, bukan?"
Memang, ia belum tahu pasti. Ibunya tidak bisa memaafkan, tetapi mungkin saja Sehun bisa.
Tiba tiba Jongin menyadari, ia tidak saja ingin minta maaf pada Sehun karena hal itu hal yang sepantasnya dilakukannya. Ia ingin Sehun memaafkannya karena ia mencintai gadis itu. ia tidak bermaksud untuk jatuh cinta. Ia sudah berusaha melawan perasaan itu sejak pertama kali bertemu Sehun. hati Sehun memanggilnya, dan sekarang ia ingin menjawab panggilan itu. ia hanya berharap mudah mudahan saja belum terlambat. Ia hanya berharap bisa membujuknya untuk tidak saja memaafkannya, tetapi juga untuk memercayainya sepanjang hidup mereka.
Setelah mengambil keputusan, ia berkata, "Aku akan meminta Marilyn mengubah rencana makan malam kita menjadi malam ini saja. Kemudian aku akan memesan tiket dan mencari tahu kapan aku bisa terbang kesana."
"Berarti ini serius ya," komentar Yifan saat ia dan Jongin berjalan kembali ke Reunion House.
"Inilah dia, Dad. Ini yang kucari. Aku sudah menemukan wanita yang tanpanya aku tidak bisa bertahan. sekarang aku hanya perlu membuktikan padanya, bahwa tanpa aku ia tidak akan bisa bertahan."
Setelah mendapat keterangan bahwa Sehun sudah check out dari hotelnya, Jongin juga memperoleh keterangan bahwa Sehun telah memesan tiket pesawat melalui concierge hotel dan sudah pulang ke Penwyck. Sepanjang sabtu malam, Jongin terus mereka-reka kalimat untuk meyakinkan Sehun. tak ada satupun yang terasa tepat, tak satupun yang cukup bagus. Terlepas dari itu, ia berangkat naik pesawat keesokan paginya.
Untung saja, Jongin sempat singgah di toko perhiasan di bandara sebelum berangkat.
Pesawatnya mendarat sesuai jadwal. Karena ada perbedaan waktu, hari sudah senja saat ia sampai di istana. Ketika taksi yang ditumpanginya berhenti, dilihatnya sebuah bangunan batu bertingkat tiga. Sebenarnya terlihat seperti dua gedung yang dihubungkan sebuah lorong kaca yang dihiasi langit langit lengkung.
Di pintu masuk utama ia menyebutkan namanya kepada seorang penjaga, yang kemudian menelepon seseorang di dalam istana. Seorang penjaga lain yang mengenakan seragam serupa, jaket merah dan celana hitan dengan topi baret merah, mengantarnya melalui sebuah taman, menuju ke lorong tertutup. Lantainya terbuat dari marmer, begitupun tiang tiangnya. Ada jendela jendela lengkung yang tingginya dari lantai sampai langit langit.
Ketika keluar dari lorong tadi, mereka bertemu lagi dengan lorong panjang lain. Akhirnya mereka berdiri di depan pintu yang sangat besar. Penjaganya membukanya dan Jongin melangkah masuk.
Tiba tiba sebuah pintu terbuka dan dua wanita melangkah masuk. Yang pertama berumur empat puluhan, rambutnya pirangnya ditata menjadi konde cepol seperti model rambut Sehun saat Jongin pertama kali bertemu dengannya. Mata birunya terlihat begitu serius. Wanita yang kedua lebih tua, berumur sekitar lima puluhan. Rambutnya hitam dan ditata seperti mahkota di atas kepala. Ia juga bermata biru dan sangat cantik. Blus sutranya berwarna merah hati dan dipadu dengan celana wol, sesuai dengan penampilannya yang sederhana tapi elegan.
Penjaga itu membungkuk dan berkata dengan resmi, "Yang Mulia, Sri ratu, dan Dayang Utamanya, Tiffany Montague."
Jongin tadi meminta untuk dipertemukan dengan ratu atau ibu Sehun, tak menyangka akan begitu mudah menemuinya. Rupanya namanya ada pengaruhnya juga. Mungkin pengaruh yang sangat besar.
Tetap saja, Jongin membungkuk kepada ratu. "Saya merasa terhormat." Kemudian kepada Mrs. Montague, ia berkata, "Sanagt menyenangkan bisa bertemu dengan anda juga."
Tak satupun dari kedua wanita itu yang berbicara, sehingga ia pun langsung melanjutkan. "Saya datang kemari dengan dua alasan. Pertama dan terpenting, untuk menemui Sehun dan menjelaskan padnaya bahwa saya tidak seburuk dugaannya. Kedua, saya ingin mencarit ahu apakah saya dan saudara kembar saya adalah pewaris takhta kerajaan. Saya tidak pernah tahu kami berdua anak angkat sampai beberapa hari yang lalu, jadi saya tidak menghiraukan gagasan itu sejak Sehun menceritakannya pada saya pertama kali, karena saya tidak ingin terlibat. Saya tidak ingin kehidupan saya terusik." Lalu Jongin menatap ibu Sehun secara langsung. "Tetapi putri anda benar benar telah mengusik kehidupan saya, dan ketika dia pergi, hidup saya terasa hampa tanpa kehadirannya."
Ratu dan Tiffany berpandangan.
"Well, Mr. Wu," ratu akhirnya berkata. "Kau telah melumerkan kemarahan kami atas nama Sehun, kurasa tadi kami berdua sudah siap untuk memanggangmu di atas bara api."
Jongin merasa ia telah melihat kilatan rasa geli di mata ratu. "Saya rasa Sehun ingin menghukum saya lebih dari itu," kata Jongin dengan sungguh-sungguh.
Ratu menunjuk ke arah deretan kursi tamu.
Jongin menunggu sampai kedua wanita tersebut duduk, kemudian ia sendiri duduk di tepi kursi yang berlapis sutra yang sangat tidak nyaman di duduki. Tak ada cara apa pun yang bisa membuat percakapan ini menjadi lebih nyaman, jadi duduk di kursi antik pun tak apa.
Tiffany menatap lurus ke depan ke arah matanya. "Kau belum lama mengenal putriku, Mr. Wu. Apakah aku harus percaya bahwa kau sangat menyayangi anakku hanya dalam waktu kurang dari dua minggu?"
"Sehun menceritakan pada saya bagaimana anda bertemu dengan suami pertama anda di kedutaan. Katanya anda sudah tahu sejak pandangan pertama bahwa pria itu sudah ditakdirkan menjadi jodoh anda. Begitu juga dengan Sehun dan saya, meskipun awalnya saya tidak mau mengakuinya. Ada banyak alasan untuk itu... alasan-alasan mengapa saya menjauhinya, pada mulanya."
"Aku tahu, perkataanku ini agak kurang pantas dikemukakan," ujar Tiffany pada Jongin, "tetapi Sehun merasa kau hanya berminat membawanya ke tempat tidur."
Alis ratu terangkat, dan sebuah senyum kecil tersungging di sudut mulutnya saat menyaksikan betapa tidak nyamannya Jongin membahas masalah itu dengan ibu Sehun. dia pantas diberi pelajaran, dan dia menghadapinya dengan kejujuran.
"Memang itu keinginan saya awalnya. Ketika saya mengajaknya ke Shady Glenn, saya tahu kami punya waktu satu minggu untuk bersama sama. Tapi saya juga tidak pernah mencuri kesempatan pada putri anda, Mrs. Montague. Kalau dia jujur pada anda, saya rasa dia akan mengatakannya."
Dayang ratu itu terdiam sejenak. "Dia memang menceritakannya padaku, tapi aku ingin mendengar penjelasanmu sebelum aku memutuskan apakah kau mengelabui dia atau tidak."
"Menurut pendapat saya, anda harus mengenal saya dulu sebelum bisa memutuskan tentang karakter saya dan perasaan saya terhadap anak anda. Tetapi saya bermaksud melamarnya untuk menjadi istri saya."
Lagi lagi ratu dan ibu Sehun berpandangan.
"Sehun masih sangat terpukul," ratu menambahkan. "Dia berubah sejak perjalanannya ke Amerika. Dia bilang dia ingin keluar dari istana dan hidup sendiri. Kalau kau bukan pangeran yang kami cari, seperti harapanmu, kehidupanmu di Chicago akan tetap seperti semula. Apakah kau sangka Sehun akan melepas semua kehidupannya di sini?"
"Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami harus membicarakannya dahulu... bersama-sama."
"Mr. Wu, saya tidak tahu apa pendapat Tiffany, tapi menurutku kau orang yang terhormat. Tetapi karena beliau ini ibu Sehun, maka terserah padanya apakah kedatanganmu akan diberitahukan pada Sehun atau tidak."
"Apakah dia ada di sini sekarang?" tanya Jongin yang sudah memutuskan untuk menggeledah semua kamar di istana untuk mencarinya, kalau memang perlu.
Sepertinya Tiffany bisa melihat kesungguhan hati di mata Jongin, dan mungkin juga perasaannya pada Sehun. "Aku punya perasaan kau akan mengaduk aduk seluruh istana ini untuk menemukannya," katanya, suaranya sudah lebih bersahabat sekarang.
"Aku akan melakukannya. Aku tahu betapa istimewanya dia."
Untuk sesaat suasana sunyi.
"Baiklah, ," ucap Tiffany. "Akan aku katakan padamu di mana kau bisa menemukannya. Selanjutnya terserah padamu. Dia berencana makan malam di kota, di kafe kecil bernama Artist's Place."
"Ya, dia pernah menceritakannya. Tempat itu memamerkan karya artis artis baru."
"Ya, itu salah satu tempat favoritnya saat dia sedang ingin berpikir. Dia baru saja pergi setengah jam yang lalu, jadi kau bisa menemukannya di sana. Apakah kau perlu di antar?"
"Tadi taksinya saya minta untuk menunggu." Jongin berdiri, tidak tahu apakah itu pantas atau tidak, tetapi ia ingin cepat cepat pergi. "Saya senang telah mendapat kesempatan untuk bertemu dengan anda berdua."
"Kita perlu masih berbicara mengenai tes DNA," ratu mengingatkan.
"Ya, saya mengerti. Kalau anda ingin mengatur jadwalnya, saya setuju saja."
"Jadi kau mau menginap di istana nanti malam?" tanya ratu.
"Kalau itu yang anda kehendaki."
"Itu yang aku kehendaki. Apapun yang terjadi antara dirimu dan Sehun. kau mungkin pewaris takhta berikutnya, Mr. Wu. Kau pantas menginap disini."
Setelah membungkuk kepada ratu, Jongin menjabat tangan Tiffany. "Terima kasih anda sudah begitu terbuka."
"Sehun masih muda, tetapi ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Semoga anda berhasil, Mr. Wu."
"Jongin," katanya spontan.
Tiffany mengangguk. "Jongin."
Penjaga mengantar Jongin keluar dari istana sama seperti waktu ia masuk tadi. Saat menuruni tangga, ia menyadari bahwa para penjaga ini kemungkinan tahu banyak cerita, tetapi mereka tak akan pernah membicarakannya. Kesetiaan mereka terlihat jelas pada sikap mereka.
Jongin memberikan nama restorannya kepada si pengemudi taksi, lalu berusaha menata pikirannya, mencoba mencari penjelasan terbaik, berharap mudah-mudahan Sehun tidak mengusirnya.
Saat taksinya mendekati pusat kota Marleston, Jongin tiba tiba teringat ketidakmampuan ibunya untuk memaafkan ayahnya. Ia teringat sewaktu Sehun berkata bahwa ketika kepercayaan dirusak, sulit untuk memperbaikinya kembali. Jongin sudah menghancurkan kepercayaannya dan kerusakan yang diakibatkannya sangat hebat.
Di depan Artist's Place, Jongin membayar taksi dan keluar dari mobil, ia memutuskan tidak meminta sopir itu menunggu. Entah bagaimana, ia akan berusaha mencari cara untuk kembali ke istana.
Ia menarik pintu kayu yang berat dan masuk ke serambi yang penerangannya redup. Tempat ini seperti pub yang tenang. Karya karya seni terpasang di dinding dan ada patung patung yang dipajang. Ada tulisan terpampang di meja podium, di depan pintu masuk restoran yang berbunyi : Silahkan Memilih Tempat Duduk Sendiri. Ternyata, minggu malam di sini sedikit sepi. Hanya empat meja yang terisi.
Ia langsung menemukan Sehun di pojok belakang restoran, di meja yang paling gelap pencahayaannya. Rambut pirangnya memantulkan cahayanya. Ada sepiring sandwich di hadapannya, tetapi ia tidak memakannya. Ia hanya memandangi lukisan lukisan di dinding. Jantung Jongin berdegup begitu kencang, sampai sampai ia tidak bisa berpikir. Hanya perasaannya yang bermain.
Jongin melewati ruangan itu dengan cepat lalu berdiri di dekat meja Sehun. "Lady Oh Sehun?" sapanya dengan resmi.
Mendengar suara Jongin, wajah Sehun terangkat dan kekagetannya tergambar jelas di matanya.
"Saya ingin memperkenalkan diri," lanjut Jongin. "Nama saya Wu Jongin, dan saya sedang mencari seorang wanita paling istimewa dalam hidup saya. Saya telah melakukan sebuah kesalahan besar dengan tidak berterus terang padanya tentang siapa sebenarnya diri saya begitu tahu dia sedang mencari saya. Setelah hal itu terjadi, saya tidak tahu bagaimana harus memperbaikinya lagi."
Kemudian ia menghentikan gaya bicara resminya dan berbicara dengan hatinya. "Aku ingin menghabiskan minggu itu di Shady Glenn denganmu, seandainya aku tidak bisa bertemu lagi denganmu. Tetapi ketika kau pergi, bayangan tidak akan pernah bertemu lagi denganmu tidak bisa ku terima." Ia berlutut di samping Sehun. "Aku tidak berniat memanfaatkanmu. Aku tidak pernah berniat jatuh cinta padamu, tetapi itulah yang terjadi." Jongin merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak hitam kecil. "Kalau kau bersedia menikah denganku, aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk menebus kebohonganku, aku berjanji tidak akan mengatakan hal hal yang tidak jujur lagi padamu. Aku mencintaimu, Sehun. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa tawamu, ketulusanmu, kasih sayangmu. Maukah kau menerima permintaanku untuk menjadi istriku?"
Sehun terlihat sangat terkejut. Ia menatap cincin di dalam kotak. Cincin itu merupakan berlian besar berbentuk hati dengan berlian-berlian kecil di kedua sisinya. Itu adalah cincin yang cocok untuk seorang putri... cincin yang cocok untuk wanita yang dicintai Kai seperti hidupnya sendiri.
Akhirnya Sehun mendongak ke arah Jongin dengan air mata berlinang menuruni pipinya. "Jongin?"
"Apa, sayang?" Jongin menjawab lembut.
"Aku hanya mencoba menyebut namamu. Terdengar pas."
Denyut nadi Jongin mengalir cepat dan harapan seakan memenuhi seluruh hatinya. "Mari kita lihat apakah cincinnya pas juga?"
Jongin mengeluarkannya dari kotak dan memasangnya di jari manis Sehun. ia kemudian mendongak lagi dan bertanya, "Apakah kau memaafkan aku?"
"Aku memaafkanmu, Jongin. Aku mencintaimu." Lalu Sehun sudah berada dalam pelukannya, mereka berdua berdiri dan Jongin menciumnya dengan segenap perasaan cinta, semangat, dan kesungguhan yang sebelumnya tidak bisa ia berikan.
Ciuman itu berlanjut terus, terus dan terus sampai terdengar tepukan tangan dari para pengunjung restoran lainnya.
Jongin mengangkat mukanya, berharap Sehun tidak menjadi malu dibuatnya. "Seharusnya aku melakukannya di tempat sepi," bisiknya. "Tetapi aku sudah tidak sabar menunggu."
"Aku senang kau tidak menunggu," jawab Sehun dengan suara bergetar.
Jongin menarik kursinya lebih dekat, lalu duduk disamping Sehun, dan memegang tangannya. "Kau yakin?"
"Aku yakin, aku tahu pria macam apa kau ini."
Jongin mengernyit.
"Meskipun saat aku tahu siapa sebenarnya dirimu." Lanut Sehun, "aku merasa dikhianati dan kecewa, dan tidak tahu apakah yang kita alami itu nyata atau tidak. Aku tidak tahu apakah aku akan bertemu denganmu lagi, melihatmu lagi, kalau kau datang kesini untuk meluruskan persoalan pewaris takhta itu. Aku sudah memutuskan untuk pergi ke Paris dan mendaftar kuliah di sana. Tapi malam ini, duduk di sini, aku menyadari bahwa tindakan itu sama saja dengan melarikan diri, dan aku tidak ingin melarikan diri darimu. Aku akan tetap tinggal di Penwyck, dan aku akan mengetahui apakah kau punya perasaan khusus untukku atau imajinasiku saja yang berlebihan."
Sehun benar-benar sangat cantik dan berani... dan gadis itu miliknya. "Imajinasimu tidak berlebihan. Aku mulai jatuh cinta padamu sejak malam pertama aku melihatmu. Memang aku merasakan gairah dan bermaksud mengajakmu bercinta. Tetapi aku menginginkan lebih dari itu, dan tidak menyadarinya. Saat hari-hari berlalu, dan aku memikirkan tentang kepergianmu, maka aku berpegang saja pada apa pun yang bisa kita raih."
"Sebelum aku meninggalkan Shady Glenn, ayahmu mengakui bahwa ia baru saja memberitahukan padamu bahwa kau di adopsi. Kau pasti sangat terguncang. Apa jadinya kalau kau memang pangeran itu?" tanya Sehun, menunduk sambil memperhatikan cincinnya, lalu kembali menatap Jongin. "Aku tahu kau tidak menginginkannya. Aku tahu..."
"Ratu menanyakan padaku apa yang akan kulakukan bila aku bukan pangeran yang dicari dan kau menerima lamaranku. Beliau ingin tahu apakah aku mengharapkan kau mengacaukan hidupmu untukku. Aku tidak mempunyai semua jawabannya, Sehun. aku tidak tahu bagaimana perasaanku kalau aku memang seorang pangeran. Tapi aku tahu aku mencintaimu, dan aku ingin kebahagiaanmu seperti halnya kebahagiaan diriku. Kukatakan padanya kita akan menyelesaikan masalah ini bersama sama."
Sehun mengangkat tangannya untuk mengelus rahang Jongin dengan jari-jarinya. "Kau benar. Kita akan menyelesaikan semuanya... bersama-sama."
Lalu, tanpa mempedulikan apakah ada yang memerhatikan atau tidak, mereka berciuman lagi. Kali ini mereka tidak diganggu oleh tepukan tangan. Kali ini ciuman itu berlangsung lebih lama sampai akhirnya mereka berdua kehabisan napas.
Setelah bibir mereka lepas dan mereka saling menjauh, Jongin menggelengkan kepala. "Kapan kita bisa menikah?"
"Beberapa minggu lagi mungkin?" tanya Sehun.
"Apakah itu cukup bagimu untuk menyiapkan pesta perkawinan seperti di negeri dongeng?" Jongin mengira itulah yang diinginkan Sehun, dan ia bisa melihatnya di sinar mata Sehun bahwa dugaannya benar.
"Ibuku dan ratu bisa mewujudkan apa saja. Waktunya cukup."
"Baguslah. Kurasa aku tidak akan sanggup menunggu lebih lama dari beberapa minggu untuk menjadikan kau milikku."
"Kau bisa melakukannya malam ini," kata Sehun dengan keberanian baru yang timbul dari rasa percaya diri bahwa mereka sudah ditakdirkan bersama.
Tetapi Jongin menggeleng. "Tidak, aku ingin melakukannya dengan benar. Kau akan memberiku hadiah yang sangat istimewa, dan aku akan memperlakukannya dengan kehormatan yang sesuai, kehormatan yang pantas untukmu."
Sehun memeluk Jongin dan menempelkan dahinya di dahi Jongin. "Apa pun hasil tes DNA nantinya, kau adalah seorang pangeran. Pangeranku."
Jongin tahu bahwa ia akan berusaha dengan seluruh kemampuannya agar pantas menerima kepercayaan Sehun. "Aku mencintaimu," kata Jongin sekali lagi, menginginkan Sehun untuk meyakini hal itu.
Beberapa minggu lagi, Jongin akan mempersembahkan hatinya, jiwanya, dan hidupnya pada Sehun, dan begitupun sebaliknya. Apapun yang akan terjadi dalam hidup mereka, mereka akan menghadapinya bersama-sama, bergandengan tangan, satu hati. Mereka akan saling mencintai dan menghargai, untuk selama-lamanya.
.
.
.
.
.
.
END
Ini benar benar berakhir di sini, ga ada epilog atau apapun untuk di novelnya. Rencananya aku pengen bikin epilog untuk status Jongin yang menggantung, tentunya dengan versiku sendiri dan mungkin akan rated M, karena di novel ini Jongin ga pernah berhasil nyentuh Sehun jadinya sedikit greget. Tapi karena yang review dikit, aku hanya akan bikin epilog kalau reviewnya mencapai 20 orang untuk chapter ini.
#syakila8894
