Chapter 9

Lolongan tiada henti mengaung diseluruh penjuru kota, seakan lolongan tersebut menyiratkan kesakitan dan permohonan yang telah terjerembab dalam palung keputus asaan. Kepekatan merah mulai merambat hingga berpadu dengan kelamnya sang malam. Keemasan sang rembulan silir berganti menjadi pekatnya sang darah. Gejolak api mulai terasa panas seakan siap melahap siapapun yang berani menentangnya.

Ketika yang tertuju berpaling

Ketika sang takdir meragu

Terhanyut dalam dunia fana yang menyakitkan

Kau miliknya

Tak terpungkiri ketika sang benang telah merajut hingga tak mampu lagi merana

Tujuh belas tahun akan musnah

Tujuh belas tahun akan meruntuh

Kau miliknya

Hanya miliknya

Alunan suara yang selalu ku dengar terasa berbeda. Kepedihan dan peringatan tak terbantahkan yang begitu melekat

Tanpa sadar benakku bertanya, "Ada apa gerangan?"

Angin bertiup menerpa tubuhku yang membeku menyaksikan segala hal luluh lantah. Menyadarkanku atas darah yang tengah bercecer bagai kubangan yang menakutkan. Tubuh-tubuh terkoyak seakan mereka pasrah dengan takdir yang menimpanya. Aku menangis, menjerit dalam lara yang tiada tara

Airmataku mengalir begitu deras ketika kedua mata ini menyaksikan tubuh demi tubuh manusia maupun serigala tercecer. Genangan darah, potongan tubuh, pekatnya bulu seakan silih berganti menghiasi tanah suci ini. Lolongan demi lolongan terdengar begitu menyiksa bagai merintih dalam kesakitan yang tak mampu terlukis, bagai mengadu bahwa mereka tengah hancur berkeping ketika melihat sang belahan jiwa hancur terberai demi melindungi tanah suci.

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku tak memahami mengapa perang mengerikan ini terjadi. Sungguh aku tak mengetahui siapa gerangan yang dengan keji menghancurkan mereka dengan begitu sadis hingga tubuh-tubuh terkoyak tak terbentuk. Kedua mataku bergulir kesana kemari untuk menyaksikan hancurnya para serigala-serigala yang tengah menggeram penuh murka kepada makhluk-makhluk tinggi menjijikkan yang dengan kuasanya mencabik-cabik barisan pertahanan para serigala. Kedua telingaku hanya mampu mendengar deru isak tak kasat mata ketika bulan merah semakin menghias terang di langit malam nan mencekam.

Siapa?

Siapa gerangan makhluk-makhluk tinggi bertaring yangmemiliki cakar begitu mengerikan dengan tulang-tulang yang mencuat dari sisik-sisik pada tubuhnya itu? Dimanakah para penguasa tanah suci ini? Ingin sekali diriku berlari sejauh mungkin ketika geraman makhluk menjijikkan yang tak ku mengerti sebenarnya makhluk seperti apa itu tengah mengaum bagai mengisyarakatkan sebuah kemenangan muthlak. Tubuhku bergetar begitu hebat, namun tak mampu pula untuk bergerak. Lolongan demi lolongan semakin merintih, mengharapkan kekuatan terakhir yang akan menyelamatkan mereka dari kehancuran yang tengah terjadi. Hatiku teriris. Entah mengapa aku dapat merasakan perasaan yang mereka utarakan melalui lolongan itu.

Namun tak ku sangka jika siksaan menyedihkan dan menyesakkan ini tak kunjung berhenti, bahkan kedua mataku membulat dan isak tangis ku semakin mengeras ketika aku melihat seekor serigala berbulu hitam dengan camputan warna merah berhias perak berpadu emas terlempar tak jauh dihadapanku diikuti darah yang menyebar di setiap sisi tubuhnya yang semakin ringkih tak berdaya. Darah mengucur deras di setiap sisi tubuhnya, seakan mataku tak mampu membedakan warna merah bulunya dengan warna pekat sang darah yang telah membasuh tubuhnya. Tubuhku berjengit kaget ketika melihat tubuh serigala itu mengejang begitu hebat

Debar pilu jantung seakan perlahan siap untuk meledak ketika menatap tubuh serigala itu semakin berubah menjadi sosok asing namun terasa tak asing. Namun, perasaan hancur yang tengah kurasakan semakin menyakitkan ketika sosok yang tak ku ketahui dengan jelas rupanya itu tengah terbaring melawan sang maut dengan penuh rintihan murka yang memilukan. Jantungku seakan tertohok pasak besar hingga tubuhku ambruk bersimpuh di tanah yang telah bercampur pekatnya darah ketika kedua mataku kembali melihat bias hitam bagai sebilah pedang dari langit menembus tubuhnya yang tengah ringkih. Spontan aku berteriak histeris melihat siksaan yang tiada henti terhadap sosok itu. Aku berusaha keras untuk bangkit. Namun, seakan tubuhku terpaku hingga dasar bumi sehingga aku tak mampu bergerak seinci pun untuk berlari ke sosok yang tengah terengah-engah menjemput sang ajal. Aku menangis pilu

Hatiku hancur

Tubuhku remuk seakan mengikuti lara sosok tersebut

Kesetiaan yang abadi telah terikat pada serumpun sang abadi

Kekalahan ataupun kemenangan tak mampu terlihat jika keraguan kembali tercuat

Kau miliknya

Tak terpungkiri jika kau miliknya

Dalam keabdian sejati, tertunduk dalam kesetiaan abadi

Dalam kesucian diri tanpa berpikir waktu telah tertunduk sedih

Berulang dan berulang

Meraung bagai anak kecil tak lagi dapat ku hentikan. Mengapa tubuhku harus terpaku seperti patung yang bodoh? Mengapa aku tak mampu berlari untuk menolongnya dan mereka yang saat ini tengah meregang nyawa?

Kepalaku menggeleng keras. Mulutku berteriak begitu kencang. Namun apa daya ketika semua yang kulakukan kembali menemukan titik kesia-siaan

Detik berguncang dalam kekalutan

Berpegang dalam pendirian

Kegelapan telah melahap sang putih

Kebenaran terhantam hingga hancur berkeping

"Argghhh"

Teriakan kesakitan seakan semakin berputar putar. Airmata semakin tak terbendung. Sesak di dada semakin menghimpit tak menentu ketika kedua mata ini menyaksikan napas terakhir yang sosok itu perlihatkan

"TIDAK!" tubuhku terjengit dengan teriakan keras yang terlontar di bibirku. Napasku tersengal dengan airmata yang mengalir deras di pipiku. Kesakitan itu masih terasa begitu kental direlung hatiku. Seakan bagai tusukan ribuan pedang yang menembus seluruh tubuhku. Bayangan kubangan darah dan tubuh terkoyak tetap terekam bagai kaset video yang tengah rusak hingga tak mampu mengendalikan diri untuk berhenti. Kedua mataku bergerak ke kanan dan ke kiri secara kalut. Ketakutan. Kesakitan. Kepedihan terasa begitu menyesakkan hingga membuat napasku semakin tersengal-sengal

Tanpa sadar kedua lenganku membungkus begitu erat tubuhku yang meringkuk kalut.

Sakit yang kurasakan jauh di lubuk hatiku semakin terasa bagai luka lama yang terpaksa diiris oleh pedang berkarat ketika memori kepalaku menampilkan sosok tegap yang telah meregang nyawa dihadapanku

"Nona." Alunan suara berat nan rendah menyapa gendang telingaku hingga mau tak mau membuat kepalaku mendongak dan menoleh ke sumber suara.

Tuan-yang-tak-boleh-ku-ketahui-namanya

Kedua mataku beradu dengan kedua mata yang selama ini selalu terbayang disetiap kedua mataku tertutup. Kedua mata yang tanpa sadar selalu ku rindukan. Kedua mata unik yang terasa begitu menenangkan dan menguatkan. Rasa rindu dan lega yang entah mengapa bercampur menjadi satu tiba-tiba mengalir deras tanpa dapat ku cegah. Tanpa ku sadari, dengan spontan tubuhku beranjak dari tempat ku meringkuk untuk menubruk tubuh tegap nan basah pria yang saat ini tengah berdiri dihadapanku itu.

"Syukurlah. syukurlah.. hiks.."

Tubuhku terguncang hebat ketika isak tangisku yang tiba-tiba meledak di balik ceruk leher pria tegap yang entah sejak kapan telah menetap di lubuk hatiku ini

Sejujurnya aku juga tak mengerti mengapa aku mengucapkan kata syukur ketika mendengar suara pria ini dan menyaksikan bahwa pria ini dalam keadaan yang baik-baik saja. Namun, seakan hanya kata itulah yang mampu mengekspresikan kelegaan ku saat ini.

Usapan lembut tangan hangat itu ia berikan di surai rambutku yang berantakan, "Ada apa nona? Kau bermimpi buruk, hm?" Mendengar pertanyaannya yang lembut dengan sirat kecemasan yang kentara membuat tubuhku semakin menenggelamkan diri di tubuh hangatnya "Tenanglah, nona. Aku disini. Maafkan aku telah meninggalkanmu sendiri."

Ku eratkan pelukanku pada tubuh tegap tuan-yang-tak-ku-ketahui-namanya. Tanpa sadar ku hirup aroma maskulin dengan pencampuran aroma khas alam dan pepohonan yang menempel lekat di setiap jengkal pori-pori milik tuan-yang-tak-ku-ketahui-namanya-ini. Aroma yang selalu melekat dan ku rindukan tanpa dapat ku cegah. Aroma yang terasa melekat dengan semerbak pesona dan ketenangan yang mampu membuat jantungku berdebar tak karuan."Jangan pergi.. Jangan pergi..."

"Aku tak akan kemana-mana, nona. Tenanglah. Aku disisimu. Tenanglah" Dapat ku rasakan pelukannya semakin mengerat melingkupi tubuhku.

Apa yang ingin kau sampaikan wahai roh suci? Mengapa kau menyiksaku dengan takdir rumit yang menyesakkan ini? Mengapa?

--o0o--o0o--o0o--

Desingan angin berhembus seakan menari nari begitu gembira, entah kabar bahagia seperti apa yang mereka dengar hingga mereka menyambut hari ini dengan begitu sepoi, bahkan sang mentari yang telah membumbung tinggi di angkasa untuk bersiap menyingkirkan para awan yang ingin berkuasa pun mempersilahkan para angin untuk menghiasi kehidupan di bumi.

Namun, semua kegembiraan itu sepertinya tak tersalur kepada sosok wanita cantik yang saat ini tengah menghela napas kasar dan menatap langit dengan begitu merana. Decakan sirat ke khawatiran mengalun berulangkali di salah satu kumpulan para gadis yang saat ini tengah berusaha mengumpulkan kayu bakar di tengah hutan belantara, "Apakah Baekhyun akan baik-baik saja, kak?" Kyungsoo menatap Luhan yang saat ini tengah membungkuk untuk mengambil dahan pohon yang berjatuhan di atas rimbunan dedaunan kering

"Aku berharap dia selalu baik-baik saja, Kyung." Helaan napas Luhan berikan ketika kedua maniknya juga menatap birunya langit

"Aku tak mengira jika Mr. Huger akan menuruti perintah wanita itu tanpa pertimbangan yang lebih jauh."

"Itulah pengaruh tingginya status manusia, Kyung." Xiumin menepuk pundak Kyungsoo dengan pelan, "Entah apa yang dipikirkan Baekhyun saat itu hingga emosi dan ucapannya tak terkontrol."

"Kalian tau sendiri bukan jika Chaterine lah yang memulai pertengkaran itu. Sejujurnya aku pun ingin mengumpat tepat di depan wajahnya, Kak. Sungguh memuakkan." Ucap Kyungsoo dengan dengusan kesal

"Lord Chaterine, Kyung." Ingat Luhan ketika Kyungsoo hanya menyebutkan nama wanita yang telah ditetapkan Mr. Court sebagai sang takdir penguasa.

"Kita di tengah hutan, Kyung. Kita tak tau apakah disini aman untuk tak menghormati yang telah terpilih, meskipun kebenaran masih belum terungkap dengan pasti." Timpal Yixing yang saat ini tengah berjalan mengimbangi langkah kaki keempat sahabatnya ini

Gesekan rerumputan terdengar begitu nyaring ketika kelima wanita itu melangkah kembali menuju tempat perkemahan, "Lalu, apakah kalian tak berniat untuk mengunjungi dan menemani Baekhyun?" Gumam Zitao

Helaan napas berat kembali terdengar dari keempat wanita itu, "Sangat berniat. Tapi kita pun tau bahwa jika kita ketahuan mengunjungi Baekhyun, maka Mr. Huger akan menambah sangsi kepada Baekhyun dan memberi kita hukuman pula." Ungkap Luhan dengan nada sirat kesedihan yang kentara, "Dan masalah utamanya adalah kita tak mengetahui dimana tempat pengasingan Baekhyun saat ini."

"Berharap sang roh suci akan melindungi Baekhyun dimana pun dia berada." Gumam Kyungsoo pada akhirnya

Seakan alunan pengharapan sosok-sosok wanita itu tengah melayang dan ikut menari dengan sepoinya angin untuk menghantarkan keindahan bumi yang telah terjadi.

--o0o--o0o--o0o--

Kecipak air terdengar begitu pelan ketika terkalahkan dengan gemuruh suara gelombang air terjun yang begitu memukau. Cipratan-cipratan air yang dengan riang membias cahaya menjadi sang pelangi yang begitu indah mampu membuat sepasang mata takjub melihat indahnya sang alam yang selama ini tersembunyi dibalik sebuah larangan yang entah benar ataupun salah.

Alunan merdu menyapa kedua gendang telinga yang saat ini tengah terpaku, "Nona, kau dapat merendam tubuhmu di air terjun ini, nona. Air terjun ini akan membuat jiwa maupun ragamu tenang." Senyuman lembut begitu memikat tersampir begitu indah hingga membuat detak jantung yang semula berdegup kencang berhenti seketika. Merah merona menghias seluruh wajahku ketika tuan-yang-tak-boleh-ku-ketahui-namanya melangkah mendekat dan mensejajarkan tubuhnya pada ku yang saat ini tengah duduk di bebatuan besar. "Aku akan menunggumu di balik pohon besar itu, nona. Berteriaklah jika kau merasa tak nyaman." Dada bidang nan tegap dengan tetesan air yang mengalir seakan mengejek naluriku untuk menggantikannya pun tertampil indah sejajar di kedua mataku yang semakin tak mampu terlepas dari tubuh indah bak sang dewa yang tengah menyamar.

"Aku akan menjagamu." Genggaman hangat dapat ku rasakan mengalir dengan sengatan-sengatan menyenangkan di bawah kulit epidermis tanganku, gelugup saliva ku telan begitu susah ketika kedua manik bagai kemisteriusan sang jagat raya itu menatap ku dengan percikan binar indah yang entah bagaimana mampu menarikku begitu dalam.

"A..ahh baiklah."

Ku langkahkan kakiku dengan tungkai penuh kehati-hatian untuk menenggelamkan tubuhku ke dalam riak air terjun agar aku tak berbuat hal memalukan seperti aku terjatuh dan tenggelam karena kecerobohanku. Semakin dalam tubuhku tersapu gelombang air yang entah mengapa aku merasakan kehangatan yang begitu menenangkan seluruh otot tubuh dan pikiranku.

Bebatuan hitam mengkilau menghias di pinggir air terjun yang sedari tadi luput ku perhatikan, seakan saat ini tengah memamerkan diri begitu gagah. sekelebat pertanyaan mengapa huta nan indah ini begitu terlarang bahkan nyanyian riang burung kecil yang tengah bersenda gurau dengan sepoi angin pun seakan menemani diriku yang saat ini tenggelam dalam keindahan hutan yang begitu menakjubkan ini?

Misteri apa yang kau sembunyikan dari kami wahai hutan? Mengapa sebelum sang takdir telah ditetapkan oleh Mr. Court kau sangatlah terlarang untuk kami? Apakah di dalam perut mu nan jauh disana merupakan tempat tinggal muthlak para penguasa Latent? Ataukah keindahanmu ini hanya disembunyikan saja oleh Mr.court agar kami tak menikmati pesonamu?

Ku tenggelamkan tubuh dan kepalaku untuk menikmati indahnya relung dalam yang tersaji pada lapisan dalam air terjun. Kedua mataku semakin membulat dengan senyum merekah yang semakin melebar ketika terdapat beberapa tumbuhan bercorak hijau yang saling menyejukkan melambai-lambai mengikuti gelombang air dengan ikan-ikan kecil yang terasa asing yang memiliki tubuh kecil dengan warna seluruh berwarna perak dan memiliki delima merah di tengah kepala serta sirip berwarna emas yang berkilau. Decakan kagum pun tak luput terlontar dari bibirku ketika menyadari bahwa hutan terlarang ini tak hanya menyembunyikan misteri yang menakutkan.

Tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang belum pernah terlihat oleh sepasang mata membuatku tak sadar jika ke dalaman air terjun ini tak membuat ku mati karena sesak. Entah karena aku yang mampu mengontrl keluarnya oksigen yang ku hembuskan, ataukah air terjun ini memiliki kekuatan magis untuk membuatku mampu bernapas di dalam air.

Menyadari bahwa aku telah berpikir sangat konyol membuatku terkikik hingga ketika—, "Nona.. nonaa.." seruan kecil dengan desingan kekanakan ku dengar begitu lembut ketika diriku masih tetap menikmati indahnya gelembung-gelembung yang dihasilkan para biota air ini.

"Nonaa.." seruan itu kembali terdengar dalam lebih terasa dekat dari jarak dimana aku tengah menenggelamkan diri

Puah

Ku bawa kembali kepalaku untuk menghirup udara sejuk hutan di permukaan air terjun ini, sekaligus untuk melihat siapa yang memanggil diriku. karena suara itu sangatlah asing ditelingaku. Ya aku yakin itu bukanlah suara dari tuan-yang-tak-boleh-ku-ketahui-namanya.

Namun—

Kedua mataku membelalak, ketika aku menyaksikan sebuah pohon kecil yang ku perkirakan tidak mencapai tinggi badanku tengah duduk di bebatuan tepi air terjun. Aku terkejut. Sungguh amat terkejut. Tidak mungkin kan jika saat ini aku tengah berhalusinasi melihat sebuah pohon yang memiliki rongga mata dan mulut yang terbentuk dari lekukan kulit pohon? apakah aku sudah mulai gila karena terlalu lama menenggelamkan diri di dalam air untuk menikmati keindahannya? Ataukah saat ini aku tengah bermimpi?

"Nona?"

Benar! Kedua mataku tidak salah melihat ketika pohon kecil itu berbicara—kepadaku?

Pohon kecil dengan dedaunan yang tidak begitu rimbun tersenyum dan menggoyang goyangkan tubuhnya hingga membuat dedaunan hijau yang semula merekat kuat di dahannya mulai meruntuh. "Nona, tak perlu takut padaku. Aku bukanlah Ligno yang nakal." Ulas senyum kekanakan dan terlihat sangat ceria tertampil ketika melihat diriku yang saat ini tengah membulatkan mata dan raut wajah yang tak percaya

Pohon itu memiliki kaki dari akar-akar pohon yang mungil terlihat sekali jika lapisan kayu yang dimiliki pohon ini masih sangat muda, "Nona adalah manusia pertama yang aku temui selama aku hidup, namun aku tidak takut pada nona. Karena nona sangat cantik." Kekehan tersipu terlontar dari mulut mungil pohon kecil ini membuat rasa penasaranku semakin membuncah. "Mengapa pohon dapat berbicara?"

Pohon mungil itu berseri ketika mendengar pertanyaanku, "Karena aku adalah Ligno. Bangsa pohon yang kuat dan pemberani. Namun, Tetua bangsa Ligno selalu melarang siapapun untuk bertemu manusia, jadi manusia hanya mengetahui jika semua bangsa pohon hanya bangsa lignium yang tak bisa berbicara dan tak bergerak. Tapi teman-teman ku juga banyak dari bangsa lignium, meskipun mereka tak bisa bergerak sepertiku, mereka sangat baik dan ramah." Celotehan-celotehan panjang yang membuat diriku menyadari bahwa terlalu besar misteri yang disembunyikan oleh hutan terlarang ini, namun apakah benar jika hanya karena seorang Chaterine yang telah terpilih untuk menjadi takdir sang penguasa sehingga kenyataan yang telah tersembunyi bergitu rapat mulai dipertontonkan? Apakah aku dan kelima temanku hanyalah pengecoh yang telah dikumandangkan oleh para roh suci?

"Apakah nona tau mengapa hanya bangsa lignium yang diketahui manusia?" pohon mugil itu melihat kearahku dengan tatapan yang berbinar, seakan ucapan-ucapan kecil nya bukanlah suatu hal yang akan membuat ku semakin terpaku. Tidak, bahkan keberadaannya tepat di depan mataku merupakan suatu hal yang membuatku tak percaya jika di dunia ini terdapat bangsa pohon yang dapat berbicara maupun bergerak. "Kata tetua kami bangsa manusia itu sangat kejam, bangsa manusia sangat menyukai membunuh bangsa Ligno dengan begitu keji. Dahulu, banyak bagian dari bangsa Ligno musnah karena dibakar dan dihancurkan oleh manusia. Sehingga saat ini hanya bangsa Lignium yang memiliki teman-teman yang lebih banyak, karena pertumbuhan mereka sangat cepat. Bahkan teman ku dari bangsa Lignium yang memiliki usia yang sama denganku saat ini telah menjadi pohon besar yang sangat rindang, sedangkan aku masih tetap kecil seperti ini."

"Apakah bangsa Ligno juga berkaitan erat dengan para penguasa?" mendengar pertanyaanku, pohon mungil itu terkejut. Dapat ku saksikan ketika ia menempelkan dahan yang menyerupai tangan miliknya menempel di mulutnya, "Sstt, nona tidak boleh membicarakan para penguasa disini."

"Mengapa?"

"Tidak tau." Pohon mungil itu menggelengkan kepalanya dengan cepat hingga membuat dedaunan bergoyang, "Para tetua melarang kami membicarakan para penguasa kepada siapapun dan dimanapun, kata para tetua jika ada yang berani membicarakan para penguasa akan mendapatkan hukuman."

"Benarkah? Apakah para penguasa sangat kejam?"

Pohon kecil itu sekali lagi menggelengkan kepala, "Aku tidak tau. Aku belum pernah bertemu para penguasa. Uhh, aku tidak ingin bertemu para penguasa. aku takut."

Belum sempat aku menjawab pernyataan sang pohon kecil, aku mendengar teguran dari suara yang sangat amat aku kenal, "Jika kau terus merendam tubuhmu sedari tadi di air terjun, maka akan membuatmu jatuh sakit, nona."

Tubuhku tersentak untuk mencari keberadaan tuan-yang-tak-ku-ketahui-namanya. Namun aku tidak menemukan siapapun disana.

"Nona bersama teman?" pohon kecil itu juga mencari sumber suara yang membuat tubuhnya berjengit kaget. Aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan pohon mungil itu

"Apakah dia manusia? Apakah dia baik? Apakah dia akan membunuhku, nona?" pohon kecil itu terlihat sangat gusar. Ia berdiri dari bebatuan dan memutar tubuhnya untuk mencari tuan-yang-tak-ku-ketahui-namanya

"Tentu dia manusia. Tenanglah pohon kecil, dia sangat baik. Aku yakin dia tidak akan menyakitimu. Tenanglah." Aku berusaha meyakinkan pohon kecil ini. namun, dia tetap terlihat takut entah karena apa, "A..aku kembali, nona. Terimakasih telah menjadi manusia pertama yang membuatku senang." Pohon mungil itu menjulurkan sebuah ranting pohon yang membentuk ukiran dengan dasar hexagonal kepadaku. Dengan cepat aku menerima pemberian pohon kecil itu tanpa tau konsekuensi apa yang akan terjadi.

Pohon kecil itu berlari dengan akar akar yang saling menyapa di permukaan tanah. Ku tatap ranting pohon yang membentuk ukiran rumit itu dengan begitu seksama. Aku merasakan angin sepoi-sepoi pun menyapa diriku seakan ingin menyampaikan sesuatu, hingga tiba-tiba desingan dedaunan yang berubah cepat saling menghantam pun tak terelakkan ketika angin sepoi mulai beralu. Hembusan dan hempasan angin mulai memicu begitu cepat seakan beradu dengan gemuruh awan yang begitu menggelegar. Tubuhku sontak terkejut dan berteriak terkejut, ku genggam erat ranting pemberian pohon kecil itu agar tidak terlepas. Cuaca yang semula terang benderang dengan cepat berganti menjadi begitu buruk dan menakutkan.

Petir saling menyambar hingga membuatku dengan cepat memakai pakaian ku tanpa memedulikan tubuhku yang basah dan pakaian yang tak berganti sepanjang hari

"Tuan?" aku mencoba berteriak untuk memanggil tuan-yang-tak-boleh-ku-ketahui-namanya itu. Ku langkahkan kakiku untuk mencari keberadaan sang tuan yang tiba-tiba menghilang, "Tuan?" aku terus mencoba memanggil, namun sampai detik dimana airmataku mulai luruh karena ketakutan yang begitu mendalam, tuan-yang-tak-boleh-ku-ketahui-namanya tak segera memunculkan diri. Tubuhku seketika menggigil. Ketakutan yang menyeruak begitu dalam terus menggerogotiku

"Tuan?"

Lolongan serta geraman buas seakan menyahuti seruanku begitu kejam. Degup jantung ku semakin tak karuan, seakan mampu meledak jika tubuhku bergerak. Terpaku dan bergetar. Hanya itulah yang mampu tubuh ku lakukan ketika lolongan tersebut semakin mendekat.

Rematan tangan ku lakukan semakin erat ketika sosok besar berjalan begitu cepat menuju tempat ku berpijak dengan iringan kilat-kilat menakutkan seakan berpesta akan sebuah kematian yang akan tercipta.

Gggrrr… ggrr

Geraman itu seakan menyiratkan kemurkaan yang begitu mendalam hingga membuat tungkai kakiku berlari untuk menjauh tanpa memedulikan kedua kaki yang bertelanjang, tanpa memedulikan gesekan ranting yang menggores kulitku hingga mampu menimbulkan rembesan darah segar, tanpa memedulikan jantungku yang menggila, serta napasku yang semakin tersengal lelah.

Berlari berlari dan hanya mampu berlari meskipun geraman serta lolongan mengerikan itu semakin mendekat dan murka, aku hanya mampu berlari. Aku tidak ingin mati.

Blarr

Kilat semakin menyambar dengan begitu menggila dan menghanguskan pepohonan yang terkena jilatan kesenangan yang telah mereka lakukan. Geraman dan lolongan murka yang semakin menjadi membuat angin berhembus semakin cepat dan merobohkan pepohonan dan membawa sang api untuk semakin menyambar begitu cepat.

Aku melihat sebuah bilah pedang menembus cepat ke arah sosok besar yang saat ini berusaha untuk menggapaiku.

Blaarr..

Argghh!!!

Mataku melihat bilah pedang yang dengan cepat mengarah ke sosok besar itu menancapkan dan membuat sosok besar itu terpelanting dan tertancap. Aku melihat darah segar saling bertebaran begitu mengerikan. Rintihan kesakitan yang teredam amarah yang begitu mendalam ku dengar begitu memilukan hingga membuatku menghentikan langkah dan berdiam untuk menyaksikan kiltan petir dan kobaran api yang membumbung memperlihatkan bahwa sosok besar yang saat ini tengah tertancap orang sebilah pedang itu adalah seekor serigala berbulu hitam dengan corak perak dan emas yang menghias bulu hitam itu

Kedua mataku membulat tak percaya. Jika sosok besar yang mengejarkan ku merupakan serigala yang sama yang telah mati sekarat dimimpiku. Aku menjerit kalut karena rasa terkejut yang begitu dalam. Rasa sakit dan mati menggerogoti hatiku yang mulai meraung pilu. Mengapa aku begitu bodoh ketika tidak mengenali lolongan yang sama ketika lolongan itu hadir di mimpiku? Mengapa aku berlari ketakutan ketika mendengar geraman yang mendekatiku?

Rasa takut ku menguap dan aku memilih untuk berlari. Kakiku tertatih untuk mendekat ke arah seekor serigala yang tengah berjuang melawan maut itu. Hatiku telah tersayat seutuhnya ketika sebuah mimpi yang sangat membuatku hancur menjadi sebuah kenyataan karena kebodohan ku. Tubuhku semakin bergetar ketika erangan kesakitan terdengar begitu memohon dari lolongan ringkih serigala berbulu hitam tersebut.

"Me..mengapa?"

Tubuhku terduduk diatas genangan darah yang semakin menggenang. Kedua mata yang saat ini mulai meredup itu seakan mengatakan padaku jika aku tak perlu takut padanya. Kedua mata itu seakan mengatakan padaku jika dia menjagaku bukan bermaksud tuk menyakitiku. Kedua mata itu terlihat menyesal jika ia sangat lemah hingga membuatku menangis.

Lolongan kecil itu terdengar begitu tersendat-sendat.

Sorot mata yang telah menyayu itu terlihat terluka hingga membuatku semakin merasa bodoh atas segala upayaku untuk melarikan diri dan ketakutan konyol ku untuk menghindari dari dirinya.

Tubuhku berjengit ketika terdengar suara tertawa begitu menggelegar dengan sirat kemenangan muthlak akan sekaratnya sang serigala berbulu hitam ini. Gemuruh petir semakin menyambar-nyambar dengan gila seakan-akan pula menandakan suka cita. Angin berhembus semakin kecang dan membuat sang api semakin berkobar membumbung terang hingga mampu meluluh lantahkan segala pepohonan yang berdiri begitu tegap. Tubuhku bergidik ketakutan dan semakin meringkuk pada tubuh berbulu yang tengah tersengal dan berbau anyir, hingga kedua telingaku mendengar geraman kemurkaan yang tadi sempat membuatku berlari tunggang langgang kembali terdengar dari sosok serigala berbulu hitam ini.

"Kau hancur!! Ketika sang takdir tak mempercayaimu. Kau hancur!!" Suara menggelegar itu terasa sangat bergembira hingga membuat ku terpaku, "Kau mati!!"

Gggrr..Grrrr

Sorot kemarahan tetap membara di kedua mata sang serigala yang saat ini tengah bernapas dengan begitu tertatih. Menatap menantang penuh murka kepada sang langit yang saat ini beradu dengan kilatan petir yang menari-nari bersama sang kobaran api. Suara tawa itu kembali terdengar begitu memuakkan seakan menghina sang serigala yang tengah sekarat.

"Kau mati!! Kau hancur!! Sang takdir tak mempercayaimu!"

Tanpa sadar kedua tanganku meremat bulu hitam yang semakin menggumpal dengan kentalnya darah.

Sang takdir tak mempercayaimu? Apakah kematianmu adalah salahku? Apakah aku takdirmu?

Mengapa?

Mengapa semua ini terjadi ketika kau belum mengikatku?

Mengapa?

Tubuhku tenggelam pada bulu lebat bercampur darahnya dengan begitu pilu. Isakan tangis dengan tubuh yang begitu bergetar pun semakin kulakukan karena aku telah merasakan bahwa jiwa dan ragaku ikut mati. Ketakutan. Penyesalan. Keputus asaan melebur dalam diriku menjadi satu. Hembusan napas tertatih membuatku semakin terisak redam pada bulu lebat yang terasa anyir itu. Kebodohan yang telah membuatku terperosok dalam penyesalan semakin membuat ku mengeratkan pelukan ku pada sosok serigala ini hingga aku merasakan panas begitu menyiksa yang mampu membuat ku tergugu ketika kedua mataku melihat bahwa saat ini kobaran api membumbung tinggi telah mengelilingi ku.

Jilatan-jilatan api yang seakan-akan menari nari untuk menantang sang langit yang berpadu dengan sang petir yang tak kunjung mereda pun menjilat begitu buas tubuh sang serigala telah tertarik begitu dahsyat menjadi serpihan abu.

"Tidak! Ku mohon, jangan." Tubuhku seakan ikut terbakar hingga membuat kesadaran ku semakin menghilang. Terombang ambing ditengah api yang bergelombang bagai riak air yang begitu mengerikan.

Wahai sang penguasa

Mengapa kau menghukumku seperti ini?

Rasa panas yang membakar tubuhku semakin meredup tergantikan dengan ketenangan. Ketentraman. Kedamaian batin yang semakin berlari tunggang langgang meninggalkan kesenyapan yang tengah ku rasakan. Bibirku menjerit secara spontan ketika tubuhku terasa tertarik pada pusaran angin yang begitu dahsyat. Kesadaran yang tidak lagi terjaga penuh membuat napasku semakin tersengal begitu pilu. Rasa sakit tak lagi terasa karena aku yakin jika aku telah tiada.

Ketakutan telah memeluk ku dengan begitu erat tak berarti apa-apa ketika kenyataan pahit menampar ku begitu kejam. Aroma amis semakin terasa menusuk hingga membuat otot perutku semakin menegang dan tak terkendali. Rasa anyir nan membakar menyapa lidahku tanpa belas kasih.

Mengapa?

Perih. Menyakitkan. Menyesakkan. Kekalutan yang begitu mencekam menggerogoti jiwaku yang yang mulai melayang ke nirwana.

Mengapa?

Lolongan sirat keputus asaan kembali terngiang semakin memenuhi rasa penyelasanku yang kian merana.

"T..tu..an.."

Aku merasakan putaran yang begitu cepat menghempas tubuhku kesana kemari mencabikku dengan begitu buas. Rasa nyeri di dadaku semakin menyiksa ketika lolongan serigala kembali menyapa gendang telingaku dan menghempas tubuhku yang terpelanting dan memasukkanku ke dalam kegelapan yang tak terelakkan.

--o0o--o0o--o0o--

Kesiapan bukanlah keinginan

Ketika sang waktu terus merangkak

Tanpa peduli sang takdir tengah terengah dalam siksa

Tujuh belas tahun semakin terikat

Menyerukan kebenaran yang telah ternoda

Kesiapan bukanlah angan

Ketika sang terlarang telah bergerak

Ketika sang terpilih kian meraja

Sang pekat telah memilah

Pantaskah sang takdir berpijak?

Pantaskah sang takdir tuk menyandang?

Ketika sang gelap telah berseru

Sanggupkah sang takdir bertahan dalam kesengsaraan yang tiada tara?

Kesetiaan. Kepercayaan. Keyakinan

Menyatu bagai gelombang yang menghempas

Meluluh lantahkan sang khianat yang tengah melayang

TBC