"Iwaizumi kenapa, Akaashi?" tanya Bokuto sembari memotong besar-besar spongecake keluaran kulkas. Namun karena diucapkan sambil mengunyah potongan lain spongecake yang sama, jadilah pertanyaannya terdengar seperti, "Hihaihuhi hehaha hahhaahhi?"

Akaashi hela napas pendek, kelewat maklum. "Oikawa-san kabur dari rumah. Dicari kemana-mana belum ketemu dari semalam."

Bokuto menelan cepat kunyahan di mulutnya. "Oikawa kabur lagi? Tengkar karena apa lagi mereka kali ini?"

Akaashi merasa déjà vu, tetapi diabaikannya perasaan itu untuk menyelamatkan irisan lain spongecake sebelum semuanya bernasib sama: ditelan Bokuto tanpa dikunyah sempurna. Akaashi memang menawarkan kue ini pada Bokuto, namun bukan berarti ia menawarkan semuanya untuk dihabiskan Bokuto saja. "Oikawa-san ngotot latihan sampai tengah malam. Tertangkap basah Iwaizumi-san. Biasa." Saking biasanya, Bokuto sampai memutar bola mata mendengarnya. "Skenario konflik drama rumah tangga ala Iwaizumi-Oikawa," gumam si tentara yang sedang liburan. Akaashi mengangguk, setuju sepenuh hati.

Masih menunggu kereta yang akan membawanya ke Tokyo, Iwaizumi bersin-bersin hebat.

.

Amaranthine

.

(chapter 6)

["Mustahil."]

.

"Ah. Pesan dari Iwaizumi."

Oikawa berjingkat ngeri. Bibirnya gemetar, tangan digerakkan membentuk perintah tanpa suara agar Kuroo tidak membalas pesan tersebut. Kuroo hanya meliriknya tiis sejenak, sebelum mendesah gusar dan mengetik cepat balasan pesan yang dimaksud. Satu sentuhan ringan di layar berhasil mengirimkan pesan balasan pada Iwaizumi yang entah berada di mana, tepat sebelum Oikawa menerjang dan merebut ponsel milik si tuan rumah.

Melihat tanda pesan berhasil terkirim dan sudah dibaca si penerima, tangisan Oikawa pecah lagi. Lebih keras dari sebelumnya, lebih menyebalkan dari biasanya. "Kau kejam, Tetsu-chan!" raungnya sambil menarik ujung celana training yang dipakai Kuroo sekarang. "Kejam kejam kejam! Teganya dirimu! Sebegitu kesalnya kah kamu sarapannya kuganggu, sampai-sampai ngasih tau alamat rumahmu ke Iwa-chan begitu?!"

"Berisik, Kusokawa!" balas Kuroo, setengah teriak. Tangan menggenggam erat bagian pinggang celananya, berusaha mempertahankan celana sekaligus harga diri. "Emang siapa yang enggak kesal kalau momen sarapan yang harusnya damai keganggu begini, hah? Kalau misal Yahaba tengkar sama pacarnya terus kabur ke rumahmu pagi buta juga kamu bakal curhat ke aku, ngomel panjang lebar tentang betapa gak dewasanya dia 'kan!"

"Tetsu-chan jahat!"

"Baru nyadar?"

Oikawa memekik nyaring. Berpaling dari Kuroo yang tengah menyumbat kedua telinga, ia melempar tatapan tajam pada sosok ber-hoodie merah di seberang ruangan. "Bantu aku—"

Kuroo memutar bola mata.

.

"—Akaashi!"

.

Alis Akaashi bertautan. Ada apa lagi ini sampai Bokuto meneriakkan namanya keras-keras? "Tunggu sebentar, Bokuto-san, aku segera ke sana…"

Tetapi Bokuto tidak berhenti. Ia tetap memanggil nama Akaashi berulang kali, bagai anak kecil yang begitu antusias ingin menunjukkan sesuatu pada orang tuanya. Akaashi menghela napas lelah seraya mengambil langkah panjang menuju ruang tengah. Lelaki bertubuh tinggi itu baru akan buka mulut, bertanya ada apa gerangan sampai Bokuto memanggil namanya berkali-kali, saat ia menyadari betapa berantakannya ruang tengah mereka sekarang.

Akaashi bersumpah saat ia bangun tidur tadi, bantal-bantal di sofa masih tertata rapi dan majalah olahraga langganan mereka masih terkumpul dalam tumpukan di bawah meja. Sofa juga masih berderet rapi menghadap televisi, tidak bercerai berai menghadap arah yang berbeda-beda begini.

Di tengah-tengah suasana bak kapal pecah itu, Bokuto berdiri berkacak pinggang sambil menunjukkan sesuatu dengan bangganya.

Sesuatu yang sudah lama tidak Akaashi lihat sejak beberapa waktu lalu…

"Lihat, Akaashi! Aku berhasil nemuin ini di bawah sofa! Kukira hilangnya di jalan, atau ketinggalan di rumah orang tuaku—"

"Bokuto-san."

"—ternyata jatuh ke bawah sana! Ahaha, untung aja ketemu ya, Akaa—"

"Bokuto-san."

"—shi! Eh, Akaashi, kenapa mukamu horor begitu? Memang ada penampakan di dapur?" tanya Bokuto polos, selembar foto yang menjadi mimpi buruk Akaashi dilambaikan di tangan: foto Akaashi dan Kenma saat kalah main poker melawan Kuroo dan Bokuto, hingga berakhir kompak mengenakan kostum bunny girl. Akaashi tanpa ragu langsung menyambar lembaran foto tersebut, memasukkannya dalam saku celana tanpa peduli akan rusak atau tidak. Teriakan Bokuto diabaikan. Akaashi berdehem pelan, ekspresi horor menghilang dan digantikan ketegasan saat ia berucap, "Bokuto-san. Rapikan kekacauan ini sekarang. Aku enggak mau tau, pokoknya rapikan sebelum jam makan siang."

Bokuto angkat dagu, tangan dilipat di depan dada. Nadanya menantang. "Kalau enggak?"

"Kalau enggak, kita jadi vegetarian selama sebulan ke depan."

Dengan patuh, Bokuto mulai merapihkan ruang tengah yang ia acak-acak sampai menjadi seperti kapal pecah.

Helaan napas lega.

Sekarang, bagaimana caranya memusnahkan memori buruk satu ini tanpa ketahuan…

.

Napas Iwaizumi masih terengah-engah ketika ia sampai di depan pintu apartemen bernomor 309 itu. Ia yang dasarnya kurang sabar memilih menaiki tangga ketika tahu elevator masih digunakan sampai ke lantai tujuh. Iwaizumi menyesali perbuatannya itu, sungguh. Ia sedang tidak berpikir jernih ketika mengambil keputusan tersebut; ia lupa kalau ia belum sarapan (dan tidak terpikirkan sama sekali untuk membeli roti atau cemilan selama di stasiun, astaga) dan baru ingat akan fakta satu itu ketika sudah setengah jalan menuju lantai tiga.

Dan sekarang, setelah berhasil sampai di alamat yang dikirimkan Kuroo, perut Iwaizumi memainkan orkestra dengan volume yang lebih keras.

Bahkan sebelum Iwaizumi sempat menekan bel, pintu apartemen sudah terbuka duluan, menampakkan sosok Kuroo yang berwajah super datar dengan sepiring telur mata sapi dan mie goreng di tangan.

Hening sejenak.

Iwaizumi menunjuk makanan yang Kuroo bawa, berusaha agar tidak terlihat terlalu berharap. "Ini kamu yang mau makan atau…?"

Dalam diam, Kuroo menyodorkan piring tersebut pada Iwaizumi. Iwaizumi menerimanya dengan senang hati (dan penuh rasa syukur, bahkan nyaris ingin menangis saking bahagianya, tetapi Kuroo tidak perlu tahu) sebelum melangkah masuk.

Setelah pintu ditutup, barulah ekspresi Kuroo berubah. Dari super datar menjadi meringis menderita, dan Iwaizumi sudah punya tebakan mengapa.

Tarikan napas panjang—biarkan Kuroo menyempatkan diri menyumpal telinga dengan kedua jari—dan—

"KUSOKAWA TOORU, JANGAN NGEREPOTIN ORANG PAGI BUTA BEGINI BISA ENGGAK SIH?!"

Ada jeritan histeris dari dalam sana, entah dari ruangan mana.

Iwaizumi menatap Kuroo lelah. Kuroo menunjuk ke suatu arah, entah ke mana, lalu berkata, "Dia ada di dapur, mutung sambil ngabisin persediaan makanan yang baru kubeli. Tolong seret pulang segera sebelum aku kehabisan bahan makanan lagi."

"… siap laksanakan."

Kuroo memberi penghormatan, yang dibalas Iwaizumi dengan gestur yang sama. Setelahnya, Iwaizumi ambil langkah cepat menuju dapur, tap tap tap tap bertempo presto. Ia sudah mempersiapkan diri untuk mendengar jeritan histeris gelombang kedua; oh, Iwaizumi sudah terlalu hapal dengan kebiasaan Oikawa, sampai ia tidak kaget lagi kalau semisal pemain voli tim nasional satu itu melakukan hal-hal di luar nalar. Kabur ke Tokyo karena pertengkaran sepele seperti ini, misalnya. Tidak, Iwaizumi tidak akan kaget. Iwaizumi tidak akan menjatuhkan apapun yang ia bawa karena terkejut atas apapun yang Oikawa lakukan saat ia tidak ada.

Iwaizumi nyaris menjatuhkan piring berisi sarapan gratisannya karena melihat sosok yang harusnya tidak ada di Tokyo kini berada di dapur Kuroo, dijadikan dinding pertahanan dadakan oleh Oikawa.

"Habiskan dulu sarapannya sebelum membawa pulang Oikawa-san, Iwaizumi-san. Jangan sampai pingsan di stasiun dalam perjalanan pulang," sapa sosok ber-hoodie merah itu kalem, seolah pertengkaran duo Oikawa-Iwaizumi ini bukan hal aneh jika terjadi di rumah orang lain. Seolah ia sudah terbiasa dengan tingkah ajaib orang-orang yang ia kenal. Seolah ia sudah pernah menghadapi sesuatu yang jauh lebih merepotkan daripada Oikawa yang kabur dari rumah.

Iwaizumi menatap lelaki yang kini berkulit agak pucat itu tanpa berkedip.

Sosok itu tersenyum simpul.

.

.

[to be continued]


Pojok Bacotan Arwah Gentayangan:

Update-an pendek (lagi). Motivasi baru muncul habis nonton drakor yang dikasih temen uwu Menjelang UTS pula, di saat utang makalah numpuk… Eniwei, terima kasih banyak buat yang udah nungguin dan masih baca fic angsty gagal satu ini! RnR sangat diharapkan datangnya~