Tiga bulan kemudian

Akashi baru saja keluar dari ruang sidang. Gelar sarjana secara tidak resmi sudah ia dapatkan. Tidak ada rasa takut atau gugup sebelum ia memasuki ruangan tersebut. Akashi mengerjakan skripsinya sendiri jadi tidak pelu ada yang dikhawatirkan. Namun fokusnya mengarah kepada salah satu senpainya yang mendapatkan karangan bunga dari kekasihnya.

"Omedetou Yoshitaka"

Tidak ada alasan untuk berlama-lama disana, Akashi langsung melangkahkan kakinya dari gedung fakultasnya. Pulang menuju apartemen Kuroko.

Apartemen tersebut masih sama seperti tiga bulan yang lalu. Hanya berkurang satu penghuni. Dan selama kepergian Kuroko, Akashi masih tinggal disana dan membiayai semuanya sendiri. Juga hidup sendiri disana, tanpa kedatangan Kuroko satu kalipun kesana.

Alasannya satu, kebenciannya terhadap Kuroko. Akashi benci karena terlalu menyayangi Kuroko dan ia benci dengan semua rasa yang tidak bisa ia abaikan. Terlebih, ia benci karena tidak bisa benar-benar membenci Kuroko.

Sesampainya di apartemen, Akashi melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia menyiapkan makan siang dan ia tidak bisa menghilangkan kebiasaan lamanya.

Membuat dua porsi makanan

Akashi hanya tinggal seorang diri. Konyol jika ia selalu membuat dua porsi makanan untuk satu kali makan. Ia bukan Nebuya, Kagami, atau Aomine yang tidak cukup dengan dua porsi makanan. Porsi makan Akashi cukup, tidak banyak dan tidak sedikit.

Setelah menghabiskan seporsi makanan, Akashi hendak pergi berjalan-jalan ke luar. Kemudian ia mendapati penghuni baru di samping apartemennya.

"Akashi?"

"Shintaro? Kenapa disini"

"Tentu saja aku pindah. Aku bekerja di sekitar sini jadi tentu lebih mudah jika mencari apartemen yang lebih dekat dengan tempat kerja"

"Begitu"

Akashi mematikan topik pembicaraan sehingga membuat suasana hening. Midorima berusaha mencairkan suasana dengan membuka topik baru.

"Tidak menjenguk Kuroko?"

Iris heterokrom Akashi membulat sempurna. Ia tahu Midorima adalah orang yang memercayai ramalan, tapi ia tidak menyangka kalau Midorima bisa meramal isi pikirannya.

"Kenapa kamu bisa tahu?"

"Dia pernah dirawat di rumah sakit tempatku bekerja ketika satu bulan yang lalu. Saat tidak sadarkan diri, ia menyebut namamu. Aku pikir yang dimaksud oranglain, ternyata memang benar-benar dirimu"

"Aku menunggu saat yang tepat, Shintaro"

Midorima menghela nafas panjang. Entah harus bersyukur atau tidak, ia bisa melihat kalau Akashi kini tidak main-main lagi dalam urusan cinta dan berhati-hati dalam setiap langkahnya,

"Mau menunggu sampai kapan? Ia begitu rapuh dan membutuhkanmu. Orang yang sulit menerimanya diri sendiri itu sulit untuk berkembang dan motivasi diri sendirinya kurang. Kalau terus begini, keadaan bisa memburuk bahkan janin yang dikandungnya bisa-"

"Cukup Shintaro"

Midorima memerhatikan lawan bicaranya dari balik kacamatanya. Ia menaikkan kacamatanya dan kembali ke apartemennya.

"Sebentar lagi ia akan meneleponmu dan jangan menolaknya"

Akashi hanya mendecih. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu apartemennya sambil menyilangkan kedua lengannya.

"Untuk apa aku menolak orang yang aku cintai?"

Cerulean and Heterochrome © Satsuki Tori

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

.

Aku melihat manik cerulean, dan kamu melihat heterokrom. Apa yang kita lihat memang berbeda dan karena itulah aku menyukainya. Tidak percaya? Airmatamu adalah jaminannya.

.

Akashi x futa Kuroko

.

Bokushi? Oreshi? Ini Akashi :P

.

Warning: futanari

.

Selama ketidak hadiran Kuroko, banyak kebiasaan Akashi yang berubah. Salah satunya adalah menghabiskan waktu luangnya dengan membaca novel. Banyak novel Kuroko yang ditinggal disini dan temanya kebanyakan adalah romantisme dan humanisme. Akashi benar-benar ingin mengetahui semua sisi dari diri Kuroko bahkan sisi yang Kuroko sendiri tidak tahu. Salah satunya adalah dengan membaca buku-buku kesukaannya.

Kimi no hikari ga tsuyoi hodo boku wa jiyuu ni nareru

Hikidashiaeru chikara de koko de koko de tashika ni

"Dimana ponselku?"

Ponsel Akashi berdering. Ia mencari ponselnya dan melihat layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak ia kenal.

"Nomor rumah?"

Akashi mengangkatnya namun ia tidak bersuara terlebih dahulu. Ia menunggu lawan bicaranya untuk berbicara terlebih dahulu.

"Sei-kun?"

Kuroko! Akashi tentu sangat mengenal suara orang yang ia sayangi. Ia sangat senang karena Kuroko yang meneleponnya duluan. Akashi tidak melakukan apapun setelah kedatangannya ke rumah kakak Kuroko selain menunggu waktu yang tepat.

"Iya Tetsuya, ada apa?"

"Maaf mengganggumu, tapi apa kamu sedang sibuk?"

"Tidak. Memangnya ada apa Tetsuya?"

"Kamu sekarang sedang ada dimana?"

"Di apartemen kita"

Kuroko mengerutkan dahinya karena tidak habis pikir. Akashi masih tinggal di apartemen Kuroko sementara pemiliknya sendiri tidak pernah datang kesana.

"Bisakah kamu kemari?"

"Memangnya Tetsuya sedang ada di mana?"

"Di rumah Chihiro-niisan. Ada yang ingin bertemu denganmu"

"Siapa memangnya yang ingin bertemu denganku? Dirimu?"

"Bukan, orang lain. Kapan kamu luang?"

"Hari ini pun aku luang"

"Di lain hari?"

"Luang juga"

"Terserah dirimu saja mau datang kapan. Dia bisa kapan pun"

"Bagaimana kalau hari ini saja?"

"Terserah"

"Baiklah kalau begitu aku kesana sekarang. Mungkin aku akan sampai disana ketika malam"

"Terima kasih Sei-kun. Aku tutup teleponnya ya"

"Iya"

Sambungan telepon diputus oleh si lawan bicara. Akashi mendapat mood boster karena Kuroko yang meneleponnya duluan. Walau bisa saja telepon tersebut tidak memberikan jaminan untuk membuat hubungan mereka kembali normal.

Akashi berkemas, memasukkan beberapa barang-barangnya karena ia berencana akan menginap. Kemudian memakai jaket kulit berwarna merah dan mengambil kunci motornya. Ia pergi ke parkiran dan memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Bagaimanapun, ia masih mau selamat walau ia ingin segera bertemu dengan Kuroko.

Tidak ada jaminan ia akan bertemu dengan malaikat birunya. Kuroko hanya bilang, yang ingin menemuinya bukanlah Kuroko, tetapi oranglain. Lalu Kuroko tidak menyebutkan siapa orang yang ingin menemui Akashi.

Harapan kosong memang menyakitkan. Tapi Akashi tetap berharap hal baik akan terjadi. Tidak ada yang melarangnya untuk mengharapkan sesuatu.

Entah kenapa feeling Akashi mengatakan bahwa akan ada hal baik yang akan terjadi. Hanya sekedar feeling, kenyataan yang sebenarnya belum terjadi. Mungkin efek terkena euforia karena di telepon duluan oleh Kuroko, Akashi menjadi seperti ini.

.

.

.

.

Setelah beberapa jam berkendara dengan motor kesayangannya, Akashi sampai di tempat dimana Kuroko tinggal sekarang, yakni rumah kakak kandungnya. Ia membunyikan bel rumah dan beberapa saat kemudian Kuroko membukakan pintu.

"Sei-kun! Ayo masuk"

Tidak ada kakak ipar menyebalkan yang menyambutnya. Akashi langsung disambut oleh orang yang ia sayangi.

Akashi terdiam sejenak. Beberapa bulan tidak melihat Kuroko membuatnya terlihat berbeda. Rambutnya kini sepunggung, ia terlihat anggun dengan dress yang ia gunakan, dan perutnya yang kini terlihat membesar karena janin yang ia kandung, telihat lebih pucat dan lebih kurus. Namun raut wajah Kuroko sekarang, sama dengan raut wajah Kuroko ketika mereka pertama kali bertemu di lingkungan kampus. Akashi tidak perlu mengartikan kembali raut wajah tersebut, Midorima juga sudah menegaskan kondisi Kuroko dan begitu tercetak jelas di raut wajah Kuroko saat ini.

Kuroko menuntun Akashi ke ruang tamu dan disana ia sudah menyiapkan minuman dan beberapa kudapan.

"Kamu sendirian? Dimana kakakmu?"

"Chihiro-nii belum pulang. Tadi dia menelepon akan pulang terlambat karena ia harus lembur"

"Hmm begitu"

Kuroko menuangkan teh ke cangkir Akashi. Ia kemudian duduk di samping Akashi. Kuroko terlihat gugup. Ia berdiam beberapa saat. Hanya suara Akashi yang sedang menyesap tehnya dan denting cangkir yang ditaruh di atas piring kecil.

"Sei-kun, bolehkah aku ke dapur? Aku belum makan malam"

"Tentu. Kamu kan sedang hamil, tentu kau harus memerhatikan makananmu"

Kuroko berdiri dari tempat duduknya. Ketika ia berdiri, ia terdiam sejenak.

"Etto. Apa kamu sudah makan malam?"

"Belum"

"Mau makan bersama?"

"Kedengarannya tidak buruk"

Akashi mengikuti Kuroko menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan. Akashi mengikuti alur, ia tidak langsung menanyakan maksud Kuroko yang mengundangnya datang kemari. Ia mengikuti alur yang Kuroko buat.

Kuroko duduk di meja makan. Sebelum memerhatikan gerakan Kuroko, Akashi memerhatikan menu yang tersaji di meja makan. Semuanya makanan bergizi, tidak ada makanan instant sama sekali, terlebih ada makanan favoritnya, sup tofu.

"Semuanya kamu yang masak?"

"Iya Sei-kun, silahkan dimakan. itadakimasu"

Penampilannya tidak buruk, justru menimbulkan nafsu makan Akashi. Ia duduk di meja dan mulai mengambil makanan di meja makan.

"Hai, arigatou. Itadakimasu"

Akashi dan Kuroko memakan makanannya dengan tenang. Tidak ada yang berbicara ketika makan. Hanya suara kecil dari denting piring dan sumpit yang memecah keheningan mereka.

"Gochisou-sama"

Kuroko membereskan piring-piring kotor dan menaruhnya di tempat cuci piring. Setelahnya ia menyiapkan piring kosong, menyajikan makanan di atasnya, dan membungkusnya dengan plastik bening.

Rupanya Kuroko meniru beberapa kebiasaan Akashi ketika mereka masih tinggal dalam satu apartemen. Akashi ingat betul ketika Kuroko kadang harus pulang larut karena kelas tambahan di malam hari. Otomatis Akashi menyiapkan makan malam untuk Kuroko dan ia akan tidur sebelum Kuroko pulang ke rumah karena Akashi juga lelah dengan skripsinya.

Namun ketika Kuroko yang melakukan itu untuk oranglain, Akashi menjadi iri. Ia tidak pernah mendapatkan hal itu walau kebiasaan tersebut berasal dari dirinya.

"Sei-kun, orang yang mau bertemu denganmu ada di kamarku"

.

.

Kuroko mengarahkan Akashi ke kamarnya. Kuroko tanpa sadar menggenggam tangan Akashi. Yang digenggam tangannya hanya diam dan tetap mengikuti alur. Ia diarahkan ke kamar Kuroko. Pemilik kamar membukakan pintu kamarnya dan segera menuju balkon kamarnya.

Angin malam di musim semi menerpa rambut panjang dan gaun one-piece yang dikenakan Kuroko. Tubuhnya disinari cahaya rembulan. Bertabur dengan kelopak bunga sakura yang gugur karena terpaan angin malam.

"Tetsuya, angin malam tidak bagus"

Akashi membuka jaket kulit merah yang ia pakai dan memakaikannya untuk Kuroko. Tangan Akashi yang menyentuh bahu mulus Kuroko digenggam oleh tangan lain yang lebih kecil darinya.

"Sei-kun, maaf..."

"Maaf untuk apa Tetsuya? Kamu gak salah apa-apa"

"Seandainya aku terlahir seutuhnya laki-laki atau seutuhnya perempuan, mungkin aku akan sangat bahagia"

"Aku membenci dirimu yang selalu membenci dirimu sendiri, Tetsuya. Siapa yang mau kamu salahkan atas kehadiran dirimu yang seperti ini? Orangtuamu? Tuhan? Memangnya kamu mempercayai kehadirannya? Atau kakakmu yang seolah mengambil seluruh kesempurnaan dirimu?"

Akashi memeluk Kuroko dari belakang. Kedua lengannya melingkari perut Kuroko dan mengusapnya. Wajahnya ia dekatkan di depan telinga Kuroko dan mengecupnya.

"Yang ingin bertemu denganku adalah anak kita bukan?"

Kuroko tidak terlalu terkejut. Dia adalah Akashi yang selalu benar. Termasuk dugaan-dugaan yang belum terbukti kebenarannya sekalipun.

"Hehe. Ayahmu disini nak"

Segaris senyum tipis di wajah Kuroko menghiasi potret dirinya yang tersinari cahaya rembulan. Akashi memang bukan siapa-siapa Kuroko tapi izinkanlah Kuroko untuk egois hanya hari ini.

"Dia merindukanmu"

"Kalau kamu merindukanku?"

"Aku gak mau jawab Sei-kun"

Akashi tertawa kecil. Entah Kuroko sedang marah, merajuk, atau benci membahas pertengkaran mereka beberapa bulan yang lalu. Ekspresi Kuroko selalu datar seperti biasa.

"Seiji-kun, nanti jangan kudere kayak ibumu ya?"

"Kamu bahkan belum tahu dia laki-laki atau perempuan tapi sudah memberinya nama"

Langit malam bertabur bintang dan bulan purnama terefleksikan di sepasang iris cerulean dan heterochrome. Menikmati suasana kehangatan dalam dinginnya malam di tengah sebuah keluarga yang belum resmi. Bibir mereka membisu namun ketiga hati mereka saling berbicara.

Terpaan angin merontokkan kelopak-kelopak sakura dari pohonnya. Terhembus angin dan mendarat di rambut mereka. Tangan Akashi menyingkirkan kelopak sakura tersebut dari rambut Kuroko dan menyampirkan rambutnya di belakang daun telinganya. Intuisi Akashi menuntunnya menghirup aroma rambut Kuroko dan mengecup puncak kepala Kuroko.

Malam semakin larut. Berlama-lama dengan angin malam tidaklah bagus. Akashi merangkul Kuroko untuk masuk ke dalam. Pintu yang mengarah ke balkon ditutup Akashi sementara Kuroko duduk termenung di atas ranjangnya.

"Ada yang kamu pikirkan, Tetsuya?"

"Sei-kun, sebenarnya dokter tidak mengizinkanku untuk merawat dia"

Akashi menghampiri Kuroko dan duduk disampingnya. Ia merangkul bahu Kuroko dan Kuroko bersandar di bahu Akashi.

"Aku sudah tahu dari Shintaro karena dia tidak memberi ucapan selamat kepadaku..."

"Maafkan aku Sei-kun"

"Ini bukan salahmu sepenuhnya. Bukan karena aku tidak menginginkan Seiji, tapi aku tidak tahan melihatmu terus menderita"

Akashi membelai lengan Kuroko. Walau Kuroko selalu memperoleh makanan yang bergizi tapi tubuhnya kian kurus dan pucat seperti orang sakit. Orang yang melihatnya tentu akan prihatin melihat Kuroko.

"Maafkan aku"

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Tidak ada yang perlu dimaafkan"

"Jadi kamu tidak mau memaafkanku?"

"Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kamu tidur, ini sudah jam sebelas malam"

Kuroko menurut. Ia membaringkan badannya di tempat tidur dan Akashi menyelimuti tubuhnya dengan selimut.

"Ketika aku terbangun nanti, kamu akan menghilang dan apa yang terjadi malam ini akan terasa seperti mimpi"

"Aku tidak mau merealisasikan kekhawatiranmu"

"Itu memang realita. Bukankah Sei-kun membenciku?"

"Iya, aku membencimu. Aku benci dengan dirimu yang sudah merebut hatiku. Aku benci menikmati semua kebahagiaan yang aku rasakan bersamamu"

Kuroko hanya terkikik mendengarnya. Ia menyikut Akashi yang berbicara dengan nada yang main-main. Tidak ada keseriusan disana.

"Sejak kapan Sei-kun jadi tsundere begini?"

"Kalau aku tidak seperti ini, kamu tidak akan peka terhadapku"

"Sei-kun anak pramuka yah main kode-kodean?"

Akashi hanya tertawa kecil dan mengecup dahi Kuroko. Ia mengelus helaian rambut Kuroko. Memperlakukannya bagai putri dan Akashi adalah pangeran yang akan menjaganya sepanjang di sisa malamnya hingga mentari menyinari dan membuka kedua kelopak mata Tetsuya.

"Aku menghilang atau tidak di pagi hari nanti, itu tergantung dengan keinginanmu"

"Kalau aku menginginkanmu di sini sepanjang malam, apa aku egois?"

"Tidak. Keinginan itu wajar. Bukan masalah egois atau tidak"

Kuroko memeluk tubuh Akashi dan memejamkan matanya. Akashi balas memeluknya sambil mengelus surai sky-blue Kuroko. Tak lama, Kuroko membuka kedua matanya kembali.

"Sei-kun, permainan kita sudah berakhir kan?"

"Iya. Lalu?"

"Aku ingin menjalin hubungan yang serius. Tapi tidak ada tempat bagiku untuk menjalin cinta selain keluargaku sendiri. Apa aku salah menginginkannya?"

"Aku sudah bilang keinginan itu wajar. Tapi kalau masalah keinginanmu itu salah atau benar, jawabannya adalah karena tempat untuk dirimu adalah aku. Hanya aku, Tetsuya"

Akashi tidak tahu apakah Kuroko mendengarnya atau tidak karena Kuroko sudah memejamkan matanya. Ia tertidur dengan lelap. Melupakan beban berat dan takdir yang harus ia terima.

Melihat orang tertidur itu bagaikan virus yang bisa menyebar luas. Akashi pun ikut mengantuk dan tertidur bersama Kuroko.

Sudah lama mereka tidak bertemu dan tidur bersama seperti ini. Langit malam bertabur bintang dan sinar rembulan yang terlindungi sinarnya oleh awan yang mendominasi sang rembulan.

.

.

.

.

Akashi terbangun di tengah malam. Jam di kamar Kuroko menunjukkan jam dua lewat sepuluh menit. Ia bangun dan hendak ke dapur mengambil segelas air. Namun pandangannya tertuju kepada kakak Kuroko yang diam termenung di ruang tengah dengan sisa jamuan tamu untuk Akashi yang belum dibereskan.

"Chihiro?"

"Seijuro"

Akashi duduk di sofa yang berhadapan dengan Chihiro. Melupakan sejenak keinginan ingin membasahi tenggorokannya.

Chihiro mengambil sepotong kukis coklat di piring dan memakannya sedikit. Alasannya adalah karena itu adalah untuk Akashi. Ia sudah muak dengan Akashi yang terus-terusan mengambil apa yang menjadi hak miliknya.

"Tetsuya belum pernah tidur selelap itu semenjak ia memutuskan tinggal disini lagi untuk sementara waktu"

Akashi sedikit terkejut mendengarnya. Namun wajahnya tetap tenang. Ia hanya memerhatikan Chihiro, bagaimanapun juga ia adalah kakak Tetsuya.

"Kalau kau sudah disini, itu artinya Tetsuya sudah memberitahumu"

"Aku dengar beberapa hal dari Shintaro juga. Aku sudah menduga hal ini"

Chihiro menghabiskan sebuah kukis di tangannya. Ia menuangkan teh yang sudah dingin ke cangkir yang masih kosong dan menyesapnya.

"Bagaimana menurutmu?"

"Aku akan melakukan apapun demi Tetsuya"

"Jawaban ambigu bukan kesukaanku, kau tahu itu. Lakukanlah kewajibanmu sebagai ayah biologis dari keponakanku. Kau tidak ada kewajiban untuk mengurusi Tetsuya, kau siapanya Tetsuya?"

"Baiklah"

Akashi meninggalkan tempat duduknya. Sebuah kalimat mengehentikan gerakan Akashi.

"Aku belum selesai"

Siapapun orangnya, Akashi tidak suka diberi perintah. Kalimat Chihiro tidak termasuk perintah tapi merupakan suatu pernyataan.

"Walau berat melepaskan adikku satu-satunya, tapi melihat Tetsuya tidur nyenyak seperti tadi membuatku rela melepasnya untukmu. Mengingat sebentar lagi aku akan menikah dan memiliki keluarga, aku juga tidak tega melihatnya hidup sendirian"

Kakak dan adik sama-sama kudere. Wajah Chihiro tetap datar dari awal hingga akhir pembicaraan mereka.

"Jika aku melihat setetes saja kesedihan di waut wajahnya, ku bunuh kau!"

Kecuali yang terakhir. Chihiro berwajah seram. Dia benar-benar protektif terhadap adiknya. Mungkin Akashi akan melakukan hal yang sama jika ia memiliki seorang saudara. Sayangnya, Akashi anak tunggal.

Malam ini penuh arti bagi Akashi. Sebuah restu merupakan awal yang baik bagi hidup Akashi. Hati Kuroko juga sudah mulai melunak dan sedikit terbuka kepadanya.

Awal yang baik belum tentu baik, Akashi harus tetap bekerja keras untuk membangun kebahagiaannya bersama Tetsuya. Bukankah awal yang baik dan akhir yang baik itu jauh lebih baik daripada mendapatkan awal yang buruk atau akhir yang buruk?

.

.

.

.

10 tahun kemudian

Akashi pergi ke sebuah pemakaman khusus sambil menggendong anaknya. Hari ini merupakan hari peringatan orang yang dia cintai.

"Maaf membuat kalian menunggu lama"

"Ibu"

Si anak langsung meminta turun dari gendongan sang ayah dan lari menuju ibunya. Ia memeluk kaki ibunya dan si ayah langsung menasehatinya.

"Sora, kamu tidak lihat ibumu membawa banyak barang?"

Sora hanya merindukan ibunya. Beberapa jam berpisah dengan ibu yang selalu bersamanya selama 24 jam tentu rasanya tidak enak bagi seorang anak kecil yang baru berumur empat tahun.

Mereka langsung menuju deretan patung boneka yang sudah dipakaikan pakaian dan di depannya ada sebuah vas kecil untuk persembahan. Si ibu memberikan mainan anak-anak dan menaruh sebuah kincir angin kecil di samping boneka tersebut sebagai persembahan.

"Maafkan ibu yang tidak bisa menjagamu, Seiji"

"Padahal sudah 10 tahun berlalu sejak kematiannya, Tetsuya"

"Rasa penyesalanku terhadapnya tidak akan pernah hilang..."

Seijuro mengambil sebuah permen dari sakunya untuk persembahan. Ia mengelus patung boneka sebagai penanda nisan anaknya dan menatapnya.

"Bagaimanapun juga, ayahmu ini yang harus disalahkan karena membuat kondisi ibumu seperti demikian"

Kedua orangtua sama-sama memiliki rasa bersalah. Tetsuya menggugurkan kandungannya karena saat itu badannya tidak cukup kuat untuk hamil. Kondisi kandungannya tidak sempurna karena kelainan yang ia miliki membuatnya memiliki alat reproduksi ganda baik di luar maupun di dalamnya.

Mereka mengambil resiko yang tinggi saat Tetsuya hamil kembali dengan tidak menggugurkannya. Seijuro begitu menjaga Tetsuya hingga ia bisa melahirkan walau prematur tujuh bulan dan dengan jalan operasi.

Setelah berdo'a untuk kebahagiaan Seiji, keluarga Akashi segera pergi karena tidak ingin larut dalam kesedihan. Namun Tetsuya dan Sora saja yang pulang ke rumah. Seijuro kembali ke kantornya karena harus mengurus beberapa dokumen.

Dalam siklus kehidupan setiap manusia, tidak ada yang selalu bagus atau selalu buruk. Pasti ada saatnya dimana manusia itu bahagia dan tidak sedang bahagia. Siklus datar, tidak ada naik turunnya begitu membosankan. Nikmati saja sebagai kenikmatan dalam kehidupan. Jangan lihat sebagai sebuah keburukaan tapi lihatlah sebagai sisi dari sebuah keindahan yang tersembunyi.

Seperti bagaimana Seijuro melihat Tetsuya. Ketika heterochrome dan cerulean yang saling bertatapan. Pandangan mereka berbeda. Seijuro yang melihat cerulean dan Tetsuya yang melihat heterochrome. Kelainan mata Seijuro yang merupakan sebuah keindahan tersendiri di mata Tetsuya dan kelainan pada kelamin Tetsuya yang dilihat Seijuro sebagai keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Alasan tersebut yang membuat mereka tetap tegas tidak merubahnya. Mungkin bisa saja Seijuro membuat kedua bola matanya kembali sama atau Tetsuya yang memutuskan menjadi lelaki seutuhnya atau perempuan seutuhnya. Tapi membuatnya sama dengan apa yang dilihat oranglain? Bukankah kelainan tersebut yang membuat mereka berbeda di mata orang lain?

TAMAT

.

.

.

Extra Story

"Dan akhirnya monster tersebut berubah menjadi manusia dan ia hidup bahagia selamanya dengan putri raja"

Tetsuya suka membacakan dongeng untuk anaknya setiap malam. Terkadang ia membacakan cerita yang ia karang sendiri karena ia sendiri seorang penulis buku cerita untuk anak-anak. Ia mengapresiasi kecintaannya terhadap anak-anak dengan membuar karya sastra untuk anak-anak.

"Sora belum mengantuk?"

"Aku takut bermimpi buruk"

"Baiklah kalau begitu ibu temani sampai dirimu bermimpi indah ya?"

.

.

Tetsuya kembali ke kamarnya. Lebih tepatnya kamar mereka. Seijuro baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk di pinggangnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.

"Sei-kun, okaeri. Maaf, Sora terus memelukku. Aku sulit melepaskannya agar ia tidak terbangun lagi"

"Aku pun melakukan hal yang sama ketika aku masih kecil"

Badan Tetsuya ia jatuhkan ke kasur king size mereka dan menarik selimut karena ingin segera tidur.

"Ayah dan anak sama saja"

Seijuro mengeliminasi jarak mereka. Walau mereka sudah bersama hingga sepuluh tahun lebih, tetap saja jika dihadapkan dengan posisi seperti ini

"Sei-kun"

Jangan lupakan wajah Tetsuya yang selalu datar seperti biasa walau dalam hatinya berdoki-doki waku-waku dengan pasangan hidupnya ini.

"Apa?"

"Cepat pake baju, nanti masuk angin"

"Mukamu merah tapi ekspresimu tetap datar"

Tetsuya langsung menyembunyikan wajahnya di dalam selimut. Entah Tetsuya berkata apa karena suaranya yang teredam oleh selimut. Seijuro bisa mendengarnya walau entah ia mengatakan apa. Sebuah ide terlintas di benak Seijuro.

Seijuro semakin mendekat dengan Tetsuya dan mencoba membuka selimut yang menyelubungi Tetsuya. Kekuatan Seijuro tentu lebih besar daripada Tetsuya sehingga ia mudah melepaskan selimut yang menghalangi wajah Tetsuya.

Bibir Tetsuya langsung dikecupnya. Hanya sebuah kecupan ringan. Seijuro mendekatkan bibirnya ke telinga Tetsuya. Ia menjilatnya sedikit sebelum mengatakan sebuah kalimat.

"Ayo percepat kelahiran Sayuri"

Sebuah pukulan keras dari Tetsuya langsung mengenai perut kotak-kotak Akashi.

"Kamu aja yang hamil!"

"Tetsuya~"

"Kamu tidur di sofa saja sana. Berbahaya kalau Sei-kun tidur di kasur"

"Masa kamu tega membiarkan suamimu sendiri tidur di sofa?"

"Kalau itu Sei-kun aku tega kok"

Tetsuya menarik selimutnya dan hendak pergi tidur. Tapi Seijuro tidak ingin membiarkan Tetsuya tidur dan terus mengganggunya.

Ini akan menjadi malam yang panjang bagi mereka. Tapi merupakan awal dari kelahiran anak kedua mereka.

.

.

.

AN: Horeee~ akhirnya update juga /dilemparin sampah sama reader

Maaf banget telat. Author laptopnya mati dan baru hari ini bisa nyala lagi. Sialnya file ini belum di copy ke perangkat lain jadi gak bisa lanjut di perangkat lain selain laptop author /nangis kejer

Akhirnya ini FF tamat juga. Happy ending. Gak ada baper-baper kayak di chapter2 awal. Wkwkwk /dilemparin sampah

Maaf kalu kurang puas sama ending yang author buat ini. Tapi semoga bisa membalas air mata yang mungkin kalian tumpahkan ketika membaca chapter-chapter sebelumnya /pasang watados

Oke author mau mengucapkan terima kasih pada reviewers, followers, favoriters, dan silent readers tercinta yang sudah membaca FF ini, terutama yang sudah ngikutin dari chapter awal. Author benar-benar berterima kasih sekali. Tanpa kalian, author mah apa atuh.

Author bingung mau cuap-cuap apa lagi, yah sampai berjumpa saja di karya-karyaku yang lain. Author masih punya beberapa project AkaKuro yang lainnya, jadi tetaplah menjadi shipper AkaKuro garis keras!

KIBARKAN TERUS BENDERA AKAKURO!

HIDUP AKAKURO!

Last word, mohon review, follow, atau favorite yang seikhlas-ikhlasnya /neko mouth