"Berapa lama lagi kau akan menunggu? Ini sudah lebih dari tiga tahun." sosok berkulit kelewat pucatmenghela nafas panjang. Iris cognac-nya menatap lekat ia yang bersurai red wine, yang duduk bersila di depan sebuah batu besar. "Jungkook?"
Tidak mendapat jawaban apapun. Yoongi memutuskan untuk duduk di sebelah adik termudanya. Ia melirik sosok lain yang mengenakan jaket abu-abu dan celana panjang hitam, memberinya isyarat agar mendekat juga.
"Aku benci melihatmu begini." gumam Jimin menaruh sebuah tas di samping kaki Jungkook. Isinya adalah pakaian dan kantong darah untuknya, juga berkas identitas baru. Sepasang nut-brown-nya melirik ke samping. Ada beberapa tas di sana, berisi benda-benda yang sama, yang tidak pernah disentuh adiknya. Ia beralih ke kedua tangan vampire Jeon yang terlihat rapuh. Jemarinya memainkan kantong darah kosong. Kantong yang dulunya berisi cairan kental berwarna merah milik seseorang yang kini tertidur pulas di bawah batu yang berada di depan mereka.
Jimin membencinya.
Ia ingat pernah bertanya mengapa si bajingan menyiapkan kantong itu padahal Jungkook jelas berada bersamanya. Dulu ia tidak mendapat jawaban apapun, namun setelah apa yang terjadi pagi berikutnya, ia bisa menerka alasan kantong itu disiapkan. Seolah si brengsek tahu dirinya akan meninggalkan Jungkook, seolah ia merasa akan pergi jauh dan tak lagi mampu menjadi sumber kehidupan bagi kekasihnya.
Bahkan tanah lapang yang dulunya hanya ditumbuhi rerumputan liar, kini penuh dengan semak-semak, menyembunyikan sosok bersurai merah anggur yang duduk mematung di depan sebuah batu yang berada di bawah pohon besar. Semuanya telah berubah, kecuali satu sosok yang begitu setia menyiksa dirinya sendiri tanpa mempedulikan apapun selain waktu yang selalu ia hitung tanpa terlewat sedetikpun.
"Sial!" umpat penyandang marga Park begitu saja. Ia memukul keras tanah di bawahnya, duduk seperti anak kecil di sebelah kanan sosok bersurai red wine dengan Yoongi duduk di sisi yang lainnya.
"Rambutmu merah, sama seperti kami." vampire Min terkekeh. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar karena sungguh, ia tak mau adik kesayangannya semakin terluka. Sebelah tangannya terulur mengusak surai yang mulanya berwarna sekelam malam. Bias kemerahan bak anggur perlahan terlihat seiring dengan semakin lamanya Jungkook berpisah dengan sang takdir, hingga akhirnya berwarna semerah wine yang memabukkan. "Aku bertemu dengan yang sepertimu. Mereka sempurna seelah membalaskan dendamnya, membunuh orang yang menjadi alasan mereka bunuh diri, membunuh orang-orang yang membuat mereka kehilangan nyawa."
"Dia berbohong padaku. Katanya tidak akan sakit, tapi dadaku sesak selama berjam-jam, rasanya lebih baik mati cepat daripada tersiksa seperti itu." gumam Jungkook pada akhirnya. Begitu lirih, begitu lemah. "Saat itu aku benar-benar membencinya."
Jimin memperhatikan dari samping, memilih diam. Ia yang menemani Jungkook selama beberapa minggu pertama. Kala itu, si arogan mulai berbicara tidak jelas, meminta maaf, mengatakan hal-hal yang ia sungguh tak mengerti. Namjoon bilang, Jungkook mulai mengingat sesuatu, potongan-potongan kenangan saat dirinya masih menjadi manusia. Potongan yang selama ini, hanya Jungkook yang tidak punya.
"Jadi, dia yang membunuhmu?"
Jungkook menggeleng pelan, bibirnya masih bergerak-gerak di sela keterdiamannya. Yoongi tahu apa yang sang adik lakukan, berhitung. Vampire Jeon menghitung setiap detik yang dilaluinya tanpa sang kekasih.
Benar-benar menyedihkan.
Mereka lalu diam untuk beberapa saat, sampai Jimin memutuskan untuk bicara. "Seokjin hyung merindukanmu, tapi dia tidak bisa ikut karena sedang terlibat dalam penelitian virus ebola. Namjoon hyung dan Hoseok hyung sedang sibuk membuat lagu. Mereka menjadi rapper yang mulai diperhitungkan, kau tahu? Terkadang Yoongi hyung ikut bergabung dalam project mereka. Sementara aku menjadi guru tari. Kami tinggal di LA sekarang."
Yang diajak bicara hanya mengangguk perlahan. Masih berhitung tanpa suara.
"Saat masih tinggal di Borneo, kau pernah bilang ingin menjadi penyanyi terkenal kan? Bagaimana kalau kau bergabung dengan Namjoon hyung dan Hoseok hyung? Mereka pasti akan senang berkolaborasi denganmu." pemilik surai reddish auburn coba menawarkan. Bagaimanapun, itu adalah tujuan awal mereka datang ke tempat ini setiap bulannya; membawa Jungkook pergi.
"Aku tidak boleh egois, Jim." sepasang manik sekelam malam melirik vampire Park di sampingnya, hanya sekilas. Karena di detik berikutnya, mata itu kembali fokus menatap batu bisu di hadapannya. "Terakhir kali aku bersikap egois, aku harus membayar dengar harga yang sangat mahal. Kalau saja saat itu aku tidak mengacuhkannya, kalau saja saat itu aku tidak menyalahkannya atas penyerangan yang terjadi di rumah kita, mungkin Tae tidak akan tergesa-gesa untuk mengambil tindakan. Mungkin dia akan bisa memikirkan rencana yang lebih matang. Mungkin, aku tidak akan membunuhnya."
"Kook, bukan kau yang membunuhnya." sahut Yoongi cepat, berusaha menenangkan. Adiknya mulai bersikap sentimentil sejak saat itu, dan ia sungguh tidak suka. Jeon Jungkook yang arogan menurutnya jauh lebih baik.
"Aku membunuhnya, hyung. Kau sendiri yang bilang, makhluk sepertiku sempurna setelah membalaskan dendamnya. Aku mati membawa kebencian untuknya. Dan lihat? Setelah si bajingan Kim mati di tanganku, aku menjadi seperti ini. Memiliki rupa yang sama seperti kalian, memiliki potongan ingatan. Aku yang membunuh takdirku sendiri. Benar-benar konyol." Jungkook mendengus, tersenyum miris sambil terkekeh tanpa perasaan. Kejadian hari itu kembali berputar dengan sangat jelas di dalam kepalanya. Taehyung mati kehilangan terlalu banyak darah karena ulahnya. Rasanya masih tetap sama, menyakitkan.
Sangat menyakitkan.
Dan ia sungguh merasa sangat bodoh.
Kalau begini, lebih baik abadi tanpa ingat apa-apa.
Memiliki Taehyung dan tersesat lebih baik ketimbang menemukan jalan tanpa dirinya.
Sebelah tangan yang paling muda terulur, mengusap batu penanda makamnya, batu yang kini menjadi penanda makam takdir-nya. Sementara tangan kirinya masih memegang kantong-kantong darah yang telah kosong. Satu-satunya yang ditinggalkan Kim Taehyung, hanya untuknya.
Jimin menarik nafas dalam-dalam, mengabaikan fakta bahwa ia tak membutuhkannya. Ia melakukannya karena hal itu sungguh membantunya meredam emosi. Jungkook bertahan di minggu-minggu pertama dengan darah yang ditinggalkan Taehyung. Namun setelahnya, si bandel itu benar-benar tidak memakan apapun. Entah karena ia benar-benar tidak bisa, atau hanya karena Jungkook memiliki kepala batu sehingga kukuh dengan pendiriannya untuk tidak mengkonsumsi apapun selain darah Kim Taehyung. Vampire itu terlihat rapuh, sangat rapuh dan lemah. Ditambah pakaian lusuh dengan begitu banyak noda darah yang tak pernah ia ganti, Jeon Jungkook benar-benar menyedihkan.
"Apa mereka mengganggumu?" gumam Yoongi mengalihkan pembicaraan. ia benar-benar benci adiknya yang melankolis dan terlihat lemah.
Yang ditanya hanya menggedikkan bahu, bersikap acuh lalu kembali menghitung dalam diam. Jungkook sudah belajar menghitung di dalam kepala sambil bicara untuk berjaga-jaga. Ia tak kan membiarkan siapapun merusak hitungannya seperti dulu.
"Aku mencium bau Baekhyun dan Joonmyeon, juga beberapa pemburu dari Busan saat berjalan kemari. Apa mereka habis berkunjung?"
Pemilik surai wine tidak menjawab. Ia malas mengingat manusia-manusia yang mengacaukan rencana kekasihnya.
Vampire Min menghela nafas. Ia melirik takdir-nya yang juga memasang wajah kesal. Mereka berdua sudah berdiri di belakang Jeon Jungkook selama hampir dua hari, dan saat memutuskan untuk mengajak vampire Jeon bicara, hanya ini yang mereka dapatkan.
Selalu seperti ini.
Selalu sama setiap kali mereka berkunjung.
"Jungkook?"
Diam saja.
Yang dipanggil memilih diam. Tak ada yang ingin ia katakan saat ini. Baginya, menunggu takdirnya dalam diam dan kesendirian jauh lebih baik ketimbang bersama entah-siapa yang mencoba mengajaknya bicara. Sejujurnya Jungkook hanya butuh ketenangan, dan ia akan bahagia. Ia sungguh tak keberatan jika harus menghabiskan selamanya yang ia miliki di dalam kehampaan seorang diri.
Mereka bertiga diam selama berjam-jam, bahkan hingga matahari yang tadinya berada tinggi di atas kepala mulai bersembunyi di ujung barat bumi. Salah satu dari ketiganya mulai bergerak ketika tengah malam tiba. Ia berdiri dan menepuk-nepuk celananya, mencoba membersihkan tanah yang menempel.
"Jim, kita pergi. Pesawat kita take off jam enam pagi." gumamnya dengan nada datar. Ia berbicara kepada takdirnya, namun sepasang pupilnya terfokus kepada Jungkook yang diam tak bergeming di tempatnya.
Vampire bersurai auburn menghela nafas. Ia ikut berdiri dan melakukan hal yang sama dengan sang kekasih. Sebelah tangannya terulur mengusap kepala adiknya selama beberapa saat. "Kami akan kembali bulan depan. Kuharap saat itu, kau mau ikut dengan kami."
Jungkook mengangguk saja. Selalu begitu. Ia hanya akan mengangguk setiap kali saudaranya berpamitan. Dan saudaranya, entah siapapun itu yang datang, hanya bisa menghela nafas dan membiarkan si keras kepala Jungkook menikmati luka dan rasa sakitnya sendirian.
.
Sepasang iris sekelam malam Jungkook menatap langit gelap tanpa bintang, menembus ranting-ranting pohon di atasnya. Angin bertiup cukup kencang, mungkin sebentar lagi akan hujan. dan yang Jeon Jungkook lakukan, hanya diam.
Bibirnya tersenyum miring, matanya menatap teduh makam kekasihnya. "Yoongi hyung dan Jimin datang, mereka hanya berdua. Kelihatannya hyung-ku sudah mulai bosan mengunjungiku. Bulan depan, kuharap tidak ada yang datang lagi. Jadi kita hanya berdua saja."
Ia beranjak dari duduknya, beringsut mendekati batu besar, lalu bersandar padanya. Rasanya begitu familiar karena dulu sekali, Jungkook selalu melakukan hal yang sama. Duduk bersandar pada batunya, menunggu mangsa dan merutuki takdir.
Sekarang, ada sedikit yang berbeda. Ia tak lagi merutuk, karena seseorang telah menemaninya dalam diam.
Ya, sang takdir bersamanya.
Kim Taehyung berada di samping Jungkook, menjaganya dalam kebisuan.
"Beberapa temanmu datang, tapi mereka tidak berani mendekat." jemarinya bermain-main di atas lututnya sendiri setelah ia meletakkan kantong darah kosongnya di dekat kaki. "Kakakmu yang mirip denganmu itu sekarang jadi sakit-sakitan, aku masih membencinya. Dulu aku sangat ingin membunuhnya, tapi tidak jadi. Kau tahu kenapa? Karena kurasa membiarkannya ditelan rasa bersalah sampai dia mati akan jauh lebih menyiksa daripada membunuhnya langsung. Orang mati tidak bisa merasakan kesedihan. Well, kecuali kalau mereka bangkit lagi seperti aku."
Jungkook terkekeh setelahnya. Ia menatap langit yang mulai dipenuhi gumpalan awan mendung. Gemuruh guntur mulai terdengar dan ia menyukainya. Seolah langit akan segera menangis untuknya, mewakili kesedihan dan rasa bersalahnya.
"Hyung, apa kau tidak ingin bangun? Aku menunggumu di sini. Aku tidak akan pergi." Jungkook merebahkan dirinya, merasa lelah berbicara. Sejujurnya, semenjak ia berdua saja dalam kesendiriannya bersama sang kekasih, sang abadi jadi banyak bercerita. Ia akan mengubah apapun yang ia lihat, apapun yang ia dengar, ke dalam rangkaian kata demi kata untuk takdir-nya. Ia ingin Taehyung melihat apa yang ia lihat, mendengar apa yang ia dengar.
"Aku ingin bertanya padamu." ditariknya nafas dalam-dalam, seolah dirinya begitu membutuhkan udara. "Saat kau memberikan racun itu padaku, apakah kau tahu rasanya akan begitu menyiksa? Atau, memang kau sengaja ingin membuatku merasa sangat-sangat kesakitan? Hyung, kau tahu aku benci rasa sakit. Kenapa melakukannya?"
Tentu saja tidak ada jawaban yang Jungkook dapatkan. Berulang kali ia menanyakan hal yang sama, sebanyak itu pula ia dijawab hampa.
Tapi tidak apa-apa, Jungkook akan tetap mengajaknya bicara.
"Dulu, aku langsung mencarimu dengan satu tujuan; ingin membunuhmu begitu aku bangkit. Kalau kau bangkit nanti, apa kau juga akan langsung mencariku, hyung? Kau tahu, karena aku yang membunuhmu? Uh, rasannya aneh memanggilmu hyung." Jungkook tertawa.
Hanya tertawa.
Angin berhembus semakin kencang menerpa wajahnya, mengusik pepohonan. Dan kala halilintar menyambar, diikuti gemuruh menggelegar di angkasa, Jungkook teringat akan sesuatu yang selalu dijaganya.
Kedua tangannya meraba tanah, mencoba meraih kantong darah kosong yang tadi ia letakkan begitu saja sebelum bersandar. Hujan mulai turun disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan. Ia tak ingin satu-satunya peninggalan kekasihnya, satu-satunya sumber aroma dari candu yang masih tersisa untuknya, hilang begitu saja.
Tangannya hampir meraih plastik tebal itu saat hembusan angin kencang menerbangkannya terlebih dahulu.
"Shit!" umpatan lolos begitu saja saat Jungkook bangkit dan memperhatikan sekitar. Menatap nyalang ke arah mana saja, mencoba menangkapnya dengan sorot mata yang sudah tak setajam seharusnya. "Padahal aku berjanji padanya untuk tidak mengumpat lagi. Angin sialan!"
Kantong darahnya terbang menyatu dengan dedaunan, semakin menjauh. Maka pemilik surai wine, dengan tubuhnya yang kuyub, bangkit dan segera mengejarnya. Ia terlalu lama berdiam diri tanpa mengkonsumsi apapun, hingga sekujur tubuhnya terasa begitu lemah saat ia mulai berlari dengan tangan terulur yang coba meraih sampah yang terbang kian menjauh.
Jungkook terengah. Bukan karena lelah, namun karena marah kepada dirinya sendiri yang terlalu ceroboh. Ia mengumpat habis-habisan saat dirinya begitu merasa konyol ketika dipermainkan udara yang bergerak lincah, berganti arah, hingga ia harus bersusah payah saat berlari menginjak rerumputan basah yang licin.
Petir menyambar, diikuti guntur menggelegar bak ledakan di langit malam. Hujan turun semakin deras dan Jungkook masih belum bisa meraih apa yang menjadi miliknya.
Hujan badai menghujam tubuhnya, membatasi pandangan dan jangkauannya..
Ia mengerang marah. Bahkan ledakan keras yang terjadi sekali lagi, begitu memekakkan telinga hingga menggema di angkasa, hanya menjadi angin lalu baginya. Tanah yang ia pijak bergetar hebat, namun Jungkook terlalu sibuk untuk mempedulikannya.
"Angin sial! Badai sial!" manik sekelam malamnya berubah kemerahan, ia berlari lebih cepat, melompat. "Kembalikan milikku! Brengsek!"
Tangannya terulur hampir meraih kantong darah kosong itu. Ia menyeringai senang, namun tubuhnya mematung seketika saat bukan tangannya lah yang menangkap sampah yang sejak tadi coba diambilnya.
Jungkook terdiam begitu saja di tengah badai. Kedua matanya membola, menatap lengan yang terulur dari sisi kiri kepalanya, memegang erat kantong darah milik kekasihnya. Sang abadi tidak bergerak sama sekali. Ia bisa merasakan seseorang, atau lebih tepatnya, sesuatu sedang berdiri di belakangnya, menatapnya nyalang dengan sorot yang begitu menusuk.
Perlahan bola matanya bergerak, mengamati dari ujung jemari panjang tangan itu, menelusur ke pergelangan, hingga lengan bawahnya yang terlihat begitu kuat. Pahatan sikunya tegas, lengan atasnya terlihat sangat kokoh.
Sampai di situ saja, dan Jeon Jungkook tidak berani menolehkan kepalanya. Tangan kanannya kini meremat dada kiri, kepalanya menggeleng pelan. "Jangan bercanda. Hentikan…"
Suaranya begitu lirih, bergetar.
Jemari panjang itu bukan sesuatu yang asing bagi Jungkook. Lengan kokoh yang terulur di samping kepalanya begitu familiar di matanya. Dan ia tahu betul, satu-satunya yang asing hanyalah rasa dingin, dan warna kulit yang tetap menawan walau di tengah badai seperti sekarang.
Ada yang hilang, namun ia tidak akan keberatan.
Degup yang biasa ia dengar, hangat yang seharusnya menjalar…
Jungkook merasa sangat takut.
Ia takut dikecewakan.
Ia sangat takut, jika ia berbalik, terlanjur merasa senang, dan yang ia dapatkan bukanlah yang ia inginkan.
"Aku pasti sudah gila." bisiknya ditelan badai. Ia semakin meremat dadanya sendiri, menundukkan kepala. Ketakutan. Memohon, entah kepada siapa, untuk menghentikan, entah apa. Ia sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan sekarang.
"Jungkook."
Dan suara yang begitu rendah itu berhasil meluluhlantakan pertahanannya.
Jungkook jatuh terduduk, lututnya keras menghantam tanah. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali. Bola matanya memanas. Ia benar-benar harus berhenti berharap atau dirinya akan menjadi gila sungguhan.
Bibirnya kembali bergetar. "Bangunlah, Jungkook! Jangan terlalu banyak berkhayal!"
Ia mulai memukul-mukul kepalanya sendiri, menggeleng berulang kali. Ia terlihat begitu bingung hingga sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, hingga hembusan nafas dingin menerpa tengkuknya, hingga suara yang begitu familiar kembali menyapa gendang telinganya.
"Jangan lakukan itu. Kau tidak suka rasa sakit."
Dan air mata lolos begitu saja menuruni kedua pipinya. Telapak tangan Jungkook bergetar saat menyentuh lengan yang memeluknya. Ia ragu, merasa takut kalau-kalau lengan itu akan remuk dan menghilang jadi debu begitu ia menggenggamnya.
Dingin.
Lengan itu begitu dingin, tapi Jungkook menyukainya.
Kedua sudut bibirnya mulai terangkat naik. Ia terkekeh, tak percaya dengan apapun yang menempel pada punggungnya kali ini.
"Kau sungguhan." bisiknya lirih.
Sedetik setelahnya, sebuah kecupan mendarat di belakang telinganya, begitu lembut dan terasa hangat.
"Boleh aku melihat wajahmu, lagi?"
Awalnya ia merasa ragu, namun pelukan yang semakin erat melingkari perutnya seolah menjadi isyarat permohonan yang harus ia penuhi.
Jungkook mengangguk perlahan. Ia menunduk saat sepasang tangan itu dengan sangat berhati-hati memutar tubuhnya. Masih terduduk, yang pertama menyapa penglihatannya adalah celana berwarna gelap yang dihafalnya di luar kepala. Benda itu koyak di beberapa bagian dengan noda tanah dimana-mana. Pandangannya naik, beralih pada pakaian bernasib sama.
Sebuah tangan memegang dagunya, membantu kepalanya yang bergerak penuh keraguan untuk semakin mendongak hingga iris sewarna darahnya kembali bertatapan dengan mata itu.
Mata yang kini sebiru es, menatapnya begitu hangat, sarat akan rindu.
Kedua tangan Jungkook bergerak tanpa aba-aba. Ia meraba rahang tegas yang selalu ia damba, hidung mancung sempurna, tulang pipi, juga alis yang begitu ia rindukan. Semuanya utuh, lebih sempurna dari yang terakhir kali ia ingat.
Jungkook tertawa ringan. Sosok di hadapannya memejamkan mata, membiarkan begitu saja wajahnya diperlakukan sesuka takdir-nya. Bibirnya tersenyum tipis.
"Rambutmu merah, benar-benar merah." gumam Jungkook pada akhirnya. Ia menyisir surai indah milik makhluk di hadapannya.
Dadanya menghangat, bahagia. Pertemuan di tengah badai dengan jarum-jarum air yang menghujam wajahnya bukanlah hal yang ia impikan. Karena sejujurnya, ini terasa sangat menyakitkan.
Tapi Jeon Jungkook menyukainya.
Bahkan, tersesat selamanya pun ia rela, asalkan mereka bersama.
"Kau suka?"
Jungkook mengangguk patuh, tersenyum lebar menunjukkan gigi kelincinya yang menggemaskan. "Warna merah yang aku suka, seperti warna pelindung kepala yang pernah kau berikan padaku."
"Aku juga suka warna rambutmu."
Senyum bodoh yang Jungkook rindukan…
"Apa kanibalisme adalah hal yang boleh dilakukan?" bisiknya bersamaan dengan wajahnya yang semakin mendekat ke wajah Jungkook. "Aku lapar."
Jungkook tercekat.
Ia melupakan satu hal.
Ia berusaha menemukan Taehyung untuk membunuhnya saat ia bangkit dulu, karena pemuda itulah yang membuatnya tersiksa sebelum akhirnya mati dalam kebencian.
"Apa kau akan membunuhku karena aku yang membuatmu kehilangan nyawa, hyung?"
Sosok itu terkekeh, menggeleng ringan sebelum menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari ceruk leher kekasihnya. "Kau memanggilku seperti itu lagi, rasanya sedikit aneh."
Jungkook terdiam, memejamkan mata saat sentuhan lembab menyapa kulitnya. Tubuhnya basah kuyup karena hujan, tapi ia bisa merasakan basah lidah takdir-nya begitu berbeda. Begitu hangat dan membuatnya rindu.
"Manis, seperti aroma vanilla dan musim semi. Aku menyukainya." kecupan-kecupan ringan dilayangkan begitu saja di kulit leher yang terlihat semakin sempurna di mata yang kini berwarna ice blue. "Boleh aku menjadikanmu santapan pertamaku? Sedikit saja."
Pemilik surai anggur mengangguk begitu saja, tunduk kepada godaan memabukkan yang memeluk tubuhnya.
Ia memejamkan mata, mengerang tertahan saat sepasang taring menusuk kulitnya, menembus pembuluh darahnya, menyedotnya keluar dari tubuhnya.
"Mmhh.." Jungkook menyukai sensasinya. Ia menjadi mangsa pertama sang takdir, dan ia sangat menyukainya.
Hanya sebentar sosok itu menghisap darahnya, hingga akhirnya sapuan lembut lidahnya mengobati luka di leher Jungkook.
"Terima kasih untuk makan malamnya." bisik sosok itu sebelum mencium lembut pipi Jungkook. Setelahnya, ia berbalik, melingkarkan lengan sang kekasih ke lehernya dari belakang, kemudian mengangkat tubuhnya, lalu berjalan.
Ia menggendong sang kekasih di punggung.
"Kau begitu kurus, aku tidak bisa memanggilmu gendut lagi."
Jungkook terkekeh, tak lagi marah dengan panggilan menyebalkan itu. Apapun yang dikatakan ia yang kini menggendongnya, vampire Jeon akan menyukainya, sangat menyukainya. Ia sungguh suka dengan lantunan bernada rendah untuknya.
"Setelah ini, kau harus makan yang banyak."
Pemilik iris sewarna darah mengangguk saja. Mengeratkan pelukan di leher kekasihnya yang begitu gagah dan sempurna.
Keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat hingga yang terlebih dahulu menjadi abadi kembali mengeluarkan suaranya.
"Terima kasih telah kembali…" gumamnya menenggelamkan wajah di bahu lebar sang kekasih, bibirnya tersenyum kelewat lebar. "Hansung hyung."
Yang dipanggil Hansung berdecih kesal. Ia menurunkan kelinci kesayangannya di dekat batu besar yang, entah bagaimana, remuk menjadi beberapa bagian, memperlihatkan peti kayu lapuk tanpa tutup yang tertanam di dalam lubang tanah yang menganga. "Jangan memanggilku dengan nama itu."
Jungkook melayangkan tatapan protes. Irisnya yang kembali berwarna sekelam malam mengamati kegiatan Hansung-nya membongkar beberapa tas yang ada di sana.
"Mana darah yang masih layak untuk dikonsumsi?"
Lengan sewarna susu itu mengambil tas yang tadi dibawakan Yoongi dan Jimin untuknya, ia membuka resletingnya, mengambil tiga kantong darah yang ada. "Masih lapar?"
Hansung mengambil salah satunya. Mata sewarna esnya melirik ke atas, mengamati langit yang mulai bersih dari gumpalan awan hitam, menyisakan udara basah yang tidak begitu mengganggunya.
"Kau yang harus makan, gendut." sosok di hadapan Jungkook melubangi sudut kantongnya, lalu menyodorkan ke bibir sang kekasih.
Vampire Jeon menutup hidungnya, ia menjauhkan wajahnya begitu saja. "Aku benar-benar tidak bisa. Baunya membuatku mual."
"Ini tidak apa-apa." vampire bersurai merah mencicipi darahnya, meminum sekitar tiga teguk, lalu mengeryit. "Well, tidak semanis darahmu tapi ini tidak buruk."
Jungkook tetap menggeleng. "Kalau kau memaksa, aku benar-benar muntah."
"Jeon Jungkook, jangan keras kepala."
"Tidak mau."
"Kau belum mencobanya selama bertahun-tahun. Mungkin saja sekarang kau akan baik-baik saja jika meminumnya."
"Kubilang tidak mau!"
"Kau -"
"Menyebalkan!" Jungkook memotong ucapannya cepat, mendadak emosinya tersulut. "Baru saja merasa senang karena kau kembali. Sekarang, malah mengajakku bertengkar! Apa kau tidak suka bertemu denganku lagi!?"
Sosok yang dipanggil Hansung menghela nafas kasar. Ia tidak menjawab dan malah meneguk darah dari kantong itu cepat. Dibuangnya begitu saja setelah isinya habis, dilanjutkan dengan kedua kantong berikutnya. Ia menghabiskannya tanpa suara.
Setelahnya, ia mengangkat tubuh yang terlihat ringkih itu, mendudukkannya di atas paha, berhadapan dengannya. Sepasang iris ice blue-nya menatap tajam iris sekelam malam Jungkook.
"Aku tidak suka pembangkang. Sekarang, makan atau aku akan meninggalkanmu di sini, sendirian. Aku bersumpah, kau tidak akan menyukainya." ucapnya final.
Jungkook tahu kekasihnya tidak serius pada bagian meninggalkannya, tapi Hansung benar-benar tidak suka pembangkang. Dan pemilik surai wine tahu betul, apapun yang dikatakan, semua untuk kebaikan dirinya.
Maka ia menundukkan kepalanya, menyentuh kulit leher makhluk abadi yang tengah menatapnya penuh puja sebelum akhirnya menancapkan taringnya di sana.
Mereka terdiam selama beberapa saat. Jungkook menghisap darah dari leher kekasihnya, dengan kedua lengan yang melingkar di pundak, sementara sang kekasih memeluk pinggangnya dengan lengan kanan, sedang tangan kirinya mengusap punggung Jungkook perlahan.
"Maafkan aku, seharusnya aku tahu benda itu tidak akan bisa membunuhmu begitu saja."
Jungkook mengeratkan pelukannya.
"Setiap aku berburu, kelinci dan rusa langsung mati dalam beberapa menit saat terkena anak panah yang kubalur dengan racun itu. Ternyata, itu tidak bekerja untuk kelinci gendutku yang satu ini." ia tertawa hambar, penuh penyesalan. "Aku tidak tahu kau akan semenderita itu, sayang. Maafkan kakakmu yang bodoh ini."
Jungkook memejamkan matanya, menggeleng perlahan dengan taring yang masih menancap. Ia menghisap sumber kehidupannya begitu perlahan.
"Harusnya aku meminum racun yang sama setelah membuatmu meminumnya. Tapi ayah memergokiku. Dia menghajarku, kau tahu? Aku bungkam saat ia bertanya kenapa aku melakukannya. Tapi akhirnya, kita ketahuan. Mereka menemukanmu yang sedang menderita. Saat itu, aku benar-benar takut melihatmu. Kau sangat tersiksa dan akulah penyebabnya. Kau tidak tahu, tapi aku berharap agar dokter bisa mengobatimu, membuatmu pulih seperti semula. Aku berdoa kepada dewa agar kau selamat, dan aku saja yang menggantikanmu pergi ke alam baka."
Jungkook menghentikan kegiatan makannya, ia menjauhkan wajahnya dari leher seseorang yang menyebut dirinya sebagai kakak untuknya. Sepasang maniknya menatap lekat pahatan sempurna dengan raut penyesalan yang begitu dalam. Ia tidak suka. "Hyung..."
"Ssttt…" telunjuk dingin sang kakak menyentuh bibir adiknya. "Dewa mengabulkan doaku. Ayah begitu marah, dan calon suamimu yang sangat mencintaimu itu menyeretku ke tempat ini setelah upacara pemakaman. Aku begitu senang karena bisa melihat tempatmu tertidur karena mereka mengurungku saat kau dimakamkan. Dan malam itu juga, mereka memenggal kepalaku sebagai hukuman karena membunuh calon pengantin sang penguasa."
"Hyung, hentikan." Jungkook senang mendengar bagian yang hilang dari ingatannya, ia bahagia orang yang begitu disayanginya tidak benar-benar ingin membuatnya tersiksa. Tapi ia benci kejadian malam itu. Ia sangat benci melihat kepala hyung kesayangannya menggelinding di atas tanah begitu ia membuka mata dan bangkit dari kematiannya.
"Kau hidup, dan aku pergi ke alam baka." sang kakak tertawa tanpa nada. Bukan tawa bahagia, bukan tawa yang menyembunyikan sengsara.
Ia hanya tertawa, itu saja.
"Mungkin itu hukuman yang kudapat karena mencintai adikku sendiri. Itu pantas kudapatkan karena aku membuatmu begitu menderita."
"Berhenti mengatakannya seolah hanya kau yang merasa bersalah." Jungkook menggeleng, bersikukuh menolak segala penyesalan yang diucapkan Hansung-nya. Namun ia tak dapat memungkiri bahwa rasa sakit yang ia memeluknya selama berabad-abad itu nyata. "Setelah membiarkanku menjadi makhluk setengah sempurna selama ratusan tahun, kau kembali. Kau kembali sebagai bocah mesum yang seenaknya saja rela mati di tanganku asalkan bisa bercinta denganku. Kau gila, hyung. Seperti biasanya. Tapi aku tidak bisa membencimu. Aku tidak pernah tahu kenapa, aku tidak bisa bercerita kepada siapapun, tapi aku sadar bahwa diriku memang tidak sempurna.
Aku berbeda. Warna rambutku, kekuatanku. Aku bahkan terlihat di cermin saat bersamamu. Aku begitu bingung memikirkan alasannya, dan sebelum mendapatkan jawaban, kau malah mati seenaknya."
Sang kakak terkekeh ringan, menggumamkan kata maaf saat membelai pipi tirus kekasihnya.
"Yoongi hyung bilang, aku menjadi sempurna setelah kau mati karena orang yang harus kubunuh untuk membayar penderitaanku bukanlah ayah, penguasa bajingan, atau siapapun yang malam itu kupatahkan lehernya. Kau yang seharusnya mati di tanganku. Dan seperti sihir, potongan-potongan ingatan itu masuk ke kepalaku. Rambutku berwarna seperti ini setelah aku berhasil balas dendam. Brengsek! Balas dendam apanya? Aku menderita setelah kau mati. Itu yang namanya balas dendam?"
Hansung tertawa renyah. Dipeluknya sosok beriris sekelam malam yang kembali ke sikap arogannya. Tak apa, dengan begini kekasihnya terlihat lebih hidup. "Katanya tidak akan mengumpat lagi. Yang barusan itu apa, hm?"
"Aku berubah pikiran." jawab Jungkook tangkas. "Aku akan terus mengumpat selama kau berada di sampingku. Kau tahu sampai kapan itu? Selamanya! Dam aku tidak menerima penolakan."
"Baiklah, baiklah, kelinci gendutku." pemilik iris sebiru es mengecup lembut bibir kekasihnya. "Asalkan kau melakukan satu hal untukku."
Vampire Jeon hanya diam, namun ia menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan.
"Berhenti memanggilku Hansung. Aku benci menjadi kakakmu. Sejak kita kembali bertemu malam itu, hingga selamanya, aku adalah Kim Taehyung. Kekasihmu. Pendampingmu. Takdir-mu. Mengerti?"
Jungkook mengangguk perlahan. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya yang perlahan bergerak, meloloskan sebuah nama yang terdengar begitu indah kala dilantunkan dengan suara merdunya. "Kim Taehyung."
"Begitu lebih baik." gumam Taehyung. Merasa puas. Ia memeluk erat sang kekasih yang langsung menenggelamkan kepala di dadanya. "Apa kau masih menderita sekarang?"
Jungkook menggeleng perlahan. Ia tersenyum saat merasakan sentuhan lembut di keningnya.
"Maafkan aku. Kau tercipta karena rasa sakit, sempurna karena kesengsaraan. Tapi aku janji, kau akan dikenal sebagai sosok yang sangat aku cintai. My Very Sweetheart, Jungkookie. Kita berdua akan bahagia."
"Selamanya?"
"Selamanya."
.
.
(Part XIII) Leanan Sidhe : Blood of the Very Sweetheart
COMPLETED
.
.
.
Epilog
"Kenapa kau perlu waktu yang sangat lama untuk kembali?"
"Mungkin karena darah yang kuminum sangat-sangat sedikit." gumam vampire dengan warna merah yang Jungkook suka pada rambutnya. Ia menggedikkan bahu sebelum memakai long-sleeves abu-abu bergambar harimau untuk menutupi tubuhnya yang hanya berbalut jeans hitam. "Kau ingat saat kau ditahan?"
Jungkook menghentikan kegiatannya menaikkan resleting celana. Ia menelan ludah saat tak sengaja melihat perut Taehyung-nya yang kini berotot. Benar-benar sempurna, bahkan miliknya saja tidak sampai begitu.
"Oh, ditambah dengan darah yang masuk ke paru-paruku karena tersedak saat mencoba menelan darahmu." Taehyung mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah meng-iya-kan apa yang berhasil diingatnya. "Butuh waktu lama bagi mereka untuk menyebar ke seluruh tubuhku. Lagipula aku kehilangan banyak sekali darah, ditambah organ dalamku yang koyak dan gosong."
Jungkook meringis saat membayangkan apa yang digambarkan sang takdir. "Sakit?"
"Sangat, tapi semua terobati saat aku melihat wajahmu yang terlihat semakin sempurna di mataku."
Vampire bersurai anggur terkekeh, berjalan mendekat, lalu mengalungkan kedua lengannya ke leher Taehyung. Ia menempelkan dahinya ke dahi sang takdir, memejamkan mata.
"Kookie, aku sangat bersyukur kau kembali ke Korea. Aku berterima kasih, entah kepada siapa, karena mimpi-mimpi itu menghantuiku, mengingatkan bahwa harus ada yang aku tebus dengan seluruh nafasku, menyadarkan bahwa seluruh hidupku, harus selalu menjadi milikmu."
Jungkook menggeleng ringan. "Aku yang harus berterima kasih karena kau telah terlahir kembali."
"Jangan bicara begitu." gumam Taehyung sebelum mengecup lembut bibir Jungkook-nya. "Ucapkanlah terima kasih setelah aku berhasil membuatmu kembali gendut. Kedua pipimu harus kembali menggembung seperti saat kau berusia delapan belas."
Memutar bola matanya, pemilik mata sekelam malam mendorong kuat sang kekasih. "Berhenti membual. Akan kemana kita sekarang?"
Taehyung terkekeh ringan. "Kau sudah punya identitas, aku harus memilikinya juga. Kita akan menemui teman vampire-mu yang suka memalsukan identitas itu. Siapa namanya?"
"Si tua Bang?"
"Nah, iya. Akan kubuat kau segendut dia."
"Kim Taehyung!?"
"Ya, sayangku?"
"Hansung menyebalkan!"
"Aku juga mencintaimu."
"Aku membencimu!"
"Oh, aku jadi ingat sesuatu!" pekik Taehyung heboh. Ia segera memeluk sang kekasih, mengunci seluruh pergerakannya karena ia tahu, setelah ini Jeon Jungkook akan berusaha kabur. "Kau berhutang satu kalimat padaku."
"Apa?"
"Itu, yang belum sempat kau katakan. Aku ingin mendengarnya dengan jelas." Kim Taehyung menaik-turunkan alisnya.
Jungkook tahu betul apa yang dimaksud sang kekasih, tapi ia ogah menjawab. "Aku tidak ingin mengatakannya lagi."
Taehyung mengeram kesal. Namun ia menyeringai setelahnya. "Aku berubah pikiran. Besok-besok saja kita menemui si tua Bang. Sekarang aku akan memaksamu untuk mengatakannya lagi."
"Ta -Tae! Apa yang kau lakukan? Brengsek!"
"Melucuti pakaianmu. Apa lagi?"
"Shit! Kita baru saja memakainya dan -keparat! Tanganmu memegang apa? Lepaskan! Tidak tidak tidak! Aku tidak mau melakukannya disini!"
"Aku juga sudah tidak sabar untuk melakukannya di sini."
"Dasar vampire tuli! Hentikan!"
"Hentakkan? Kau tak sabaran sekali, baby…"
"Kim Taehyuuuuuung! Aku bersumpah akan membunuhmu!"
"Aku juga ahh.. mencintaimu."
"Bajingaahhnn!"
.
.
Epilog: END
.
.
A/N:
Karena Tiger takut akan tidak sengaja menekan tombol shift+del di file ini…
Padahal pengennya di-upload setelah Good Devil, Lucifer Fall! tamat *le ketawa nista*
Kisah Vampire!Kook x Human!Tae memang sudah END di chapter kemarin, karena chapter ini adalah kisah Vampire!Kook x Vampire!Tae. Muehehehehe….
Sungguh Tiger tak bisa berkata-kata. Jadi mohon readers yang menyampaikan apapun yang readers rasakan, pikirkan, dan umpatkan setelah membaca final chapter ini.
.
.
Akhir kata, review please
Salam sayang, Tiger
Line: kimtaemvan
Ig: kim_taemvan
Ternyata kata end di chap kemarin memicu capslock jebol dan ungkapan jujur penuh umpatan, review panjang-panjang beraneka ragam. Tiger sukaaaa!
