"I love dessert. I can't be guilty about it because I have to taste everything. I experiment."—Martha Stewart


Exquis

Haikyuu © Furudate Haruichi

Café Pouchkine belongs to its owner (karena nama kafe ini saya gunakan dalam fik ini)

KageHina

Cooking AU, Dessert Shop AU

Notes: PastryChef!Kage, NovelWriter!Hina, Pervert!Kage (you'll get what I mean soon enough). Dan ke-pervert-annya belum terlalu ketahuan di sini, btw.

Terakhir, food porn. Mulai chapter ini, akan terus ada sesi makan-makan, dan itu berarti food porn. Main chapter (keseluruhan mungkin ada 10 chapter) tidak mengandung rate M, tapi bonus chapter-nya iya.

Please stay back if you are heavily disturbed. :)

.

.

First Plate: Cakes (Pavlova)

.

.


Kegugupan Hinata selalu hadir di saat dia paling tidak membutuhkannya.

Hinata sering gugup sejak dulu. Baik sebelum pertandingan voli di SMA atau semalam sebelum hari deadline-nya menyerahkan manuskrip novel kepada editor. Mentalnya gampang sekali terguncang seperti daun kering. Tendensinya adalah mudah khawatir. Penderitaan dari rasa gugup ini nantinya akan bertambah dengan perutnya yang mulai memberontak, bergejolak. Hinata entah akan sakit perut atau mual, atau mungkin dua-duanya.

Dan ini sering terjadi—kegugupannya ini bukan sesuatu yang asing.

Hari itu tidak jauh berbeda. Hinata menghabiskan lebih dari setengah hari mondar-mandir dengan cemas di dalam kamarnya. Jika tidak, dia duduk di sofa dan kursi, tapi dengan kaki yang terus mengetuk-ngetuk—tak ada bagian tubuhnya yang bisa benar-benar diam. Ketika datang waktu di mana dia bisa benar-benar terdiam, lelah karena seharian terus bergerak, dia akan melamun sambil memikirkan skenario terburuk yang bisa terjadi nanti, di mana Kageyama Tobio akan menghancurkan harga dirinya habis-habisan.

Bohong kalau Hinata berkata bahwa dia tidak takut. Tentu saja dia takut. Dia sedang berbicara soal King of Patissier yang itu. Sosok yang terkenal akan hidangan dessert-nya yang sempurna, dan disebut-sebut sangat lezat oleh banyak kritikus makanan. Orang yang dikagumi ratusan chef lain, yang mereka jadikan panutan dan teladan.

Sebagai pecinta dessert, Hinata pernah bertanya-tanya, membayangkan kelezatan hidangan buatan seorang Kageyama Tobio yang hanya bisa dia baca melalui sebuah artikel. Pernah muncul sebersit angan-angan untuk merasakan masakannya suatu saat, membuktikan apakah dia memang chef jenius seperti yang orang-orang katakan, karena Hinata yakin mencicipi masakan Kageyama Tobio akan menjadi sebuah pengalaman paling baik dalam hidupnya—

Dan bam. Harapannya terkabul. Hanya saja, dalam kondisi yang lebih buruk dan tidak terduga.

Meski begitu, kekhawatirannya ini segera menguap saat kedua kakinya menginjak bagian dalam Café Pouchkine, terlupakan begitu saja dan tergantikan cepat dengan kekaguman yang polos.

Menyebutnya kafe berkelas saja tidak cukup—kafe itu bahkan terlihat berkilau dari jalanan, dengan nuansa cokelat halus yang mengundang kedatangan pembeli. Terdapat dinding kaca besar serta pintu dorong elegan pada bagian depan bangunan, menampakkan hiruk pikuk dan segala kegiatan lalu lalang yang terjadi di dalam.

Bagian dalam kafe tak kalah hebat. Desain interior yang mewah, sofa yang terlihat mahal, meja mulus artistik, lampu gantung eksotis yang memancarkan temaram oranye, dan karpet cokelat tua yang bertindak sebagai komplementer dekorasi. Semuanya terasa sempurna.

Mereka juga menggunakan ide brilian untuk menciptakan suasana nyaman. Jarak antarmeja ditata hingga tak terlalu berdekatan. Mereka mengaturnya sedemikian rupa hingga ruangan itu terlihat begitu luas dan bersih—dengan karpet sewarna kayu manis yang tergelar sejauh mata memandang seperti sebuah gurun. Hinata berani bertaruh, meninggalkan kafe ini setelah memanjakan diri dengan hidangan manis adalah sesuatu yang akan enggan dilakukannya.

Semuanya… Semuanya terlalu…

"Wow." Hinata membuka mulutnya, merasakan napasnya keluar perlahan-lahan. "Wow."

Dia merasa salah tempat sekarang, berpakaian kasual dan berada di tengah-tengah ruangan sedemikian megah dengan orang-orang kaya bersetelan jas dan bergaun dan modis.

Namun Hinata tak perlu lagi berlama-lama merasa gundah, karena pelayan di sebelah pintu segera menyambutnya dengan senyuman ramah yang terlatih. Mungkin dia menyadari tampang bodoh yang Hinata kenakan, dan dia akan mengusir Hinata dengan mengatakan, 'Maaf, kafe ini hanya untuk orang kelas tinggi.'

Tapi tidak. Dia justru tersenyum lebar dan menyambut Hinata dengan hangat. "Selamat sore, Hinata Shouyou-san. Kageyama-san sudah menunggu Anda di dapurnya."

Ah, benar. Dia melupakan masalah Kageyama.

"Kageyama?" Hinata menelan ludah. Kageyama-san sudah menunggu Anda, katanya. Menunggu Anda. Kalimat itu menggema horor dalam benaknya seperti semacam kutukan. Kalau Kageyama menunggu Hinata, bisa jadi dia merasa bersemangat atau percaya diri.

Itu bukan kabar yang baik untuk Hinata.

"Benar. Anda adalah tamu yang Kageyama-san nantikan, bukan?" Pelayan itu memastikan. "Kalau begitu, tolong ikuti saya."

Sebuah jeritan merana tersangkut pada tenggorokan Hinata, mengancam keluar, tetapi berhasil teredam. Dia baru saja tiba di sana, dan dirinya sudah harus menghadapi kesialannya secepat ini? Setidaknya biarkan dia merasa bahagia sedikit lebih lama lagi…

Tanpa pilihan lain, Hinata mengekor di belakang sang pelayan dengan lesu, sesekali menghibur diri dengan mengamati apapun yang bisa menarik perhatiannya dalam perjalanan—seperti lukisan di dinding, atau cara orang-orang makan, atau hak sepatu seorang wanita yang terlalu tipis dan tinggi hingga membuat Hinata bergidik.

Hinata hampir tak menyadari saat sang pelayan berhenti pada sebuah ruangan—dapur kecil, sepertinya, dan yang ini terpisah dari dapur utama di ruang sebelumnya. Hinata duga dapur ini mungkin dikhususkan untuk mencoba resep baru.

Pelayan itu lalu meminta izin untuk kembali kepada tugasnya, meninggalkan Hinata di depan pintu bercat polos yang tertutup. Sekarang dia sendiri, dan tantangan terbesarnya ada di balik pintu di hadapannya.

"Oke." Hinata memejamkan mata. Menarik napas, menghembuskannya lagi dengan wajah pucat. Debar jantungnya mulai mengeras, walaupun Hinata benci mengakuinya. "Ini dia. Semoga aku pulang dengan selamat."

Satu tangannya meraih ke depan, membuka pintu dengan pelan dan melangkah sehalus mungkin tanpa suara. Kemudian, tepat sedetik setelah dia menyapu keseluruhan ruangan, jantung Hinata berdebar sekali-dua kali lebih cepat, karena dia bisa melihatnya dengan jelas di tengah ruangan.

Tubuh semampai dan rambut hitam yang sama—Kageyama Tobio.

Pria itu sedang memunggungi Hinata dengan punggung tegap, menghadap sebuah meja konter panjang dengan peralatan dan bahan-bahan mentah di atasnya. Hari ini dia mengenakan kemeja berwarna abu-abu yang tergulung hingga siku, menampakkan serat-serat otot yang berpindah-pindah saat dia menggerakkan tangannya—pemandangan menggiurkan yang berusaha keras Hinata abaikan. Sebuah atribut baru dipakaikan di atas tubuhnya—sebuah celemek putih bersih yang diikatkan dengan rapi.

Hinata tak tahu apa yang dia lakukan, tapi ada sebuah baskom di depannya dan sebuah telur dalam tangannya.

"Jangan diam saja di sana, bodoh." Suara rendah itu berseru tiba-tiba, judes dan sewot seperti kemarin. Kageyama mengakui kehadirannya, tapi dia bahkan tidak repot-repot menolehkan kepalanya. "Kau bisa melakukan sesuatu yang lebih berguna daripada menghalangi pintu."

"A-Aku tahu!" Hinata tergagap. "Aku sedang bingung harus apa karena kau pasti akan marah kalau aku melakukan sesuatu sedikit saja!"

Kageyama meraih satu telur lagi dari wadah lain, mengetukkannya pada pinggiran baskom, dan—hebat. Dia memecah telur itu dengan satu tangan. Itu atraksi yang lebih menarik dari trik sulap manapun, setidaknya bagi Hinata. "Berisik. Diam saja dan duduk sampai aku selesai," katanya.

Hinata, tentu saja, mengabaikan ucapannya. Dia memilih untuk berjalan mendekati Kageyama, berdiri tepat di belakang punggungnya, dan berjinjit untuk bisa melihat apa yang sedang dia kerjakan. "Kau sedang apa?"

"Jangan ganggu aku," desis Kageyama, kali ini lebih ganas, "atau aku akan menguncimu di dalam gudang."

Ancaman itu agaknya cukup mengerikan bagi Hinata, yang segera melompat menjauhi Kageyama seakan berada di dekatnya membuatnya terbakar. "Kalau kau ingin aku diam, kenapa kau menyuruhku melakukan sesuatu tadi?" gerutu Hinata sambil mengangkat tubuhnya ke atas meja konter satu meter di samping Kageyama, mendudukkan diri dengan nyaman di sana.

"Berubah pikiran. Aku baru sadar kalau kau ini tipe perusak," Kageyama menyuplai dengan tatapan tajam. Satu lengannya melingkari baskom yang kini terisi putih telur. Diraihnya beberapa bahan dari sampingnya. Lantas dia memfokuskan dirinya kembali pada adonannya, mengocok dan mengaduk esensi kental itu dengan konsentrasi tak terbelah. Bahkan Hinata terasa seperti angin lewat di sebelahnya.

Kageyama tidak hanya intens saat memasak—dia juga luar biasa sungguh-sungguh. Tak perlu melihat dua kali untuk mengerti bahwa cintanya pada memasak dessert sangat dalam.

Tapi itu bukan hal buruk, Hinata rasa, seraya dia membiarkan matanya naik menuju wajah Kageyama, mengamati bibir yang saling tertekan, mata biru yang menjernih, dan dahi yang berkerut halus.

Sulit mengakuinya, tapi Kageyama terlihat sangat… keren saat ini. Dan ini bukan karena keterampilannya memasak semata—Hinata juga membicarakan penampilannya di sini. Barangkali dia adalah chef paling menawan yang pernah Hinata lihat, dengan ketampanan yang semakin menonjol oleh konsentrasi dan ketenangannya. Sepertinya Hinata terhitung beruntung karena mendapat kesempatan melihatnya memasak walau hanya sekali.

Kageyama memang hebat, benak Hinata mencicit setengah sadar. Danyah. Dia agak keren.

Tunggu, apa?

Hinata mengedip, terhenyak oleh suara ketukan whisk—alat pengocok telur—pada ujung baskom. Kesadarannya terseret kembali, dan dia dapat melihat Kageyama sedang menyingkirkan whisk itu ke samping.

Lalu Hinata menelan ludah, realisasi runtuh di atas kepalanya sekeping demi sekeping. Dirinya baru saja melamun dan…

Dan memikirkan Kageyama. Menganggapnya keren.

Kulit hidung Hinata terlipat tidak suka.

Baiklah, boleh jadi Kageyama memang keren. Boleh jadi Hinata menganggap Kageyama keren. Lantas memangnya kenapa kalau Kageyama keren? Semua orang yang Hinata temui selalu keren. Noya-san keren, Suga-san keren, teman-temannya keren. Jadi kalau Kageyama keren, ini tidak ada bedanya… kan?

Benar, kan?

Hinata mengerutkan kening dalam-dalam, ragu dengan idenya sendiri. Dirinya bukan tipe pemikir, tapi Hinata selalu tanpa sadar terlarut dalam pikirannya sendiri. Ini agak menyusahkannya.

Beruntung, secepat ide aneh tentang Kageyama barusan merasuki benaknya, Hinata segera saja terdistraksi oleh sesuatu yang lain. Matanya melayang kembali pada Kageyama dan pekerjaannya yang berjalan mulus, mengamati sesuatu di sana dengan ingin tahu.

Ada sebuah kertas khusus berwarna putih yang dibentangkan di atas meja konter. Kageyama sedang menangkupkan piring di atas kertas itu, menggunakannya untuk menjiplak dan menggambar lingkaran.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, dengan harapan tendensinya untuk berisik ini bisa membuyarkan konsentrasi Kageyama. Maksudnya, kalau masakannya gagal, Hinata sebagai pencicip akan menderita, tapi setidaknya dia akan memenangkan kompetisi mereka hari ini.

"Boke. Kenapa kau tidak bisa diam?" Kageyama menghela napas. Dia terlihat seperti orang anti-sosial yang disuruh menjaga anak kecil nakal seharian. Tapi sedetik setelahnya, dia menambahkan dengan ketus, "Meringue."

Hinata berkedip, otaknya memproses dengan lambat. "Meringue? Maksudmu, meringue yang itu?" tanyanya, setengah antisipatif. Meringue adalah salah satu komponen dessert yang Hinata sukai. Teksturnya seperti croissant, keras di luar tetapi lembut di dalam.

Dan buncahan antisipasi di dalam diri Hinata melambung tinggi, hampir tak tertahan, karena dia tahu sekarang—hari ini dia bisa menikmati meringue yang sangat dirindukannya itu. Bukan meringue biasa pula, melainkan buatan King of Patissier. Hinata ingin menyangkal, tapi dia cukup yakin sebuah meringue akan menjadi berkali-kali lipat lebih berkualitas jika itu ada di tangan sang raja.

Jawaban yang Kageyama berikan atas pertanyaan Hinata adalah sebuah gumaman, singkat dan tak begitu keras—sebuah konfirmasi kecil. Hinata menghisap udara dalam-dalam dan memandangi Kageyama, dengan mata yang seperti memantulkan bintang-bintang di dalamnya.

"Meringue! Aku sudah lama tidak memakan itu!" pekik Hinata. Kedua kakinya terayun-ayun di udara dengan semangat. "Kageyama, kau bisa membaca pikiran orang, ya? Kau seolah tahu kalau aku sedang ingin meringue."

"Bodoh, tidak ada siapapun yang membaca pikiran siapapun." Kageyama mendengus. "Berhenti mengoceh yang tidak-tidak." Adonan meringue itu lalu diletakkannya di atas lingkaran tadi, sesendok besar demi sesendok.

Ohh, Hinata mengangguk-angguk kecil. Jadi gambar di atas kertas tadi untuk membentuk meringue menjadi lingkaran.

Chef muda itu dengan sigap membuat total tiga meringue mentah berbentuk lingkaran, menjaga dengan teliti agar ketiganya berbentuk indah. Tiap sisi dengan bagian belakang sendok. Hinata jadi ingin berdecak kagum. Ketelitian Kageyama bagai tiada tandingannya, dan Hinata jelas kalah jauh. Dirinya sendiri adalah macam orang yang tak bisa fokus pada satu hal terlalu lama.

"Aku jadi ingin tahu—kau ingin membuat hidangan apa?" tanya Hinata, matanya memicing. "French? Swish? Atau Italian?"

"Tunggu saja nanti," balas Kageyama seadanya. Dengan meringue yang telah diletakkan di dalam oven, dia beralih pada semangkuk penuh stroberi dan beri-beri lain. Satu stroberi ditawan, diambil dan diletakkan di atas alas memotong. Kemudian pisau tajam membelahnya secara simetris menjadi dua. "Tapi, setelah aku sampai sini, seharusnya penikmat dessert sejati tahu apa yang akan kubuat."

Dahi Hinata berkedut.

…Apa katanya?

"Yah, maaf saja kalau aku bukan penikmat dessert sejati!" Hinata menekuk kedua alisnya. Nadanya bicaranya meninggi. "Aku hanya suka gula, dan aku mungkin terlalu bodoh untuk bisa mengingat semua istilah rumit itu—grateau, mascarpone, apalah itu." Kedua bahu Hinata terangkat santai, dan kedua kakinya menyilang. "Aku hanya ingin terus memakan makanan manis selama hidupku. Itu sudah cukup bagiku."

Keheningan yang cukup lama menyusul. Hanya ada suara pisau yang mengetuk alas pemotong, dan jarum jam dinding bundar yang bergerak di seberang ruangan. Saat Hinata mengira Kageyama tak akan menjawab, dia menyaksikan pria itu menegakkan tubuhnya, telah selesai memotong semua stroberi.

"Kalau begitu…" Kageyama mulai berkata dengan serius. Hinata mengira dia akan memarahinya atau semacamnya, dan dia sudah siap akan itu.

Tapi dugaannya bahkan tak mendekati kenyataannya. Kageyama melakukan sesuatu yang tak akan pernah Hinata bayangkan sebelum ini.

Biner cokelat hanya dapat membelalak saat jemari ramping Kageyama memungut salah satu potongan stroberi. Hinata membiarkan rahangnya merosot perlahan-lahan, mengikuti dengan matanya bagaimana potongan buah segar itu meluncur melalui sepasang bibir Kageyama, dengan perlahan, sensual. Mengundang.

Hinata serasa kehabisan napas, seakan seseorang baru saja menonjok perutnya. Dan segala pikiran lain dalam kepalanya terbang begitu saja saat stroberi itu tergigit, cairannya meledak dan melumasi bibir itu hingga terlihat berkilau, lembut, ranum, dan…

Dan mungkin lebih lezat dari stroberinya. Mungkin.

"Kalau begitu," Kageyama mengulangi dengan serius, dan Hinata tak sempat bertanya bagaimana dia bisa tetap seserius itu setelah dia melakukan sesuatu seperti tadi, "aku akan membuatmu mengerti."

Hinata menutup mulutnya kembali. Membukanya, ingin mengatakan sesuatu. Dan dia menutupnya lagi karena tak tahu apa yang harus meluncur dari bibirnya.

Sulit menjelaskannya, tapi ada desiran hangat dalam dadanya. Bukan sesuatu yang akan menyengat seluruh bagian tubuhnya, seperti ketegangan pada pertandingan voli dengan lawan tangguh. Perasaan ini lembut. Samar, tapi Hinata tahu keberadaannya ada di sudut hatinya.

Pada akhirnya, yang hanya bisa dia ucapkan adalah sebuah bisikan, "Apa?"

"Aku sudah mengatakannya kemarin," tandas Kageyama. Matanya tak pernah lepas dari Hinata hingga saat ini, dan kedua bola matanya sangat biru. Sangat, sangat biru. Hinata seperti sedang memandangi langit sesaat setelah matahari terbenam. "Akan kubuat kau tak bisa hidup tanpa dessert-ku. Akan kubuat kedua lututmu bergetar sampai kau tidak bisa berdiri lagi."

Oh. Hinata melemas pada tempatnya, merasa luar biasa tidak berdaya. Itu… Itu janji yang sangat menggiurkan.

"Kau tak bisa lagi lari dariku sekarang—dari dessert. Karena aku akan membuatmu memakannya setiap saat, hingga kau menangis, merangkak. Memohon lebih." Kageyama menunjukkannya lagi—senyuman miring yang membuat jantung Hinata tersandung-sandung. "…Dan karena, aku akan memastikan otak bodohmu itu tak bisa memikirkan apapun lagi, kecuali diriku."

Ya ampun—iyaiyaiya, benak Hinata menjerit involunter. Lakukan—lakukan itu padaku.

"Aku…" Hinata mencoba berbicara, berjengit saat suaranya parau, dan berdeham sebelum mengulangi, "Aku akan—um. Menantikannya."

Kageyama mendengus—tapi sebuah ekspresi damai membayangi wajahnya. Mengakhiri pembicaraan di sana, Kageyama menghadap kembali pada adonannya yang terabaikan, mengocoknya dengan whisk, hingga dia berhasil membuat krim terenak yang pernah ada—Hinata tahu karena dia bisa membauinya dari tempatnya duduk.

"Apa yang kau gunakan untuk membuat krim itu?" Hinata merengut, hidungnya mengendus-endus. "Baunya sampai sini. Bukan berarti buruk, sih…" Dia menyukai bau krim ini, sebenarnya.

"Aku menggunakan dairy product biasa," timpal Kageyama, mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kau tidak perlu bahan yang berlebihan selama kau punya kemampuan."

Ah. Hinata memutar mata. Datang lagi sifat sombongnya.

Saat tiga meringue lingkaran itu matang, Kageyama mengambil satu lapis dan meletakkannya di atas piring. Krim ditambahkan di atas meringue, berlekuk-lekuk dan meliuk seperti ombak. Di atasnya lagi, potongan stroberi dan beri-berian mungil ditata rapi. Dia terus mengulanginya hingga terdapat tiga tingkat meringue-krim-buah. Sebagai bom terakhir, Kageyama membuka sebuah maple syrup dan menyiramkannya di atas hidangan itu, membuat perut Hinata meraung dan air liurnya hampir menetes.

Aku sudah sangat siap untuk makan, pikir Hinata, merasa lapar kembali. Ketakutannya semula lenyap akan keinginan dan ketidaksabaran untuk merasakan cake yang terlihat sangat mengundang itu di dalam mulutnya—merasakan hidangan buatan Kageyama Tobio.

Makanya, Hinata menurut saja saat Kageyama membawanya menuju meja makan kecil di sudut lain ruangan, menyuruhnya duduk di sana.

"Silakan," ucap Kageyama tenang dengan ekspresi paling percaya diri yang pernah ada, menyodorkan piring itu ke hadapan Hinata.

Dan sang penulis mengamati hidangan di hadapannya dengan mata membola, berkaca-kaca, dan secara keseluruhan terlihat begitu senang. Sesi food tasting ini akan menjadi referensi hebat untuk novel barunya, di samping keuntungan pribadi lain yang dia dapat.

"Ini…" Hinata meneguk ludah yang mengumpul pada ujung kerongkongannya. "Cake ini—aku tahu namanya. Ini pavlova."

Pavlova adalah cake yang menjadikan meringue sebagai dasarnya. Hidangan itu terlihat seperti pancake, sekilas, dengan lapis-lapis meringue bertingkat, buah sebagai topping, dan sirup. Hanya saja, pavlova melibatkan lebih banyak permainan tekstur—dan inilah yang sangat Hinata nantikan sejak tadi.

Mendadak niatnya untuk tetap menjaga wibawa malam ini hilang, terampas oleh keingininan untuk memakan dan mencecap. Tapi tak ada yang bisa menyalahkannya. Dia sangat suka makanan manis, dan saat dihidangkan cake buatan King of Patissier, tentu bodoh baginya untuk menolak, kan?

Maka Hinata mengambil pisau dan garpunya, memaksa ludahnya tertelan sekali lagi. Hangatnya cake itu bisa dia rasakan dari jarak cukup jauh. Dan aromanya—ini adalah aroma roti paling menggugah selera. Harum beri-berian membelai lembut indra olfaktori, menstimuli otaknya untuk tergiur. Hinata memang sengaja makan banyak sejak tadi, untuk menjaga agar dirinya tidak kelewatan saat merasakan masakan Kageyama, tapi sepertinya tindakan itu sia-sia sekarang.

Ini dia. Hinata mengambil napas dalam-dalam dengan mata melebar. Kita lihat apa yang terjadi…

Bisikan selamat makan menjadi penanda mulainya pertempuran Hinata yang sesungguhnya. Pisau dan garpu bergerak, bekerja menembus pertahanan luar meringue yang keras.

Dan Hinata menahan napas saat lapisan luar meringue retak, terbelah, dan merekah. Tampak bagian dalam yang terlihat sangat lembut, seperti spons dari luar dan begitu mudah dipotong hingga makanan itu seakan-akan meleleh.

Bersama potongan buah-buahan segar dan krim, Hinata membawa meringue itu ke dalam mulutnya, memejamkan mata untuk mempersiapkan diri.

Kedua mata Hinata kembali terlempar membuka sedetik setelahnya.

Ini… Hinata mengunyah perlahan, membalikkan lidah, dan menghembuskan napas dengan puas. Ini gila. Ini cake paling gila!

Lezat saja tidak cukup untuk mendeskripsikan cake itu. Pavlova buatan Kageyama luar biasa enak—terlalu nikmat hingga untuk memakannya saja rasanya melelahkan.

Saat Hinata menggigit bagian luar meringue yang kering, ada kelembutan yang meledak di baliknya. Halus teksturnya yang seperti marshmallow memanjakan lidah, membuat Hinata memejamkan mata dan menggeliat di atas kursinya sambil menahan jeritan senang. Belum lagi rasanya—astaga.

Hinata hanya peduli pada rasa manis itu sendiri selama ini, mau memakan apapun selama itu cukup manis baginya, tapi ini—hidangan Kageyama terlalu sempurna baginya. Seimbang. Tepat. Adiktif, lebih adiktif dari cake dan makanan bergula manapun yang pernah dia makan. Asam stroberi, manisnya krim, lembut meringue—semuanya menjadi kombinasi mematikan yang akan membuatmu jatuh hati.

Hinata bahkan tak sempat memikirkan wajah macam apa yang dia buat sekarang. Dia terlalu sibuk mengunyah, menikmati, dan melambung. Indera perasanya diserang bertubi-tubi dan Hinata merasa… kurang.

Timbul keinginan untuk memakan lebih. Untuk meraup dengan banyak dan memakan secara rakus dan memiliki pavlova itu untuknya sendiri. Kemudian Hinata menyadari, dengan sangat terlambat, bahwa inilah kemampuan Kageyama Tobio yang sebenarnya. Inilah mengapa dia disebut raja—dia mampu menaklukkan kehendak orang-orang dengan masakannya.

Dan raja yang sama sedang menyeret sebuah kursi hingga dia duduk tepat di sebelah Hinata, sedikit terlalu dekat. Satu tangan melingkar dan merayapi punggung kursi yang diduduki Hinata seperti ular yang mengincar mangsanya, dan satu tangan lagi diposisikan di atas meja.

Kageyama memajukan wajah rupawannya ke depan, mendekati Hinata, dan dia seolah sedang berusaha menerobos masuk ke dalam jiwa Hinata dengan mata biru itu lagi. Sesuatu di dalam tatapan Kageyama membuat Hinata bergerak gelisah—kedua biner biru itu terlalu intens dan fokus.

Dia terlalu… dekat…

"Enak?" Kageyama menggumam rendah pada telinga Hinata. Napasnya menyerbu permukaan kulit yang memerah peka, mengundang getaran pada setiap otot. "Kau merasa nikmat?"

Caranya mengatakannya sedikit… tidak benar. Tapi Hinata hanya bisa merespon dengan lenguhan pelan, saat cairan stroberi meledak dan bercampur dengan manis meringue. Kalau ada jenis lava yang menyenangkan, Hinata sedang merasakannya di dalam mulutnya saat ini.

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Hinata menggeleng lemah. Tubuhku seperti lumpuh. Cake ini… benar-benar…

"Kenapa?" Wajah Kageyama semakin dekat dan dekat, dan itu sama sekali tidak membantu. Pipi hampir menempel. Suara Kageyama seakan merambati seluruh bagian tubuhnya, menggema di dalam relung hati. "Kau terlalu keenakan sampai tidak bisa berkata-kata?"

Hinata menelan perlahan, merasakan kerongkongannya berkonstriksi dengan susah payah. Tirai mata terbuka, menampakkan pendar cokelat madu di baliknya. Dan melalui biner yang sama Hinata menyaksikan, bertemu pandang dengan biru dalam itu lagi, yang kali ini menggelap akan sesuatu. Bulu roma Hinata berdiri. Benak diserbu pasukan yang mengenalkan diri sebagai rasa takut.

Ada yang berbeda dari Kageyama, entah kenapa. Dia menjadi lebih aneh—mengerikan. Manipulatif. Seperti raja.

Apakah dessert membuatnya seperti ini?

"Katakan, Hinata," Kageyama berbisik tepat di depan wajah Hinata sekarang, mata tak pernah lepas darinya. Tubuh mereka semakin berdekatan, fabrik yang menempel dengan fabrik. "Apakah masakanku enak?"

Ya, batin Hinata berteriak. Ya, ya, ya. Enak sekali. Enak.

Hinata menutup mulutnya, mencegah suara-suara aneh muncul dari balik tenggorokannya, dan menggeleng kuat-kuat. Dia bimbang, antara harus mempertahankan harga dirinya atau menuruti nafsunya untuk menyerah di bawah dessert sang raja.

"Kenapa kau menutup mulutmu?" Kageyama menggeram, menarik kedua tangan Hinata dari atas mulutnya. "Aku mempersilakanmu untuk memakan hidanganku. Jangan coba-coba lari, Hinata."

Hinata dibuatnya memekik pelan, karena—ya ampun. Tenaga pria ini sangat besar. Rupanya otot-otot tangannya memang bukan pajangan semata. "H-Hentikan, aku… aku—"

Kageyama mendecakkan lidah. Pisau yang tergeletak sepi terangkat, digunakan untuk memungut sepoles krim. Lalu, seolah dirinya adalah semacam model profesional natural, Kageyama membawa pisau itu ke hadapan wajahnya dan menjilat krim itu. Ya ampun. Dia menjilatnya pelan-pelan dengan lidahnya, mempertahankan kontak mata, tanpa menyadari badai besar yang dia datangkan dalam benak Hinata.

Astaga. Hinata menggigit bibir bawahnya, mengejang di atas tempat duduknya dan berusaha melepaskan diri. Dia tidak tahan lagi.

"Lihat. Masih ada banyak yang tersisa. Kau harus menghabiskan semuanya," kata Kageyama, pelan dan pasti dan mengintimidasi. "Kenapa diam saja? Kau perlu kupaksa makan?"

"Ka… geyama," Hinata terengah, "Aku bisa—aku akan memakannya sendiri, hanya saja—berikan aku… waktu untuk—mmm!"

Kageyama lebih senang untuk tak menghiraukan perkataannya, ternyata. Hinata tak diberi kesempatan bicara. Satu garpu dengan potongan meringue baru dimasukkan paksa ke dalam mulut Hinata. Sementara sang penulis itu hanya bisa memejamkan mata, tak punya daya untuk memberontak, saat merasakan dirinya seakan melayang meninggalkan daratan sekali lagi.

Tidak… Hinata mengunyah pelan, bergetar sekali lagi merasakan sensasi potongan meringue yang membuat candu. Kalau ini terus berlanjut, aku tidak akan—

"Kuulangi sekali lagi—apakah masakanku enak?" Dia memainkan garpu di dalam mulut Hinata, memutar-mutar, menggesernya ke kanan kiri menyelami mulut Hinata dengan hati-hati. Memberi stimulasi lebih yang membuat Hinata ingin meledak. "Jawab, Hinata. Aku tahu kau menikmatinya."

Ibu jari Kageyama menyeka krim yang tertoreh pada pipi Hinata, membawanya pada bibirnya sendiri, dan menyapunya habis dengan lidah yang basah. Kemudian suara aneh itu kembali keluar dari Hinata, bernada tinggi dan tertahan. Hinata tahu dirinya rusak.

Dengan geletar hebat yang menyambar tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, Hinata menggigit bibir bawah dengan lebih kuat, dan berpikir—

Aku—ugh. Sudahlah, aku tak peduli lagi.

Dan Hinata membuang harga dirinya begitu saja pada detik-detik terakhir, menyerah pada rasa manis surgawi dan pada Kageyama.

"E… nak…" Hinata bersusah payah mengucapkannya setelah Kageyama mengeluarkan garpu dari mulutnya, terlihat begitu tersiksa seolah kata-kata itu adalah racun mematikan. Dia tahu penampilannya sangat berantakan sekarang—dalam arti sugestif—dengan kedua pipi memerah dan mata berkaca-kaca dan bibir terkotori sedikit saliva dan krim. "Enak. Masakanmu—enak. Enak sekali… Nikmat."

Hinata meracau begitu saja, seperti orang tidak waras—dan pikirannya memang tidak waras sekarang—tapi Kageyama kelihatan senang. Senang dan angkuh dan puas.

"Selamat datang di kafeku," ucap Kageyama, memasukkan satu lagi garpu dengan sepotong meringue mengerikan penakluk jiwa ke dalam mulut Hinata yang sudah menunggu.

XOXO

Mereka selesai satu jam lima menit kemudian. Pada saat itu, Hinata sudah kehilangan hampir seluruh energinya.

"Haaah… Perutku seperti akan meledak…"

Hinata meletakkan kepalanya yang berat di atas kedua lengannya yang terlipat pada permukaan meja makan, menutup mata dengan perasaan antara lelah dan damai. Perutnya terasa begitu penuh dan sesak. Kenyang sekali.

Hinata yakin dia tak sanggup makan lagi, tapi sisa-sisa rasa manis itu di dalam mulutnya membuat Hinata tetap merasa lapar—dan ini gawat. Dia harus segera meminum sesuatu atau menggosok gigi jika dia tidak ingin benar-benar meledakkan perutnya dengan meminta tambah seporsi dessert lagi.

Dada Hinata mengembang saat dia menghirup udara. Mengempis lagi secara berangsur. Jantungnya masih berpacu seperti pelari maraton di dalam rongganya. Geletar-geletar kecil belum sepenuhnya hilang dari ujung kulitnya. Hinata tahu dirinya masih terguncang, seolah dia baru saja naik roller coaster dan masih terbawa-bawa sensasi saat dia menaiki wahana itu.

Itu tadi adalah petualangan memakan dessert paling mendebarkan yang pernah Hinata alami.

Mendebarkan, sedikit menyenangkan, sekaligus membuatnya malu.

Memikirkan segalanya yang baru saja terjadi membuat wajah Hinata memanas, untuk suatu alasan. Bukan hanya karena harga dirinya yang terluka—ada hal lain yang membuat warna merah menyambangi pipinya. Mungkin ada hubungannya dengan betapa memalukannya reaksi dan ekspresinya tadi. Atau betapa Kageyama sangat… menggoda tadi.

Maksudnya, chef macam apa yang menyuapi kliennya secara paksa sambil membisikkan kata-kata… semacam itu? Selama Hinata berpetualang dari satu chef ke chef lain, belum pernah dirinya diperlakukan sedemikian rupa. Belum pernah ada yang memainkannya, memanipulasinya. Membuatnya jatuh bertekuk lutut.

Dirinya merasa terekspos dan tidak berdaya. Kageyama seakan telah berhasil membuka hatinya selapis demi selapis—hanya dengan dessert. Dia belum pernah makan seintens itu, belum pernah runtuh di bawah kendali orang lain seperti tadi. Energinya terkuras habis sekarang. Padahal hanya makanlah yang dia lakukan sejak tadi.

Kalau dia harus mengalami hal yang sama setiap bertemu Kageyama, bagaimana dia bisa tetap bertahan waras hingga akhir?

Tapi, Hinata harus mengakui, masakan Kageyama benar-benar lezat. Mungkin dia tidak akan keberatan untuk mencicipinya lagi, walau dirinya harus melalui kejadian serupa seperti hari ini… Mungkin.

"Jangan tidur di sana, boke."

Kageyama mengumumkan kehadirannya, selesai dari membereskan dapur dan piring-piring.

"…Ueh?" Kedua mata Hinata terbuka penuh, menatap tepat pada Kageyama yang sedang meletakkan satu tangannya di atas pinggang dengan ekspresi tidak setuju. Tubuh Hinata menegak perlahan pada kursinya. Tangan terangkat tatkala dia meregangkan tubuh. Keinginan untuk menguap diredamnya. "Jam berapa sekarang?"

"Hampir pukul setengah sembilan," jawab Kageyama dengan lancar dan cepat. Dia terdengar tidak sabaran, seperti seorang pebisnis yang selalu dikejar waktu. "Kau seharusnya pulang sekarang. Aku juga masih ada kepentingan di kafe setelah ini."

"Mmn…" Hinata mengangguk lesu. Dengan satu tarikan penuh paksa dari Kageyama, dia akhirnya beranjak, melangkah gontai untuk keluar dapur kecil itu.

Tapi kemudian, satu langkah di depan pintu, bunyi sepatu Kageyama menggema tepat di belakang Hinata, tanda bahwa pria itu mengekorinya.

Dan tatkala Hinata menoleh, dia mendapati biner biru yang menerawang tepat ke arah matanya.

"Hinata," panggil Kageyama, dan hati Hinata melompat girang, mendengar namanya bergulir dari chef segalak pria itu. Suara Kagyama tak begitu keras, tapi juga tak lembut. "Kalau kau…" Kageyama memalingkan wajah, rautnya seperti orang konstipasi. Hinata menahan keinginan untuk tertawa, demi menunggu dengan sabar apa yang hendak Kageyama katakan.

Sang chef berdeham, lalu mengulangi, "Kalau kau merasa terlalu bodoh soal dessert," Hinata menyemburkan protes berupa 'aku tidak bodoh' yang berlalu begitu saja dari telinga Kageyama, "datang saja ke sini. Yah. Selama kau tidak mengganggu pekerjaanku, aku bersedia melayanimu. Masih ada banyak yang harus kutanamkan pada kepala kerasmu itu."

Lantas, Kageyama berani mendongakkan wajahnya setelah itu, memandang ke dalam mata Hinata. "Masih ada banyak… yang ingin kutunjukkan padamu."

Ah. Hinata membiarkan kedua bahunya merosot, selagi bibirnya mengembang membentuk senyuman lebar. Kageyama yang sedang tidak berada dalam mode chef memang polos…

"Kalau kau memang menginginkanku untuk menemanimu lagi, katakan saja, Kageyama-kun!" Hinata menunjukkan deretan gigi-giginya saat dia menyeringai, menggoda pria canggung itu dan menampari punggungnya. "Tidak usah merasa malu!"

Yang dia dapatkan adalah sebuah tangan lebar yang meremas dan menjambak habis-habisan rambutnya, serta sebuah seruan kasar yang menyuruhnya untuk lekas angkat kaki dari sana.

Hinata menurut, tentu saja, karena dia juga ingin pulang dan lekas beristirahat. Namun tiga langkah menjauhi Kageyama, Hinata berbalik lagi, melempar senyuman yang lebih kecil dan canggung dan malu-malu. "Aku akan…" Hinata menarik napas, lalu mengatakannya dengan lebih lantang, "Aku akan memikirkan tawaranmu, Bakageyama."

Biner biru gelap membelalak. Dan berangsur-angsur, nyala pada mata Kageyama meredup, ketika otot bahunya meloggar rileks. "Boke," bisiknya setengah mendengus. "Hinata-boke."

Senyuman samar yang muncul pada wajah Kageyama setelahnya membuat Hinata merasa luar biasa bahagia. Hinata tidak tahu—atau bisa jadi tahu—alasannya, mengapa hatinya bisa seringan ini.

Hari ini tidak terlalu buruk, pikirnya. Tidak terlalu buruk.

TO BE CONTINUED


Beberapa istilah asing.

Cake: salah satu jenis dessert manis yang biasanya dioven/dipanggang. Beberapa cake modern dapat berkolaborasi dengan dessert lain, misalnya pastry, meringue, custard, dan pie.

Meringue: salah satu tipe dessert, sering berhubungan dengan hidangan Prancis, Swiss, atau Italia. Terbuat dari putih telur yang dikocok dan gula, kadang ditambah bahan asam seperti lemon, cuka, krim, atau krim tartar.

Gateau: bahasa Prancis dari cake.

Mascarpone: cream cheese dari Italia, dibekukan dengan menambahkan zat asam tertentu seperti jus lemon, cuka, asam strat, atau asam asetat.

Croissant: sejenis roti dengan adonan berlapis (flaky bread) yang berasal dari Perancis.


Ingin menyumbang quote tentang dessert? Silakan. wwwww

Saya nyempetin ngetik chapter ini mumpung masih bisa. Besok-besok udah ga bisa. Btw, ini ngetiknya NGEBUT, jadi berantakan dan absurd banget. Harap maklum. Saya kayak lagi dikejar-kejar dengan semua kesibukan yang ada :" /plak /ngeles

Ini mungkin tak edit lagi nanti. Ga ada adegan yang berubah kayaknya, but still.

Btw, saya nggak berniat untuk update bersamaan dengan rilisnya Haikyuu S3 (bajakannya di internet www). Saya cuma menunda sampe hari ini, karena setiap kali ngedit kurang kerasa pas. Saya ga bisa konsen nulis kalo lagi sibuk soalnya. /orz

Anyway, saya harap kalian bisa menikmati fik liar ini.

Makasih buat yang sudah membaca, review, fav, follow—seperti biasa. Tanpa dukungan kalian aku tak ada apa-apanya.

Teruntuk guest 'Respati', makasih dukungannya. Semoga saya masih sempat menulis asupan untuk kita semua, ya.

Well then, see you!