Judul : Once Upon a Sleepless Night

Author : Daaro Moltor

Pasangan : Draco Malfoy/Harry Potter

Disclaimer : Harry Potter © JK Rowling

Alih bahasa : neko chuudoku

Peringatan : SLASH, Drarry, Canon Divergence, pemikiran ingin mati (hanya di awal-awal), niat dan perbincangan soal bunuh diri (tapi tidak terjadi).

Ringkasan cerita :

Voldemort menemukan cara baru untuk mengecoh kematian; entah bagaimana dia berhasil memanifestasikan dirinya di dalam kepala Harry Potter. Harry sudah di ambang melompat dari puncak Menara Astronomi saat Hermione menemukan bahwa mungkin yang mereka perlukan hanyalah darah murni.

.

Once Upon a Sleepless Night© Daaro Moltor

Chapter 1

.

Rumput mengkristal mengeluarkan suara tak wajar saat hancur berkeping-keping di bawah kakinya. Untuk setiap langkah yang dia ambil, rasanya seakan dia perlahan membunuh tanah yang dia injak.

Dia berusaha untuk berhenti, berusaha untuk berdiri diam, untuk menghentikan pembunuhan. Tapi dia tak lagi punya kendali atas tubuhnya sendiri. Dia tak punya pilihan selain melanjutkan pengembaraan tanpa tujuannya; mendengarkan suara kematian di setiap langkah yang dia ambil.

Bagaimana rasanya, Harry Potter? Bagaimana rasanya tidak memiliki kendali, bagaimana rasanya betul-betul tak berdaya?

Suara mengerikan Lord Voldemort bergema dalam pikirannya saat kecepatannya bertambah. Dia bergidik, tapi selain dari itu tubuhnya tak menunjukkan reaksi apa pun pada pertanyaan yang berdering dalam pikirannya.

Kabut tebal tak wajar membuat udara sulit dihirup, seakan udara membeku di tengah jalan menuju kerongkongan. Kabutnya memenuhi daratan dan membuat dia merasa bagai di ujung dunia, seakan dia begitu jauh hingga tak ada apa pun lagi.

Kakinya bergerak makin cepat, dan dia mendapati dirinya berlari melewati pemandangan datar. Suara nyaring menjadi begitu keras hingga terasa seolah membelah pikiran dan tubuhnya. Jagat raya sendiri telah mendapat suara. Suara yang menjerit; menjerit dengan kesakitan yang menghancurkan hati.

Bagaimana rasanya, Harry Potter, mengetahui bahwa setiap kali kau menutup matamu, aku akan mengambil alih tubuhmu? Bagaimana rasanya mengetahui bahwa aku akan menghantui mimpi-mimpimu hingga aku menghancurkanmu, Harry Potter? Mengetahui bahwa kau tak akan pernah bisa beristirahat dalam damai hingga aku menghancurkanmu sepenuhnya, hingga kewarasanmu menjadi tak lebih dari memori pudar?

Udara dingin membuat tenggorokannya perih, membuatnya merasa seakan terbelah dari dalam, tepat seperti yang Voldemort janjikan. Kakinya kebas karena berlari, tapi dia tak dapat berhenti. Dia tak punya pilihan selain terus maju.

Air mata mengaliri kedua pipinya, tapi air matanya membeku sebelum mencapai dagu.

Tiba-tiba tanah ambruk dari bawahnya, dan dia terjatuh kedalam kegelapan total saat suara Voldemort berdering di telinganya…

"Bagaimana rasanya, Harry Potter…"

xxx

Mata biru Ron adalah yang paling pertama menyapanya saat dia terbangun, tapi otak paniknya nyaris tak bisa mencerna itu.

"Harry, sobat, kau harus berhenti berteriak!" ujar Ron keras seraya menggoncang tubuhnya.

Sama sekali tak sadar dia telah menggunakannya, dia segera menutup suara paraunya. Dia tersengal hebat dan mati-matian berusaha membuat dirinya terjaga, untuk tetap dalam kendali. Kehadiran berat Lord Voldemort perlahan memudar.

Selalu seperti ini sejak dia membunuh Pangeran Kegelapan.

Dia sangat tahu bahwa dia adalah salah satu dari tujuh Horcrux orang itu, dan dia memasuki pertempuran dengan maksud untuk bunuh diri segera setelah pertempurannya usai. Itu adalah kesadaran menyedihkan, mengetahui bahwa tak peduli bagaimana hasil pertempuran, dia masih akan mati. Akan tetapi entah bagaimana dia berhasil. Tapi, setelahnya, ketika si monster telah mati dan pertempuran berakhir, kawan-kawannya telah mengetahui rencananya dan menghentikannya. Mereka meyakinkan dia bahwa mereka membutuhkannya, bahwa mereka bisa menemukan cara untuk benar-benar mengeluarkan Voldemort dari dalam kepalanya tanpa dia harus mati.

Mereka berusaha memenuhi janji mereka, tapi hidup Harry perlahan berubah menjadi neraka. Setiap malam saat dia tidur, Voldemort mengambil alih otaknya, mengontrolnya dan membuatnya melawan dirinya sendiri. Mimpi-mimpi buruk mengerikan terus dia alami, lebih buruk dari apa pun yang dapat dia bayangkan, membuatnya lebih kelelahan dari yang dia pikir memungkinkan. Dia hanya tidur beberapa jam selama hampir dua bulan sejak kematian Voldemort. Mungkin lebih tepat menyebutnya hampir mati.

Hidupnya hampir mendekati tak tertahankan, dan dia telah—lebih dari satu kali—berpikir untuk mengakhirinya. Tidak hanya demi dirinya sendiri, tapi demi seluruh dunia.

Mimpi buruk yang terus menerus adalah pengingat ampuh akan akibat dari keegoisannya. Bila Voldemort kembali hanya karena dia terlalu takut untuk mengambil hidupnya sendiri, dia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Bila dia bertahan hidup.

"Harry, sadarlah!"

Dia tak sadar bahwa dia menatap kosong ke langit-langit hingga Ron melambai-lambaikan tangannya di depan matanya.

"Maaf sobat, aku sudah bangun," gumamnya, lalu menggosok mata merahnya dengan pangkal telapak tangan.

Saat dia menengadah, dia melihat Ron menatapnya dengan pandangan cemas.

"Hermione betul-betul harus menemukan sesuatu untuk mengatasi omong kosong ini dengan segera," ujar Ron, lalu duduk di sampingnya.

Harry menghela napas.

"Andai saja kalian mengizinkanku untuk mengakhiri segalanya, aku bisa—"

"Tidak. Tak akan pernah," ujar Ron tajam, menginterupsinya.

"Aku merasa seperti di neraka!" Harry meledak. Ron tampak terluka. Harry mendesah lagi dan membuang muka.

Dia tahu dia menyakiti Ron dan Hermione saat dia mengatakan dia tak ingin hidup, dia tahu dia membuat mereka merasa tak cukup berarti. Tidak cukup untuk membuatnya semangat hidup. Apa yang tak mereka mengerti adalah bahwa mereka sangat berarti hingga dia rela berkorban untuk mereka; dan dia akan melakukannya, andai kata mereka membiarkannya.

Ron tiba-tiba mengejutkannya dengan menariknya ke dalam pelukan teramat erat, jenis pelukan yang biasa diberikan Hagrid setiap kali dia merasa terlalu emosional.

Tapi Ron sangat jarang melakukan kontak fisik, terutama dengan sesama laki-laki.

"Dengar, Harry, aku tahu kau pikir seluruh dunia akan menjadi tempat yang lebih aman tanpa kau dan jiwa aneh dalam kepalamu, dan mungkin memang benar. Tapi kenyataannya adalah hidupku akan jadi lebih parah. Akan jadi jauh lebih parah, seperti parah tak tertahankan. Dan begitu pula hidup Hermione. Jadi jangan pernah berpikir untuk melompat dari salah satu menara atau semacamnya."

Dia menatap mata teman-temannya yang lain di belakang bahu Ron. Mereka, juga, terbangun karena teriakannya. Dean, Seamus, dan Neville memberinya anggukan kecil, seakan mengkonfirmasi kata-kata Ron. Dia menutup mata dan sedikit bersandar pada pelukan Ron.

"Janji kau tak akan mencoba untuk pergi?" tanya Ron. Keputusasaan dalam suaranya sama dengan permohonannya di tahun kedua, saat dia bertanya apakah adik perempuannya masih hidup.

Harry menelan gumpalan besar dalam kerongkongannya, "Aku janji."

Dia tak boleh membiarkan Voldemort mengambil alih tubuhnya lewat mimpi-mimpi, tapi bila dia beruntung, mungkin dia bisa mati dari semua serangan-serangan konstan sebelum hal itu terjadi. Dengan begitu, dia tak akan melanggar janjinya.

.

-bersambung-

.

FF ini per-chapternya pendek-pendek begini, jadi akan diusahakan apdet cepet (paling lambat seminggu sekali). Saya harap kalian menyukainya ^^

-neko-