disclaimer:

this beautiful fanfict belongs to queenofhunter93 in

happy reading, readers~ ^^


2.

Satu hal yang Kris ketahui, sifat keras kepala dalam dirinya merupakan kelebihan sekaligus kelemahannya.

Kris pernah memaksakan pergelangan kakinya yang terluka dalam suatu pertandingan basket yang kemudian mengantar tim basketnya menjadi juara. Saat ia masih duduk di kelas 8, Kris berhasil memiliki kekasih pertamanya karena ia terus-menerus menghubungi gadis tersebut untuk pergi kencan. Seumur hidupnya, Kris tak pernah mengindahkan himbauan ayahnya untuk terus berkomunikasi dengan ibunya karena satu hal─Kris begitu membenci sosok wanita yang sudah menelantarkan keluarganya itu.

Memanfaatkan sifat keras kepalanya itu, Kris mencoba membuat Joonmyun memandangnya.

Kris kerap mencekoki Meitao yang mempunyai pengetahuan luas mengenai bahasa melalui bunga, mengingat kedua orangtua Meitao mengelola sebuah toko bunga. Pada awalnya, Meitao begitu curiga mengapa Kris yang serampangan dan masa bodoh itu hendak membeli bunga-bunganya. Dengan sedikit terpaksa pun Kris menceritakan segalanya kepada Meitao. Mencurahkan perasaannya terhadap Joonmyun sekaligus usahanya untuk bisa memenangkan hati Joonmyun.

Setiap pagi, Kris meletakkan bunga-bunga dari toko bunga keluarga Meitao di loker Joonmyun. Pagi-pagi sekali Kris datang ke sekolah agar tidak ada seorangpun yang menangkapbasah perbuatannya itu. Pada hari pertama, Kris meletakkan setangkai tulip merah─yang artinya pengakuan cinta─lalu menunggu Joonmyun datang dari kejauhan dan memandangi gadis itu menerima bunga tersebut. Kris menghela nafas kecewa saat dilihatnya Joonmyun tidak bereaksi apa-apa terhadap setangkai tulip merah tersebut, tapi perlahan senyum Kris mengembang saat dilihatnya Joonmyun meraih setangkai tulip itu lalu memasukannya ke dalam tasnya.

Pernah suatu hari, Kris meletakkan sebuah jepit rambut berhiaskan bunga camelia pink yang berarti aku merindukanmu. Dengan harap-harap cemas Kris menunggu Joonmyun mendapati jepit rambut tersebut di lokernya. Dan penantian Kris pun tak berakhir sia-sia. Joonmyun tersenyum saat ia menndapati jepit rambut dengan hiasan camelia pink itu lalu mengenakannya di sisi kanan rambutnya sepanjang hari.

Hari demi hari berlalu dengan bunga-bunga dari toko keluarga Meitao di loker Joonmyun (seperti bunga lili yang berarti kecantikan atau bunga bugenvil yang berarti kau selalu terlihat menarik di mataku) dan hari demi hari juga berlalu dengan ketiadaan respons positif dari Joonmyun, hari demi hari pun Kris merasa bahwa ia kehilangan harapannya. Ia bahkan sudah melekatkan post-it di tangkai bunga-bunga tersebut seperti 'temui aku di auditorium sepulang sekolah kalau kau ada waktu', tetapi bahkan hingga bel pulang sekolah berbunyi pun Kris tak pernah mendapati Joonmyun hadir di sana.

Dan di sinilah Kris berada. Laki-laki itu duduk termangu di bangku penonton terdepan sambil mengamati langit-langit auditorium yang terkesan lengang. Dekorasi-dekorasi yang biasanya tergantung di sana-sini pun sudah tidak lagi ada. Pikiran Kris menerawang, mengingat hari pertama di mana ia bertemu dengan Joonmyun di tempat ini. Bagaimana ia bertemu dengan Joonmyun, bagaimana Joonmyun selalu menginjak kakinya dengan gemas dan menggerutu dengan galak setiap kali Kris melakukan kesalahan dalam dialognya saat mereka sedang berlatih, betapa hangatnya hati Kris setiap kali ia melihat Joonmyun tertawa mendengar kelakar yang dilontarkan laki-laki itu, juga betapa… Betapa lembutnya bibir Joonmyun waktu itu.

Lamunan Kris terpecah saat ponselnya bergetar di saku celananya. Dilihatnya layar ponselnya menyala dan ada sebuah chat dari grup angkatan yang masuk ke dalam ponselnya. Kris segera membukanya, kemudian kedua matanya melebar.

Sebuah foto Joonmyun yang nyaris telanjang bulat dalam balutan lingerie merah. Memang terlihat jelas bahwa foto itu merupakan foto yang sudah diedit melalui suatu program, tetapi emosi Kris sudah tersulut saat ia melihat Joonmyun sudah dilecehkan dengan cara paling hina seperti ini.

Kris bangkit dari duduknya, kemudian ia berjalan keluar dari auditorium dengan penuh amarah. Di sepanjang koridor, dilihatnya murid-murid tengah memandangi ponselnya sambil cekikikan lalu saling menunjukkan layar ponsel mereka kepada teman-temannya. Kris menoleh kesana-kemari, dengan frustasi ia mencoba menemukan Joonmyun. Dan akhirnya ia benar-benar menemukan Joonmyun yang sedang berjalan di salah satu sisi koridor dengan wajah menunduk, dikelilingi dengan murid-murid yang kerap berbisik-bisik sinis sambil menunjuk-nunjuk ke arah gadis malang itu. Bahkan ada sejumlah murid yang dengan tidak tahu dirinya mengejek Joonmyun dengan frontal.

"HEI!"

Sepanjang koridor yang semula ramai dengan bisik-bisik dan olok-olok itu berubah menjadi sunyi saat Kris berteriak dengan begitu menyeramkan.

"Hei, Wu!" Tiba-tiba Chanyeol muncul dari belakangnya kemudian dengan santainya laki-laki itu merangkul pundak Kris lalu menunjukkan foto Joonmyun di ponselnya kepada Kris. "Kau sudah lihat fotonya? Pffttt… Ternyata nerd satu ini bisa terlihat seseksi itu di foto ini, ya?"

BRUGH!

Semua murid yang ada di koridor tersebut menahan napas mereka saat Kris menarik kerah seragam Chanyeol lalu menyudutkan laki-laki itu di dinding koridor. "Hei, kau. Dengarkan aku." Dengan rahang menegang dan suara rendah yang mengerikan, Kris mengancam Chanyeol. "Kalau sampai ada yang menyebarkan foto itu di luar murid-murid sekolah kita, aku jamin kau akan segera dikeluarkan dari sekolah ini. Dan kalau sampai aku tahu seseorang yang bertanggungjawab dalam mengedit foto ini, aku jamin hidupnya tidak akan lama lagi, kau dengar apa yang kukatakan?"

"U-ukh… Ba-baik, Wu…" Chanyeol terlihat begitu tersiksa karena Kris tak kunjung melepaskan cengkramannya dari kerah kemejanya. "…A-aku mengerti…"

"Dan untuk kalian semua!" Kris berbalik menatap satu-persatu murid-murid yang ada di sekelilingnya. "Aku tidak main-main dengan ucapanku. Kalau sampai aku temukan siapapun yang menyebarkan foto ini dan siapapun yang mengedit foto ini, aku bisa pastikan kalian semua mati mengenaskan di tanganku sendiri!"

Wajah murid-murid itu memucat, kemudian tanpa dikomando mereka segera berbalik dan membubarkan diri. Begitu pula dengan Chanyeol yang melarikan diri dengan langkah tertatih-tatih mengikuti murid-murid itu meninggalkan Kris dan Joonmyun di koridor yang berubah menjadi lengang tersebut.

"…"

"…" Kris tidak berkata apa-apa. Laki-laki itu melepas jas seragamnya kemudian menggunakan jas itu untuk menutupi kepala Joonmyun, kemudian merangkul gadis itu dengan lembut dan membawanya berjalan bersamanya. Kris sedikit terkejut saat ia tidak mendapatkan penolakan dari Joonmyun. Gadis itu menurut dan berjalan beriringan dengan Kris sesuai dengan apa yang Kris inginkan.

Kris dapat merasakan bahu gadis itu berguncang pelan saat Kris merangkulnya, pertanda bahwa Joonmyun tengah terisak pelan.

Kris mendudukkan Joonmyun di salah satu bangku penonton auditorium, kemudian mengambil duduk di sebelah gadis itu. Terdiam sejenak hingga isakan demi isakan Joonmyun memenuhi ruang komunikasi di antara mereka.

"Jangan khawatir. Aku akan mencaritahu siapa yang sudah melakukan ini semua kepadamu dan memastikan bahwa mereka akan mendapat pelajaran yang harus mereka dapatkan. Aku janji kepadamu." Dengan hati-hati Kris mengusak puncak kepala Joonmyun.

Baru kali ini, Kris merasa begitu tak berdaya di depan perempuan yang begitu berarti baginya.

"…Kenapa..?"

"Apa?"

"Kenapa kau harus melakukannya di depan semua orang..?" Joonmyun bertanya dengan bibir bergetar. "…Apa kau sudah gila..? Membelaku yang bukan apa-apa di depan semua orang..?"

"Kau belum paham juga? Dengan semua bunga-bunga yang kuletakkan di lokermu setiap pagi? Atau kau sudah lupa dengan pengakuanku seusai drama kita beberapa hari yang lalu?" Kebiasaan buruk Kris pun muncul; mencekoki Joonmyun dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Kemudian Kris meraih sesuatu dari dalam saku kemejanya, lalu mengeluarkan selembar pembatas buku yang terbuat dari bunga carnation yang diawetkan di dalam plastik. "Kau suka membaca, kan? Pakailah ini sebagai pembatas buku-bukumu."

Joonmyun terdiam sejenak memandangi pembatas buku itu. "Yang satu ini… Apa artinya..?"

Wajah Kris memerah. Entah mengapa, rasanya sangat berbeda antara memberikan bunga di loker Joonmyun dengan memberikan bunga secara langsung kepada Joonmyun seperti ini.

"…Um… Hatiku sakit… Karenamu..?" Kris menjawab dengan ragu, lalu ia berkedip dengan kikuk.

Masih dengan kedua mata sembapnya, Kris kembali terpana melihat Joonmyun tersenyum lirih. "…Ya."

"Apa?" Kris kembali berkedip. Bukan karena ia tidak mendengar ucapan Joonmyun, tapi karena ia merasa janggal dengan apa yang dikatakan Joonmyun.

"Artinya ya. Aku paham. Aku ingat semua bunga-bunga yang kau letakkan di lokerku setiap pagi, aku ingat semua patah kata pengakuanku seusai drama kita beberapa hari yang lalu. Aku menanyakan semua arti bunga-bunga yang kau berikan kepada Meitao. Dan aku…" Wajah Joonmyun merona sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. "…Ya, aku akan mencoba mencintaimu dengan caraku, Kris Wu."

"Lalu… Apa aku boleh menanyakan sesuatu..?" Tanya Kris, sedikit ragu.

Joonmyun mengangguk. "Apapun."

"Kenapa waktu itu kau begitu gencar untuk melarangku jatuh cinta kepadamu?"

Kris dapat melihat Joonmyun menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Tapi kemudian, "Aku akan katakan padamu suatu hari nanti. Hanya saja, tidak untuk hari ini."

Dan Kris cukup puas dengan jawaban itu.

Jawaban sederhana dari seorang Kim Joonmyun.

Kim Joonmyun miliknya.


Kris dapat merasakan bahwa atmosfer beserta suasana di sekolah berubah semenjak ia berkencan dengan Joonmyun. Saat laki-laki itu sedang berjalan menyusuri koridor, ia dapat merasakan tatapan-tatapan aneh dari murid-murid di sekelilingnya. Setiap pagi, Kris akan selalu berjalan beriringan dengan Joonmyun tanpa ada satu orangpun yang berani mengusiknya.

Semenjak ia berkencan dengan Joonmyun, Kris tidak lagi bertindak lebih jauh daripada bergandengan tangan ataupun sekadar merangkul Joonmyun. Hal paling jauh yang ia lakukan mungkin hanya memeluk Joonmyun untuk beberapa detik saja, tidak lebih. Kris tidak ingin kehilangan Joonmyunnya lagi kalau laki-laki itu bertindak lebih agresif dari semua ini.

"Kau mau mampir ke rumahku sepulang sekolah?" Suatu hari saat jam makan siang, Joonmyun bertanya kepada Kris.

Waktu itu Kris hanya bisa mengangguk menyanggupi tanpa berkata-kata karena ia begitu terkejut dengan tawaran Joonmyun tersebut.

Kris pernah mendengar rumor bahwa Keluarga Kim begitu kaya-raya bergelimang harta, tapi Kris tidak pernah menyangka bahwa mereka benar-benar kaya-raya bergelimang harta. Rumah mewah Keluarga Kim terletak di sebuah komplek perumahan elit di daerah Apgujeong-dong, dan bahkan saat dibandingkan dengan rumah tetangga kanan-kirinya pun rumah Keluarga Kim terlihat begitu tinggi menjulang dengan dekorasi minimalis yang memanjakan mata. Dan, oh, satu lagi yang mengejutkan Kris, rumah Keluarga Kim juga mempekerjakan begitu banyak pelayan yang memiliki tugas mereka masing-masing.

"Kami terbiasa bangun pagi-pagi saat akhir pekan lalu saling membagi tugas untuk membersihkan rumah." Celoteh Joonmyun selagi ia berjalan beriringan dengan Kris memasukki rumah. Sesekali gadis itu tersenyum manis menyapa sejumlah pelayan yang membungkuk hormat memberi salam kepadanya.

"Tugas? Membersihkan rumah?" Tanya Kris. "…Meskipun kalian memiliki begitu banyak pelayan?"

"Ya. Kenapa tidak?" Joonmyun terkikik melihat reaksi Kris. "Sejak kecil, kami tak pernah dibiasakan untuk bersikap manja. Apa yang bisa dilakukan sendiri, harus dilakukan sendiri."

Dan Kris merasa bahwa pilihannya tak pernah salah untuk jatuh cinta kepada gadis semenakjubkan Joonmyun.

Saat Joonmyun menghampiri sebuah ruangan berpintu putih─yang sepertinya adalah kamar tidurnya, Kris menghentikan langkahnya. Joonmyun berbalik saat ia tidak lagi merasakan keberadaan Kris di sisinya. Kemudian berkata sebelum membuka pintu kamarnya. "Tidak apa. Masuklah."

Kris mengerjapkan kedua matanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Joonmyun. Ia bahkan tidak bisa mempercayai dirinya sendiri, tapi mengapa Joonmyun begitu mempercayai Kris untuk tidak melakukan apa-apa di dalam kamarnya?

Tapi bagaimanapun, pada akhirnya Kris pun mengikuti Joonmyun masuk ke kamarnya.

Kamar itu benar-benar memancarkan aura Joonmyun─rapih, bersih, dengan ranjang bernuansa ungu-emas di sudut kiri ruangan, boneka lumba-lumba raksasa di atasnya, meja belajar di samping ranjang dengan sebuah laptop di atasnya, rak buku besar yang penuh dengan buku di sudut kanan ruangan, dan sebuah meja kecil di tengah-tengah ruangan di atas sebuah karpet bulu berwarna ungu.

"Kau pasti begitu menyukai warna ungu." Gumam Kris sambil mengedarkan pandangannya.

Joonmyun tersenyum simpul. "Duduklah. Aku akan berganti pakaian dulu." Ujar Joonmyun kemudian gadis itu menghilang di balik pintu putih yang berada tepat di samping rak buku─sepertinya pintu menuju kamar mandi.

Kris meletakkan ranselnya di sebelah meja kecil yang ada di tengah-tengah ruangan, kemudian duduk bersila sambil kembali melihat sekeliling.

Pandangan Kris berlabuh pada rak buku Joonmyun, lalu menemukan cukup banyak seri manhwa yang tersusun di rak paling bawah. Kris juga mendapati sejumlah album foto, buku-buku pelajaran, buku-buku mengenai astronomi, dan beberapa buku medis yang cukup familiar di matanya. Saat ia melihat judul buku yang ada di salah satu sisi buku-buku medis tersebut, Kris teringat dengan rak buku yang pernah dilihatnya di ruang kerja ayahnya di Guangzhou─buku-buku mengenai onkologi.

"Ada sesuatu yang menarik?" Joonmyun tiba-tiba muncul di belakang Kris, membuat laki-laki itu sedikit terkejut.

"Kurasa kita punya banyak kesamaan." Gumam Kris.

"Oh, benarkah?" Tanya Joonmyun dengan kedua mata melebar.

Kris mengangguk. "Aku suka mengoleksi seri-seri manhwa seperti yang kau miliki, aku juga punya beberapa buku tentang astronomi, terutama galaksi, sepertimu, dan yang terakhir… Aku sering melihat buku-buku medis seperti itu di rak buku ayahku. Aku pernah mencoba membacanya sekilas dan tidak mengerti apapun yang tertulis di dalamnya." Kris terkekeh. "Apa kau mau menjadi seorang dokter?"

"…Tidak juga. Aku hanya tertarik dengan hal-hal bersifat medis, tapi aku tidak merasa bahwa aku ingin menjadi dokter."

"Lalu, apa yang ingin kau lakukan di masa depan?"

"Aku punya banyak hal yang ingin kulakukan." Joonmyun bangkit dari posisinya, kemudian menghampiri meja belajarnya dan mengambil selembar kertas yang ada di atasnya. Lalu mengambil duduk di seberang Kris kemudian menunjukkan kertas tersebut kepada laki-laki itu. "Aku membuat daftar things I wanna do before I die dua tahun yang lalu."

"Menikah di gereja yang sama seperti kedua orangtuaku, bungee-jumping, pergi ke Menara Namsan, berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan? Wow, menarik." Komentar Kris selagi membaca deretan daftar tersebut. "Menyaksikan keajaiban… Mendapatkan ciuman pertama..? Uhm… Jadi waktu itu adalah ciuman pertamamu..?"

Joonmyun mengangguk dengan kedua pipi yang memerah.

"Ma-maaf." Kris menggaruk kepalanya dengan kikuk.

Joonmyun tersenyum malu. "Tidak perlu meminta maaf."

"Ciuman pertamamu harusnya menjadi ciuman yang spesial, bukan yang dipaksakan seperti apa yang kulakukan padamu." Keluh Kris.

"Itu ciuman yang spesial karena aku melakukannya denganmu." Ucap Joonmyun pelan dengan wajah yang semakin memerah.

"Tidak, tidak…" Kris menggeser posisinya mendekati Joonmyun, kemudian menyisipkan rambut Joonmyun ke telinganya, lalu mengecup lembut pipi meronanya. "Kau harus mendapatkan yang jauh lebih baik."

Kris meraih dagu Joonmyun, menegakkan wajah gadis itu. Saat Joonmyun mulai memejamkan kedua matanya, Kris pun mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir merah Joonmyun dengan lembut dan penuh perasaan. Hatinya terasa begitu hangat. Bagaimanapun, ciuman kali ini terasa beribu kali lebih baik daripada ciuman pertama mereka di auditorium waktu itu.

"Jauh lebih baik?" Bisik Kris setelah laki-laki itu menyudahi ciumannya.

"…Kris…" Joonmyun bergumam lirih dengan nafas terengah.

"Yifan."

"Ng..?"

"Wu Yifan. Itu nama asliku." Kris tersenyum sambil mengusap sebelah pipi Joonmyun dengan mesra. "Sedangkan Kris Wu hanyalah nickname yang kubuat saat aku pindah ke sini."

"Kenapa kamu memberitahukannya kepadaku?"

"Entahlah." Jawab Kris setelah ia terdiam sejenak. "Mungkin… Karena kau adalah kekasihku dan aku tidak ingin kau memanggilku dengan nama yang sama seperti apa yang orang lain lakukan."

"Baiklah…" Joonmyun tertawa renyah. "…Yifan."

"Aku suka mendengar kau yang menyebutnya." Kris─atau Yifan─tersenyum cerah. "Joonmyun-a, ayo kita pergi ke Menara Namsan bersama-sama."

"Benarkah?"

"Ya. Jam berapa kau selesai membersihkan rumah di akhir pekan?"

"Sekitar jam 10 pagi, kurasa. Kenapa?"

"Aku jemput kau di rumahmu sekitar pukul setengah 11 di hari Sabtu lalu kita akan pergi ke Menara Namsan bersama-sama. Bagaimana?" Yifan tersenyum semakin lebar saat ia melihat ekspresi antusias Joonmyun yang tergambar di wajah cantiknya.

"Kedengarannya menarik! Aku tidak sabar menunggu hari Sabtu tiba!"


Hari Sabtu yang dinantikan Joonmyun─dan Yifan─pun tiba.

Yifan tiba di rumah Joonmyun lima menit lebih awal. Gugup, jelas itulah yang dirasakannya. Membawa Joonmyun pergi kencan seperti memiliki syarat sebelum dilakukan─karena Yifan akan bertemu dengan orangtua Joonmyun terlebih dahulu.

"Masuklah!" Suara seorang perempuan dewasa terdengar begitu Yifan menekan bel yang ada di sisi pintu kokoh rumah Keluarga Kim. Pintu itu terbuka dan seorang perempuan dewasa yang nyaris terlihat seperti campuran antara Joonmyun, Junghae dan Jongin muncul di balik pintu tersebut. "…Ya?"

"…Um… Aku datang untuk menjemput Joonmyun."

Senyum perempuan dewasa itu merekah mendengar ucapan Yifan. "Oh, kau pasti laki-laki tampan yang selalu diceritakannya. Masuklah! Sepertinya Joonmyun masih bersiap-siap di dalam kamarnya."

Yifan tersenyum malu mendengar ucapan ibu Joonmyun. "Ah, tidak apa, Bibi. Aku bisa menunggu di sini."

"Tidak, tidak. Kalau sedang bersiap-siap, Joonmyun bisa menghabiskan waktu cukup lama untuk membuatmu menunggu sendirian di luar. Masuklah!" Dan akhirnya Yifan pun tak dapat berbuat apa-apa selain menuruti ibu Joonmyun. Yifan mengikuti ibu Joonmyun masuk ke ruang tamu kemudian mengambil duduk setelah dipersilahkan. "Jadi… Kemana kau akan mengajak Joonmyun pergi hari ini?"

"Um… Kudengar Joonmyun ingin sekali pergi ke Menara Namsan, jadi kupikir ide yang bagus untuk mengajaknya ke sana."

"Wah…" Komentar ibu Joonmyun sembari tersenyum. "Terima kasih banyak, anak muda."

"Oh, maaf, aku belum memperkenalkan diriku kepada Bibi. Namaku Kris Wu."

"Kris Wu… Kau jelas bukan orang Korea, kan..?"

"Tidak, Bu, dia campuran China dan Kanada, dan bisakah kau berhenti menginterogasinya?" Tiba-tiba Joonmyun muncul di samping ibunya dan sekali lagi Yifan menyetujui bahwa pasangan ibu dan anak itu begitu serupa.

"Oh, ayolah Sayang, bukankah ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menjemputmu untuk berkencan? Tentu saja aku punya sejuta pertanyaan untuknya!" Ibu Joonmyun bangkit dari duduknya kemudian memeluk Joonmyun dengan sayang. "Kau baik-baik saja?"

"Tentu saja, kenapa tidak?"

"Kalau kau tidak merasa sehat, jangan sungkan-sungkan untuk memberitahunya, oke?" Ibu Joonmyun mengusak puncak kepala Joonmyun dengan lembut. "Ibu tidak ingin kau terlalu memaksakan diri."

"Ya, Bu, aku mengerti. Aku sudah bukan anak kecil lagi." Joonmyun sedikit berjinjit untuk mengecup kedua pipi ibunya. "Ayo, Yifan."

Yifan bangkit dari duduknya kemudian membungkuk hormat memberi salam kepada ibu Joonmyun kemudian mengikuti Joonmyun pergi keluar. Yifan berlari-lari kecil menuju mobilnya lalu membukakan pintu mobil untuk Joonmyun. Joonmyun tersenyum kepada Yifan lalu masuk ke dalam, sementara Yifan kembali berlari-lari kecil menuju kursi pengemudi lalu masuk ke dalam.

"Kau sedang tidak sehat?" Tanya Yifan selagi menyalakan mesin mobilnya. "Kalau kau tidak merasa sehat, kita bisa pergi ke dokter untuk memeriksa kondisimu."

Joonmyun menggeleng. "Aku baik-baik saja. Aku sudah berjanji kepada ibuku untuk memberitahumu kalau aku tidak merasa sehat, kan?"

"Berjanjilah padaku." Yifan menyodorkan kelingking tangan kanannya kepada Joonmyun.

Joonmyun tersenyum lalu mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Yifan. "Aku berjanji. Sekarang, ayo kita pergi ke Menara Namsan!" Seru Joonmyun dengan wajah merona karena gembira.

Sesampainya di Menara Namsan, suasananya tidak seramai yang Yifan kira. Mereka pun segera menaiki kereta gantung dan sepanjang perjalanan menuju puncak Yifan tak dapat berhenti tersenyum saat ia melihat Joonmyun memandangi pemandangan di luar kereta gantung dengan penuh antusiasme.

Setelah turun dari kereta gantung, Yifan dan Joonmyun pun melanjutkan perjalanan mereka menuju ke menara. Di dalam lift, Yifan, Joonmyun dan sejumlah pengunjung yang lain dimanjakan dengan tayangan video untuk mengusir kebosanan selagi lift yang membawa mereka menuju ke bagian atas menara membumbung tinggi.

Sesampainya di atas, dengan gembira Joonmyun mulai mencoba melihat pemandangan Seoul dari Menara Namsan melalui teleskop. "Sungai Han!" Seru Joonmyun sembari menunjuk ke sebuah titik tanpa melepaskan pandangannya melalui teleskop.

"Sungai Han juga tempat yang menarik untuk berkencan." Komentar Yifan sambil menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Ada banyak restoran bermacam-macam di sekitarnya. Kapan-kapan aku akan ajak kau ke sana."

Joonmyun mengalihkan pandangannya dari teleskop, kemudian tersenyum kepada Yifan. "Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba."

Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke tempat di mana mereka bisa membeli gembok untuk dipasang di pagar-pagar Menara Namsan.

"Aku suka yang ini." Joonmyun menunjuk sebuah gembok berwarna ungu-putih lengkap dengan kuncinya.

"Ungu. Jelas saja." Yifan menyeringai geli sementara Joonmyun menatapnya dengan pandangan merajuk. "Oh, ayolah. Aku tidak berkata bahwa kita tidak bisa membelinya."

Pandangan merajuk Joonmyun berubah menjadi eye-smile menggemaskan. Dengan senang hati ia meraih gembok tersebut lalu membawanya ke kasir. Sebelum Joonmyun membuka tasnya untuk mengambil dompet, Yifan membuka dompetnya terlebih dahulu.

"Biar aku yang bayar."

Joonmyun hendak menolak, tetapi kemudian kata-kata Yifan pun menghentikannya. "Kau bisa membayar apapun untuk kencan-kencan kita yang selanjutnya."

"Baiklah." Joonmyun tersenyum luluh.

"Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba." Gumam Yifan, meniru ucapan Joonmyun beberapa saat yang lalu. Joonmyun memukuli lengan laki-laki itu dengan gemas lalu keduanya tertawa bersama.

Yifan meminjam dua buah pulpen dari kasir lalu mengajak Joonmyun untuk menulis di gembok tersebut. Joonmyun menulis terlebih dahulu, sementara Yifan masih termenung karena tidak tahu apa yang akan ditulisnya di gembok miliknya. Beberapa saat kemudian akhirnya Yifan pun mulai menulis.

亦凡 love 김준면

Seusai menulis, Yifan melirik ke arah Joonmyun yang masih menulis di gemboknya.

凡 love

till death do us part

"Sudah?" Tanya Yifan. Joonmyun mengangguk. Yifan bangkit dari duduknya kemudian menggandeng Joonmyun pergi keluar untuk memasang gemboknya di pagar lalu mengambil foto. Satu foto bersama, satu foto Joonmyun, dan satu foto Yifan.

"Senyum Yifan, senyum!" Tawa Joonmyun meledak saat ia hendak mengambil foto Yifan dengan ponselnya karena Yifan hanya memasang wajah datarnya sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.

Seusai mengambil foto, keduanya pun memutuskan untuk mengakhiri perjalanan mereka di Menara Namsan dan kembali ke bawah dengan kereta gantung.

Dan semuanya pun terjadi di kereta gantung tersebut.

Sesaat setelah kereta gantung yang dinaiki Yifan dan Joonmyun menempuh setengah perjalanan, tiba-tiba Joonmyun memegangi kepalanya, mengerang pelan, kemudian seakan kehilangan kontrol akan tubuhnya sendiri, gadis itu ambruk. Beruntung Yifan berhasil menangkap tubuh Joonmyun sebelum gadis itu pingsan di lantai.

"Joonmyun-a?! Joonmyun-a?! Kau kenapa?!" Seru Yifan panik. Pemberhentian kereta gantung masih cukup jauh di bawah sana, dan semakin lama wajah Joonmyun semakin memucat. Yifan benar-benar ingin menghajar dirinya sendiri yang tidak memperhatikan kondisi kesehatan Joonmyun sedari tadi. Selagi lengan kanannya menumpu tubuh Joonmyun yang tumbang, Yifan menggunakan tangan kirinya untuk meraba saku celananya lalu mengeluarkan ponselnya. Mencari-cari nomor ponsel Jongin dengan sedikit kesulitan karena ia harus menggunakan tangan kirinya. Lalu segera menelpon adik Joonmyun tersebut begitu menemukan nomornya.

"Ayolah… Angkat… Angkat…" Yifan bergumam pada dirinya sendiri dengan gelisah.

"Ya?"

"Jongin!" Seru Yifan dengan perasaan bercampur-aduk, antara sedikit lega dan masih cukup panik. "Joonmyun… Joonmyun pingsan…"

"APA?!"

"A-aku…" Yifan berkali-kali mensugesti dirinya sendiri untuk tidak bertindak gegabah ataupun merasa panik, tapi ia gagal. "Aku akan segera membawanya ke rumah sakit terdekat di sekitar Namsan!"

"Bawa dia ke Seoul Memorial Hospital, hyung." Sela Jongin.

"Baiklah!" Tanggap Yifan, cepat. "Akan kutelpon kembali setelah aku sampai di sana." Klik. Yifan memutuskan panggilan, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, mengeluarkan kunci mobilnya, memposisikan Joonmyun dalam gendongannya, kemudian keluar secepatnya sesaat setelah pintu kereta gantung terbuka. Yifan memencet remote kunci mobilnya kemudian segera memposisikan Joonmyun berbaring di kursi penumpang lalu ia berlari secepatnya menuju kursi pengemudi.

Yifan, yang biasanya selalu berhati-hati dan bersikap tenang dalam urusan mengemudikan mobil, seakan tidak dapat mengingat hal itu saat ini. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah bagaimana caranya agar ia bisa membawa Joonmyun ke Seoul Memorial Hospital secepatnya agar keadaan Joonmyun bisa ditangani secepatnya.

Sesampainya di Seoul Memorial Hospital, Yifan menghentikan mobilnya tepat di depan pintu ruang UGD, keluar dari mobilnya, kemudian mencoba mencari pertolongan.

"Permisi!" Seru Yifan sambil menahan lengan seorang laki-laki dewasa berjas putih─yang terlihat seperti seorang dokter. "Joonmyun… Joonmyun-ku… Dia pingsan tiba-tiba, tubuhnya melemah dan wajahnya begitu pucat! Kumohon, tolong dia secepatnya!"

Laki-laki dewasa itu menyanggupi permintaan Yifan kemudian bersama dengan Yifan mereka berlari-lari menuju mobil Yifan. Yifan membuka pintu mobilnya kemudian menggendong Joonmyun keluar. Sejumlah perawat membawakan sebuah ranjang dorong kemudian Yifan membaringkan Joonmyun di ranjang tersebut lalu dokter dan sejumlah perawat tersebut segera membawa Joonmyun ke ruang UGD. Meninggalkan Yifan yang terlihat begitu kacau itu sendirian di depan pintu ruang UGD.

"Kris hyung!"

Yifan menoleh, kemudian mendapati kedatangan Keluarga Kim─Junghae, ibu Joonmyun, ayah Joonmyun dan Jongin yang baru saja memanggilnya.

"Apa yang terjadi, Kris?" Tanya Junghae dengan wajah cemas.

"Joonmyun… Dia…" Nada suara Kris bergetar, menandakan laki-laki itu begitu kalut dalam pikirannya atas apa yang baru saja terjadi. "…Dia tidak berkata apa-apa… Dia tidak mengeluh sakit atau apa, tapi… Saat kami hendak turun melalui kereta gantung… Joonmyun tiba-tiba saja kehilangan kesadarannya…"

Jongin menghela nafas, lalu bergumam lirih. "Aku sudah tahu kalau Joonmyun noona tidak sedang dalam kondisi yang baik."

"A-apa… Apa yang sebenarnya terjadi padanya..?" Yifan tidak tahu ia bertanya kepada siapa. Ia menatap Junghae, Jongin, ibu Joonmyun dan ayah Joonmyun bergantian, mengharapkan setidaknya satu jawaban yang bisa memenuhi rasa penasarannya. "…A-aku tahu aku bukan siapa-siapa dalam urusan keluarga kalian, tapi… Aku begitu mencintai Joonmyun, dan aku… Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya…"

"Kris… Bibi mohon jangan pernah berprasangka buruk kepada kami." ibu Joonmyun angkat suara beberapa saat kemudian. "Joonmyun sudah mengatakan kepada kami agar kami tidak mengatakan apa-apa kepadamu karena ia ingin mengatakannya secara langsung kepadamu. Dan dia akan segera mengatakannya padamu saat dia siap."

"…"

"…"

"…"

"…Kenapa harus Seoul Memorial Hospital..?" Tanya Yifan lirih.

"Semua dokumen kesehatan Joonmyun ada di sini. Akan lebih mudah memantau keadaannya apabila Joonmyun dilarikan ke sini." Jelas ayah Joonmyun.

"Jadi ini bukan yang pertama kalinya Joonmyun mengalami keadaan seperti ini..?" Ucap Yifan dengan nada suara bergetar.

Tiba-tiba pintu ruang UGD terbuka kemudian muncullah seorang dokter dari dalam.

"Kondisi Pasien Kim Joonmyun baik-baik saja. Sepertinya ia hanya terserang sakit kepala efek dari obat-obatan sementara yang dikonsumsinya." Jelas dokter itu membuat semua orang menghela nafas lega. "Ia sudah sadar dan menanyakan tentang kekasihnya."

Yifan menatap kedua orangtua Joonmyun, kemudian mereka mengangguk mempersilahkan Yifan. Yifan membungkuk hormat kepada kedua orangtua Joonmyun kemudian mengikuti dokter itu masuk ke dalam.

Rasanya seperti déjà vu melihat Joonmyun terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit─ya, atmosfernya terasa seperti babak terakhir dalam drama Sleeping Beauty yang mereka mainkan beberapa bulan yang lalu. Yifan berjalan pelan menghampiri ranjang Joonmyun, kemudian duduk bersimpuh di samping ranjang Joonmyun─persis seperti akting yang ia lakukan di drama Sleeping Beauty.

Joonmyun menyadari kehadiran Yifan. Gadis itu menoleh kemudian tersenyum lemah menatap laki-laki itu.

"Hei."

"Hei." Balas Yifan sambil mengusak puncak kepala Joonmyun dengan hati-hati.

"Maaf sudah membuatmu khawatir..." Joonmyun tertawa lemah melihat kondisi Yifan yang berantakan itu─rambut acak-acakan, kemeja kusut, dengan nafas tidak teratur. "Kukira aku masih bisa menahannya hingga kita pulang, tapi ternyata rasa sakitnya menguasaiku lebih dalam…"

"Tidak apa." Tangan Yifan merambat untuk meraih tangan Joonmyun lalu menggenggamnya.

Yifan ingin menanyakannya, tapi ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

"Kau ingin tahu kenapa aku jadi seperti ini, kan..?" Sahut Joonmyun, sekali lagi, seakan ia bisa membaca pikiran Yifan. "…Alasan yang sama kenapa aku tidak ingin kau─atau siapapun─jatuh cinta kepadaku."

Yifan menatap kedua mata Joonmyun dalam-dalam. Lalu mempererat genggamannya. "Kau tidak harus memberitahuku sekarang kalau kau belum siap."

"Aku tidak yakin apa aku bisa siap selamanya, jadi… Aku akan beritahu kau sekarang saja." Joonmyun kembali tersenyum dengan lirih. "Yifan, aku… Aku mengidap leukemia dan tubuhku berhenti merespon terhadap pengobatan yang diberikan tim dokter kepadaku."

Saat Joonmyun berkata seperti itu rasanya seakan ada petir besar yang menyambar tubuh Yifan.

Dalam hati kecilnya Yifan benar-benar berharap bahwa apa yang dikatakan Joonmyun tidaklah benar. Gadis yang terlihat begitu berbahaya saat pertama kali mereka bertemu ini mengidap kanker?

"Tim dokter sudah terlalu terlambat menemukan kanker ini di dalam tubuhku─mungkin juga karena aku terlalu keras kepala, tidak pernah mau memeriksakan kondisiku di rumah sakit. Saat mereka menemukan penyakit ini di dalam tubuhku dua tahun yang lalu, ternyata aku sudah mengidap stadium tiga. Aku tidak ingin siapapun mengetahui kondisiku ini, jadi aku meminta saudara-saudaraku dan kedua orangtuaku untuk memperlakukanku seperti biasanya, seakan-akan aku bukanlah penyakitan yang membutuhkan belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya. Dan sekarang… Aku ingin meminta hal yang sama kepadamu, Yifan." Joonmyun meremas tangan Yifan dengan lemah. "Yifan, aku mohon, jangan memperlakukanku seakan-akan aku ini penyakitan yang tidak bisa melakukan apa-apa. Selama ini aku selalu menjaga jarak dari siapapun dengan berpenampilan seperti kutu-buku agar tidak ada seorangpun yang mendekatiku, berkencan denganku, lalu menjauhiku apabila mereka mengetahui bahwa aku menderita kanker…"

"…Lalu kau ingin aku melakukan apa untukmu..?"

"Perlakukan aku seperti biasanya kau memperlakukanku karena aku baik-baik saja selama aku berada di sisimu." Pinta Joonmyun.

Yifan menatap Joonmyun dengan ragu. Bagaimana bisa ia memperlakukan Joonmyun seperti biasanya setelah mengetahui bahwa Joonmyun mengidap sebuah penyakit mematikan yang bisa membuatnya meninggal sewaktu-waktu?

Tetapi, begitu Yifan menatap kedua mata Joonmyun yang memandanginya dengan penuh harap, Yifan tak dapat berkata apa-apa lagi selain mengangguk menyanggupi permintaan kekasihnya itu.

Dikecupnya punggung tangan Joonmyun dengan lembut.

"Baiklah."


Yifan menutup pintu ruang rawat putih itu dengan hati-hati, kemudian memasang wajah datarnya mendapati Joonmyun yang sedang berasandar di dinding, melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian tersenyum penuh arti mendapatinya.

"Aku sudah minta maaf ke anak cengeng itu." Gumam Yifan malas-malasan. Ya, Yifan baru saja memenuhi permintaan Joonmyun: meminta maaf kepada Byun Baekhyun atas tragedi yang menimpa anak malang itu beberapa bulan yang lalu. "Sekarang kau yang harus menuruti permintaanku."

Joonmyun menutup mulutnya, menahan tawa. Kemudian memasang sikap hormat sambil berseru riang, "Siap, Kapten!"

"Kemana kita akan pergi?" Tanya Joonmyun sambil memasang sabuk pengamannya setelah mereka berdua telah duduk manis di dalam mobil Yifan.

"Kau lupa apa yang kukatakan sebelum aku masuk ke ruang rawat Byun?"

"'Rahasia'."

"Nah, rahasia." Balas Yifan diikuti dengan senyum jahilnya, membuat Joonmyun mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Sepanjang perjalanan, Joonmyun terus-menerus bertanya kemana Yifan akan membawanya sementara Yifan terus-menerus membalasnya dengan kata yang paling tidak disukai Joonmyun: rahasia.

Setelah sekitar 1 jam perjalanan, Yifan menghentikan mobilnya di bahu jalan.

"Kita ada di mana?" Tanya Joonmyun sambil berjalan keluar dari mobil.

"Kau akan tahu. Kemarilah." Yifan menggandeng tangan Joonmyun lalu membawa gadis itu menuju ke depan batu besar yang tidak jauh dari tempat mobil Yifan berhenti.

Wajah Joonmyun terlihat begitu bertanya-tanya apa yang sedang Yifan lakukan sementara Yifan tersenyum dan berkata, "Kita sedang berada di perbatasan antara Seoul dan Gyeonggi-do. Separuh dari tubuhmu berada di Seoul, dan separuhnya lagi berada di Gwacheon."

Kedua mata Joonmyun melebar, lalu tawa gadis itu meledak. "Ya ampun… Jadi… Jadi sejak tadi kau memikirkan hal ini?!"

Yifan merogoh selembar kertas dan pulpen dari saku celananya, lalu mencoret salah satu baris yang berbunyi: berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan dari daftar things I wanna do before I die milik Joonmyun.

"Kita akan habiskan hari ini untuk memenuhi semua daftar things you wanna do before you die ini." Yifan tersenyum sambil menatap kedua mata Joonmyun dengan hangat. "Aku tahu, kelihatannya aku memperlakukanmu seakan-akan kau tidak lagi memiliki hari esok, tapi meskipun aku tidak pernah mengetahui tentang penyakitmu, aku akan tetap melakukan ini untukmu. Aku akan mengerahkan semua tenagaku untuk memenuhi daftar hal-hal yang begitu ingin kau lakukan, Kim Joonmyun."

Dan kemudian perjalanan mereka pun berlanjut dengan satu tujuan: memenuhi baris demi baris dari daftar hal-hal yang ingin Joonmyun lakukan. Mereka pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, mencoret baris demi baris yang telah mereka penuhi, hingga akhirnya hanya tersisa dua baris di daftar tersebut: menikah di gereja yang sama seperti kedua orangtuaku dan menyaksikan keajaiban.

Yifan yakin bahwa dua permintaan terakhir Joonmyun itu akan segera ia penuhi.


Dan setelah sekian lama, akhirnya Yifan kembali ke tempat ini.

Kediaman ayahnya di Guangzhou.

Setelah mengesampingkan semua rasa bersalahnya, harga dirinya, semua kegengsiannya, Yifan memberanikan diri untuk bertemu dengan ayahnya.

"Yifan?"

"Dad…" Dengan kedua mata yang memerah, Yifan bersimpuh di hadapan ayahnya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping saat ia kembali memikirkan Joonmyun yang kembali kehilangan kesadarannya di sekolah tempo hari kemudian dilarikan ke Seoul Memorial Hospital─sampai hari ini.

"Sedang apa kau di sini?"

Yifan sudah tidak peduli lagi dengan air matanya yang mulai berderai. Masih dengan posisi bersimpuh, Yifan berkata dengan terbata-bata. "Dad… Kumohon. Aku tahu selama ini aku bukanlah anak laki-laki yang pantas untuk kau banggakan, aku juga bukanlah kakak yang baik untuk Sehun, tapi… Kumohon… Tolong… Tolong selamatkan Joonmyun…"

Ayah Yifan terdiam sejenak, kemudian, "Angkat wajahmu, Fan."

Yifan mengangkat wajahnya, menatap ayahnya tanpa bangkit dari posisi bersimpuhnya.

"Shixun sudah mengatakan semuanya kepadaku." Ucap ayah Yifan. "Tentangmu dan kekasihmu, juga penyakit gadis itu… Bahkan sampai hari ini, aku benar-benar tidak bisa mempercayai bahwa lambat-laun pribadimu berubah karena gadis itu. Lalu… Melihatmu berada di sini, memohon kepadaku untuk menyelamatkan gadis itu… Apa gadis itu benar-benar berarti untukmu?"

Yifan mengangguk lemah sambil mengusap air matanya dengan kasar. "…Lebih dari apapun."

"…Dan kau bahkan mengesampingkan harga dirimu dan bersimpuh di hadapan seorang ayah yang pernah kau umpati habis-habisan seperti ini demi gadis itu. Aku harus berterimakasih padanya suatu hari nanti."

Mereka saling terdiam untuk beberapa saat.

"Yifan, aku sudah menghubungi kolegaku di Seoul Memorial Hospital kemarin. Memintanya untuk memindahkan perawatan Kim Joonmyun ke perawatan VVIP dan menanggung semua biayanya."

Yifan mengangkat wajahnya terkejut, kemudian menatap ayahnya dengan tidak percaya. "Be-benarkah..?"

Ayah Yifan mengangguk.

Yifan bangkit, kemudian lelaki itu ambruk untuk memeluk sosok ayahnya itu. Dengan wajah yang terbenam di bahu ayahnya yang mulai ringkih itu, Yifan terisak. Terisak bahagia. Ia tak dapat mengingat kapan terakhir kali ia memeluk ayahnya ataupun merasakan kehangatan pelukan ayahnya.

"Aku akan membalas semua kebaikanmu suatu hari, Dad." Gumam Yifan sambil melepaskan pelukannya.

Ayah Yifan tersenyum.

"Untuk memastikanmu bahagia dengan gadis itu, Fan. Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu."


Hari itu, pertengahan musim gugur yang indah dan hangat.

Wu Yifan benar-benar gugup; lebih gugup daripada kegugupannya sesaat sebelum ujian dimulai atau sesaat sebelum turnamen basket dibuka. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling gereja tempatnya berada lalu tersenyum.

Calon istrinya telah membuat sebuah keputusan yang tepat untuk memilih gereja tempat kedua orangtuanya menikah dulu─tempat ini benar-benar menakjubkan.

Darah lelaki itu berdesir dalam tubuhnya saat ia melihat Kim Joonmyun di atas kursi rodanya─dibantu oleh ayahnya dari sebuah pintu kayu besar di seberang altar─menghampirinya.

Kedua mata Yifan hanya tertuju kepada gadis itu, gadis dengan wajah pucat yang tersembunyi di balik wedding veil putih yang dikenakannya; saat gadis itu mencoba berdiri dari kursi rodanya untuk bisa mencapai dan bergabung dengan Yifan di altar; juga sebuket lavender di tangan gadis itu─semerbak wangi bunga kesukaan Joonmyun itu menyebar tatkala gadis itu berada di sisi Yifan─berada di depan pendeta yang siap menikahkan kedua insan tersebut.

"Kau cantik." Yifan sedikit merunduk kemudian berbisik mesra di telinga Joonmyun.

Joonmyun bersemu saat kedua mata mereka bertemu.

Seorang pendeta yang ada di depan mereka pun segera memulai upacara pernikahan. Yifan bahkan tak dapat berkonsentrasi penuh selagi mendengarkan ucapan demi ucapan dari pendeta tersebut. Sesekali Yifan meraih tangan Joonmyun untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

"…Sekarang, aku perkenankan kalian sebagai suami-istri. Kau bisa mencium pengantin perempuan sekarang."

Dengan hati-hati Yifan mengangkat wedding veil putih yang menutupi wajah Joonmyun, kemudian mendapati sepasang mata indah Joonmyun yang menatapnya dengan intens. Yifan mengusap pipi Joonmyun dengan lembut sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya dengan wajah Joonmyun lalu mencium lembut bibir merah istrinya itu, diikuti dengan tepuk tangan meriah dari para pengunjung. Yifan menyudahi ciumannya, kemudian sebelum Joonmyun sempat berkata apa-apa, Yifan segera mengangkat tubuh istrinya itu dengan mudah lalu menggendong Joonmyun menuju keluar gereja diikuti dengan para pengiring pengantin.

Yifan dan Joonmyun berdiri membelakangi kerumunan pengiring pengantin di luar gereja, kemudian seraya menghitung bersama-sama, Joonmyun melemparkan buket lavendernya ke arah pengiring pengantin. Semuanya tertawa saat ternyata Meitao lah yang menangkap buket tersebut sementara Sehun menganga tidak percaya saat Meitao berhasil menangkap bunga tersebut.

Rasanya benar-benar seperti mimpi. Joonmyun sendiri masih tidak percaya bahwa ia masih bertahan hidup hingga usia 20 dengan penyakitnya itu. Tepat di ulangtahunnya yang ke-20, Yifan melamarnya dan tanpa berpikir dua kali Joonmyun pun menerimanya.

"Apa yang akan kita lakukan di sini?" Joonmyun memandang Yifan dengan penuh tanya saat mobil pengantin mereka berhenti di SMA mereka.

"Hanya ingin bernostalgia untuk beberapa saat." Yifan menarik Joonmyun keluar dari mobil kemudian mengajak gadis itu memasukki auditorium sekolah. Yifan mendudukkan Joonmyun di kursi penonton terdepan, sementara lelaki itu sedikit meloncat untuk duduk di sisi panggung. "Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu?"

Joonmyun tertawa kecil. "Mana bisa aku melupakan wajah sombongmu saat pertama kali kita bertemu?"

Yifan menyeringai. "Wa-wajah sombong? Baiklah."

Joonmyun tertawa renyah melihat reaksi Yifan. Tapi beberapa saat kemudian gadis itu menunduk lalu terdiam sejenak.

"Hei, Joonmyun?" Yifan melompat turun dari panggung kemudian menghampiri istrinya itu. "Kenapa?"

Joonmyun mengangkat wajahnya, kemudian menatap Yifan dengan senyum lemahnya. "Kau mau berjanji kepadaku, Yifan..?"

"Tentu saja. Apa?"

"Aku tahu kalau setelah ini mungkin waktuku tidak akan lama lagi dan hal itu tentu saja akan menyakitimu… Apa kau berjanji kalau kau akan memaafkanku..?"

Tanpa sadar kedua mata Yifan memanas mendengar ucapan gadis itu. Yifan menarik tubuh Joonmyun ke pelukannya, kemudian sembari menangis tanpa suara berkali-kali Yifan mengecup puncak kepala Joonmyun dengan lembut. Yifan mendekatkan wajahnya dengan wajah Joonmyun yang juga berlinang air mata, kemudian mempertemukan keningnya dengan kening Joonmyun.

"Kau tidak perlu meminta maaf untuk apapun, babe. Justru aku begitu ingin berterimakasih kepadamu yang telah menjadi sumber kebahagiaanku selama ini."


4 tahun berlalu, saat ini Yifan bekerja sebagai dokter muda di Seoul Memorial Hospital.

Dua minggu setelah pernikahan mereka, Joonmyun berhenti melawan penyakitnya dalam tidurnya, di dalam pelukan Yifan. Yifan merelakan gadis bak malaikat itu pergi ke surga dengan sebuah senyuman damai. Tanpa penyesalan.

Karena Yifan tahu, Joonmyun tidak akan merasa kesakitan lagi.

Sebelum Joonmyun memasukki kehidupannya, Yifan tidak pernah tahu apa arti kehidupan sebenarnya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dan dia tak tahu apa tujuannya dihidupkan. Yifan bukan murid pintar yang selalu mendapat nilai A berturut-turut dalam pelajaran IPA. Tapi semenjak kondisi Joonmyun semakin melemah, Yifan mulai tertarik dan menanyakan hal-hal mengenai onkologi kepada ayahnya. Meskipun pada akhirnya ia tidak dapat menyelamatkan belahan jiwanya, setidaknya mungkin suatu hari nanti ia bisa menyelamatkan hidup orang lain penderita penyakit yang sama dengan Joonmyun.

"Aku menemukan ini di kamar Joonmyun… Beberapa hari yang lalu." Ayah Joonmyun─yang datang menemui Yifan di ruang kerjanya seusai jam makan siang─mengeluarkan sebuah kertas yang terlihat familiar di mata Yifan. "Saat kuperhatikan… Ada satu baris yang belum dicoretnya di kertas ini."

Yifan menunduk sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. "Ya… Bahkan sampai hari ini pun aku belum menepati janjiku kepada Joonmyun bahwa aku akan memastikan semua daftar dalam kertas itu tercoret dengan sempurna."

"…Apa kau punya pulpen?"

Yifan mengangkat wajahnya, menatap ayah Joonmyun dengan tanya selagi menyodorkan sebuah pulpen dari sakunya.

Dan Yifan semakin tidak mengerti saat dilihatnya ayah Joonmyun menggunakan pulpen itu untuk mencoret baris menyaksikan keajaiban dari kertas things I wanna do before I die milik Joonmyun itu.

"Kurasa… Joonmyun sudah menyaksikan sebuah keajaiban, hanya saja tidak ada yang menyadarinya di antara kalian."

"Ma-maksud Anda..?"

"Kau, Yifan." Ayah Joonmyun tersenyum menatap Yifan. "Aku dengar semua tentangmu dari kepala sekolahmu, mengingat bahwa kepala sekolahmu adalah teman baikku semasa SMA. Kau, Wu Yifan, seorang laki-laki yang ada di depanku ini, bukanlah seorang berandalan sekolah yang sudah membuat salah seorang temannya masuk rumah sakit karena jebakan kecil-kecilan yang memalukan. Tapi bagiku, kau adalah seorang laki-laki tegar yang sudah berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik setelah bertemu dengan Joonmyun, putriku. Aku akan menyebut itu sebagai keajaiban, bolehkah?"

Air mata Yifan meleleh mendengar ucapan demi ucapan yang mengalir dari bibir ayah mertuanya itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Yifan bangkit dari kursinya, menghampiri ayah mertuanya, lalu berlutut dan memeluk ayah mertuanya itu erat-erat.

"Akan kupastikan bahwa Anda tidak pernah menyesal memilihku sebagai istri dari putrimu…"

"…Ayah."


Setelah bertemu dengan ayah Joonmyun, Yifan memutuskan untuk pergi ke suatu tempat sebelum pulang ke rumah.

Dengan kertas things I wanna do before I die milik Joonmyun di tangann kanannya, sebuket lavender di tangan kirinya, Yifan berjalan santai seraya memejamkan matanya menikmati angin senja yang berhembus dengan sejuk. Setelah menemukan sebuah nisan dengan beberapa tangkai lavender di atasnya, Yifan tersenyum lalu mempercepat langkah kakinya menghampiri nisan tersebut.

"Sepertinya sudah cukup lama aku tidak mengunjungimu, ya? Maaf…" Yifan berlutut, kemudian mengganti beberapa tangkai lavender yang ada di atas nisan itu dengan sebuket lavender baru yang masih segar. Lalu meletakkan kertas things I wanna do before I die milik Joonmyun di atas nisannya. "Kita sudah menyelesaikan semua hal yang ingin kau lakukan, Joonmyun. Selama ini, kita sudah menyelesaikan semuanya. Kuharap kamu sudah tahu bahwa kita telah menyelesaikannya, tapi kurasa kamu sudah tahu, bukan?"

Yifan mendongakkan wajahnya, menatap langit senja yang berwarna oranye kemerahan dengan hati yang damai.

"…Aku mencintaimu, Kim Joonmyun."


the end.