Hari ini, Yaya begitu kesepian. Ia melirik bangku kosong di sampingnya lalu menghela napas lesu. Air tidak masuk sekolah. Mungkin karena alergi cumi-cuminya kambuh, membuatnya merasa sangat bersalah. Andai saja ia tidak menukar makanannya dengan makanan milik Air, pasti Air akan baik-baik saja sekarang. Ia akui kalau ia bodoh, pakai acara mencoba nasi goreng seafood segala. Kecerobohannya selalu membuat Air sial.

Khusus untuk hari ini, Yaya merasa kalau waktu berjalan dengan sangat lambat. Sekarang saja masih istirahat pertama. Bel baru saja berbunyi. Gadis itu memasukkan bukunya dengan asal ke dalam tas.

"Yaya, ayo ke kantin!"

Gadis itu menoleh, mendapati sahabatnya yang hobi mengenakan kacamata. Ah, itu memang kewajibannya sih. Kan Ying minus. Ying mengerutkan keningnya heran melihat sahabatnya yang biasanya tersenyum dan enerjik itu mendadak lesu begini. Oh, ia tahu apa penyebabnya.

"Iya, Ying. Yuk!"

Lebih baik, Ying tidak membahasnya sekarang karena bisa membuat mood Yaya bertambah buruk.

^^...^^

"PENGUMUMAN! PENGUMUMAN!"

Ying nyaris tersedak oleh roti yang sedang dikunyahnya ketika mendengar suara yang super cempreng tersebut. Bahkan Yaya yang tadinya enak-enak melamun, langsung berjengit kaget dan menjadi kesal. Ia mendapati Ying yang sedang menghabiskan minumannya sambil terburu-buru. Lalu Yaya mengedarkan pandangannya, teman-temannya tampak riuh dan berlarian menuju lapangan upacara. Sebegitukah pentingnya ya?

"Ying, siapa sih yang teriak-teriak begitu?" tanya Yaya, tak bisa menyembunyikan nadanya yang kesal.

Ying menghendikkan bahu, menarik tisu lalu mengelap mulutnya. "Aku juga tidak tahu. Lebih baik kita kesana. Sepertinya penting."

Yaya memutar bola matanya lalu bangkit, mengambil langkah lebih dulu dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Ying membelalakkan matanya.

"Hei, Yaya! Tunggu aku!"

^^...^^

Sesampainya disana, Yaya langsung menyingkirkan teman-temannya yang menggerombol agar ia bisa di barisan paling depan. Ia tak memperdulikan mereka yang mengumpat kesal karena ulah dirinya. Setelah ia berdiri di barisan paling depan, betapa terkejutnya ia melihat Amy yang berdiri di tengah-tengah sambil memegang toa. Di samping Amy juga ada Suzy. Apa yang akan mereka lakukan? Tak dapat dipungkiri, ia menjadi was-was.

Yaya menoleh ketika ada orang yang berdiri di sampingnya. Gadis oriental itu menatapnya kesal sembari berusaha menetralkan napasnya. Menyadarinya, Yaya cengengesan dan menggaruk pipinya yang tak gatal. Ying mendengus.

Setelah dirasa sebagian besar murid di sekolah tersebut sudah berkumpul di hadapannya, Amy mengangkat toanya dan mulai berbicara. Tak lupa seringai licik muncul di wajahnya sembari melirik sinis Yaya. "Ok, aku tidak akan basa-basi dan aku akan langsung bicara ke intinya."

Semuanya saling berbisik-bisik, penasaran dengan apa yang akan Amy katakan. Gadis berambut pirang itu tersenyum lebar melihatnya. Yaya mengernyit dan hanya diam, menanti apa yang akan Amy katakan walaupun sejujurnya ia terlalu malas untuk melakukannya.

"Apa kalian tahu kalau Yaya punya kakak?"

Yaya membulatkan matanya ketika Amy mengatakan itu. Amy menatapnya sembali menyeringai kejam. Ying meliriknya, ia tahu itu. Murid-murid lain tampak kebingungan karena mereka tidak tahu mengenai hal ini. Dari situlah, ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Tentu saja kalian tidak tahu, karena kakak Yaya sekarang sudah meninggal. Lebih tepatnya kakak Yaya meninggal lima tahun yang lalu" Wajah Yaya memucat, sedangkan yang lain terlihat shock. Ying menatap panik Yaya dan Amy bergantian. "Kakak Yaya yang bernama Melissa meninggal karena dia frustasi, sangat frustasi dan hampir gila setelah tahu kalau dia hamil di luar nikah. Mungkin Kak Melissa bunuh diri."

Amy kembali menatap Yaya. Gadis itu terlihat menundukkan kepalanya dengan dada berkecamuk, kedua tangannya meremas ujung roknya kuat-kuat, tak memperdulikan reaksi super shock dari murid-murid lainnya. Ying menggeram, tak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu.

"Ya, Kak Melissa pasti sudah menjual tubuhnya ke orang lain. Dia melakukan hubungan terlarang itu dan akhirnya hamil di luar nikah." Yaya semakin meremas ujung roknya dengan sangat kuat, sementara Ying mengelus punggung Yaya agar gadis itu kuat menghadapinya. Bahu Yaya naik turun, Ying menggigit bibir, pasti sahabatnya sedang menahan emosinya mati-matian.

Sekali lagi, Amy tersenyum menyebalkan, membuat Ying muak dan sangat ingin meremas wajah itu dan mencakarnya. "Itu sebabnya Yaya tidak pernah berciuman dengan pacarnya, Taufan. Ups, maksudku mantan pacarnya." Amy terkikik mengejek. Dia takut kejadian yang menimpa kakaknya terjadi pada dirinya sendiri. Ya, bisa dibilang dia trauma karena kakaknya." Taufan yang mendengarnya, membulatkan matanya tak percaya.

Reaksi yang sangat mengejutkan, Yaya langsung melangkah cepat menghampiri Amy dengan ekspresi dinginnya. Gadis itu mengambil toa yang dipegang Amy lalu membantingnya sekuat tenaga ke bawah. Tak hanya itu, yang lebih mengejutkan, Yaya kembali menampar Amy lebih keras dari sebelumnya sampai terjungkal, membuat yang lain tercengang, terutama si korban.

Yaya membungkuk, menatap Amy dengan sangat mengerikan. Jika saja tatapan bisa membunuh objek yang ditatap, sudah pasti Amy tewas saat itu juga. "Kau tidak perlu ikut campur ke dalam urusan keluargaku. Kakakku bukanlah gadis liar seperti yang kau katakan tadi. Kakakku adalah gadis yang baik dan dia tidak sengaja melakukannya!"

Dan Amy hanya mengerjapkan matanya ketika Yaya mengatakan itu padanya. "Seharusnya kau berkaca dulu sebelum mengatakan hal-hal tentang orang lain! Bahkan kau jauh lebih buruk dari kakakku."

Gadis berambut pirang itu membelalakkan matanya dan menatap Yaya tajam. Yaya mendengus kasar. "Memangnya aku tidak tahu soal dirimu, huh? Aku bahkan pernah memergokimu pergi ke diskotik entah bersama siapa! Dan aku sangat yakin, kaulah yang menjual tubuhmu sendiri ke om-om itu, bukannya kakakku! Dan aku lebih yakin kalau kau adalah gadis yang sudah tidak perawan!"

Mendengar hal itu, Amy spontan mendelik.

"Seharusnya kau malu dengan dirimu sendiri yang tidak bisa menjaga harta milikmu, bukannya mencari kejelekan orang lain. Nyatanya sendiri, kejelekanmu jauh lebih banyak dari orang yang kau bicarakan tadi."

Setelahnya, Yaya menendang pecahan-pecahan toa itu ke arah Amy lalu berlari menjauh. Sialnya, air matanya sudah turun. Pertahanan Yaya hancur sudah karena harga diri sang kakak diinjak-injak. Gadis oriental itu membelalakkan matanya lalu mengejar sahabatnya.

Murid-murid lain pun menyoraki Amy dengan kesal dan memilih untuk kembali ke kelas masing-masing. Kini hanya tinggal mereka berdua. Suzy membantu Amy berdiri dengan susah payah. Amy menggeram kesal.

"Grr... Yaya memang benar-benar..." Tangan Amy mengepal kuat.

Suzy yang melihat Amy mengamuk dalam diam seperti itu, menggigit bibir. Bagaimana tidak? Amy kini benar-benar menyeramkan! Dan ia masih ingin hidup tenang di dunia ini!

"Hei, Amy!"

Amy dan Suzy membalikkan badan, mendapati Taufan yang menatap si gadis berambut pirang dengan murka. Suzy meneguk ludah ketika Taufan menghampiri mereka, terutama si Amy. Sahabatnya itu tampak acuh dan membuang muka.

"Yang kau lakukan sungguh keterlaluan! Kau benar-benar menjengkelkan!"

Gadis itu menggulirkan matanya ke arah Taufan dan mendengus. "Itulah akibatnya kalau kau tidak mau menjadi pacarku" jawabnya dengan santai, mengabaikan rasa sakit di pipinya bagian kanan, yaitu bagian pipinya yang kena tampar Yaya tadi.

Taufan terperangah, lalu kemudian mengacak surainya sampai berantakan, menatap gadis licik di hadapannya dengan sangat tajam, membuat Amy menatapnya tanpa ekspresi sedikit pun. "Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menjadi pacarmu. Dan hatiku hanya untuk Yaya."

Amy sedikit membelalakkan matanya kemudian mendengus geli. Suzy yang melihat reaksi sahabatnya yang semakin aneh, berdoa agar kewarasan Amy dikembalikan lagi karena sekarang Amy terlihat seperti orang gila!

Setelah puas, Taufan pun pergi meninggalkan mereka berdua. Suzy melihat Amy yang sedang memandang kepergian Taufan dengan pandangan kecewa sekaligus benci yang teramat sangat.

^^...^^

"Yaya, tenanglah..."

Gadis berkacamata itu kehabisan kata-kata untuk menghibur sahabatnya yang sedang menangis terisak-isak di pelukannya. Suasana yang sepi membuat suara tangisan Yaya menguasai pikiran Ying.

"Bagaimana bisa aku tenang, Ying? Aku masih tidak terima kalau Amy baru saja menjelek-jelekkan Kak Melissa dan juga menghinanya dengan mengatakan kalau Kak Melissa menjual tubuhnya! Aku sangat yakin kalau Kak Melissa tidak sengaja melakukannya..."

Ying terdiam. Lidahnya menjadi kelu. Ia tidak tahu harus berkata apa setelah ini. Melihat wajah Yaya yang saat ini terlihat sangat menyedihkan, membuatnya merasakan betapa tidak terima sahabatnya ketika sang kakak dihina terang-terangan di muka publik. Adik mana yang tidak marah? Apalagi kakak Yaya juga sudah lama meninggal. Tak seharusnya kan kita membicarakan aib orang yang sudah meninggal?

Ying tersenyum, membelai rambut Yaya selembut yang ia bisa dan mengeratkan pelukannya. "Iya, Yaya. Aku percaya padamu kok. Aku yakin, sangat yakin kalau kakakmu adalah gadis baik-baik, bukan seperti yang Amy katakan tadi."

Yaya yang mendengarnya tersenyum. Air matanya kembali menetes. Ia pun melepaskan diri dari pelukan Ying dan menghapus air mata yang masih mengaliri wajahnya. Bahunya masih naik turun, dan Yaya berusaha untuk menstabilkan deru napasnya yang memburu. Ia menerima botol minuman yang Ying berikan padanya lalu meneguknya.

"Oh, dimana laki-laki itu? Kenapa dia tidak ada di saat kau butuh sandaran dan hiburan?"

Yaya dan Ying serentak menoleh ke asal suara. Yaya mendengus kasar ketika mendapati mantan kekasihnya, berdiri agak jauh darinya sambil tersenyum menyebalkan. Gadis itu menyingkirkan poninya yang nyaris menusuk mata lalu melangkah menghampiri Taufan. Ying yang melihat itu, menyesal karena terlambat mencegah Yaya.

"Apa yang kau bicarakan? Kau membicarakan Air?" ucap Yaya ketika sudah berhenti, tepat di hadapan Taufan, menatap mata itu dengan tatapan menusuk. Taufan menaikkan sebelah alisnya. "Asal kau tahu, Air hari ini tidak masuk sekolah karena aku! Ya, karena aku! Gara-gara aku, kemarin Air makan makananku yang sebenarnya bisa membuatnya alergi."

Taufan mengerjapkan matanya, menatap Yaya dengan tatapan bodoh. Kemudian ia tersenyum tipis. "Ah, jadi begitu ya, Yaya?" gumamnya.

Yaya membuang muka, melipat tangan di depan dada sekaligus mendengus. "Ya, dan jangan pernah kau menjelek-jelekkan Air lagi, karena Air adalah laki-laki yang sangat baik dan perhatian."

Pemuda yang merupakan mantan kekasih Yaya nampak tidak suka ketika Yaya menceritakan kebaikan Air, yang dianggapnya juga sudah merusak hubungannya dengan Yaya. Andai saja di dunia ini tidak ada yang namanya PHO seperti Amy dan Air, pasti hidupnya akan lebih tenang dan bahagia selamanya. Ah, itu hanya imajinasinya ya?

Betapa terkejutnya Yaya ketika Taufan tiba-tiba memeluknya dengan erat. Ying yang masih berdiri di belakang, memperhatikan Taufan dan Yaya dalam diam, hanya membelalakkan matanya. Yaya memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri dari perangkap Taufan, namun Taufan tak bergeming dan malah mengeratkan pelukannya, tentu membuat Yaya sebal.

"Yaya, dengarkan aku dulu." Yaya menghentikan pergerangannya sambil memicingkan mata. Taufan menghela napas lelah. "Sekali lagi, aku minta maaf padamu, Yaya. Ya, aku tahu disini akulah yang salah. Aku baru tahu kebenarannya kemarin dari Gopal bahwa Amy lah yang sudah menghancurkan hubungan kita. Tapi apakah kau tidak tahu kalau aku merasa sangat bersalah? Jadi aku mohon, beri aku kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan kita. Aku masih sangat mencintaimu, Yaya."

Mendengar itu, sontak Yaya langsung melepaskan pelukan mereka. Gadis itu menatap pemuda di hadapannya dengan tajam, membuat nyali Taufan ciut. "Aku sudah memaafkanmu dari dulu, tapi kau sudah terlambat, Taufan. Aku tidak ingin berpacaran lagi denganmu karena aku sudah terlanjur kecewa padamu. Seharusnya kau mempercayaiku waktu itu, dan hubungan kita masih akan berlanjut sampai sekarang."

Taufan terdiam mendengarnya. Hatinya menjadi retak dan hancur berkeping-keping di saat yang bersamaan karena Yaya menolaknya secara terang-terangan seperti ini. Gadis itu masih menatapnya, namun tak sedingin sebelumnya. "Tapi takdir berkata lain. Tuhan tidak mempersatukan kita. Dan aku harap, kau mengerti hal itu."

Taufan hanya bisa memandangi punggung gadis itu yang semakin lama semakin menjauh tanpa bisa berkata apa-apa. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menggeram kesal. Kemudian terdengar langkah lari yang mendekat ke arahnya. Ying, sahabat Yaya, menatapnya tak kalah kesal.

"Kau ini apa-apaan sih, seenaknya memeluk Yaya!" omel gadis berkacamata itu.

Taufan menatap Ying malas. "Karena aku masih sangat mencintainya, kau tahu itu kan?"

Ying menggeram. "Iya, aku tahu. Tapi yang kau lakukan itu bisa membuat moodnya bertambah buruk! Berpikir dong!"

Taufan terdiam, membenarkan ucapan Ying. Ah, otaknya sudah dibutakan oleh cinta hingga ia tidak bisa berpikir jernih, apalagi sampai ke situ. Ia menghela napas, menatap gadis di hadapannya serius setelah mengingat sesuatu.

"Apakah benar kalau kakak Yaya meninggal setelah hamil di luar nikah? Dan apakah kakak Yaya juga menjual tubuhnya?"

Gadis itu menempeleng kepala Taufan, membuat Taufan bertambah kesal pada gadis itu. Ia kan bertanya baik-baik, kenapa malah dijawab dengan tempelengan seperti ini. Ini membuatnya kesal setengah mati.

"Kau tidak perlu ikut campur ke dalam urusan pribadi Yaya, karena kau bukan siapa-siapanya Yaya lagi." Kemudian gadis itu meninggalkan Taufan yang termenung sekaligus kesal dengan sikap kedua gadis bersahabat itu.

^^...^^

"Huhuhu... Air..."

Air kaget setengah mati saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan masuklah seorang gadis berpakaian seragam. Tanpa ditanya, ia sudah tahu siapa gadis itu. Dan yang membuatnya lebih kaget, gadis itu memeluknya sangat erat. Untungnya saja ia sedang duduk sekarang. Kalau berdiri, pasti ia akan terjungkal, seperti beberapa waktu yang lalu. Oh, jangan ingatkan ini lagi, itu membuatnya sangat malu.

"Yaya, apa apa denganmu?"

Air benar-benar kebingungan dengan gadis yang saat ini tengah memeluknya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah membelai punggung gadis itu yang bergetar. Matanya menyipit, pasti ada sesuatu buruk yang terjadi tadi. Ah, ia menyesal sudah tidak masuk sekolah hari ini.

"Tadi Amy menghina kakakku di depan semua teman sekolah kita."

Bohong kalau Air tidak terkejut. "Loh, kau punya kakak?"

Yaya melepaskan diri dari pelukan yang ia ciptakan sendiri, menghapus kasar air matanya sambil sesekali sesenggukan lalu mengangguk kecil Air menyimak cerita gadis itu baik-baik. "Iya, tapi kakakku sudah meninggal lima tahun yang lalu." Air membulatkan matanya karena waktu meninggal kakak Yaya sama dengan waktu meninggal kakaknya.

"Amy tadi bilang kalau kakakku meninggal karena frustasi setelah hamil di luar nikah." Mulut Air menganga lebar. "Dia juga bilang kalau kakakku sudah menjual tubuhnya ke orang lain lalu hamil. Setelah itu dia bunuh diri. Dia benar-benar menghina kakakku! Padahal kan bukan itu sebenarnya yang terjadi."

Air tercengang, tidak sanggup berkata apa-apa untuk menanggapi cerita Yaya. Ia tak menyangka, gadis di hadapannya memiliki kisah tersembunyi yang begitu memilukan, apalagi tentang sang kakak. Yang mampu ia lakukan hanyalah meneguk ludah, menggulirkan pandangan ke arah lain sembari berpikir sesuatu.

"Amy benar-benar jahat ya?" gumam Air tanpa sadar. Yaya yang mendengarnya, mengangguk kecil.

"Mamaku pernah cerita kalau kakakku sudah melakukan hal terlarang bersama pacarnya setelah pesta kelulusan SMA. Lalu kakakku hamil, dan pacarnya justru meninggal, entah karena apa. Dan kakakku meninggal karena terpeleset dan jatuh dari tangga, bukannya bunuh diri. Mana mungkin kakakku melakukan hal bodoh seperti itu?"

Air manggut-manggut mengerti setelah tahu cerita yang sebenarnya. Ia memperhatikan gadis di hadapannya yang begitu kacau sekarang. Menghela napas panjang, Air menarik Yaya ke dalam pelukannya. Jujur saja, Yaya kaget dengan perlakuan Air yang tiba-tiba ini. Namun ia tidak menolak, justru menyamankan diri di pelukan hangat yang Air ciptakan. Ia sangat menyukai belaian halus jari itu pada rambutnya.

"Yaya, tenanglah. Jangan menangis lagi. Maafkan aku yang tidak bisa menghiburmu tadi. Aku benar-benar menyesal." Hanya itu yang bisa Air katakan. Lidahnya terlalu kelu hanya untuk sekedar menghibur Yaya.

Yaya menggeleng kecil. "Jangan minta maaf, kau kan tidak salah sama sekali." Air menghembuskan napasnya pelan. Ekspresi Yaya tiba-tiba mengeras. "Jujur saja, aku masih sangat marah sama Amy yang sudah membuka aib keluargaku di depan umum, menginjak harga diri kakakku dan menghina kakakku habis-habisan."

"Iya, aku sangat tahu perasaanmu."

Tiba-tiba saja pintu kamar Air terbuka lebar, memperlihatkan pemuda berkacamata yang menatap keduanya shock. Air dan Yaya sama-sama membulatkan mata kaget. Sontak, Air dan Yaya segera saling menjauh dan sama-sama salah tingkah.

Sementara si tersangka yang masih mematung di ambang pintu, meneguk ludah karena sudah merusak suasana. Wajah Air dan Yaya sama-sama merah padam. Fang mendesah kecil. Ini sangat memalukan.

"A-ah... ada Yaya disini?" ucap Fang terbata-bata, membuat Air dan Yaya serentak mendongak. Pemuda berkaos biru muda itu mendelik tajam padanya, membuat Fang meringis pelan.

Yaya nyengir, menggaruk pipinya yang tak gatal dan mengangguk. Yang lain tidak tahu kalau gadis itu mati-matian menahan detak jantungnya yang semakin menggila. "Iy-iya, Fang. Tentu saja." Yaya gelagapan. Gadis itu membuka mulut, namun tidak ada kata yang keluar. Air meliriknya dengan was-was. Yaya tersenyum gugup. Wajah merahnya tidak bisa disembunyikan lagi. "Ke-kenapa kau bisa ada disini? Masuk ke kamar Air tanpa mengetuk pintu pula."

Air meliriknya sinis. "Sama sepertimu tadi."

Yaya menatap Air sebal. Kalau seperti ini, bisa-bisa wajahnya menjadi abu dalam waktu dekat, saking panasnya.

Fang tersenyum tipis, melangkah masuk lalu duduk di sofa berwarna biru muda, yang berhadapan dengan Air dan Yaya. "Aku ini adalah anak bungsu dari kakak pertama Om Adrian."

Yaya mengernyit. "Memangnya Adrian itu siapa?"

Air mendengus. "Dia nama ayahku lah."

Gadis itu menatapnya tak percaya, menutup mulutnya yang sedikit menganga dengan tangan lalu manggut-manggut mengerti. "Oh, begitu ya?" gumam Yaya lirih. Kemudian matanya membulat saat menyadari sesuatu. Jari telunjuknya terangkat dengan sedikit gemetar, tertuju pada Fang. "Jad-jadi kau..."

Fang mengangguk sebelum Yaya menyelesaikan ucapannya. "Ya, aku sepupunya Air."

Gadis itu masih nampak tidak percaya. "Ying harus tahu soal ini."

"Ah, kau ini bagaimana sih? Kau kan suka sama Air, masa' sih tidak tahu soal beginian? Seharusnya kau tahu."

Gadis itu mendelik tajam. "APA KAU BILANG?!"

Yaya lekas mengambil guling yang sedari tadi dipeluk oleh Air lalu menerjang Fang dengan memukulinya bertubi-tubi. Fang berteriak kesal. Sementara Air, lelaki itu bungkam, memandang Fang dan Yaya tak percaya. Benarkah Yaya menyukainya? Ataukah tadi Fang hanya menggoda Yaya agar wajah gadis itu merah seperti tomat? Loh, kenapa pula wajah Yaya merah seperti itu? Nampaknya gadis itu menahan rasa malu.

"Hei, Yaya. Hentikan. Kau bisa membuat kamarku menjadi berantakan."

Gerakan Yaya terhenti. Ia memberengut kesal ke arahnya lalu mendelik tajam ke arah Fang yang meringis. Untuk terakhir kalinya, Yaya kembali memukul Fang dengan guling milik Air lalu kembali duduk di samping Air. Pemuda bernuansa biru muda itu menahan tawa melihat penampilan Fang yang kacau balau sekarang.

"Kau menyebalkan, Yaya" sungut Fang, merapikan seragamnya kembali.

Yaya mendengus. "Salahmu sendiri. Siapa suruh mengatakan hal seperti itu?"

"Tapi kan itu memang kenyataaan."

"Mau lagi? Aku akan memakai itu" Yaya dengan ekspresi deathglarenya, melirik vas bunga berukuran sedang yang terletak di atas meja rias Air. Melihat itu, Fang memasang wajah masam.

Air memutar bola matanya, lalu menatap Fang yang tampak masih kesal. "Ada perlu apa kau kesini, Fang?"

"Tentu saja untuk melihat kondisimu. Jadi bagaimana?"

Air memasang wajah datarnya. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Dokter hanya menyarankanku agar lebih berhati-hati memilih makanan."

Wajah Yaya mendadak murung mendengar kalimat terakhir yang Air lontarkan. "Air, aku minta maaf. Aku tidak tahu."

Fang menatap Yaya tak percaya. "Jadi kau yang menyebabkan Air seperti ini? Kau memang gadis pembawa sial, Yaya."

Sorot mata Yaya berubah menjadi tajam dalam sekejap, kemudian pipinya menggembung. "Iya iya, aku minta maaf. Puas?!" Yaya sekali lagi mendelik pada Fang, yang kemudian dibalas oleh tawa puas dari pemuda berkacamata itu.

"Sudahlah, jangan dibahas lagi." Air bersuara dengan lemas. Ia mulai mengantuk, mungkin efek dari obat yang ia minum tadi.

Fang mengulas senyum geli. "Huh, yang kemarin curhat padaku" godanya, membuat Air menatapnya sebal. Ternyata memang benar ya kalau sepupunya itu suka mengundang emosi dan menyebalkan. Tak heran kalau Yaya seperti tadi.

Gadis itu memandang Fang dan Air tak mengerti. Memangnya Air curhat pada Fang tentang siapa? Ia menjadi penasaran, tapi terlalu gengsi untuk menanyakannya. Oh, ataukah jangan-jangan Air sudah punya gebetan? Mendadak Yaya menjadi murung.

"Oh iya, kau kesini naik apa?"

Yaya tersentak kecil lalu menoleh ke samping, mendapati Air yang menatapnya sambil menaikkan sebelah alisnya. Astaga, kenapa wajah itu begitu mempesona sekarang?

"Naik taksi." Yaya tersenyum kikuk, bergerak gelisah. Air menatapnya aneh namun tidak mengatakan apa-apa.

Pemuda berkacamata yang tadinya duduk santai di sofa, kini berdiri dan memakai jaket ungu tuanya, membuat Air dan Yaya menoleh. "Air, aku pulang dulu." Fang memakai tasnya lalu beranjak keluar.

Air mengerjapkan matanya secepat kilat lalu bangkit. "Eh, Fang! Tunggu dulu!"

Fang yang hendak membuka pintu, terpaksa membalikkan badan dan memandang sepupunya dengan datar. "Apa?"

Air melirik Yaya sekilas. "Antarkan Yaya ke rumahnya juga. Aku tidak boleh keluar rumah sekarang."

Yaya dan Fang melebarkan matanya. "Ap-apa?!" seru kedua manusia itu bersamaan. Air hanya menghela napas lelah untuk menanggapinya.

"Yaya kan bisa naik taksi. Kenapa harus aku?" balas Fang tak terima, lalu mendengus saat bertemu mata dengan gadis menyebalkan itu. Melihat itu, Yaya semakin kesal saja pada laki-laki bermata empat ini.

"Kau tahu kan kalau di daerah rumahku jarang sekali ada taksi, dan ini juga sudah hampir sore. Mengantarkannya ke rumah apa susahnya sih? Lagipula rumahmu dengan rumah Yaya searah."

Kalau seperti ini, Fang tidak bisa beralasan lagi. Air mengulas senyum puas saat Fang mengangguk terpaksa. Tak apalah, yang penting sepupunya itu mau mengantarkan gadis itu pulang ke rumah dengan selamat. Yaya menatap Air kesal karena menyuruh Fang untuk mengantarkannya pulang. Kenapa Air tidak menyuruh sopir-sopir di rumahnya saja? Ini benar-benar menjengkelkan.

Fang menatap Yaya malas. "Yaudah, ayo cepat!"

Gadis itu menggertakkan giginya kesal lalu menyambar tasnya dengan cepat. Sebelum menghilang dari balik pintu, Yaya memperlihatkan ekspresi cemberut serta kesalnya pada si pemilik kamar. Melihat itu, Air menghela napas lelah.

"Tak ada salahnya kan kalau aku ingin mereka sedikit akur?"

^^...^^

"Bilang terima kasih dong."

Gadis itu menatap lelaki bermata empat yang masih berada di dalam mobil sport berwarna ungu tua dengan kaca terbuka. Ia dibuat kesal oleh lelaki itu hari ini. Seperti yang ia duga, lelaki tersebut justru mengomelinya selama perjalanan menuju rumahnya. Menyebalkan bukan?

"Iya, terima kasih" ucap Yaya, tentu dengan nada tidak ikhlas.

Fang memutar bola matanya. "Yang ikhlas dong. Oh, apa kau mau kalau aku memberitahu Air soal ini?" ancamnya, membuat nyali Yaya ciut. Gadis itu semakin dibuat kesal. Fang tersenyum geli, bisa-bisanya Yaya takut seperti ini. Kalau begitu, bukti kalau Yaya menyukai Air selama ini semakin kuat. Bisa-bisa itu adalah kenyataan.

Gadis itu menghela napas panjang, lalu mengulas senyum paling manis agar Fang tak lagi mengancamnya. Ia benar-benar lelah hari ini dan ingin sekali menjatuhkan diri ke tempat tidurnya yang empuk. "Terima kasih, Fang." Suaranya terdengar amat lembut.

Respon si pemuda hanya mendengus melihat aktingnya, sementara si gadis mengepalkan tangannya kuat-kuat agar amarahnya tidak meledak sampai meninju wajah sepupu teman sebangkunya. Kenapa ia punya teman begitu menyebalkan seperti ini? Dan kenapa juga Ying menyukai laki-laki narsis seperti Fang? Ah, kalau itu belum terbukti jelas.

"Ya sudah, sana masuk ke rumah!"

Setelahnya, Fang langsung melesat meninggalkan rumah Yaya dalam kecepatan tinggi, sukses membuat gadis kapten cheerleaders itu melongo. Kemudian Yaya langsung memasuki kawasan rumahnya yang kebetulan gerbangnya tidak tertutup dan memasuki rumahnya dengan langkah pelan.

Setelah ia masuk ke dalam rumah, betapa kagetnya ia melihat gadis berkacamata duduk di sofa milik keluarganya sambil melipat tangan di depan dada. Bukan hanya itu, ekspresinya pun terlihat sangat kesal dan berusaha menahan emosi. Apa-apaan itu?

"Loh, Ying? Kau ada disini? Sejak kapan?" ucap Yaya membuka perbincangan. Ia menutup pintu lalu duduk di sofa yang bersebrangan dengan sofa yang diduduki Ying.

Ying mendengus kasar. "Setengah jam yang lalu" jawabnya dengan ekspresi datar, sukses membuat Yaya mengernyit. Kerasukan jin apa sahabatnya ini? Belum sempat Yaya bertanya, Ying lebih dulu berucap. "Kenapa kau pulang bersama Fang? Darimana saja kalian?"

Mendengar itu, Yaya sontak tertawa terpingkal-pingkal. Beda sekali dengan ekspresi yang ditujukan oleh sahabatnya saat ini. Ia tidak suka pertanyaannya ditertawakan seperti itu. Apalagi kondisinya sekarang tidak memungkinkan, badmood.

Yaya menghentikan tawanya lalu memegangi perutnya. Astaga, lelucon macam apa ini? Gadis itu menatap Ying dengan geli, membuat sebelah alis gadis itu terangkat heran. Mungkin Ying kebingungan sekaligus kesal setengah mati dengan dirinya yang tiba-tiba tertawa. "Hei, Ying, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" Kemudian tatapan Yaya berubah. "Oh, kau cemburu ya, Ying?"

Semburat tipis muncul di kedua pipi milik gadis oriental itu. "Siapa yang cemburu? Tentu saja tidak!" elak Ying. Gadis itu hampir saja tergagap dan akhirnya bersyukur karena ia berucap dengan lancar tadi.

Yaya memicingkan matanya tak percaya. "Benarkah? Lalu kenapa tatapanmu begitu kesal padaku tadi?"

Bola mata itu bergerak gelisah, begitu juga tubuhnya, membuat Yaya semakin curiga kalau dugaannya benar. "Aku bukannya cemburu. Aku hanya heran kenapa Fang bisa pulang denganmu. Lagipula Fang pernah bilang padaku kalau ia tidak menyukai siapa-siapa saat ini. Jadi saat aku melihatmu bersamanya, aku kaget dan kesal karena kalian menyembunyikan sesuatu dariku" jelas Ying panjang lebar, mungkin bertele-tele juga.

Kali ini giliran Yaya yang menatap sahabatnya dengan kesal. "Hei, aku tidak ada hubungan apapun dengan Fang kecuali teman biasa. Lagipula aku tadi ke rumah Air untuk menjenguk Air, lalu Fang datang. Karena aku tadi kesana naik taksi, jadi Air menyuruh Fang untuk mengantarku ke rumah. Sebenarnya aku sangat tidak mau, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menolak keinginan Air."

Gadis berkacamata itu awalnya melongo lalu manggut-manggut mengerti. Keduanya terdiam beberapa saat. Ying menyeruput teh hangatnya yang dibuatkan oleh pelayan rumah Yaya sampai habis. Kemudian ia menatap Yaya serius. "Yaya, apakah sekarang kau menyukai Air?"

Sepasang bola mata Yaya membulat sempurna. Dengan cepat Yaya menggeleng panik. Gestur tubuhnya juga tampak kaku dan menegang. Mata Ying menyipit. "Tidak, aku tidak menyukainya. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih." Sahabatnya itu tampak tidak percaya, membuat Yaya harus memutar otak dengan wajah memerah. "Lalu kau sendiri, kau menyukai Fang?"

Seandainya kalau Ying sedang minum sekarang, pasti ia tersedak. Gadis itu menggeleng. "Tidak, Yaya. Bukankah aku sudah bilang padamu tadi?" balasnya sedatar-datarnya, tapi sesungguhnya ia sangat gugup dan berdebar-debar ketika membicarakan ini.

Gadis oriental itu sedikit terkejut ketika ingat tujuannya ke rumah Yaya. "Oh iya, aku kesini untuk mengajakmu nonton film ke bioskop. Aku kemarin melihat ada film komedi terbaru dan katanya sangat lucu. Ayo nonton sekarang!"

Mata Yaya berbinar-binar mendengarnya. Tak dapat dipungkiri bahwa Ying adalah gadis yang pintar untuk membangkitkan semangat serta moodnya yang awalnya sangat buruk. "Baiklah, aku bersiap-siap dulu."

^^...^^

Keesokan harinya, Yaya sangat enggan keluar kelas karena ia masih sangat marah dan sangat menahan diri untuk tidak menghajar Amy, sehingga Ying lah yang membelikan makanan sekaligus minuman di kantin untuk Yaya. Gadis bermata sipit yang tertutupi oleh kacamata itu sangat mengerti dengan keadaan sahabatnya. Jadi Ying tidak menolak ketika Yaya membujuknya agar mau membelikan makanan dan minuman di kantin.

"Terima kasih ya, Ying. Aku sangat beruntung memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu" ucap Yaya sambil tersenyum lebar, meletakkan camilan-camilan yang baru saja Ying berikan padanya di atas bangku lalu memeluk Ying sepenuh hati.

Gadis oriental itu terkekeh geli dengan tingkah laku Yaya, kemudian pelukan mereka terlepas dan saling melempar senyum. "Sama-sama, Yaya. Aku sangat tahu dirimu saat ini." Yaya mengangguk kecil lalu duduk di kursinya, sedangkan Ying duduk di kursi milik Air. Kebetulan pemuda tersebut belum masuk sekolah. Tapi ketika pelajaran berlangsung, ia tetap duduk sebangku dengan Fang.

Yaya membuka bungkus camilan keripik kentangnya. "Akhir-akhir ini di sekolah terasa berbeda" ujarnya pelan, meskipun begitu Ying tetap mendengarnya dan menoleh.

Ying tersenyum jahil, menatap Yaya menggoda. Yang dipandangi, merasa risih. "Kau pasti sedang merindukan Air saat ini."

Mendengar itu, Yaya menghela napas. "Ya, kau benar." Mata Ying membulat sempurna. "Aku rindu beradu mulut dengannya, bertengkar kecil dengannya, itu terasa sangat menyenangkan bagiku. Belum pernah aku seperti ini sebelumnya."

Gadis oriental itu tertawa, tak menyangka kalau Yaya berkata jujur padanya sekarang, meskipun hanya sebagian perasaan gadis itu. "Kau menyukai Air."

Wajah Yaya langsung merona hebat. Ia mengerucutkan bibir. "Aku kan sudah bilang kemarin, aku tidak menyukainya, hanya sebatas teman sebangku kok."

Ying semakin menatap Yaya dengan tatapan menggoda. Lama kelamaan kalau seperti ini, Yaya jijik juga dan ingin sekali menyingkir dari Ying. "Ah... benarkah, Yaya? Kau pasti sedang membohongi perasaanmu sekarang. Tingkah laku, gerak-gerik, dan ekspresimu akhir-akhir ini menunjukkan kalau kau memang benar-benar menyukai Air! Jangan mengelak fakta lagi!"

Mulut Yaya menganga lebar. Ia hendak membalas namun kehadiran seseorang membuat mulutnya terkatup kembali.

"Kau pasti diam-diam menyukai sepupuku. Iya kan?"

Sontak, Ying berdiri, membuat Yaya ikut berdiri menatap kedua insan yang sama-sama ber ras China. Ying memandang Fang tak mengerti. "Sepupu? Kau sepupunya Air?" tanyanya tak percaya.

Fang mengangguk, melipat tangan di depan dada. "Ya, aku sepupunya Air, lebih tepatnya aku adalah putra dari kakak ayah Air." Penjelasan Fang membuat Ying shock sekaligus tidak percaya. Yaya merutuk karena lupa memberitahu hal ini sejak kemarin.

"Sudahlah, jangan berkata yang tidak-tidak, ok?" Yaya kembali membahas permasalahan utama. Kemudian ia memicingkan mata, menatap Fang dan Ying bergantian dengan curiga. "Kalian berdua sendiri, sama-sama tukang goda. Pasti ada apa-apanya nih" goda Yaya balik. Siapa yang suka digoda seperti tadi?

Ekspresi kesal tertera di wajah Ying. "Kenapa kau menggodaku dengan laki-laki seperti Fang sih, Yaya? Menyebalkan!" gerutu Ying lalu menggembungkan pipi.

Mendengar itu, Fang mendengus kasar, memandang cela gadis berkacamata di hadapannya. "Kau pikir aku senang digoda dan dipasangkan denganmu?" Ying langsung mendelik tajam.

Yaya menghela napas panjang. "Makanya jadi orang jangan suka menggoda orang. Memangnya aku suka digoda seperti tadi? Kalian sendiri juga tidak mau digoda kan?"

"Tapi kan kalau seorang Yaya menyukai Air itu kan memang fakta" ujar Fang lagi.

Ying mengangguk setuju. "Ya, itu benar. Mengaku saja, Yaya. Lagipula tidak ada Air disini."

Gadis yang menjadi sasaran godaan itu bertambah kesal. Ia memilih untuk diam dan memakan camilannya daripada sibuk meladeni Fang dan Ying. Kedua orang itu sepertinya sedang bertengkar karena Fang tiba-tiba mengambil makanan Ying tanpa seizin orangnya.

^^...^^

Taufan saat ini tengah berdiri di atap sekolah, dengan tangan terlipat di atas pembatas pagar atap sekolahnya. Pandangan matanya tertuju pada pemandangan cukup indah di hadapannya, pemandangan kota yang ia tinggali sejak kecil sedikit mengurangi emosi yang dipendamnya sejak satu minggu yang lalu.

Taufan memejamkan matanya sejenak, menikmati hembusan angin lembut yang menerpa wajahnya, mengakibatkan helaian-helaian rambutnya terkibar pelan. Taufan menghembuskan napasnya secara teratur. Ini adalah salah satu trik untuk meredakan emosinya yang nyaris meledak.

Entah kenapa, akhir-akhir ini ia hobi sekali menguping pembicaraan orang, terutama mantan kekasihnya, Yaya. Percakapan antara Yaya, Ying, dan Fang tadi, ia juga mendengarnya. Ia kesal, kenapa juga ia mendengarnya tadi, mendengar hal tentang Yaya yang mulai menyukai Air. Sial, hati gadis yang sangat ia cintai justru kini berpindah pada laki-laki yang mulai menyandang sebagai rival sekaligus musuh bebuyutannya.

"Kau tidak bisa memaksakan cinta dan takdir seseorang, termasuk Yaya."

Pemuda itu berjengit kaget lalu berbalik, mendengus kesal ketika mendapati pemuda berambut raven menatapnya serius, melangkah menghampirinya. Taufan membalikkan tubuh dengan sempurna, menghadap Fang.

"Apa maksudmu?" tanya Taufan dingin.

"Kalau misalnya Yaya memang benar menyukai Air, kau tidak bisa memaksanya untuk kembali mencintaimu, itu adalah salah satu ciri orang egois."

Taufan terdiam kesal karena Fang mendadak menceramahinya seperi ini. Tubuhnya seolah terasa panas dan mendidih sempurna ketika Fang membahas tentang Yaya dan Air.

"Jika kau memang benar-benar mencintai Yaya, maka kau harus bisa membiarkan Yaya bahagia meskipun dengan orang lain. Biarkan mereka bersama dan bahagia dengan cara mereka sendiri. Siapa suruh dulu kau tidak mempercayai Yaya dan justru mempercayai Amy? Kau baru merasakan arti dari penyesalan kan?"

Ok, Taufan muak sekarang. Ia ogah bertatap muka dengan orang yang seenaknya menceramahinya dan justru memojokkannya. "Pergi dari sini!"

Fang tertawa puas, berhasil membuat Taufan naik darah. Mendengar tawa itu, Taufan ingin sekali menendang Fang dari atap ini hingga terguling-guling dibawah sana. Lumayan, tontonan yang bagus.

"Kau harus memikirkan kata-kataku, Taufan. Kalau tidak, kau akan lebih menyesal daripada sebelumnya."

TBC

Maaf ya sudah bikin kalian menunggu terlalu lama. Hehehe,, aku bener-bener sibuk sekarang. Tapi aku nggak berniat untuk menghapus ff ini kok. ff ini tetap berlanjut sampai tamat, entah kapan :v Tapi aku udah nentuin jalan ceritanya gimana, endingnya gimana.

Kadang kalau waktu jamkos di sekolah, aku ngelanjutin ff ini di hp, ditulis di memo, tapi cuma intinya doang. Nah, kalau ada waktu luang, aku kembangkan jadi biar nggak bingung lagi pas nulis.

Maaf juga ya kalau ada typo

Akhir kata, review please...