Gadis yang tadi malam sudah dibuat kesal oleh Boboiboy, datang ke sekolah dengan berpenampilan feminim seperti biasa. Rambut berukuran setengah punggungnya, ia gerai lalu diberi bando berwarna pink untuk mempermanis penampilannya. Sebenarnya sih Yaya ingin memakai bando hadiah dari Boboiboy waktu itu, tapi sayangnya ia takut layu dan memilih untuk menyimpannya di kamar saja.

Beda halnya dengan Ying. Sahabatnya itu termasuk gadis yang tomboi, mengikuti klub basket dan klub bulu tangkis. Rambutnya lebih sering diikat satu dan jarang sekali digerai seperti Yaya. Ying juga merupakan gadis keturunan China, memiliki wajah yang lebih putih dari Yaya. Tak lupa kacamata minus selalu bertengger di matanya.

Yaya mengernyit saat melihat Ying tiba-tiba menghampiri bangkunya saat ia baru saja meletakkan tas ransel pinknya di kursi.

"Yaya, kenapa teleponku tadi malam tidak diangkat-angkat sih? Padahal aku ingin menanyakan sesuatu hal yang penting padamu. Tapi kau tidak menjawabnya," protes gadis oriental itu, membuat Yaya terheran-heran.

Gadis itu pada awalnya merasa kebingungan dengan gerutuan Ying. Ia pun mengambil ponselnya lalu membukanya. Benar saja, ada tiga panggilan tidak terjawab dari Ying. Ia mendesah kecil. "Maaf, Ying. Aku benar-benar tidak tahu. Semalam, aku sibuk mengajari Boboiboy dan tidak memegang ponsel. Sekali lagi, aku minta maaf ya."

Ying tidak bisa berbohong kalau ia tidak terkejut sama sekali mendengar jawaban Yaya. Namun ia membalasnya dengan senyuman tipis, terkesan dipaksakan. Ia tidak peduli sahabatnya tahu senyumannya dipaksakan atau tidak. Sudah pasti Yaya tahu kalau ia kecewa padanya. "Oh, begitu ya? Baiklah, tidak apa-apa, Yaya. Aku mengerti."

Yaya menggaruk tengkuknya, merasa sangat bersalah kepada Ying. Ketika teringat sesuatu apa tujuan Ying meneleponnya, ia menatapnya dengan sorot penuh tanya. "Memangnya hal penting apa yang ingin kau tanyakan, Ying?"

Gadis berkacamata itu tersentak mendengarnya. Mulutnya sedikit terbuka, hendak berkata, namun terkatup kembali. Sebelah alis Yaya terangkat, Ying terlihat gelagapan. Kedua netra dibalik lensa itu menoleh ke kiri dan ke kanan, dan untungnya teman-teman sekelas mereka tampak sibuk bercanda dengan yang lain. "Apakah benar kau menyukai Boboiboy?"

Bohong kalau Yaya tidak terkejut saat Ying menanyakan pertanyaan itu padanya. Terbukti dengan kedua maniknya yang melebar, sementara Ying menunggu jawabannya sambil bersedekap dan memicingkan matanya. Spontan, Yaya tertawa lalu menggeleng-geleng dengan geli. "Apa yang kau bicarakan, Ying?" Yaya mengulas senyum geli. "Tentu saja tidak. Aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih." Entah kenapa Yaya merasakan sesuatu yang berbeda saat ia mengatakan kalimat terakhir itu. Terasa sesak dan kecewa di saat yang bersamaan.

Sahabatnya itu terdiam, mencerna kata-kata yang terlontar dari Yaya. Entah kenapa Yaya menjadi was-was, takut kalau Ying tidak mempercayai jawabannya. Tapi itu memang kenyataannya kan?

"Benarkah itu?" tanya Ying, memicingkan matanya curiga.

Mau tak mau, Yaya memutar bola matanya. "Ya iyalah, Ying. Masa' sih aku membohongimu? Itu fakta sedari dulu."

Pada akhirnya setelah cukup lama terdiam, Ying mengangguk. Yaya tanpa sadar menghembuskan napas lega. "Baiklah kalau begitu. Aku tidak mau ada rahasia-rahasiaan di antara kita berdua, atau kita berlima, ok?"

Yaya mengangguk, tersenyum. "Iya-iya, Ying. Tenang saja." Ying menanggapinya dengan senyum tipis, sampai kedua manik Yaya sedikit melebar. "Oh iya, sepulang sekolah aku ingin mampir ke rumahmu, Ying. Biasalah, aku ingin menghabiskan waktu berdua bersamamu."

Gadis oriental itu mengangguk, tersenyum tipis, sangat tipis hingga Yaya tidak menyadarinya. "Baiklah, Yaya."

^^...^^

"Hei, Boboiboy!"

Boboiboy menoleh, mendapati sahabatnya yang berkacamata serta berambut raven menatapnya datar. "Iya, apaan?" tanyanya bingung.

Fang menghampirinya, berhenti di samping bangku Boboiboy. "Jangan bilang kalau kau lupa membawa buku catatan Kimiaku. Aku juga sudah memberitahumu tadi malam."

Lelaki yang sedang mendengarkan musik melalui ponsel yang dihubungkan dengan earphone itu sedikit membelalak. Fang mendelik melihatnya. Ia berjanji akan menghabisi Boboiboy habis-habisan kalau buku catatannya lupa dibawa. Padahal kan sebentar lagi ada pelajaran Kimia. Guru killer pula.

Boboiboy melepaskan earphonenya, membalikkan badan lalu memangku tasnya. Tas berwarna hitam dengan resleting berwarna oranye itu dibuka lalu diobrak-abrik oleh sang pemilik. Fang menghembuskan napas lega saat melihat bukunya ada di tangan Boboiboy. "Ini bukumu?" tanya Boboiboy, mengangkat buku bersampul hitam itu.

Fang merebutnya. "Ya iyalah, siapa lagi?" balas Fang sedikit kesal, memutar bola matanya. Boboiboy menggerutu pelan lalu meletakkan tasnya di posisi semula setelah dirapikan kembali. Earphone itu kembali ia pasang ke telinga.

Fang masih terdiam di tempat, memandangi buku bersampul hitam itu yang digenggamnya lekat-lekat. Otaknya memutar sesuatu, sepertinya ada hal yang ia lupakan tentang Boboiboy. Tubuhnya bergerak kecil, sedikit menegang saat mengingat sesuatu. Ia berpindah tempat menjadi duduk di kursi yang Yaya tempati.

Boboiboy menatapnya bingung, melepas kembali earphonenya. "Apa lagi?" tanyanya heran, tak seperti biasanya Fang seperti ini.

"Boboiboy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu". Fang berucap dengan nada datar saat melihat Boboiboy masih berkutat dengan ponselnya. Fang menggunakan waktu istirahat ini untuk bertanya sepuasnya pada Boboiboy. Kebetulan sekali hanya ada mereka berdua di kelas.

Boboiboy menutup bukunya lalu membalikkan badannya, menatap Fang dengan sebelah alis terangkat. "Bicara apa?" tanya Boboiboy bingung. Setahunya, ia tidak pernah adu mulut ataupun bertengkar dengan Fang akhir-akhir ini, lalu apa yang ingin Fang bicarakan?

Fang menghembuskan napas pelan. Sebenarnya ia agak malu untuk menanyakannya. Tapi rasa malunya sudah dikalahkan oleh rasa penasarannya. "Eh… akhir-akhir ini aku sering melihatmu bersama Yaya. Apa ada hubungan spesial di antara kalian berdua?" tanya Fang hati-hati dengan nada senormal mungkin.

Mendengar pertanyaan Fang, Boboiboy tertawa kecil. Fang menjadi bingung, apakah kata-katanya ada yang lucu ataupun salah? Demi keselamatannya agar tidak dihajar, pemuda yang merupakan sahabat sekaligus rival Fang itu menghentikan tawanya dengan paksa lalu tersenyum geli ke arah Fang. "Hm…tentu saja tidak. Aku dan Yaya hanya bersahabat, kau tahu sendiri kan?" jawab Boboiboy santai.

Fang masih menatap Boboiboy dengan tatapan tak percaya. Ia sangat mengenal tingkah laku pemuda di hadapannya ini. Ia sudah mengenal Boboiboy maupun Gopal sejak memasuki bangku TK. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa Boboiboy terlihat menyembunyikan sesuatu darinya. Boboiboy terlihat sedikit salah tingkah, tapi dia berusaha untuk menutupinya dengan tawa. Ah, Boboiboy ingin menjadi aktor rupanya. "Oh, benarkah itu?" Boboiboy mengangguk kecil. "Tapi apakah kau menyukai Yaya?" tanya Fang lagi, yang membuat Boboiboy terdiam cukup lama.

"Kenapa kau menanyakan itu?" tanya Boboiboy untuk menyudahi keheningan yang ia ciptakan.

Fang memutar bola matanya. "Tidak ada sih, aku hanya ingin bertanya saja. Memangnya tidak boleh?"

Boboiboy bergumam tidak jelas, membuat Fang mengernyit. "Aku tidak menyukainya dan hanya menganggapnya sahabat. Tidak ada yang spesial di antara aku dan Yaya."

Pemuda oriental itu tidak membalas, diam seribu bahasa. Dadanya sesak saat mengetahui fakta yang tersembunyi di dalam diri Boboiboy. Tanpa diberitahu pun, ia tahu kalau Boboiboy mengelak fakta dan memilih untuk berbohong padanya, atau malah membohongi dirinya sendiri.

"Kau memang menyukai Yaya, Boboiboy."

^^...^^

"Grrr… kenapa Boboiboy malah menyukai Yaya sih?" gerutunya dengan kesal sambil mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Ia memilih untuk meninggalkan Boboiboy di kelas untuk menenangkan suasana hatinya yang sangat kacau. Tanpa sadar kakinya melangkah menuju taman belakang sekolah. Fang sih tak masalah karena taman itu sangatlah sepi karena jarang sekali para murid bersantai disini. Mereka memilih untuk bersantai di kantin ataupun di sekitar kelas masing-masing. Biasanya taman ini dikunjungi oleh siswa-siswa yang galau, persis seperti dirinya.

Karena sangat kesal juga marah, kaki Fang menendang kaleng minuman yang kebetulan ada di hadapan kakinya dengan kuatnya. Saking kuatnya, kaleng tersebut terlempar cukup jauh dari posisi semula.

"ADUH!"

Fang tersentak kaget lalu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada siapa-siapa disini. Fang mulai merinding. Otaknya mulai memutar adegan-adegan film horror yang suka ditonton oleh Gopal dan Boboiboy. Tapi ini kan masih siang, mana ada hantu di siang bolong begini? Tatapan Fang tertuju pada pohon raksasa. Lalu di sebelahnya ada gadis berkacamata yang memegangi kepalanya. Gadis itu mendelik tajam ke arahnya.

"Hei, Fang! Kau ini kenapa, hah?! Jangan menendang kaleng minuman sembarangan dong!" omel Ying dengan kesalnya lalu menendang balik kaleng itu tepat mengenai lutut Fang. Pemuda itu meringis kesakitan sambil memegangi lututnya yang malang. Ying mendengus sebal lalu menyilangkan tangan di depan dada.

"Huh, iya iya, maaf" ucap Fang merasa bersalah lalu menghampiri Ying yang duduk di balik pohon raksasa itu. Tempatnya sangat teduh karena terlindungi oleh dedaunan-dedaunan dan juga ranting-ranting pohon. Fang mendudukkan dirinya tepat di hadapan Ying dengan kaki bersilah.

"Ngapain kau disini? Sendirian pula" tanya Fang heran melihat Ying tiba-tiba menundukkan kepalanya dan murung. Fang mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tidak ada siapapun disini kecuali mereka berdua.

Ying mengangkat kepalanya. "Aku sedang patah hati, Fang" jawab Ying dengan ekspresi sedih. Gadis berkacamata itu sangat murung, tidak seperti biasanya yang terlihat ceria walaupun sifat aslinya adalah pemalu.

Fang melongo. "Hah? Patah hati?" Fang sama sekali tidak mengerti dengan hari ini. Apakah hari ini diharuskan para manusia untuk bersedih? Fang hanya diam, menunggu Ying yang tampak ingin menjelaskan semuanya padanya.

Ying menghembuskan napasnya dengan berat lalu menjawab kebingungan Fang. "Aku menyukai Boboiboy, tapi tampaknya Yaya juga Boboiboy. Meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung padaku, aku tahu apa isi hatinya," ujar Ying dengan lesu. Gadis itu terlihat tidak ingin hidup kembali dan memilih untuk mati.

Fang mengerjapkan matanya kaget, tidak menyangka Ying ternyata senasib dengannya. Entah apa yang ia rasakan saat ini, senang atau sedih? Yang jelas kini ada yang senasib dengannya. "Ap-apa?! K-kau menyukai Boboiboy?" tanya Fang dengan suara tercekat. Gadis itu mengangguk kecil. "Ah… tadi aku menanyakan hal itu padanya. Dia menyukai Yaya, tapi aku juga menyukai Yaya".

Mata Ying terbelalak, menatap Fang tidak percaya. "Hah?! Benarkah?!" tanya Ying kaget. Fang mengangguk lemah. Ying menjadi sangat bingung dengan semua ini. Mereka tanpa sadar telah terlibat dalam kondisi 'cinta segiempat'.

"Ternyata kita senasib ya, Ying?" ujar Fang lalu terkekeh pelan, diikuti oleh kekehan gadis bermata sipit itu. Fang heran, kenapa Yaya malah menyukai Boboiboy? Bukankah dia lebih tampan dan keren dari pemuda bertopi jingga itu? Boboiboy hanya memiliki paras yang manis dan menggemaskan. Apa yang hebat darinya?

"Hm, lalu kita harus bagaimana, Fang? Apa kita harus membiarkan mereka bersama? Tapi kan Boboiboy itu cinta pertamaku."

"Sama, Ying. Yaya juga cinta pertamaku. Aku tidak akan rela kalau Yaya nantinya bersama Boboiboy. Bukannya kau juga begitu?"

Ying mengangguk kecil. "Lalu apa kau punya solusi?"

Fang terdiam, mencoba untuk memikirkan solusi yang dimaksud Ying. Tapi tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Fang mendengus kesal, begitu juga dengan Ying. "Huh, baiklah. Aku akan memikirkan hal ini di rumah, Ying. Kau tenang saja."

^^...^^

"Ying, aku pulang ya. Sudah sore nih. Lagipula besok juga ada PR."

Ying mengangguk, ikut berdiri seperti Yaya karena sebelumnya ia dan Yaya tengah bermalas-malasan di atas tempat tidurnya. "Baiklah, tapi kau pulang naik apa?"

"Biasalah, minta jemput sama sopir," jawab Yaya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel karena ia sibuk mengetik pesan untuk meminta jemput kepada sopirnya.

Lagi-lagi Ying mengangguk, tidak tahu harus membalas apa, terlebih akhir-akhir ini otaknya dipenuhi oleh pikiran yang sangat penting dalam hidupnya. Tentang ujian semester lah, sahabatnya lah, pujaan hatinya lah, dan lain-lain. Ia meletakkan ponselnya di atas meja belajar bergambar penguin kartun itu lalu melangkah keluar kamar bersama Yaya.

^^...^^

Satu hal yang sangat Ying benci ketika Yaya berkunjung ke rumahnya, ia tidak suka kalau sahabatnya ini bertemu dengan kedua orang tuanya, terlebih lagi sang ibu. Makanya ia agak keberatan saat Yaya ingin pergi ke rumahnya walaupun hanya sekedar untuk bermain dan membahas masalah-masalah gadis lainnya.

"Ah, Yaya! Apakabar, sayang?" sahut ibu Ying, wanita yang memiliki wajah yang mirip dengan Ying. Wanita itu berdiri dari kursi meja makan lalu menghampiri Yaya dan memeluknya. Entah ini pemikiran Ying saja, bahwa tindakan ibunya terlihat berlebihan. Yaya dan ibunya juga pernah bertemu beberapa minggu yang lalu, kenapa jadi selebay ini?

Pelukan itu terlepas. "Kabarku baik, Tante Savira. Bagaimana dengan Tante sendiri?" tanya Yaya balik untuk sekedar berbasa-basi.

Savira tersenyum. "Kabar Tante selalu baik," balasnya yang mengundang tawa gadis bernama Yaya itu. Ying tanpa sadar memutar bola matanya.

Kemudian pandangan Yaya beralih pada seorang nenek yang masih duduk di kursi makan. Yaya pun menghampirinya. "Nenek Ranti, apakabar?" tanyanya, mencium punggung tangan Ranti.

Ranti tampak enggan dan tidak suka bertemu mata dengannya. "Seperti yang kau lihat, kabarku baik-baik saja."

Yaya mengangguk canggung, sudah terbiasa dengan sikap nenek Ying yang juga merupakan ibu dari Savira. Melihat itu, Savira tersenyum malu dan sedikit menggerutu karena sikap ibunya selalu saja seperti itu kepada Yaya, tidak pernah berubah sama sekali.

"Loh, ada Yaya disini?"

Keempat sosok itu menoleh ke asal suara. Seorang pria berpakaian jas yang terlihat elegan dan juga mahal, turun dari tangga dan tersenyum ramah ke arah Yaya. Tanpa sadar Ying memijat pelipisnya. Ia tidak suka dengan ini.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanyanya saat Yaya mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat.

Yaya tersenyum seperti biasanya. "Kabarku baik, Om Dimas. Lalu Om sendiri bagaimana?"

Dimas mengangguk kecil. "Ya, kabar Om selalu baik," balasnya lalu tertawa, diikuti oleh Savira dan Yaya. Ying hanya tertawa garing, sementara Ranti mendengus melihat itu. Kemudian Savira mendekati sang suami.

"Dimas, kau akan berangkat ke kantor lagi?" tanyanya tak percaya, melihat Dimas berpakaian jas seperti itu. Ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 1 siang.

"Ya, Savira. Ada rapat penting dengan klien dari Inggris. Aku harus menghadirinya, jika tidak maka perusahaan kita akan bangkrut," jelas Dimas, yang membuat Savira menggerutu kesal. Kalau seperti ini, ia tidak memiliki waktu banyak dengan Dimas, kecuali di hari Minggu. Itu pun kalau urusan kerjaan mereka tidak menumpuk.

Savira berpaling pada Yaya. "Nah, Yaya, ayo kita makan siang bersama. Kamu belum makan siang kan?"

Gadis itu terdiam. Memang benar, tadi ia dan Ying pulang cepat karena guru-guru sedang rapat. Dan tentu saja ia belum makan siang. Ia ingin menolak dan makan siang di rumah saja, tapi melihat wajah ibu Ying yang memohon padanya, ia menyetujuinya karena merasa tidak enak. "Baiklah, Tante."

Kemudian mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Sambil makan, sesekali mereka mengobrol ringan dan tertawa kecil. Dan tentu saja yang paling dominan disini adalah Savira. Wanita itu terkejut melihat piring Yaya yang sudah tandas dari makanan, sedangkan piring yang lainnya masih penuh dengan makanan. "Aduh, Yaya... kamu makannya yang banyak dong. Kamu kan menjadi Sekretaris OSIS di sekolah, jadi makannya harus banyak agar tubuhmu sehat dan tidak sakit-sakitan."

Pipi Yaya merona malu melihat ibu Ying yang perhatian padanya. Ia hanya terdiam ketika Savira menambahkan makanan lagi untuknya. Ia tadi memang mengambil makanan lebih sedikit dari biasanya, karena ia merasa tidak nyaman ketika makan di rumah orang lain, meskipun itu rumah sahabatnya sendiri.

Kedua manik Dimas sedikit membulat. "Loh, Yaya jadi Sekretaris OSIS di sekolah? Kamu sangat hebat, Yaya. Jadi anggota OSIS itu sudah termasuk anak hebat, apalagi menjadi anggota inti seperti sekretaris," puji Dimas, yang sukses membuat pipi Yaya kembali merona malu.

"Terima kasih, Om Dimas" kata Yaya, yang hanya dibalas anggukan kecil dan senyuman ramah Dimas.

Ranti melihat ekspresi cucu satu-satunya yang tampak murung, apalagi saat melihat Savira dan Dimas memberikan perhatian lebih kepada Yaya. Ying saja jarang diperhatikan seperti itu. Diam-diam, ia memandang Yaya dengan pandangan murka. Dia sedari dulu memang membenci Yaya karena gadis itu sudah merebut kasih sayang Dimas dan Savira dari Ying, tapi disisi lain ia juga menyayanginya sebagai sahabat.

Beberapa menit kemudian, piring mereka pun tandas dari makanan. Para pelayan segera mengambil piring kotor tersebut untuk dicuci. Yaya bangkit, membuat yang lain mendongak. "Tante, Om, Nenek, Ying, aku pamit dulu."

Savira langsung berdiri lalu berlari kecil ke dapur. Yang lain menatapnya heran sampai wanita itu kembali di hadapan mereka dengan sesuatu yang dibawanya. Yaya menerima bingkisan itu dengan bingung. "Nah, ini kue buatan Tante. Coba kamu cicipi ya, orang tuamu juga harus mencicipinya. Beri penilaian untuk Tante. Siapa tahu kalau ada rasa yang tidak enak, Tante akan memperbaikinya."

Bibir Yaya tertarik membentuk senyuman. "Terima kasih banyak, Tante Savira."

Savira mengangguk. "Sama-sama, sayang."

Ying akui kalau sang ibu jarang sekali memanggilnya dengan sebutan 'sayang', kecuali kalau ia sedang ngambek atau marah besar. Ataukah panggilan 'sayang' itu dikhususkan untuk tamu-tamu seusianya? Ying benar-benar tidak mengerti dengan jalan pemikiran sang ibu.

^^...^^

Gadis berambut pirang itu melangkah menyusuri salah satu koridor di SMA Harapan Bangsa. Kaki-kaki mungilnya tidak menunjukkan kalau ia sedang tergesa-gesa. Langkahnya begitu luwes dan santai. Rambut pirangnya melambai-lambai seiring dengan langkahnya. Ia menyematkan poni ke sela telinganya.

Ia berhenti di salah satu ruangan yang tidak bisa dibilang besar. Di atas pintu terdapat tulisan 'RUANG OSIS'. Tanpa mengetuk pintu atau semacamnya, ia langsung membuka pintunya dan mendapati ruangan tersebut kosong.

"Yaya dimana ya?" tanyanya dalam hati sembari celingukan.

Ia akui, ia belum pernah memasuki Ruang OSIS karena ia bukan anggota OSIS. Kemudian ia melihat satu ruangan lagi di dalam ruangan itu. Di atas pintu berwarna putih itu bertuliskan 'RUANG KOMPUTER OSIS'

"Mungkin Yaya ada di dalam ruangan itu. Siapa tahu Yaya sedang mengerjakan proposal atau hal semacamnya."

Sama seperti tadi, ia langsung menyerbu masuk tanpa masuk. Kedua matanya langsung membulat saat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak boleh ia lihat. Lelaki itu yang melihat kehadiran sang gadis, melotot kaget. Si gadis tidak bisa untuk tidak berteriak lalu menutup matanya dengan tangan.

"HUAHHHH!"

Lelaki itu spontan membungkam mulut sang gadis dengan tangannya dan menendang pintu lalu menguncinya. "Jangan berteriak, Amy. Aku tidak akan melakukan hal apapun padamu. Tenanglah," ujarnya berbisik ke telinga Amy.

Tubuh Amy menegang saat merasakan hembusan napas itu menerpa telinganya, terasa begitu panas dan menegangkan. Ia berhenti berteriak dan menghembuskan napas tenang. Wajahnya memerah setelah menyadari bahwa lelaki itu ada di belakangnya dan memeluknya dari belakang. Ia menatap horror tangan yang melingkari pinggangnya itu.

Setelah Amy tenang, pemuda itu menyingkirkan tangannya, membuat Amy menghembuskan napas lega. Amy hanya melongo melihat pemuda berambut pirang itu memakai kemeja putih namun belum dikancing, sehingga dadanya terlihat. Amy menyadari satu hal. "Ochobot, kenapa kau tidak memakai kaos dalam?"

Mendengar pertanyaan itu, tanpa sadar kedua matanya mendelik. "Amy, jangan melihatku dulu! Aku belum selesai memakai baju."

Spontan, Amy menahan diri untuk tidak berteriak dan membalikkan tubuhnya. "Maaf, aku tidak sengaja" ujarnya malu sambil menundukkan kepalanya.

Ochobot bergumam tidak jelas lalu mengaitkan kancing bajunya satu persatu. "Tadi bajuku basah karena ketumpahan soda, dan aku tidak punya kaos dalam di loker." Amy manggut-manggut mengerti. "Nah, sudah selesai. Berbaliklah."

Gadis itu menurut dan berbalik. Ochobot mendudukkan diri di kursi depan komputer. "Jadi kenapa kau datang kesini? Tidak mengetuk pintu pula. Untungnya aku sudah memakai celanaku"

Amy cengengesan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wajahnya memerah karena malu. "Aku hanya ingin mencari Yaya, tapi Yaya tidak ada disini ya?"

Ochobot menggeleng. "Yaya tidak akan kesini karena tugasnya sudah selesai. Kemungkinan Yaya bersama sahabat-sahabatnya."

Amy menggeleng. "Tidak ada. Tadi aku melihat Boboiboy dan Gopal sedang berkumpul di ruang klub sepak bola, Fang dan Ying sedang makan di kantin."

Lelaki itu memasang pose berpikir. "Hm... begitu ya? Mungkin Yaya ada di perpustakaan. Kau tahu kan kalau Yaya suka membaca?"

"Oh, di perpustakaan? Kalau begitu aku akan ke-"

KRINGG!

"Astaga, sudah masuk" gumam Amy. "Baiklah, aku pergi dulu, Ochobot." Lelaki itu mengangguk, memperhatikan Amy yang hendak membuka pintu. Kedua matanya membulat total saat mengingat sesuatu. Ia langsung bangkit dan mendekati pintu, membuat Amy mengernyit dengan tindakan Ochobot yang tiba-tiba.

"Oh, tidak! Pintunya terkunci! Aku lupa kalau pintu ini tidak boleh dikunci!" pekik Ochobot panik, membuat mulut Amy menganga lebar.

"APA?!" teriak Amy shock lalu memutar-mutar kuncinya hingga batas maksimal lalu memutar knop pintunya. Ia mendesah keras saat pintunya tidak kunjung terbuka. Ia melihat Ochobot yang mendudukkan dirinya di kursi dengan putus asa.

"Aku benar-benar lupa" gumam Ochobot pelan, namun tersirat rasa panik yang luar biasa. "Amy, kau harus menghubungi seseorang" ujarnya setengah berteriak, begitu bahagia karena otaknya berputar dengan cepat. Ah, tentu saja, ia kan Ketua OSIS.

Amy mengangguk lalu mencari ponselnya. Ia mendelik karena tidak menemukan apa-apa di semua saku seragamnya. "Oh My God, aku lupa kalau ponselku dipinjam sama Suzy! Pakai ponselmu saja, Ochobot!"

Napas Ochobot tercekat, benar-benar tidak tahu harus melakukan apa setelah ini. "Ponselku lowbat. Makanya aku menyuruhmu untuk menghubungi seseorang" balasnya dengan sabar. Emosi pun tak ada gunanya.

Mulut Amy kembali menganga. Ochobot mengacak-acak rambut pirangnya dengan frustasi lalu menatap pemandangan air mancur dibalik jendela, sama sekali tidak membantunya.

Gadis itu memejamkan matanya, memutar otaknya untuk mencari jalan keluar dari permasalahannya ini. Untuk pertama kalinya, ia terkunci di dalam ruangan, apalagi bersama seorang lelaki, dan lelaki itu adalah Ochobot, orang yang ingin sekali ia hindari! Ia mengerang tertahan. Bagus, tak ada ide yang melintas di otaknya.

"Bu Timmy hari ini sakit. Kelas kita kosong sekarang," ujar Ochobot tiba-tiba, yang mengalihkan dunia Amy.

"Tapi kalau kita terjebak di ruangan ini, apa bagusnya?" balas Amy putus asa. Ochobot merasa bersalah karena sudah menyeret Amy ke ruangan ini. Salahkan dirinya yang tiba-tiba mengunci pintu itu dan melupakan faktanya. Ternyata ketika ia sangat panik, ia sangat ceroboh ya?

"TOLONG! TOLONG! TOLONG KELUARKAN KAMI DARI SINI!"

Lelaki itu hampir terjungkal dari kursinya ketika mendengar suara teriakan Amy yang memekakkan telinga. Untung saja gendang telinganya masih berfungsi dengan baik. Ia menghela napas pelan. "Percuma saja kalau kau berteriak, ruangan ini kan kedap suara."

Amy ingin sekali menjambak rambutnya hingga rontok satu persatu sekarang saking putus asanya. Ia menarik kursi yang menganggur dengan kasar lalu menduduknya. Ia yakin, penampilannya sudah kacau sekarang, tak secantik biasanya. Amy ingin sekali bercermin sekarang.

"Jadi kita harus bagaimana?" tanya Amy, menatap Ochobot yang sedang asyik memandangi air mancur di taman belakang sekolah.

Perhatian Ochobot tertuju padanya. "Tunggu saja sampai jam sekolah berakhir. Nanti Yaya akan kesini untuk mengambil flashdisknya."

Amy mengecek jam tangannya yang berwarna kuning keemasan. Dua jam lagi bel pulang akan berbunyi. Ia sedikit bersyukur karena ia terkunci di sisa-sisa jam sekolah, tapi ya ini tetap menyebalkan. Tidak ada ponsel, hanya termangu dan melamun tidak menentu. Amy ingin sekali menjerit sekarang.

^^...^^

Sedari tadi, gadis berambut cokelat yang tergerai panjang itu memandangi pintu kelasnya dengan gelisah. Pasalnya sahabat karibnya tidak kunjung kembali sejak istirahat kedua tadi. Alasan ia meninggalkannya karena ingin mencari Yaya, tapi orang yang dicarinya sudah ada di kelas. Suzy menggigit pulpennya. "Amy kemana sih?"

"Hei, Siti, kau tahu dimana Amy?" tanya Suzy kepada sahabatnya yang duduk tepat di belakangnya. Ia mendapati Siti yang sedang mengerjakan sesuatu di buku tulis, entah apa.

Siti menutup bukunya, memandangnya bingung. "Bukannya kau yang mengatakannya padaku kalau Amy sedang mencari Yaya?"

Suzy mendesah panjang. "Iya, aku tahu. Tapi Yaya ada disini, Siti" balasnya, melirik Yaya yang sedang bercanda dengan Boboiboy. Kedua manik Siti membulat saat menyadarinya. "Lalu dimana Amy sekarang? Kenapa dia tidak kembali-kembali juga? Ataukah jangan-jangan..."

Ucapan Suzy terhenti saat jari telunjuk Siti berada tepat di depan bibirnya. "Jangan berpikiran yang negatif, ok? Amy pasti berada di suatu tempat dan baik-baik saja. Kita harus tanya kepada yang lain." Suzy hanya mengangguk pasrah.

"Yaya, apakah kau bertemu Amy tadi?"

Yaya yang sedang bercanda dengan Boboiboy, berhenti tertawa dan memandangi Siti dengan bingung. Boboiboy pun juga ikut bingung. Jantung Suzy dan Siti mencelos melihat respon Yaya yang menggeleng. "Tidak, aku tidak bertemu Amy tadi kecuali di kelas."

Suzy spontan berdiri, kemudian diikuti oleh Siti. "Oh My God, bagaimana kalau Amy benar-benar diculik, Siti?! Kau tidak boleh tenang-tenang saja dong!" ucapnya histeris sekaligus sedikit kesal dengan Siti yang berekspresi datar sedari tadi. Namun ia sedikit merasa bersalah saat melihat ekspresi bersalah Siti meskipun tersirat.

Perkataan Suzy tentu membuat seisi kelas heboh. Gopal bangkit dan menghampiri keduanya. "Oh iya, Ochobot juga belum kembali! Jangan-jangan mereka..."

"Ochobot sedang bermain game di Ruang OSIS, Gopal" sahut Iwan, memutar bola matanya malas karena Gopal sering sekali menghiperbola suasana. Gopal cengengesan dan menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Yaya ikut panik dan mendekati mereka. "Memangnya Amy mencariku dimana? Selama istirahat aku ada di perpustakaan."

Suzy terdiam sebentar sebelum menjawab. "Oh iya, Amy bilang kalau dia akan mencarimu di Ruang OSIS. Itu berarti..." Suzy dan yang lainnya saling berpandangan sebelum menyimpulkan sesuatu.

"Ochobot dan Amy ada di Ruang OSIS!"

^^...^^

"Oh iya, aku ingin menanyakan sesuatu yang penting padamu." Suara Amy memecah kesunyian di antara mereka. Lelaki itu yang awalnya setengah melamun dan setengah sadar, tersentak kecil lalu menatapnya.

"Apa?"

Gadis itu menatapnya serius. Ia tahu, ia tidak bisa memendamnya dalam waktu lama, apalagi dihantui oleh rasa penasaran sekaligus rasa bersalah karena mungkin Ochobot melakukan itu karena salahnya juga. "Kenapa kau mendadak menghindariku selama ini?"

Tak dapat dipungkiri, lelaki itu begitu terkejut mendengar pertanyaan Amy yang sangat tidak diduganya. Ia memutuskan kontak pandangan dengannya, membuat Amy menahan geramannya agar tidak terlontar. "Aku tidak menghindarimu, Amy. Ku rasa semuanya baik-baik saja."

Amy menggeleng. "Tidak, Ochobot. Aku tahu betul kalau kau sedang menghindariku selama satu tahun ini, mendadak pula. Memangnya ada apa sih? Apakah aku berbuat salah padamu? Tolong jelaskan."

Pemuda itu kebingungan harus menjawab apa. Meskipun ia adalah seorang Ketua OSIS yang jenius dan bisa mengatasi masalah secepat mungkin, tapi ia kalah jika dihadapkan dengan seorang gadis seperti Amy. Ochobot memilih untuk diintrogasi Pak Zola daripada gadis berambut pirang tersebut. Gadis itu memicingkan matanya dengan tajam, sukses membuat Ochobot sulit menelan ludahnya.

"Tidak, Amy, sungguh. Aku tidak menghindarimu, percayalah."

"Jangan berbohong lagi, Ochobot! Aku yang merasakannya selama satu tahun ini, bukan kau."

"Sudah, CUKUP!"

Sang gadis mengatupkan mulutnya yang menganga beberapa saat karena bentakan pemuda di hadapannya. Napasnya tercekat, tak menyangka lelaki yang ia sukai selama satu tahun lebih baru saja membentaknya. Bulir bening itu mulai menetesi pipinya, membuatnya terkejut namun tidak menggerakkan tubuhnya sedikit. Ia masih terlalu shock dengan apa yang terjadi.

Ochobot menutup mulutnya dengan tangan ketika menyadari apa yang ia lakukan pada Amy. Bibir bawah ia gigit, matanya melirik Amy dengan gugup. Maniknya membulat, melihat air mata menetes dari sudut mata gadis itu.

Si Ketua OSIS tidak melakukan apa-apa, hanya memandangi Amy yang berusaha menghentikan tangisannya dalam diam. Ia tahu, Amy tidak ingin ia mendengar isakan tangisannya, perihnya hatinya ketika ia tak sengaja membentaknya, wajahnya ketika menangis, dan kecewanya ia. Ochobot merasakan oksigen di sekitarnya menipis, membuatnya sesak. Tapi Ochobot tahu, Amy lebih sesak dari yang ia bayangkan.

Dalam hati, Ochobot sangat membenci dirinya sendiri yang bertingkah layaknya pengecut. Dimana sikap pemberaninya yang biasa ia tunjukkan ketika memimpin anggota organisasinya? Kenapa saat sikap itu benar-benar harus ditunjukkan, justru lenyap tanpa bekas? Ochobot menghela napas pelan, menatap Amy lirih. "Maafkan aku. Aku tidak sengaja membentakmu." Hanya itu yang ia ucapkan? Sungguh, Ochobot benar-benar menerima kenyataan kalau ia memang pengecut sungguhan.

Pandangan mereka bertemu. Ochobot harus merasakan perih di hatinya saat mata itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bekas air mata itu masih tertera jelas. Dan ia tak sanggup untuk melihatnya lama-lama. "Kau tidak perlu meminta maaf." Ochobot semakin yakin kalau Amy semakin membencinya sekarang.

Setelah kecanggungan melanda mereka cukup lama, terdengar suara gaduh tak jauh dari tempat mereka berada. Dalam hati, Ochobot berharap bahwa teman-temannya tahu masalahnya lalu mengeluarkannya dari sini. Begitu juga dengan Amy. Namun ia begitu gelisah karena wajahnya benar-benar terlihat seperti orang habis menangis. Yang ia sesali, kenapa ia menangis segala sih?

BRAKK!

Setelah pintu itu terbuka lebar karena dobrakan berulang-ulang, gadis berambut pirang itu langsung melengos keluar begitu saja, tanpa memperdulikan tatapan aneh luar biasa dari orang-orang yang ada disana. Ochobot memandang kepergian Amy dengan kecewa, namun ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghadapi masalahnya sendiri.

Rahang Suzy mengeras melihat kejanggalan yang terjadi pada sahabat karibnya. Kedua netranya melihat jelas bahwa Amy keluar dengan tubuh sedikit bergetar, menandakan kalau sahabatnya sedang menangis. Tatapannya langsung tertuju pada seseorang yang tadinya terkunci bersama Amy di ruang terkutuk itu.

"Ochobot, apa yang kau lakukan pada Amy, hah?! Kenapa kau membuatnya menangis seperti itu?! Jangan-jangan kau..." Suzy tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Napasnya tercekat. Ia tidak mau sahabatnya terluka sedikit pun, apalagi pelakunya adalah lelaki yang disukai sahabatnya sendiri.

Spontan, Ochobot menggelengkan kepalanya cepat. "Jangan berpikiran negatif, Suzy! Aku tidak melakukan apapun kepada Amy. Aku hanya... hanya..." Ochobot bingung harus menceritakannya darimana jika semua pandangan selidik tertuju padanya.

"Sudahlah, Ochobot, ceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada kalian berdua. Jangan menyembunyikan sesuatu," ujar Siti lembut, namun tersirat nada tegas di dalamnya. Tanpa Siti sadari, Iwan yang berdiri di sampingnya, tersenyum lebar melihat gadis tersebut bersikap bijaksana.

Ochobot menghembuskan napasnya secara perlahan, berusaha menghilangkan rasa gugupnya yang menjalar selama beberapa detik yang lalu. "Aku tidak sengaja membentaknya," jelas Ochobot, dengan ekspresi bersalah yang tertera jelas di wajahnya, sukses membuat Suzy mendelik tajam.

"APA?! Kau tak sengaja membentaknya?! Grr... Ochobot... kau memang benar-benar... arghhh!" Suzy tidak melanjutkan ucapannya dan memilih untuk berlari keluar mencari sang sahabat. Siti pun ikut berlari mengejar Suzy. Ochobot rasanya ingin sekali menangis. Ia menoleh saat merasakan tepukan pelan di bahunya, Iwan.

"Lebih baik kita bicara di luar saja."

Ochobot hanya mengangguk lemas.

^^...^^

Iwan menatap sahabat karibnya yang memiliki rambut pirang karena keturunan Inggris tersebut. Ia sangat tahu kalau Ochobot akhir-akhir ini terlihat stress, memikirkan event-event OSIS selanjutnya dan juga masalah pribadinya sendiri, mungkin masalah pribadinya adalah tentang gadis yang disukainya. Iwan sebenarnya juga bingung dengan gadis pujaan hati Ochobot. Lelaki itu sudah tidak pernah curhat tentang gadis padanya. Tapi Iwan tahu, terakhir kalinya Ochobot curhat tentang Amy padanya.

Lelaki penyuka warna cokelat kombinasi hijau (karena ia menyukai pohon), menatap teduh sahabatnya yang menyukai warna kuning. "Ochobot, sebenarnya ada apa denganmu dan Amy? Dan aku juga baru menyadari, kalau kau juga tiba-tiba menghindarinya. Kenapa?"

Ochobot menatapnya sendu, kemudian menghela napas pelan. "Kau benar-benar ingin tahu, Iwan?" Tentu saja jawaban Iwan adalah anggukan kecil. Ochobot menengadah, memperhatikan awan-awan putih yang berarak pelan menghiasi langit. "Waktu itu...

FLASHBACK

Hari ini Ochobot begitu bahagia, karena hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-16. Banyak sekali teman-temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya, dan ada juga yang memberinya kado. Apalagi ia adalah salah satu anggota OSIS, bertambah banyak sudah temannya.

Tapi satu hal yang sangat ia inginkan di hari ulang tahunnya ini, yaitu ucapan selamat ulang tahun dari gadis yang disukainya. Karena hal itu akan menjadi hal teristimewa dalam hidupnya. Sebenarnya ia tidak begitu antusias menyambut hari ulang tahunnya, karena ia tidak suka umurnya bertambah alias semakin tua. Mungkin karena ia sudah remaja dan memiliki gadis yang ia sukai, maka ia menyambut ulang tahunnya dengan antusias kali ini.

Awalnya hari itu berjalan dengan normal. Seperti biasanya ia berkeliling wilayah sekolahnya dan memberikan senyuman ramah kepada teman-temannya maupun senior. Hingga tatapannya tertuju pada gadis yang disukainya, gadis yang memiliki rambut pirang sama seperti dirinya. Hanya saja kali ini ada yang berbeda.

Gadis itu, gadis yang sudah membuat jantungnya berdegup kencang selama ini, dipeluk oleh salah satu seniornya yang merupakan Ketua OSIS di sekolahnya. Mata Ochobot memandang mereka tak berkedip, mulutnya terkatup rapat, terlalu shock dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya. Napasnya tercekat, menyadari bahwa kedua insan tersebut saling berpandangan, mungkin terpesona dengan makhluk di hadapan mereka. Tangan seniornya yang satu menahan kepala si gadis agar tak membentur lantai, yang satu lagi memeluk pinggang si gadis. Ochobot tak mengerti, kenapa gadis itu mau dipeluk oleh si Ketua OSIS.

Karena tidak tahan dengan rasa sesak di dadanya yang menyebabkan ia kesulitan bernafas, maka Ochobot berlari menjauh dari tempat itu. Ia mulai menyadari bahwa Amy adalah gadis yang cantik, dan sudah pastinya menyukai lelaki tampan seperti Ketua OSIS tersebut, Stainley. Mana mungkin Amy mau dengan lelaki manis dan imut sepertinya? Ochobot menghela napas putus asa, ia pun berusaha untuk tidak menyukai Amy lagi.

FLASHBACK OFF

^^...^^

"Apa yang terjadi, Amy? Ceritalah, kita berdua akan mendengarkannya baik-baik."

Tangisan Amy meledak lalu memeluk Suzy erat, membuat Suzy dan Siti sama-sama tertegun. Tangan Suzy bergerak lembut membelai punggung Amy. Gadis berambut pirang itu terlihat sangat kacau. Kedua sahabatnya tidak pernah melihat Amy menangis meraung-raung seperti ini. Apa mungkin karena masalahnya beda ya?

"Ochobot... dia... dia..."

"Dia kenapa? Apa yang dia lakukan padamu?" potong Siti lembut.

Napas Amy terengah-engah karena tangisannya sendiri. "Dia membentakku barusan, hiks hiks." Lalu Amy melepaskan pelukan eratnya dan mengusap air matanya dengan kasar. Pipinya memerah malu karena ia menangis seperti anak kecil di hadapan kedua sahabatnya. "Padahal kan aku hanya bertanya kenapa dia menghindariku selama ini. Tiba-tiba saja dia membentakku, hiks hiks."

Amy terpaku saat Suzy menggenggam tangannya. "Aku yakin kalau Ochobot tidak sengaja membentakmu. Mungkin Ochobot sedang kebanyakan pikiran dan kelelahan lalu akibatnya dia tidak sengaja membentakmu saat kau menanyakan hal itu."

Gadis itu bungkam. Pikirannya kalut akibat memikirkan banyak hal. Siti tersenyum lembut padanya, senyum yang membuat hatinya sedikit lebih tenang karena senyuman itu memancarkan banyak ketulusan untuk siapa saja. "Ya, mungkin apa yang dikatakan Suzy memang benar. Buktinya tadi Ochobot mengurung diri di ruang OSIS untuk bermain game. Dia ingin merefresh pikirannya," tambah Siti.

Amy mematung, setengah hati membenarkan opini kedua sahabatnya, setengah hati lagi menyangkalnya dan membuat opini sendiri bahwa Ochobot sudah tidak peduli lagi atau malah sudah membencinya. Amy menutup wajahnya dengan telapak tangan, tidak ingin kedua sahabatnya tahu seperti apa ekspresinya sekarang, dan juga air matanya yang kembali mengaliri pipinya.

TBC

Maafkan saya yang hampir (sudah) menelantarkan fanfic ini, hehe. Padahal bukan ini doang, tapi ffku yang lain juga jadi korbanku :v

Akhir kata, review please...