Seventeen belong to God, Pledis and their parents

20 © Bianca Jewelry

Choi Seungcheol X Choi (Jang) Doyoon

Kwon Soonyoung X Choi (Lee) Jihoon X Lee Seokmin

Choi (Kim) Mingyu X Jeon Wonwoo

Wen Junhui X Xu Minghao

Rating: T

Warning: GS. AU. OOC. Bahasa tidak baku.

"Jihoon-ie, kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat," tanya Soonyoung khawatir saat Jihoon duduk di tempatnya.

"Tidak apa-apa Soon," jawab Jihoon datar.

Wonwoo mendengar percakapan keduanya dan melirik sekilas tapi mencoba tidak peduli. Ia pura-pura sibuk dengan buku yang dibacanya. Soonyoung melihatnya, ia tahu sebetulnya Wonwoo peduli dengan Jihoon.

"Kalian sampai kapan sih mau bermusuhan terus! Tidak capek apa saling mendiamkan?!" seru Soonyoung menaikkan intonasi suaranya dan meninggalkan mereka.

Wonwoo dan Jihoon berjengit. Terkejut karena tiba-tiba Soonyoung membentak mereka. Karena Soonyoung yang mereka kenal itu selalu ceria dan hampir tidak pernah membentak orang.

.

"Wonwoo!" panggil Soonyoung dengan napas tersengal saat ia sampai di meja yang ditempati Wonwoo seorang diri di kantin pada jam istirahat. "Jihoon… Jihoon-ie…"

"Jihoon kenapa?"

"Pingsan… Di ruang kesehatan."

Wonwoo segera bangkit dari tempat duduknya, tak lupa membeli sebungkus roti dan susu kotak kemudian berlari menuju ruang kesehatan.

.

Wonwoo membaca buku sambil sesekali memperhatikan Jihoon yang sedang tertidur dari samping tempat tidur. Jihoon belum sadar dan ia sudah melewatkan dua jam pelajaran. Wonwoo tidak peduli, ia bisa meminjam catatan Soonyoung nanti. Pokoknya ia akan menunggu Jihoon sampai membuka matanya.

Jihoon membuka matanya perlahan dan melihat sekelilingnya kemudian memanggil gadis yang sedang menunggunya pelan, "Wonu."

Wonwoo segera menutup bukunya dan memeluk Jihoon. "Jihoon-ie, sudah sadar? Syukurlah."

Jihoon mengangguk pelan dan mendudukkan dirinya. Wonwoo memberikan segelas air pada Jihoon. Jihoon meminumnya kemudian meletakkan gelasnya pada meja nakas.

"Aku mau minta maaf," ucap Wonwoo sambil menggenggam kedua tangan Jihoon.

Jihoon menggeleng. "Tidak, seharusnya aku yang minta maaf. Maafkan aku," kata Jihoon seraya memeluk Wonwoo.

Wonwoo balas memeluk Jihoon dan mengusap-usap punggungnya.

Jihoon melepas pelukannya dan tersenyum.

Wonwoo balas tersenyum kemudian memberikan sebungkus roti yang tadi berada di atas meja nakas di sebelah tempat tidur. "Makan dulu. Kata Soonyoung kau jadi jarang makan sejak kita bertengkar."

Jihoon membuka bungkus roti dan memakannya. "Habis kau itu jarang marah lalu tiba-tiba marah kepadaku seperti itu. Bagaimana kalau selamanya kau membenciku dan tidak memaafkanku? 'Kan aku kepikiran terus," kata Jihoon dengan mulut penuh roti.

Wonwoo tersenyum. "Makan dulu Ji… Aku tidak membencimu. Aku hanya kesal, dan yah… Seperti itulah."

"Maaf." Jihoon mengunyah rotinya lagi.

"Iya. Sudahlah. Dan aku juga kesal sih melihatmu jalan dengan Seokmin."

Jihoon menatap Wonwoo. "Kenapa?"

Wonwoo meliriknya tajam. "Kok malah tanya kenapa."

Jihoon meringis dan mengalihkan pandangannya dari Wonwoo.

"Kau itu suka tidak sih sama Soonyoung? Kok tiba-tiba pergi dengan Seokmin."

"Dia minta kesempatan. Dan aku hanya mencobanya. Lagipula aku hanya pergi dengannya dua—" Jihoon terkesiap dan menutup mulutnya.

"Aku tahu. Aku melihat kalian saat di Lotte World." Wonwoo menghembuskan napas pelan. "Adakah yang berubah?" tanyanya hati-hati.

Jihoon menggeleng pelan. Rotinya sudah habis dan ia melipat bungkus roti itu menjadi lipatan kecil kemudian meletakkannya di atas meja nakas. Lalu Jihoon mengambil susu kotak yang ada di sana dan meminumnya.

"Itu sama saja dengan memberikan harapan palsu Jihoon."

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Jihoon putus asa. "Aku juga lelah menunggu Soonyoung, Won."

Wonwoo prihatin dan menepuk kepala Jihoon.

Jihoon menepis tangan Wonwoo dan menggigiti sedotan dari kotak susunya yang sudah habis. Ia memicingkan mata. "Katamu kau melihatku saat di Lotte World. Kau pergi dengan siapa?"

Wonwoo menghindari kontak mata dengan Jihoon dan mendadak gugup. Rona merah samar menghiasi pipinya. "De-dengan sepupuku."

Jihoon menatapnya curiga. "Bohong."

"Tidak. Aku pergi dengan sepupuku."

"Pasti dengan Mingyu," goda Jihoon—pukulan pelan mendarat di pahanya. "Aw." Jihoon balas memukul pelan lengan Wonwoo. "Aku memperhatikan kalian loh. Kau menghindarinya sejak kita bertengkar. Ada apa?"

Wajah Wonwoo memerah hingga ke telinga. Ia memeluk Jihoon dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Jihoon.

"Hei… Kenapa? Dia melakukan sesuatu padamu? Biar kupukul dia nanti."

"Di-di-dia…" Wonwoo bimbang untuk mengatakannya. Jihoon itu sahabatnya, tapi ia juga kakak dari Mingyu. "Menciumku…" lanjut Wonwoo akhirnya dengan suara yang sangat pelan. "Saat aku menangis di perpustakaan."

Jihoon menyeringai. "Bagus dong."

Wonwoo merajuk dan menjauhkan kepalanya. "Di bibir, Ji. Dimana letak bagusnya?" tanya Wonwoo kesal masih dengan rona merah di pipi.

Jihoon membulatkan mata dan sudah bersiap untuk bangkit dari tempat tidur. Wonwoo menahannya.

"Tenang Jihoon-ie," kata Wonwoo.

"Bagaimana aku bisa tenang hah? Bocah itu telah merebut ciuman Wonuku," ujar Jihoon emosi. Jihoon memegang kedua lengan Wonwoo. "Dia tidak melakukan apa-apa lagi selain itu 'kan?"

Wonwoo menggeleng.

Jihoon menghela napas lega. "Syukurlah," katanya. "Tapi kau senang dong, ada kemajuan," goda Jihoon sambil mencolek dagu Wonwoo.

Wonwoo kembali memukul paha Jihoon. "Ayo kembali ke kelas daripada kau memberikan komentar tidak penting."

"Aigoo, uri Won-ie tersipu," goda Jihoon lagi.

Wonwoo mendelik dan Jihoon melempar cengiran sebagai balasan. Kemudian mereka berdua kembali ke kelas.

.

"Sudah pulang, Choi?" tanya Jihoon dingin sambil memainkan gitarnya saat Mingyu menginjakkan kaki di ruang tamu. Jihoon pulang duluan tadi karena Mingyu kebagian tugas piket.

Perasaan Mingyu tiba-tiba tidak enak. Ia berkeringat dingin dan menjawab terbata. "I-iya noona."

"Sini kau!" seru Jihoon dengan nada mengancam.

Mingyu mendekati Jihoon dan duduk di sebelahnya.

Jihoon mendelik. "Siapa yang menyuruhmu duduk di sofa? Duduk di bawah!"

Mingyu menurut. Ia duduk di lantai menghadap Jihoon, tetapi kepalanya menunduk.

"KAU APAKAN WONUKU HAH?!" Jihoon berdiri sambil mengangkat gitarnya dan siap memukul Mingyu.

"Noo Noona… Aku bisa jelaskan," ucap Mingyu gelagapan sambil mengangkat tangannya. Berusaha melindungi diri siapa tahu gitar itu benar-benar melayang ke arahnya.

"Jihoon-ie jangan teriak-teriak, sudah malam!" teriak Doyoon dari lantai atas.

Jihoon menatap ke lantai atas. "Mian, Bunda!" balas Jihoon. Ia beralih pada Mingyu dan menghela napas. Jihoon meletakkan gitarnya pada sofa. "Baik. Pembelaanmu. Satu menit."

Mingyu gelagapan lagi. "Uh, itu… Aku—"

"Tiga puluh detik."

Mingyu merengut. Dia bahkan belum menjelaskan apa-apa. "Aku tahu memberhentikan orang yang menangis dengan menciumnya adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan."

Jihoon mengusap dahinya. "Otakmu itu diletakkan dimana sih?! Kau bisa menenangkannya dengan cara lain, bukan dengan menciumnya," omel Jihoon.

"Maaf noona, aku tahu aku salah. Jangan marah ya?" rayu Mingyu sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan Jihoon. "Ya ya ya? Wonwoo-noona sudah mendiamkanku. Jangan ikut-ikutan."

"Cepat minta maaf padanya."

"Tolong aku," pinta Mingyu memelas sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Itu urusanmu, adikku yang manis," balas Jihoon dengan senyum miring. "Ditunggu pajak jadiannya!" Jihoon meninggalkan Mingyu dan membawa gitarnya menuju kamar.

"Ditunggu juga pajak jadiannya," gumam Mingyu sambil menyeringai.

.

Jun bosan. Pemuda Cina itu memangku dagunya dengan tangan dan menatap gadis yang duduk di hadapannya dengan wajah ditekuk. Setelah sekian lama tidak menghabiskan waktu berdua dan akhirnya mereka memiliki kesempatan untuk kencan, kenapa gadisnya itu malah bercerita tentang lelaki lain. Mingyu itu baik, Mingyu itu pandai memasak, Mingyu pernah merapikan rambutnya, dan lain sebagainya. Serius, Jun jengah mendengar nama Mingyu keluar dari mulut gadisnya.

"…oppa? Kau mendengarku tidak?" Minghao melambaikan tangan di depan wajah Jun. Walaupun mereka berdua berasal dari Cina, Minghao dan Jun menggunakan bahasa Korea saat mereka berbicara. Biar lebih lancar berbahasa Korea, kata Minghao waktu itu.

Jun menghela napas kemudian menyeruput minumannya. "Sudah puas cerita tentang Mingyu? Aku ke sini tidak untuk mendengar ceritamu tentang lelaki lain Hao-ya."

Minghao terdiam. Ia menundukkan kepalanya dan memainkan jarinya. "Jun-oppa juga juga dekat-dekat dengan Wonwoo-eonni," lirih Minghao.

Jun bengong. Tak menyangka Minghao memperhatikan kedekatannya dengan Wonwoo. Ia dekat dengan Wonwoo karena Jun memang peduli, dan ia memiliki alasan lain sih. Jun sering memperhatikan Mingyu sering main ke kelasnya untuk menggoda Wonwoo. Dan Jun juga memperhatikan kalau Mingyu itu dekat dengan Minghao dan sering menggodanya. Jadi sedikit banyak, ia dekat dengan Wonwoo untuk memanas-manasi pemuda tiang itu, dan Minghao juga, mungkin. Dan Jun cukup senang ketika Mingyu menatapnya tidak suka saat mereka berkenalan di kantin. Silakan bilang kalau alasan Jun itu konyol dan tidak masuk akal. Tapi jujur saja, Jun cemburu. Memang tidak banyak yang mengetahui kalau Minghao itu pacarnya Jun. Jun yang melihat Minghao tertunduk sambil memainkan jarinya itu tersenyum iseng dan jadi ingin mengerjai gadisnya.

"Memangnya kenapa kalau aku dekat-dekat dengan Wonwoo? Kau juga dekat-dekat dengan Mingyu, kok. Bahkan saat kau bersamaku, kau selalu bercerita tentang si tiang itu," kata Jun kalem.

Minghao terkesiap. Tak menyangka pacar yang setahun lebih tua darinya itu akan menjawab demikian. Minghao menatap Jun dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar. "Jadi oppa sudah tidak sayang padaku lagi?"

Jun merutuk. Sepertinya ia sudah keterlaluan karena hampir membuat Minghao menangis.

"Kenapa diam saja? Jawab aku!"

Jun mengusap wajahnya kasar lalu menatap Minghao. "Bukan begitu Hao-ya."

"Lalu apa? Aku pulang saja. Aku benci oppa!" kata Minghao mengambil tasnya dan bangkit berdiri.

Jun segera berjalan ke seberang meja dan menahan Minghao kemudian menariknya untuk duduk kembali. "Hao-ya, maafkan aku. Aku cuma bercanda," ucap Jun seraya menggenggam kedua tangan Minghao.

"Bercandamu tidak lucu." Minghao cemberut.

Jun memeluk Minghao dari samping dan meletakkan dagunya pada bahu Minghao. "Maafkan aku ya? Aku mendekati Wonwoo itu karena Mingyu terlalu menempel padamu."

Minghao menoleh sedikit dan mengernyit bingung. "Lalu apa hubungannya?"

"Membuat Mingyu cemburu? Sepertinya dia menyukai Wonwoo," ujar Jun. Dan membuatmu cemburu juga, lanjutnya dalam hati.

Minghao mengangguk paham. Mingyu pernah bercerita kepada Minghao kalau dia sedang menyukai seorang kakak kelas tapi Mingyu tidak pernah menyebutkan namanya. Jadi sekarang Minghao tahu bahwa yang disukai Mingyu itu Wonwoo. "Tapi kalian terlihat ambigu." Minghao kembali cemberut.

"Kalian juga Hao-yaaa," kata Jun gemas kemudian menarik hidung Minghao. Minghao menutup matanya ketika Jun menarik hidungnya. Jun menarik Minghao ke dalam dekapannya. "Hei, aku cemburu, kau tahu?" lirih Jun sambil mengusap sayang kepala Minghao.

Minghao merasakan hatinya dan pipinya menghangat. Ia tersenyum tipis kemudian balas memeluk Jun. "Maaf."

"Aku juga minta maaf." Jun melepas dekapannya kemudian mengacak surai Minghao. "Sudah malam. Ayo pulang," lanjut Jun seraya berdiri.

Minghao mengangguk dengan senyum lebar dan ikut berdiri. Kemudian menggenggam tangan Jun dan mereka berdua meninggalkan café.

.

Hari Senin kembali datang, Jihoon dan semua anggota paduan suara sedang berkumpul di ruang klub untuk membahas lomba yang akan mereka ikuti. Setelah rapat selesai, Seokmin meminta Jihoon untuk ikut bersamanya ke atap sekolah pada jam istirahat.

"Ada apa Seokmin-ah? Kenapa membawaku kemari?" tanya Jihoon saat mereka sampai di atap sekolah.

Seokmin tersenyum. "Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Tidak bisa di ruang klub saja sampai harus ke sini?" tanya Jihoon sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Aku ingin mendengar jawabanmu, noona."

Jihoon tertegun dan menatap sepatunya.

"Jihoon-noona, aku menyukaimu, jadilah pacarku."

Jihoon menatap Seokmin. "Maaf Seokmin-ah. Aku tidak bisa." Jihoon memainkan jarinya. "Terima kasih sudah memperlakukanku dengan baik—tidak, kau memperlakukanku dengan sangat baik, dan maaf jika aku hanya menyakitimu selama ini."

Seokmin menepuk kepala Jihoon dan tersenyum. "Tidak apa-apa noona. Terima kasih sudah mau menghabiskan waktu bersamaku."

Jihoon tersenyum miring. "Kau terlalu baik Seokmin-ah."

Seokmin tertawa. "Kau juga harus memperjuangkan cintamu, noona."

Jihoon hanya tersenyum sebagai balasan. "Aku kembali dulu, jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan."

Seokmin mengangguk dan tersenyum.

.

Soonyoung yang bosan dengan ruang klub dan lapangan basket sedang berjalan menuju atap sekolah yang jarang dikunjunginya pada jam istirahat untuk mencari suasana baru. Saat sampai di dekat pintu, sayup-sayup dapat didengarnya suara yang familiar dari pintu atap yang sedikit terbuka. Suara milik tetangga sekaligus partner-in-crimenya.

"Jihoon-noona, aku menyukaimu, jadilah pacarku."

Soonyoung bergeming di tempatnya. Ia tidak sanggup mendengar balasan Jihoon dan memilih berlari ke ruang klub.

Semua sudah berakhir—begitulah pikirnya.

.

Jihoon menutup pintu atap dan bersandar pada pintu. Ia dapat mendengar kalimat terakhir yang Seokmin ucapkan dengan sangat pelan.

"Soonyoung-hyung menunggumu."

Jihoon segera berlari meninggalkan atap dan mencari Soonyoung.

.

Jihoon berlari kesana-kemari untuk mencari Soonyoung. Yang belum dikunjunginya adalah ruang klub dance. Ia melangkahkan kakinya lebar-lebar setelah mampir ke kantin untuk membeli minuman.

Jihoon membuka pintu ruang klub dance dan menemukan Soonyoung sedang menari di sana. Jihoon segera berlari dan memeluknya, membuat pergerakan Soonyoung terhenti. Suara musik dari lagu yang dipilih Soonyoung masih mengalun memenuhi ruangan.

"Jihoon-ie, aku berkeringat," kata Soonyoung.

Jihoon semakin mempererat pelukannya.

"Ada apa?" tanya Soonyoung sambil melepas tangan Jihoon dari tubuhnya. Soonyoung mematikan lagu dari pemutar lagu yang ada di dekatnya.

Jihoon tersenyum pada Soonyoung.

Jihoon pasti senang karena sudah punya pacar, pikir Soonyoung.

"Selamat ya," kata Soonyoung sambil mengusap kepala Jihoon.

Jihoon mengerjap bingung. Selamat? Seingatnya ia tidak menang lotre atau menjuarai kompetisi apapun. "Selamat atas apa Soon?" tanyanya bingung.

Soonyoung tersenyum sebagai balasan. Senyum sedih yang baru kali ini Jihoon lihat selama berteman dengan Soonyoung. "Aku tahu aku tidak pantas untuk mengatakan ini sekarang, tapi aku ingin kau mendengarku." Soonyoung mengusap pipi Jihoon lembut.

Jihoon menatap Soonyoung penuh tanda tanya.

"Aku ingat ketika umurku lima tahun dan melihat seorang anak perempuan yang ditemani ibunya merajuk tidak ingin masuk ke kelasnya. Namanya Choi Jihoon. Dia begitu manis dengan pipi tembamnya. Aku mendekatinya saat itu dan berusaha menghiburnya agar dapat melihat senyumnya dan mengajaknya masuk kelas. Dan aku berhasil. Dia tersenyum dengan sangat manis ketika aku melempar lelucon bodohku."

Rona merah muda menghiasi pipi Jihoon.

"Kemudian aku berteman dengannya. Setelah itu dia mengenalkan sahabat perempuannya padaku. Kami selalu bermain bertiga. Aku juga ingat saat dia merajuk padaku karena aku lebih memperhatikan sahabatnya daripada dirinya. Dia mendiamkanku seharian sampai aku membelikannya es krim. Tapi saat itu aku membelikannya rasa coklat karena tidak tahu apa rasa kesukaannya. Kemudian ia berkata bahwa favoritnya adalah vanilla. Sejak saat itu aku selalu mengingat apapun yang menjadi kesukaannya."

Entah kenapa air mata Jihoon mengalir. Soonyoung menghapusnya dengan ibu jari dan melanjutkan ceritanya.

"Saat umur delapan tahun, dia sangat sedih karena sahabatnya pindah. Aku berusaha menghiburnya lagi agar dapat melihat senyum manis yang aku sukai itu menghias wajahnya. Aku melontarkan lelucon-lelucon bodohku lagi. Awalnya tidak berhasil. Tapi akhirnya tawanya kembali dan ia tidak sesedih saat pertama kali sahabatnya itu pindah. Pada umur sepuluh tahun, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya pergi untuk pertama kali. Tapi tiba-tiba ibu memintaku untuk menemaninya belanja dan dia marah saat aku lupa memberi tahunya. Dia hampir memukulku dengan gitar kau tahu," kata Soonyoung sambil tertawa. "Aku memberinya es krim dan mengucapkan maaf berkali-kali. Aku juga membuat ekspresi konyol agar dia kembali tersenyum. Kau harus tahu Jihoon-ie, wajahnya jelek saat marah. Dan ia itu sangat galak."

Jihoon tertawa di sela tangisnya dan memukul pelan dada Soonyoung. Soonyoung ikut tertawa.

"Kami berdua lulus dan masuk Sekolah Menengah Pertama yang sama. Saat berada di kelas satu, ia mengikuti kompetisi mewakili sekolahnya. Hari itu ia tampak sangat cantik di mataku. Ia membawakan lagu buatannya sendiri dan bermain gitar saat tampil. Gadis itu sudah menarik perhatianku sejak kecil. Tapi sejak saat itu aku sadar, aku telah jatuh cinta kepadanya."

Air mata Jihoon mengalir semakin deras dan ia menutup mulutnya dengan tangan. Soonyoung meraih Jihoon ke dalam dekapannya.

"Jangan menangis Jihoon-ie," kata Soonyoung lembut.

Jihoon memukul pelan dada Soonyoung berkali-kali. "Kwon bodoh, kenapa baru bilang sekarang," lirih Jihoon di sela isakannya.

"Iya, aku memang bodoh, Jihoon-ie. Karena tidak berani menyatakannya dan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bisa bersamanya."

Jihoon tersenyum geli di sela tangisannya. Ia jadi paham maksud selamat dari Soonyoung. Mungkin tadi Soonyoung tidak sengaja menemukannya dengan Seokmin di atap dan pergi terlebih dahulu sebelum mendengar jawabannya. Jihoon mendorong Soonyoung pelan kemudian menarik kedua pipi Soonyoung. "Hamster jelek. Aku tidak berpacaran dengan Seokmin," kata Jihoon dengan senyum geli sambil mengusap air matanya.

Soonyoung mengerjapkan matanya beberapa kali dan tertawa. Ia merasa benar-benar bodoh karena sudah mengambil kesimpulan seenaknya. Soonyoung menempelkan dahinya pada dahi Jihoon dan menatapnya dalam.

Jihoon balas menatap Soonyoung dan menjadi gugup.

"Jadi…" ucap Soonyoung.

"Jadi?" tanya Jihoon tidak mengerti.

Soonyoung tersenyum. "Jadi pacarku?"

Jihoon mendengus dengan rona merah di pipi. Ia mendorong Soonyoung pelan. "Aku tidak mau pacaran dengan orang bodoh."

"Yakin?" tanya Soonyoung menaik-turunkan alisnya. "Biar bodoh begini tapi kau suka 'kan~" goda Soonyoung sambil mencolek dagu Jihoon.

Jihoon mendelik dan menepis tangan Soonyoung. "Percaya diri sekali kau Kwon. Memang siapa yang menyukaimu?"

"Kau."

"Aku membencimu asal kau tahu." Jihoon bersedekap.

"Oh ya? Lalu kenapa ke sini? Sampai lari-lari begitu. Pakai acara peluk-peluk segala." Soonyoung menyeringai.

Wajah Jihoon semakin memerah dan ia menundukkan kepalanya. "Uh, itu… Aku…" Jihoon memainkan jarinya. "Aku benar-benar membencimu Soon," ucapnya lirih.

Soonyoung tertawa. "Aku juga menyayangimu Ji," kata Soonyoung sambil mengusap sayang kepala Jihoon.

Jihoon menginjak kaki Soonyoung dan berbalik meninggalkannya.

Soonyoung meringis. Ia mencekal pergelangan tangan Jihoon dan menariknya kembali agar berhadapan dengannya. "Hei… Yakin tidak mau jadi pacar Kwon Soonyoung? Nanti kau menyesal loh."

"Tidak mau! Dan aku tidak akan menyesal!"

"Ya sudah kalau tidak mau, aku pergi dulu. Ada urusan dengan sekretaris OSIS." —Tentu saja bohong. Soonyoung hanya mengucapkannya untuk memanas-manasi Jihoon.

Mengerti siapa yang dimaksud Soonyoung, Jihoon menarik kemeja Soonyoung yang sudah berbalik hendak meninggalkannya.

Soonyoung membalikkan badan dan terkekeh. "Kenapa? Berubah pikiran?"

Jihoon tidak menjawab dan menundukkan kepalanya. Ia memegang kemeja Soonyoung lagi agar tidak pergi kemana-mana.

"Jadi bagaimana? Mau atau tidak?"

Jihoon mengangguk malu-malu tanpa menatap Soonyoung kemudian berlari meninggalkannya.

Soonyoung tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat tingkah laku perempuan yang sudah resmi menjadi pacarnya.

.

Wonwoo kaget ketika membalikkan badannya ia mendapati Mingyu berdiri di dekatnya. Jam pelajaran sedang berlangsung dan Wonwoo bingung kenapa Mingyu bisa berada di sini. Wonwoo sedang bermain kasti bersama teman-temannya saat jam pelajaran olahraga. Saat temannya mendapat giliran untuk memukul bola, bolanya melambung cukup jauh hingga ke gudang belakang sekolah. Wonwoo berinisiatif untuk mengambilnya. Jadilah ia berada disana sekarang. Tempat itu cukup sepi dan hanya ada mereka berdua. Wonwoo mendadak gugup. Jadi ia berjalan meninggalkan Mingyu tanpa mengucapkan apa-apa.

"Sampai kapan kau akan menghindariku terus?"

Wonwoo menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Mingyu. "Temanku menungguku."

"Itu hanya alasan agar kau bisa menghindariku lagi noona. Aku tahu kalian hanya bermain-main."

"Apa maumu?" tanya Wonwoo dingin.

Mingyu mendekatinya.

Wonwoo berjalan mundur. "Jangan mendekat! Kau bisa mengatakannya dari sana."

Mingyu mendengus. "Aku mau minta maaf."

Wonwoo mengangguk. "Ada lagi?"

Mingyu menatap Wonwoo dan terdiam cukup lama.

Wonwoo salah tingkah ditatap seperti itu kemudian berdeham. "Kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, aku pergi. Kau membuang waktuku, Choi."

Mingyu menarik pergelangan tangan Wonwoo ketika Wonwoo hendak berbalik dan memajukan wajahnya.

Wonwoo reflek memundurkan kepalanya dan menutup matanya erat.

Satu detik.

Dua detik.

Wonwoo perlahan membuka matanya dan mendapati Mingyu dengan gigi taringnya memasang ekspresi geli. Ia merasa dipermainkan sekarang. Belakangan Wonwoo merasa Choi bersaudara ini hobi sekali cari masalah dengannya, terutama bocah yang berdiri di depannya ini.

"Kenapa menutup matamu noona? Mau dicium lagi?" goda Mingyu.

Wonwoo menepis tangan Mingyu dan menatapnya nanar. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.

Mingyu menatap Wonwoo panik. "Aku cuma bercanda noona. Jangan marah."

"Maumu apa sih?!" bentak Wonwoo dengan suara bergetar kemudian melempar bola kasti yang dipegangnya ke arah Mingyu.

Mingyu meringis karena lemparan bola dari Wonwoo cukup keras mengenai perutnya. Ia gelagapan dan mendekati Wonwoo perlahan. "Noo Noona… maafkan aku."

Pandangan Wonwoo mengabur karena air mata dan ia benci dirinya yang mudah menangis karena Choi Mingyu. Mingyu mendekati Wonwoo. Ketika Mingyu berhenti dengan jarak yang cukup dekat, Wonwoo menempelkan puncak kepalanya pada dada kiri Mingyu—membuat Mingyu terdiam di tempatnya. Gadis bermarga Jeon itu dapat merasakan detak jantung Mingyu yang berdetak semakin kencang.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Mingyu. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya dan memakaikan benda itu pada leher Wonwoo—sebuah kalung dengan liontin hati. Setelah selesai Mingyu menyibak rambut panjang Wonwoo agar kalung itu menggantung sempurna di leher Wonwoo.

Wonwoo mengangkat kepalanya dan melirik kalung di lehernya.

"Maaf ya," ujar Mingyu lembut sambil menghilangkan jejak air mata di pipi Wonwoo dengan ibu jari.

"Aku membencimu Choi," kata Wonwoo dengan suara parau.

Mingyu meringis. "Dan soal ciuman kemarin itu aku benar-benar minta maaf. Yang terpikir olehku saat itu bagaimana membuatmu berhenti menangis. Dan aku teringat ketika seseorang menangis, ciumlah, maka air mata orang itu akan berhenti."

Wonwoo tertawa. Rona merah menjalari pipinya. "Tidak adakah cara yang lebih normal yang terlintas di otakmu saat itu? Kau terlalu menonton banyak drama, Mingyu-ya."

Mingyu cengar-cengir. Ia berdeham. "Aku ingin mengatakan sesuatu."

Wonwoo menyimak.

"Aku senang dan berterima kasih kepadamu karena sudah kembali ke Seoul. Maaf, sebetulnya aku sempat melupakanmu saat kau pindah. Aku marah padamu kau tahu. Kenapa saat noona punya waktu luang dan bisa menghabiskan waktu dengan Soonyoung-hyung dan Jihoon-noona aku selalu tidak diajak." Mingyu agak merajuk.

Wonwoo meringis. "Maaf. Kalau kau bertemu denganku, pasti kau akan menangis lagi saat aku pulang. Jadi lebih baik aku tidak menemuimu."

Mingyu tersenyum kecil. "Noona ingat 'kan saat noona main ke rumah dan kau menyapaku. Sejujurnya aku tidak mengenali kalau itu Wonwoo-noona yang dulu selalu membelaku."

"Hei, aku tersinggung!" kata Wonwoo sambil tertawa dan memukul pelan dada Mingyu.

Mingyu tersenyum dan melanjutkan. "Saat itu aku begitu terpana saat melihatmu. Kau tampak begitu berbeda, sangat mempesona. Kau juga baik seperti dulu. Walaupun kadang menjadi galak. Mungkin kau harus jaga jarak dengan noonaku agar tidak tertular." Mingyu tertawa. "Waktu itu aku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak, aku jatuh cinta untuk kedua kalinya pada orang yang sama."

Wonwoo mendengus dan mengalihkan pandangannya dari Mingyu. Pipinya memanas. "Gombal! Sepertinya kau memang terlalu menonton banyak drama."

Mingyu tertawa. "Jadi, aku ingin menagih janjiku," ucap Mingyu sambil meraih dagu Wonwoo agar menatapnya.

Wonwoo tanpa sadar menahan napasnya saat menatap mata Mingyu.

"Menikah denganku?" tanya Mingyu sambil menggenggam kedua tangan Wonwoo.

Wonwoo menarik tangan kanannya yang digenggam Mingyu dan menyentil dahi pemuda itu. Ia tersenyum. "Belajar yang rajin dulu baru kau boleh menikahiku."

Mingyu tersenyum cerah mendengar jawaban Wonwoo karena merasa tidak mendapat penolakan. "Kalau begitu kuganti. Nona Jeon yang manis mau jadi pacarnya Choi Mingyu tidak?"

Wonwoo memasang tampang berpikir. Pipinya kembali bersemu. "Hm… Tidak buruk."

Mingyu menarik Wonwoo ke dalam pelukannya. "Kau memang yang terbaik dan akan selalu menjadi favoritku noona," ucap Mingyu bahagia.

Wonwoo tertawa dan balas memeluk Mingyu. "Terima kasih atas kalungnya."

"Sama-sama."

Wonwoo mendorong lelaki di hadapannya pelan. "Kenapa ada di sini? Tidak ada guru di kelasmu?"

Mingyu cengar-cengir dan mengangguk. "Jam kosong."

Wonwoo memicingkan matanya. "Tidak bohong 'kan?"

"Tentu saja tidak."

"Ya sudah. Aku kembali dulu." Wonwoo mengambil bola kasti yang tadi terlupakan di dekat mereka. "Sampai jumpa," lanjutnya dengan senyum yang sangat manis.

Mingyu agak bersemu. "Sampai jumpa."

.

Keesokan harinya, Mingyu dan Wonwoo sedang duduk pada salah satu meja kosong setelah membeli makan siang dan menunggu Soonyoung dan Jihoon yang sedang mengantri makanan. Sambil menunggu mereka kembali, Wonwoo bersandar pada kursinya dan memperhatikan game yang ada di layar smartphone Mingyu. Mingyu juga bersandar pada kursinya dengan kepala yang diletakkan pada bahu Wonwoo dan ia sibuk memainkan gamenya. Wonwoo sesekali mengganggu Mingyu dengan menyentuh layar smartphonenya.

Mingyu mengerang sambil menjauhkan tangan Wonwoo. "Noona~ Nanti kalah."

Wonwoo tertawa. "Ya sudah kalau kalah 'kan bisa main lagi." Wonwoo kembali menyentuh layar smartphone Mingyu.

Jihoon berdeham di depan mereka dengan Soonyoung yang mengekorinya. "Cie. Mesranya dua orang di depanku ini." Jihoon mendudukkan dirinya di depan Wonwoo sementara Soonyoung duduk di depan Mingyu.

Mingyu menyudahi gamenya dan memasukkan smartphonenya ke saku celana. "Iri?" tanyanya kepada kakaknya.

"Tidak sudi iri kepadamu bocah. Mana traktirannya?"

Mingyu mendengus. "Aku juga ingin menagih traktiran." Mingyu menyodorkan tangannya.

"Dalam rangka apa?" tanya Jihoon pura-pura tidak paham dan menunjukkan ekspresi sedikit tegang dengan wajah merona.

Mingyu bersiul. "Loh, bukannya kalian sudah resmi?"

"Aku tidak sudi pacaran dengan Kwon bodoh ini."

"Ya Tuhan, jahatnya Jihoon-ie, aku tidak diakui sebagai pacar," kata Soonyoung sambil pura-pura menangis.

"Tuh 'kan, Soonyoung-hyung bilang iya."

"Kwon bodoh!" Jihoon menghujani Soonyoung dengan cubitan. Pipinya memerah.

"Ampun Jihoon-ie. Ampun!" Soonyoung tertawa dan berusaha memegangi tangan Jihoon yang mencoba mencubitnya.

Wonwoo yang sedari tadi memperhatikan tersenyum. "Akhirnya. Selamat ya."

Jihoon berhenti mencubit Soonyoung dan membalas senyuman Wonwoo. Kemudian menatap adiknya. "Kalian juga."

"Akhirnya kau mengakuiku, eoh?" tanya Soonyoung kepada Jihoon.

"Dalam mimpimu, Soon."

.

FIN

.

"Hyung, yang tadi itu siapa?" tanya Seokmin yang berstatus sebagai siswa kelas tiga di salah satu Sekolah Menengah Pertama. Seokmin sedang berada di rumah Soonyoung dan meminta bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.

"Jihoon-ie? Teman sekelasku. Kenapa?"

Seokmin menggeleng. "Tidak. Wajahnya lucu."

Soonyoung tertawa. "Dia memang lucu. Tapi sayang galak sekali."

"Kalau yang ini bagaimana hyung?" tanya Seokmin sambil menunjuk soal yang akan dikerjakannya.

Soonyoung menjelaskan dengan sabar sampai Seokmin mengerti. Dan ia lega karena Seokmin tipe orang yang mudah paham, jadi tidak perlu menjelaskan berkali-kali. Seokmin kembali mengangguk dan mencoba mengerjakan soalnya.

Hening meliputi mereka sampai Seokmin bertanya. "Kau menyukainya?"

Soonyoung menatap Seokmin. "Siapa?"

"Jihoon-noona."

Soonyoung mengangguk.

Seokmin menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi dan menggoda Soonyoung. "Tidak kau jadikan pacar?"

Soonyoung tertawa. "Aku… Entahlah," katanya lalu menghela napas.

"Kenapa hyung?" tanya Seokmin bingung.

"Entahlah aku tidak tahu aku mampu membahagiakannya atau tidak. Aku takut jika aku berpacaran dengannya akan ada yang berubah. Lagipula aku sudah cukup nyaman dengan menjadi temannya."

"Kenapa takut? Bahkan kau belum mencobanya."

Soonyoung meringis. Ia melirik Seokmin yang masih menulis. "Bisa?"

"Sedang dalam proses," jawab Seokmin dengan raut wajah serius.

Pemuda Kwon itu melihat-lihat buku Seokmin yang lain dan membacanya sekilas.

"Kalau begitu, boleh aku mendekatinya?" celetuk Seokmin.

Soonyoung menatap Seokmin yang bergelut dengan soalnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tentu saja. Kenapa meminta izin padaku?"

Seokmin hanya tersenyum lebar sebagai jawaban.

Dan setelah Seokmin lulus dari Sekolah Menengah Pertama, Seokmin mendaftarkan diri ke Sekolah Menengah Atas yang sama dengan tetangganya itu—sekolah yang semula bukan menjadi tujuan awalnya.

.

FINAL! Kejawab sudah ya. Kenapa Sunyong ngizinin Dika buat deketin Uji dengan alasan konyol dan ga mutu :' maafkan sayah, kalo endingnya kurang berkesan. Huhu Sunyong pas nembak Uji, entah kenapa ngetiknya aku sambil nangis masa /cry /alay

Kalo ada yang suka anime dan nonton Orange, sebetulnya sifatnya Sunyong kubuat dari perpaduan dua karakter cowok disitu sih. Cowok A suka cewek C tapi dia dukung si cewek sama cowok B, cowok B suka cewek C tapi dia lebih nyaman kalo temenan aja sama si cewek karena takut gabisa ngebuat ceweknya bahagia.

Terima kasih sudah mau meluangkan waktu dan mengikuti fic ini sampai selesai, walaupun fic ini masih jauh dari kata sempurna. Terima kasih untuk jiyulee, hamsteosoon, SungRaeYoo, tinky winky, ayyPD, saymyname, DevilPrince, whiteplumm, carrotforsvt, Squishy Carrot, Indukcupang, MeliaWon, rays11, wonuky00tie, TiasPrahastiwi, uekaraoneesama, KimHaelin29, zazyxwv, yehetohorat794, yeeve, ujisoonochihoon, rahayup402, puputandriani68, naintin2, maecchiato, knj12, kimfreakming, karinkirana30, jeonwonlust, jasminnabilaputri.2871, invhayrani, drkstangl, aprilliahartanti, aafnjyh, XiayuweLiu, MinoRin91, Mingyuwonu, ChwangKyuh EviLBerry, Amanda Aurelia911, ziaprlfauzi, rrein.96, reyzabudi, nacoco, meaniexx, lalaxxx, allaetsy'sfam, aafnjyh, Sheryl010, Jeonwonw, Hunaaayu L, Gygikun atas review, favorit dan follownya. Semoga uda kesebut semua. See you next time! Mwah!