THOUGHT
Chapter 4
"Jeonghan-hyung, ada apa?" Zuho buka suara, melihat laki-laki di hadapannya yang berantakan.
Wajahnya datar namun dari tatapannya terdapat sungging posesif disana, "Dimana Seungchol? Ehh..Lupakan Seungchol! Hey nak, apa yang kau lakukan padanya?"
Zuho menghembuskan napasnya, ia sudah tahu kemana percakapan ini akan berlabuh. "Seungchol hyung..tidak ada—" jawabnya dengan intonasi rendah yang dibuat-buat.
Jeonghan mendadak naik pitam, wajahnya merah padam dan ia tahu pemuda itu mencoba mengelak darinya. "Bukan itu yang ingin aku dengar, aku kenal kau benar Baek Zuho. Apa yang kau lakukan?" Kemudian merapikan rambutnya dan menambahkan,"Aku tidak akan toleransi padamu walaupun kau ketua osis, insiden kali ini tidak bisa ditutupi."
Zuho terkekeh pelan kemudian mendongakkan wajahnya, "Kau tidak perlu melindungiku lagi Jeonghan-hyung, walaupun aku penerus mu a—"
"Hentikan basa-basinya, apa yang kau lakukan Zuho?" Jeonghan membentak dan memutus kalimat Zuho. Ia tidak habis pikir, kenapa ia harus berurusan dengan masalah pelik yang hampir serupa.
Zuho menegakkan tubuhnya, menyembunyikan Wonwoo di belakang. "Kami tidak melakukan apa-apa."
Wonwoo takut akan sikap Jeonghan, pria lembut yang dikenalnya sebagai sosok malaikat tiba-tiba bersikap kasar di hadapannya. Memancarkan sorot nanar bak iblis, sikapnya seratus delapan puluh Derajat berbeda dengan yang ia temui di studio tadi. Ternyata Jeonghan hyung serupa dengan the fallen monolognya tertahan.
"Zuho!" Jeonghan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan dan menuju ranjang dimana dua insan itu berada.
Zuho makin-makin menyembunyikan sosok Wonwoo, "Sudah aku katakan hyung, kami tidak melakukan apa-apa. Mengertilah!"
"Saat itu aku masih mengampunimu ―tapi sekarang.. Kau melibatkan anakku." Jeonghan makin menjadi-jadi.
"A-anak?" Wonwoo mencuit.
Sekejap kemudian Zuho memegang tangannya erat, mengedip pada Wonwoo meskipun Wonwoo tidak mengerti arti kedipan itu. Jeonghan jalan berjinjit, berusaha sebisa mungkin meminimalisir duara decitan yang disebabkan pantofelnya, meniti sosok yang sedang disembunyikan oleh Zuho.
"Hahaha... Aku serius hyung, kami tidak melakukan apa-apa. Tanyakan saja pada Seungchol hyung!" tawa membuncah dari mulut Zuho, mencoba mencairkan suasana.
"Kenapa kau bawa-bawa Seungchol? Menjauh dari anak ku sekarang!"
Kembali dengan tatapan serius, Zuho menantang Jeonghan. "Kau mau anakmu? Ayo tangkap aku!" tiba-tiba Zuho menarik tangan Wonwoo, mengajaknya berlari lalu menubruk bahu Jeonghan.
"HEY! ANAK BANDEL! JANGAN LARI KAU!" Jeonghan meneriaki Zuho, tapi yang diteriaki malah tertawa-tawa puas sambil melarikan diri. Zuho tertawa-tawa sambil menarik tangan Wonwoo, "Hahahahahha.. Hahha..-hahah-hahah..."
Wonwoo hanya pasrah mengikuti permainan Zuho, tidak mengerti dengan ucapan Jeonghan barusan dan meringis karena lengannya ditarik dan dibawa kabur. Semua orang mereka tabrak; baik staff maupun cleaning service, Zuho masih tertawa terpingkal-pingkal diiringi tautan tangan mereka. Wonwoo hanya mengangguk-angguk —meminta maaf pada orang-orang yang mereka tabrak sembari berlari ditarik oleh Zuho. Mereka berlari melintasi lapangan dan halaman sekolah yang panjangnya sekitar empat ratus meter, sudah melewati gerbang dan resmi keluar dari sekolah.
Dari sana mereka berlari lagi menelusuri trotoar di samping jalan raya menuju sebuah bangunan yang terbilang cukup besar, seperti sebuah apartemen tapi lebih mewah. Bergaya klasik dengan lantai yang terbuat dari kayu pualam dan dinding berwarna krem sendu. Zuho masih mengaitkan tangannya dan mereka berjalan menuju tangga. Wonwoo masih belum paham dengan apa yang terjadi, penglihatan dan pendengarannya masih samar. Tapi ia merasa cukup baik untuk mengamati lingkungan baru di sekitarnya.
"Kita dimana?" tanya Wonwoo.
"Di asrama pria, milik sekolah juga. Tenang saja kau aman disini." Wonwoo masih mengedarkan pandangannya.
Setelahh mencapai lantai yang dimaksud mereka berbelok ke arah kiri dan menuju sebuah pintu, Zuho mengeluarkan kunci dari kantung celananya. Membuka pintu tersebut lalu memasuki ruangan di dalamnya. Tapi Wonwoo masih mematung di depan pintu.
"Kau mau kan menginap di kamarku?" tanya Zuho pada Wonwoo, berharap cemas.
Wonwoo menundukkan kepalanya kemudian mundur dua langkah, "Apa aku tidak akan merepotkan mu?"
Zuho terkikik sendiri, "Kita teman, kau ingat?" Segera saja Zuho menjejaki kakinya ke dalam ruangan tersebut, sambil menggandeng Wonwoo ia mempersilahkan laki-laki itu tuk duduk di sofanya.
"Omong-omong tadi seru sekali, jarang-jarang aku jogging malam." Zuho terpingkal mengingat peristiwa barusan, yang hampir membuat Wonwoo terjatuh berkali-kali di jalan.
"Jangan lupa mandi Wonwoo, aku ada sweater kalau kau mau." Zuho membuka lemari lalu melemparkan sebuah sweater pada Wonwoo.
"Ah!" Wonwoo menjerit. Telinganya berdenyut kencang perih akibat lukanya tersenggol.
"Ehh? Oh my God, maafkan aku!" Zuho menghampiri Wonwoo yang sedang terduduk di lantai, memegang telinganya yang terkena sweater yang ia lempar.
"Maaf aku lupa Wonu," Zuho tak hentinya meminta maaf. Ia mengusap-usap pipi Wonwoo, memeluknya lalu mengusak pakaiannya. Ia tak hentinya terlihat panik. Tapi Wonwoo malah terusik dengan perilaku Zuho itu.
"Tidak apa-apa, kita teman." kata Wonwoo.
"Tidak, teman tidak seharusnya berbuat kasar." Zuho masih dalam keadaan yang sama, memeluknya erat. Wonwoo terdiam, sakit di lukanya sudah hampir siuman tetapi Zuho malah mempererat pelukannya. Wonwoo sendiri salah tingkah terhadap perilaku Zuho. Ditambah Zuho yang terlihat merasa bersalah dan dirinya yang hanya bisa diam mematung.
"Uhm, Zuho?" Wonwoo menepuk pelan punggungnya.
Zuho tidak beranjak.
"Z-Zuho!" Wonwoo setengah berteriak.
"E-eh.." Zuho tersadar, melihat mata Wonwoo sekilas lalu menghindarinya.
"Aku akan mandi kalau begitu," kata Zuho mengalihkan pembicaraan.
"Iya."
Sekitar setengah jam Wonwoo menunggu Zuho menyelesaikan urusannya, berkeliling mengamati ruangan bercat agoni dengan lampu tidur yang menyala lembut. Dapat dilihatnya piala-piala, sertifikat, serta penghargaan-penghargaan lainnya terpampang di dinding tersebut. Piala Olimpiade bahasa inggris, sertifikat lomba drama, dan penghargaan-penghargaan menari. Menurutnya Zuho adalah sosok yang mengagumkan. Pada awalnya ia memang menyepelekan tarian, tetapi melihat temannya bersungguh-sungguh malah membuatnya termotivasi untuk menari lagi.
"Maaf Wonu aku lama." sosok tinggi itu keluar dari kamar mandi.
Badannya putih dan hanya ditutup handuk sebagian, mengekspos tubuhnya yang terlihat kekar. Bersama handuk kecil yang ia gosokkan ke kepala dan badannya yang atletik membuatnya terkesan seksi. Aroma sabun dengan wewangian medley menguar pada ruangan itu, serta uap-uap dari kamar mandi menghangatkan ruangan. Wonwoo tidak segera beranjak dari tempatnya, ia masih diam terpaku terhadap pemandangan di hadapannya.
"Wonu, kau masih ingin mandi?" Zuho membuyarkan lamunan Wonwoo.
"Y-ya.. Aku izin mandi." Wonwoo segera berjalan tuk memasuki kamar mandi itu.
Tapi Zuho tak langsung mengizinkannya, ia menarik lengan Wonwoo.
"Biarkan aku membersihkan lukamu sebelum tidur. Okay?" Zuho menatap manik Wonwoo, intens.
"Baiklah." Wonwoo menjawab.
Setelah sekitar setengah jam mandi Wonwoo keluar dan mendapati Zuho yang tertidur dengan bertelanjang dada.
"Z-Zuho, apa kau punya celana? C-celana ku amis darah, dan t-tidak nyaman." Wonwoo mencoba membangunkannya.
Jangankan bangun, ia malah berbalik membelakangi Wonwoo. "Z-Zuho!" Tetapi yang di panggil masih tak beranjak dari alam mimpi, Wonwoo tidak bisa apa-apa. Pasalnya ia bingung jika tidur hanya menggunakan sweater dan tanpa bawahan, apakah itu wajar?
"Z-Zuho!" Wonwoo mengulangi panggilannya.
"Nngh!" Zuho meracau.
"Maaf mengganggumu, tapi aku butuh..." belum selesai Wonwoo bicara, Zuho segera menunjuk ke arah lemari coklat yg berada di ujung ruangan.
Tempat ia mengambil sweater tadi, Wonwoo segera membukanya, tetapi yang ia temukan hanya beberapa kotak dengan isi celana dalam baru.
Aku memang membutuhkan ini, tapi dimana celananya? monolog Wonwoo.
Wonwoo mencoba mencari disana, tapi tidak ada celana sama sekali. Hanya ada kemeja, beberapa kaus dan sweater serta kotak celana dalam baru. Wonwoo lelah, bahkan handuk yang ia pakai sekarang terasa basah, tidak mungkin ia pakai sebagai bawahan. Ia bisa masuk angin atau sakit. Akhirnya Wonwoo memutuskan untuk tidur tanpa celana panjang, hanya sweater pinjaman dari Zuho yang menemani malamnya, sebenarnya sweater Zuho sudah cukup untuk membalut tubuhnya.
Sweaternya cukup besar hingga pangkal paha dan lengannya cukup panjang hingga hanya menyisakan beberapa ujung jari. Lagipula kamar Zuho cukup hangat. Ia hanya meratapi ranjang kayu kosong di sebelah ranjang yang Zuho tiduri, tidak ada kasur disana sehingga itu memaksa Wonwoo untuk tidur di sofa.
Zuho sengaja tidak menanggapi Wonwoo. Ia menyadari akan satu hal-satu hal yang tidak bisa diprotesnya. Satu hal yang tidak bisa dibantahnya. Fakta bahwa Wonwoo baru saja berkelahi dengan Mingyu baru saja membuatnya gila. Ketika ia memeluk Wonwoo barusan, ia tidak sengaja melihat bekas merah keunguan di lehernya. Kissmark.
Zuho tahu benar tentang itu, dari film yang kadang ia tonton atau cerita yang sering ia baca. Kissmark. Kata itu terulang di kepalanya. Pertengkaran apa yang terjadi di antara mereka? Zuho tidak bisa menahan rasa ngilu di dadanya. Sakit yang tidak bisa ia jelaskan, sosok putih yang baru saja mencuri perhatiannya baru saja berbuat dengan Kim Mingyu. Apa Seungchol-hyung melihatnya? batinnya kemudian. Ia tidak tahu harus menunjukkan wajah apa pada Wonwoo, ia baru saja tertawa bersama-sama Wonwoo. Tetapi melihat tanda itu, hatinya sakit.
Tadinya dengan modus ingin membersihkan luka Wonwoo, Zuho ingin memastikan tentang tanda itu. Tanda yang membuat otaknya nanar. Selama Wonwoo di kamar mandi ia berfikir keras menentang apa yang ada di kepalanya. Tapi nihil, otaknya tahu betul kalau itu kissmark. Selama ia di ruang kesehatan di sekolahnya Zuho hanya terpaku pada luka Wonwoo dan respon yang ia berikan kala Seungchol mengobatinya. Ia sama sekali tidak tahu kalau ada tanda itu di lehernya.
Akhirnya, malam ini setelah Wonwoo keluar dari kamar mandinya ia lebih memilih berpura-pura tidur, tidak ingin menunjukkan wajah kecewanya. Ia tahu, dirinya sampah. Ia baru saja mengatakan bahwa dirinya tidak jijik terhadap Wonwoo dan menganggapnya sebagai teman. Tapi kenyataan bahwa ia menghindarinya saat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang ia katakan.
Munafik.
Zuho mengakuinya. Ia baru saja menjilat ludahnya sendiri.
.
Langit di sore hari adalah waktu yang terbaik untuk menikmati sejuknya hari, bila mengingat udara dingin di pagi hari menusuk tulang dan udara panas di siang hari membakar kulit kepala hingga saraf. Di ujung atap Wonwoo merasakan hentakan angin menembus tubuhnya, seakan-akan dirinya sangatlah ringan sampai transparan. Ia tidak pernah merasa senyaman ini. Rasa-rasanya semua beban yang hinggap pada dirinya telah menghilang entah kemana, yang ia rasakan saat ini hanyalah sunyi.
Rumah-rumah hanyalah balok kecil jika dilihat dari atas sini, atap sekolah yang sangat tinggi membantunya melihat rendah pada permukaan. Tidak membuatnya congkak, tapi cukup untuk menenangkan dirinya yang baru saja menerima kenyataan pahit tentang masa lalunya. Membuat ia merasa di atas segalanya, penderitaan yang lalu-lalu hanya sebagian kecil pengalaman pahit yang mewarnai hidupnya. Perasaannya enteng, Wonwoo tidak pernah merasakan badannya sesegar ini. Tubuhnya lega, hatinya senang. Fisik maupun perasaannya hanya merasakan kedamaian.
"Jeon," suara parau memanggilnya.
Wonwoo reflek membalikkan tubuhnya, melihat sosok pria yang sedang tersenyum tipis.
"Mingyu! Mau apa kau?" Wonwoo membentaknya, entah kenapa darahnya berdesir kencang dan saraf-saraf tubuhnya menegang. Pria jangkung itu berjalan perlahan mendekatinya, Wonwoo mencoba untuk menghindari tapi ia tidak bisa bergerak. Seakan ada yang menahan tubuhnya. beku. Ia hanya bisa diam. Terkunci.
"Berhenti!" Wonwoo memperingatkan. Mingyu tidak menggubris, ia tetap melangkahkan kakinya. Mengarahkannya pada Wonwoo. Beberapa langkah lagi dan usaha Mingyu menyentuh Wonwoo tak ayal tak dapat dihindarinya.
Wonwoo tercekat, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, "A-aku peringatkan kau!" Seakan tak mendengar apapun, Mingyu tetap berjalan ke arahnya. "K-Kim Mingyu! A-aku peringatkan kau a-atau.." Wonwoo menggantung perkataannya.
"A-atau aku.." Ia terhenyak. Pasalnya ia tidak bisa mempertahankan diri. Tubuh Mingyu sangat besar jika dibandingkan dengan tubuhnya. Wonwoo tidak seperti Jungkook yang punya tubuh mini tapi memiliki tenaga bak seekor harimau, bahkan Wonwoo tidak pernah melatih tubuhnya tuk membela diri. Mingyu kembali mendekatinya, ekspresinya seperti hewan buas yang berhasil memojokkan mangsanya. Tak ada kedipan pada kelopak matanya, sepertinya ia menikmati ketakutan Wonwoo.
"Atau apa hyung?" Mingyu terkekeh tertahan, tak dapat menahan simpulnya. Mingyu kembali berjalan perlahan menghampirinya, mengabaikan Wonwoo yang memasang tampang mengintimidasi. Wonwoo bisa apa? Tinggal sepersekian detik lagi dan jika pria di hadapannya adalah orang baik, maka ia hanya akan menyentuhnya. Bagaimana bila Mingyu mendorongnya? Mengingat Wonwoo sekarang berada di ujung atap sekolah. Apa yang ia lakukan di sana? Mengapa Wonwoo bisa seceroboh ini untuk menapaki tempat itu dari tadi? Apa yang membuatnya memutuskan untuk berdiri di tempat itu. Wonwoo tidak ingat. Bagaimana dirinya bisa sampai disana, dan untuk keperluan apa ia berdiri di tempat itu.
"Jeon." Mingyu mengusap pipinya lembut. Tidak ada penolakan berarti yang diberikan oleh Wonwoo, entah sejak kapan dia menikmatinya. Kehangatan yang ia rasakan ketika tangan kekar itu menyentuh wajahnya, sengatan-sengatan seperti aliran listrik yang timbul ketika kulit mereka bergesekan, serta debaran-debaran yang tetiba muncul di dadanya kala sosok jangkung itu memeluk tubuhnya. Tidak seperti kemarin, kali ini perasaannya melembut. Wonwoo merasa dirinya bodoh, mengapa ia terima begitu saja sosok yang sangat dibencinya menyentuhnya —memeluknya.
Mendadak otaknya kosong, matanya perih dan saluran napasnya macet, ingin ia hentakkan tubuh besar Mingyu namun ia lupa caranya. Wonwoo dapat merasakan kenyamanan ketika Mingyu menyentuhnya, relungnya yang kosong seakan terisi oleh sesuatu yang hangat. Tanpa sadar dengan kaku ia balas memeluk Mingyu, menapaki tangannya pada bahu lebar itu lalu wajahnya ia benamkan pada dada bidang milik Mingyu. Dapat ia rasakan juga debaran-debaran serupa seperti miliknya sekarang di dada pria berkulit tan itu.
"Hyung, aku merindukanmu." Mingyu berkata tenang. Kali ini tanpa paksaan, tanpa amarah. Nyaman dan hangat, melelehkan egonya sendiri. Mingyu mengecup lembut surai hitam milik laki-laki ramping yang dipeluknya, mepererat pelukannya. Mencairkan perasaan Wonwoo.
"Ya, aku tahu." jawab Wonwoo, memperdalam tubuhnya pada pria jangkung yang sedang memeluknya.
"Bagaimana denganmu? Apa kau merindukanku?" Mingyu bertanya datar, namun seduktif di indera pendengaran Wonwoo.
Dia tahu ini salah, dadanya dirasa seperti dihujami oleh krikil-krikil kecil, tak beraturan dan tidak memedulikan lapisan kulit Wonwoo yang memiliki batasan menerima hentakan itu. "Selama ini ―aku sendirian."
"Apa yang kau rasakan kala kau sendirian hyung?" mereka berpelukan sambil memejamkan mata, merasakan hangat tubuh masing-masing.
Wonwoo menjawab lagi masih dengan kenyamanannya. "Kosong."
"Artinya?" Mingyu melonggarkan pelukan mereka, ia mendapati wajah Wonwoo yang sayu lalu mulai menaikkan dagu Wonwoo dengan telunjuknya yang terlipat.
Tetapi Wonwoo menepis tangan itu, ia berusaha membenamkan kembali wajahnya pada dada bidang Mingyu. Berusaha mencari posisi senyaman mungkin sekaligus menyembunyikan wajahnya kala jawaban yang akan ia utarakan bisa saja menyembulkan suatu gurat pada paras putihnya. "A-aku kesepian." Katanya malu-malu.
"Kalau begitu jangan pergi lagi." Mingyu agak menunduk, membisikkan kalimat yang ditangkapnya otoriter namun sah saja Wonwoo menurutinya dengan sepenuh hati. Wonwoo mendapati fakta baru pada dirinya, dia suka dibeginikan, Wonwoo suka —diperintah. Diperintah oleh seorang Kim Mingyu. Ia tidak tahu kenapa, seharusnya dia marah. Tetapi ubun-ubunnya masih dapat menahan semua itu.
Wonwoo mulai terisak, "Aku tidak akan pergi lagi," Hening menyapa dan angin-angin yang sedari tadi berhembus mendadak tidak terasa lagi. Masih di tempat yang sama, langit yang sama dan orang yang sama. Tetapi Wonwoo mendadak seperti berada di ruang hampa udara. Tangisnya mendominasi dan rasa sakit yang tadinya hanya ada pada hidung dan matanya menjalar hingga ke dadanya.
Tiba-tiba jantungnya sakit, kecemasan yang selama ini menghantuinya datang kembali. Perasaannya campur aduk, antara senang karena bisa bertemu lagi dengan sosok kekasih yang pernah hilang dari hidupnya, dan sedih —haru akibat perjuangan Mingyu yang setia menunggunya, Menunggu Wonwoo yang tidak mengingatnya.
Sakit dan ngilu, dada Wonwoo bekecamuk dan batinnya meminta melepaskan semua gundah yang sudah lama tertanam. "Kenapa kau tahan sekali?"
"Apa maksudmu hyung?"
kali ini air matanya merembes, ia tidak dapat menahan isaknya. "Menungguku―yang bahkan tidak mengingatmu."
"Ssst.. Cukup hyung." Mingyu menenangkan Wonwoo.
Wonwoo menangis di pelukan Mingyu. Dadanya sakit, rasanya hatinya seperti diiris-iris. Terharu oleh perjuangan kekasihnya, seakan tekanan batin tidak pernah mempengaruhi sosok Kim Mingyu, menunggunya dengan ulet dan sabar. Tanpa paksaan, tanpa alasan.
Ia tahu, Mingyu menyesali perbuatannya. Ia tahu, Mingyu tak sepenuhnya bersalah dalam peristiwa itu. Ia tahu, dirinya dan Kim Mingyulah yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Namun emosi membutakan pandangannya, ia tidak ingin melihat wajah bersalah milik Mingyu. Lebih memilih untuk menghindarinya. Tunangannya menunggunya selama lima tahun, menunggunya dengan setia, menunggu agar ingatannya pulih.
"Kali ini giliranku pergi." kata Mingyu.
Perlahan Wonwoo melepas pelukannya, mundur selangkah dan mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai memicing. "A-apa?"
Mingyu menampikkan simpul miris, "Selamat tinggal hyung," Katanya lembut, Tangannya terulur pada dada Wonwoo yang masih mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan Mingyu padanya tadi.
"Dengan ini kau tidak akan pergi lagi. Jeon Wonwoo ―selamanya menjadi milikku." Mingyu menepis jarak di antara mereka, sambil meletakkan jari-jarinya pada dada Wonwoo.
"A-apa maksudmu?" Wonwoo tercekat. Perlahan tapi pasti. Tidak sampai sedetik Mingyu mendorongnya perlahan, cukup untuk membuat Wonwoo yang sedang tidak stabil emosinya kehilangan keseimbangan. Wonwoo jatuh. Jatuh dari atap sekolahnya, dapat dilihatnya Mingyu dari atas sana menatapnya kosong melepas kepergiannya.
"K-.. Ki-... M-ing.. Y" Wonwoo mencoba memanggilnya tapi naas, tidak ada suara sama sekali yang keluar dari mulutnya.
Anginnya sudah tidak bersahabat, bahkan mendorongnya untuk semakin jatuh. Menjauhkannya dengan sosok terkasih, padahal ia baru saja menyatakan perasaannya. Membuang segala ego yang ia miliki, menyatakan perasaannya tulus. Hatinya yang barusan membuncah hangat ―nyaman karena dipeluk oleh Mingyu, sekarang hancur berkeping-keping. Orang yang dicintainya baru saja mendorongnya hingga jatuh. Mencoba membunuhnya.
"Ming.. Nghh!" Wonwoo mencoba bersuara.
"UAGHHH!" Wonwoo berteriak, mendapati dirinya sekarang berada di atas ranjang empuk ditiban oleh seorang pria.
"Hey, tenanglah! Aku hanya memindahkanmu." pria tinggi itu buka suara.
Wonwoo mengedarkan pandangannya, mencoba memahami keadaan sekitar. "Mi..ngh?"
Pria tinggi yang baru saja memindahkannya membisikinya agar ia tenang, "Ada apa Wonu?" Tapi Zuho cukup cerdas untuk menangkap ekspresi kelu pada wajah Wonwoo, "Kenapa kamu menangis Wonu?" sosok itu membelai pipinya, mengusap air mata yang terpampang di sana.
"Z-Zuho?" tanya Wonwoo.
"Siapa lagi? Kau sedang menginap di kamarku, ingat?"
Wonwoo masih belum paham, "Aku.. Di kamarmu?"
Zuho mengoreksi dirinya, "Sepertinya kau mimpi buruk Wonu, maafkan aku. Tidur di sofa bukan hal bagus."
Wonwoo menatap nanar sekitar, "D-Dimana dia?" Kemudian menepis tangan Zuho yang bertengger pada pinggangnya. "Dimana?" Wonwoo setengah berteriak. Air matanya bercucuran, rasanya sakit sekali mendapati sosok yang sangat ia cintai tidak berada di sampingnya. Dadanya seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Belum lagi perihal Mingyu mendorongnya jatuh dari atas atap bangunan sekolah. Mengkhianatinya.
"Siapa?" Zuho tidak paham.
Wonwoo terlihat seperti mengigau di mata Zuho, seperti anak kecil yang baru bangun tidur dari mimpi buruknya. Dapat dilihatnya Wonwoo panik menatap nanar sekitar ruangan dengan hebohnya.
"Mi-mimpi?"
Zuho kehabisan akal, laki-laki putih di hadapannya seperti masih ngelindur. "Wonwoo, ada apa?"
"Nngh...ngh..!" tiba-tiba saja suara dengungan keluar dari mulutnya, Wonwoo tidak dapat menahan tangisnya. Dadanya sakit sekali, rasanya sesak.
"Eh, ada apa?" Zuho panik, reflek ia ingin memeluk Wonwoo tapi tiba-tiba ia tertahan.
Wonwoo yang sudah siap menerima pelukan itu tercekat, kepalanya pening. Ia jatuh.
"Wo-Wonwoo!" Zuho berteriak.
.
"Oy! Mingyu! Bangunlah! Kau terlalu banyak minum!" teriak laki-laki sipit di sampingnya.
"Aku tidak mabuk bodoh," yang diteriaki membentak, tak peduli pada Soonyoung yang terus-terusan menggoyangkan tubuhnya agar bangun.
Sekarang sudah pukul tiga pagi, dan mereka masih di club. Soonyoung sudah kehabisan akal tuk menyadarkan pria jangkung yang telah mengajaknya pergi ke tempat itu. Setengah menyesal ia menerima ajakannya, Mingyu hanya ingin bercerita padanya pasal kejadian yang menimpanya hari ini. Tapi hal ini malah menyeretnya terjebak semalaman di ruangan berisik itu.
"Ayolah, katanya kau mau cerita!" Soonyong menendang meja yang dipakai Mingyu terlelap, menyesal berjoget di lantai dansa meninggalkan Mingyu tuk berdansa bersama wanita-wanita jalang.
Soonyoung memutar otak dan menguarkan rencana busuknya yang dianggapnya bisa saja mutakhir, "Kalau kau tidak bangun aku akan memanggil Seokmin!"
Mingyu mendadak bangun dan memukul lengan Soonyoung, "Kau gila! Aku bisa terkena masalah." Kemudian mengusak surainya dengan sahaja. Mingyu sendiri tidak tahu mengapa dirinya sebodoh ini, tanpa pikir panjang membawa mobil mewahnya dari sekolah menuju klub mengajak Soonyoung.
Soonyoung mendengus kesal, "Salahkan dirimu yang tertidur, Seokmin akan marah jika ia tahu kita ke club saat tidak ada janji."
"Aku sudah cerita di perjalanan tadi, tidak ada yang perlu dikatakan lagi." Fakta bahwa Mingyu pernah menjadikan Wonwoo sebagai barang taruhan dan hampir menjadikannya bahan pelecehan seksual. Lalu Wonwoo mengalami kecelakaan dan terkena trauma sehingga ia kehilangan sebagian ingatannya. Itu cukup membuat Soonyoung tercengang, namun Mingyu tetaplah Mingyu. Sebejat apapun dirinya di masa lalu ia tetaplah rekan kerja Soonyoung sekarang.
Soonyoung hanya melipat tangannya di depan dada, ia tahu ini akan terjadi. Mingyu sudah menceritakan semuanya di perjalanan, dan tahu bahwa dirinya harus berujung membopong pria besar itu menuju rumah semisalkan dia minum. Tetapi pendapatnya salah, Mingyu bahkan tidak meneguk wine merah itu dari botol seperti biasanya, hanya membiarkan benda mati itu menghiasi meja. "Apa kau tahu dimana dia sekarang?"
Mingyu terkekeh pelan, "Aku tidak tahu, tadi aku menyerangnya di studio. Kemudian Seokjin hampir menghajarku tapi aku kabur, aku ingin mengejarnya, namun.." belum selesai Mingyu bicara Soonyoung keburu memotongnya.
"Kau gila Kim Mingyu! Dia lupa ingatan!" teriak Soonyoung dengan heboh meskipun suaranya tidak mengalahkan kerasnya musik yang dimainkan dj beserta temaram ruangan.
"Tadinya.. Lagipula dia sudah mengingatku."
"Dia mengingatmu sebagai sosok jahat Kim Mingyu, kau harus paham." Soonyoung bekata ketus, darimana Mingyu mendapat didikan seperti itu? "Kau adalah trauma masa lalunya." tambahnya.
"Apa tidak ada kalimat manis yang bisa keluar dari mulutmu hyung?" Mingyu mendongakkan kepalanya, menatap lurus manik Soonyoung.
Soonyoung melebarkan cengiran, matanya yang sipit semakin sipit kala ia meringis. Berhasil menggoda Hoobae nya. "Apa kau tidak mau mencarinya Kim? Tempat tinggalnya mungkin? Kau ingin memulai pertemanan baru kan? Yang lebih normal." Soonyoung mengusulkan seperti seorang ibu yang kebelet anaknya kawin, "Kau bisa mengapelinya di malam Minggu atau paling tidak menghabiskan waktu bersama dan berkenalan dengan keluarganya."
"Dia tunanganku hyung, anak buahku selalu di sekitarnya." jawab Mingyu datar.
"Kim Mingyu.. KAU BENAR-BENAR SUDAH GILA! Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau sudah bertunangan?" Soonyoung berteriak, memaki-maki pria yang menekuk tubuh pada meja di hadapan. Kali ini suaranya bisa dibilang terlalu keras bahkan mengalahkan musik, membuat orang-orang di sekitarnya mulai tertarik dengan perbincangan dua pemuda yang —sudah pasti mereka kenal sebagai pentolan SMA Seong-Ah.
"Semua tentang dirinya aku punya. Riwayat hidupnya hingga kini, salinan data diri dan statusnya sebagai Putra dari Jeon Hyonjin ketua Haen Corp. Aku tahu dia tidak suka seafood, gangguan di lambung dan lainnya.." Mingyu berujar.
"Kau sudah seperti stalker." Soonyong mencetuskan.
Tiba-tiba terasa getaran di celana jeans yang Mingyu pakai, sosok jangkung itu berdiri tuk mengambil ponsel yang ia simpan di dalam saku celananya. Ia menekan layar lalu menempelkan ponsel itu pada telinganya.
"Ya? Hmm.." Mingyu kembali duduk pada sofa yang ia dan Soonyoung tempati. "Apa? Apa maksudmu?" Seketika ia berdiri, Mingyu terlihat menegang menerima panggilan itu. "BANGSAT! APA KATAMU?" tiba-tiba ia memukul meja di hadapannya, membuat apapun yang tersaji di hadapan mereka tumpah berlimpah serta botol wine yang belum terbuka tadi berguling namun dengan bersahaja Soonyoung menangkapnya dengan lugas. "Dimana dia sekarang?" wajahnya terlihat marah, tetap memfokuskan diri pada ponsel di tengah ruangan yang hingar-bingar.
"Kau bisa mendengar telfon disini? Kau monster ya?" sementara Soonyoung hanya terkekeh melihat Mingyu yang labil dengan ekspresinya, terbiasa dengan pria berkulit tan itu ketika menjawab telfon perihal urusan bisnisnya.
Mingyu menekan layar putih itu lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana.
"Kali ini apa? Ada yang menyerang pelabuhan? Atau ada mata-mata masuk ke dalam markasmu?" Soonyoung masih mencoba mengganggu Mingyu.
Mingyu beranjak mengambil jaketnya bersiap tuk meninggalkan tempat tersebut, "Wonwoo masuk rumah sakit dalam keadaan tidak sadar, semalaman ia bersama dengan temannya."
"Tentu saja dia akan ke rumah sakit, ingatannya baru pulih kan? Seperti katamu." Soonyoung mengulangi perkataan Mingyu.
"Tapi seharusnya dia pulang ke apartemennya atau menuju rumah appanya ditengah kota, bukan di asrama temannya. Wonwoo tidak tinggal di asrama." sontak pernyataan Mingyu membuat Soonyoung tercekat.
"Hey! Hey tenang! Di saat-saat berat seperti itu siapapun butuh teman untuk menenangkan diri Mingyu." Soonyoung mencoba mengalihkan perhatian Mingyu, menenangkannya.
"Ia tidak pernah menginap di rumah siapapun, dan Wonwoo tidak pernah punya teman. Tapi pergi ke rumah teman barunya setelah ingatannya pulih? Aku fikir dia akan ke rumah sakit bersama keluarganya." Mingyu setengah berlari menuju pintu bertulisan exit diikuti Soonyoung.
"Itu wajar Mingyu! Semua orang akan bercerita pada orang yang ia percaya ketika ia merasa tertekan, sama seperti yang kau lakukankan sekarang!" Soonyoung menasihatinya, kini mereka resmi keluar dari club dan berada di tangga darurat.
Mingyu menghentikan langkahnya, berputar perlahan menuju Soonyoung yang dibelakanginya dengan mengacungkan jari telunjuk sambil mengatakan, "Tidak ada ―yang boleh ia percaya ―selain aku!" katanya setengah menyeringai agak mengancam, lalu menunjuk dirinya sendiri.
Mingyu berlari meninggalkan Soonyoung yang terpaku,
"Kau memang sudah gila Kim Mingyu." ucap Soonyoung, memperhatikan bahu Mingyu yang berangsur menghilang dari pandangannya. Soonyoung segera mengeluarkan ponsel pintarnya, membuka kunci lalu menghubungi salah satu kontak yang ia simpan. Orang yang sangat ia percaya untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi seputar hidupya. Orang yang sama juga yang telah berhasil membujuk orang tuanya agar ia dapat bersekolah di Sma swasta Seong-ah dan meyakinkan mereka bahwa profesi yang cocok untuknya adalah koreografer, bukan dokter.
Dokter, profesi yang ditekuni oleh orang tuanya memaksanya tuk ikut menekuni dunia yang sama seperti mereka. Tapi Soonyoung memiliki keputusannya sendiri, ia ingin menjadi seorang penari dan menghibur banyak orang. Ia tahu dokter adalah pekerjaan yang mulia yang menyelamatkan nyawa orang, tapi dia lebih ingin menjadi seorang penari. Terbukti dengan passionnya kini ia dikenal oleh berjuta pasang mata dan karirnya sudah siap ia terjang. Soonyoung menekan tombol call di ponselnya ketika ia menemukan kontak yang ingin ia hubungi.
"Seokmin, akan terjadi kekacauan di rumah sakit." suaranya ia rendahkan beberapa oktaf, menandakan bahwa dirinya sedang serius.
.
Wonwoo membuka matanya perlahan, dirinya sedang terbaring di atas ranjang empuk berwarna putih. Tangannya digenggam, tersirat kekhawatiran di mata pria yang menggenggamnya. "Zuho? Dimana kita?" Wonwoo terheran dengan ruangan asing yang ditempatinya, dinding dan semua barang disana didominasi warna putih.
Zuho menyampirkan badannya, menempelkan tubuhnya pada bibir ranjang. "Kita di rumah sakit, satu jam yang lalu kamu pingsan di kamarku."
"Maaf Zuho, aku merepotkanmu lagi." ucap Wonwoo menyesal.
"Tidak apa Wonu, kita kan.."
"Kita teman!" Wonwoo mengembangkan senyumnya, dapat dilihatnya Zuho menatapnya kaget.
Bukankah merupakan suatu mukjizat dapat melihat senyum seorang Jeon Wonwoo? Wajah datar itu menunjukkan ekspresinya, tidak kaku seperti yang sudah-sudah. Pasalnya laki-laki pendiam itu tidak pernah sekalipun terlihat tersenyum di kelas.
"Y-yaa, semacam itu. Omong-omong, soal kau dan Mingyu, anu-kenap.." belum selesai Zuho bicara, Wonwoo meletakkan jari telunjuknya pada bibir Zuho.
"Bisa kita bicarakan hal lain?" tanya Wonwoo. "Sesuatu yang menyenangkan." Wonwoo mengembangkan simpulnya.
"Y-ya apa saja! Apapun yang kau inginkan." Zuho tergagap, tidak terbiasa dengan respon yang Wonwoo berikan.
"Oh ya! Tadi sore, kenapa Jeonghan-hyung menyebutku sebagai anaknya?" Wonwoo memiringkan kepalanya.
"Oh, hahaha! Aku fikir kau ingin bertanya apa Wonu.." Zuho mengusak surai Wonwoo pelan. "Jeonghan adalah sosok yang keibuan, ia sangat protektif terhadap anggota ekskul fashion." Katanya datar, "Dia akan menganggap siapapun anggota ekskul fashion sebagai anaknya," papar Zuho menambahkan.
"Tapi aku bukan anggota ekskul fashion, bahkan aku belum mendengar hasil dari audisinya," Wonwo terheran, mengerutkan alisnya.
"Itu artinya peluangmu besar Wonu." Zuho berucap santai, tersirat rasa bangga di wajahnya. "Omong-omong Wonu, apa telinga mu sakit sekali? Tadi aku melihatmu menangis dalam tidur." ucap Zuho.
"Eh itu-"
"Aku berinisiatif memindahkanmu ke kasur, aku minta maaf telah membuatmu tidur di sofa. Tadi malam aku ketidu- rr-ran.." Zuho menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, setengah tergagap menyelesaikan kalimatnya. Gugup dengan kebohongannya. "Lalu kamu terbangun saat aku memindahkanmu." Kemudian menarik napas, "Setelah itu kau menangis dan tiba-tiba saja kau pingsan, aku panik dan meminta tolong penanggung jawab asrama untuk membawamu kesini. Untung saja kau masih murid Seong-ah Wonu, kalau tidak aku sudah diusir." Zuho berpura-pura meringis.
"Ma-maaf!" Wonwoo setengah tertawa. Ia ingin sekali menyembunyikan perasaannya. Mimpi tentang ia merasakan hangat di pelukan Mingyu, nyaman dan bahagia. Lalu berubah menjadi kekecewaan kala pria jangkung itu mendorongnya jatuh.
"Wonwoo aku ingin berkata tegas," Zuho tidak tahan terhadap rasa ingin tahunya, walaupun ia tahu Wonwoo baru saja pingsan di hadapannya namun egonya sangat tinggi untuk menuntaskan kasus ini. "Aku tidak ingin menutup-nutupinya lagi." Zuho menegakkan tubuhnya.
Wonwoo terkesiap dengan pernyataan Zuho, membuatnya was-was. "Apa yang kau lakukan dengan Kim Mingyu? Aku bisa melihat kissmark di lehermu." ucap Zuho sarkastik, mempertajam tatapannya.
Wonwoo sontak kaget dengan pernyataan Zuho, segera ia tutupi lehernya kemudian mencoba melihatnya. Tapi nihil, matanya tidak dapat melihat lehernya sendiri. "A-apa? Dimana?" Wonwoo masih belum menyadari tanda itu.
Zuho menginterogasi Wonwoo. "Ada kissmark di lehermu Wonwoo, kau harus jujur padaku. Apa yang kau lakukan dengannya?"
Wonwoo terpaksa menerangkan peristiwa yang dialaminya ketika berada di studio, "D-dia mencium leherku, menjilatnya mungkin, bahkan menggigit dan menghisapnya. Sakit sekali. Saat itu aku marah besar padanya,"
Zuho mengingat kejadian itu, ketika Wonwoo mendobrak pintu gelanggang dengan sangat keras.
"S-Seungchol hyung! K-kita belum pamit padanya. Pukul berapa ini?" Wonwoo mengalihkan pembicaraan.
"Pukul 4 pagi." Zuho menjawab.
"Mm.. Sayang sekali. Sudah telat untuk mengabarinya." sesal Wonwoo.
"Tenang saja! Seungchol hyung tidak akan panik karena dua remaja berumur delapan belas tahun menghilang dari jangkauannya." Zuho menenangkan Wonwoo, sehingga ia terhibur dengan kata-kata Zuho. "Tapi —aku tidak menyangka Mingyu bisa melakukan itu, ia adalah tokoh berpengaruh Sma Seong-ah. Appanya membantunya dalam menjalankan karirnya sebagai perancang pakaian. Semua wanita menggilainya." Kemudian menunduk, "Dia juga berbakat dalam berbagai macam olahraga dan memenangkan beberapa olimpiade, serta kemampuannya dalam berorganisasi tidak dapat dipungkiri lagi."
"Mingyu—seorang desainer?" Wonwoo tidak percaya.
"Iya, katanya dia juga memiliki rumah yang mewah." kata Zuho. "Tapi kenyataan kalau dia berbuat kasar padamu, sepertinya kekuasaan sudah membutakannya." Zuho bersimpati. "Lalu telingamu, ―kau digigitnya bukan? Lukanya dalam sekali, bisa meninggalkan bekas." Zuho menyipitkan matanya, iba pada sosok putih yang tengah berbaring tak berdaya di hadapannya.
Mengusak surainya lembut.
"Itu sebagai penanda!" Pintu berdecit pelan disambut suara bariton menyapa dua insan itu, mereka tahu benar milik siapa suara ini. "Tanda bahwa dia milikku." Zuho dan Wonwoo memutar pandangannya, menemukan sosok jangkung yang sedang mereka bicarakan di bibir pintu.
"Aku bisa melihat mata mu, kau menginginkannya."
"Tapi tidak ada yang bisa―tidak ada selain aku." Mingyu menambahkan. Seringainya ia kembangkan, Ia menyipitkan matanya. Menapaki ruangan sunyi itu lalu berdiri persis di depan ranjang Wonwoo. "Oh ya, tambahan! Aku adalah general manager dari salah satu perusahaan cabang milik keluargaku, bukan pesuruh yang setiap harinya melakukan pekerjaan ecek-ecek seperti menggambar di atas kertas."
"Ya—mungkin dulu aku seperti itu, tapi kini tidak. Itu tidak memuaskanku, Aku ingin lebih―"
"Aku bukan pesuruh. Bukan pula disuruh―"
"Aku memerintah, aku merencanakan, aku memutuskan," bagai sebuah drama Mingyu memulai dialognya sendiri. "Semua ada di tanganku. Mutlak." Mingyu menekan kasur itu, membebani tangannya dengan berat tubuhnya. "Kalian semua berfikir kalau aku adalah seorang desainer, tapi kalian salah besar. Kau salah, tuan ketua osis. Pada awalnya, aku memang menggambar di atas kertas usang itu. Tapi itu membosankan, aku ingin lebih―" Mingyu berkata panjang-lebar. "Dan yang memegang jabatan sebagai kepala direktur dari Dong-In corp adalah Kim Jong In, Appaku—"
"Dan aku akan segera menyusul," Mingyu masih menyeringai, kini menempelkan tubuhnya pada ranjang Wonwoo. Wonwoo dan Zuho hanya diam memerhatikan. Mencerna kata demi kata yang dikeluarkan oleh Mingyu, "Puas selingkuhnya?" Mingyu mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya dipisah beberapa butir debu saja, mengabaikan Zuho yang terpatung melihat pose erotis itu.
Wonwoo membelalakkan matanya, tidak percaya dengan ucapan Mingyu barusan. Dadanya sakit, kenapa satu kalimat yang keluar dari bibir Mingyu sukses mengiris hatinya? Berbeda dengan Mingyu di mimpi Wonwoo. Mingyu yang lembut, Mingyu yang tenang, Mingyu yang baik.
"Dia menolakmu Mingyu, kau bisa lihat dari caranya menghindarimu kemarin." kata Zuho.
"Shut up! Aku tidak bicara padamu," Mingyu setengah kesal.
"A-aku.." Wonwoo terbata-bata.
"Kau harus pulang." Mingyu menarik lengan Wonwoo.
"T-tidak mau!" Wonwoo menarik lengan Zuho, ia takut pada sosok Mingyu sekarang, takut apabila dia benar-benar mendorongnya jatuh.
"Shit, aku tidak bisa begini terus." Mingyu memaki.
"Mingyu, perbuatanmu sangat lancang. Kau menyerang seniormu dan kini kau memaksanya." Zuho memperingatkan.
Mingyu menghentikan aksinya, ditatapnya rendah Sunbaenya yang satu itu. Mingyu mengarahkan maniknya pada Wonwoo yang sedang dibalut selimut, menarik selimutnya perlahan sampai betis. Selimutnya tersingkap sebagian. Dari betis —lalu ke paha, dapat dilihatnya Wonwoo yang hanya memakai sweater kebesaran serta kakinya yang tidak dibalut apapun. Ia tidak memakai celana piyama, hanya memakai celana dalam. Mengekspos kulit putih bak porselen milik Wonwoo, membuat Mingyu menelan ludahnya sendiri.
"Kau sendiri murid terpandang yang melakukan pelecehan terhadap kekasih orang. Membiarkannya tertidur tanpa celana, kau menikmatinya hah? Kakinya? Pahanya? Apa kau menyentuhnya?" Mingyu mulai meninggikan suaranya.
"Kau salah paham! Zuho ketiduran tadi malam." Wonwoo membela Zuho.
"T-tidak. Aku hanya sedang bingung malam itu." Zuho menundukkan wajahnya.
"Ketika melihat kissmark itu, a-aku.." Zuho tercekat.
"Kau bisa lihat siapa yang brengsek disini Jeon, dia hanya munafik yang berpura-pura menolongmu!" Tak peduli dengan kicauan Zuho, "Birahinya melonjak ketika melihat lehermu lalu ia tidak memberimu celana, sepertinya dia mengikuti nafsunya." Mingyu tertawa penuh kemenangan.
"Tidak Mingyu. Zuho bukan orang yang seperti itu, dia adalah temanku." Wonwoo menatap Mingyu tajam.
"Teman?" Mingyu menyeringai.
"Apa kau sudah mencuci otak Wonwoo? Ya tuhan, Jeon kau polos sekali." Mingyu masih tertawa.
"Aku bersumpah, aku tidak pernah ingin melecehkan siapapun." Zuho menatap Mingyu tajam.
"Kau yakin? Tidak pernah?" Mingyu masih tertawa. Zuho menggenggam tangannya sendiri, erat. Buku-buku jarinya memutih. Entah apa yang sedang Mingyu coba lakukan, mengetes mental Zuho agar ia terlihat jelek di mata Wonwoo? Membuktikan bahwa dirinya lebih baik dibanding Zuho?
"Pukul aku hyung," Mingyu menunjuk-nunjuk pipinya. "Aku sudah membeberkan rahasiamu yang sangat ingin kau simpan itu, aku adalah adik kelas yang kurang ajar." Mingyu tertawa-tawa, memanasi pria di hadapannya.
"Ayo, pukul aku! Disini! Aku sudah menyediakan tempat khusus untuk tuan Baek Zuho, ketua osis di Sma Seong-ah."
"Lalu berita bahwa sang murid terpandang memukul adik kelasnya akan tersebar luas di sekolah, memaksa dirimu tuk hengkang dari jabatan."
"Aku tidak sabar itu terjadi hyung." Mingyu menyeringai, mengetes mental orang di hadapannya. Sementara Zuho hanya mempertahankan emosinya, Zuho bukanlah orang yang dengan mudah tersulut emosinya. Tapi nama baiknya dicemarkan seperti ini membuat dadanya terasa panas. Ingin sekali ia meninju wajah orang di hadapannya tersebut, ingin dicabiknya, ingin dikalahkannya.
"Bahkan ia tidak berani memukulku Jeon, laki-laki macam apa dia?" Mingyu tertawa penuh kemenangan. Bangkit dari pose mengejek, Mingyu menatap lamat-lamat Zuho.
"Jadi, izinkan aku memukulmu hyung. Kau baru saja melecehkan kekasihku, dan kau berhasil membuat marah seorang Kim Mingyu." kata Mingyu congkak.
"A-aku mohon! Jangan ada pertengkaran." Wonwoo setengah berteriak. Sementara Zuho masih pada pertahanannya. Satu sisi ia merasa bersalah, merasa dirinya pantas menerima pukulan itu. Membiarkan Wonwoo tertidur tanpa celana dan membuat dirinya memikirkan seribu khayalan.
Wonwoo menarik lengan Zuho, sementara Zuho tidak bergeming. "Zuho jangan diam saja! Lawan dia!"
Mingyu berpura-pura menampilkan wajah sedih, "Aku tersinggung Jeon, kau lebih membela laki-laki itu dibanding kekasihmu."
Masih menatap lurus manik Mingyu, tak lepas sedikitpun ia mengalihkan pandangannya. Biarlah ia sekali ini merasakan sakit, yang penting rasa bersalahnya hilang. Zuho menutup matanya, bersiap menerima hentakan keras.
Puk.
'Ehh? Tidak sakit?' Zuho bermonolog, perlahan membuka matanya. Zuho dapat melihat Wonwoo yang menahan tangan Mingyu, dipegangnya erat tangan laki-laki jangkung itu agar pukulan itu tidak mendarat di wajah Zuho.
"Kali ini kau kuampuni karena Wonwoo memohon padaku, jangan harap di lain waktu kau lolos hyung." Mingyu memperingatkan.
Zuho menatap nanar pada WOnwoo, "Apa? Wonwoo! K-kenapa kau?"
Wonwoo tersenyum, lega sekali rasanya melihat Zuho tidak jadi dipukul. Ingin rasanya ia berterimakasih pada sosok Kim Mingyu, tapi egonya terlalu besar. Ia sudah memohon padanya, jangan biarkan ia melayangkan dua kalimat manis pada Mingyu berturut-turut. Wonwo masih punya harga diri.
Bukan berarti ia tidak tahu terimakasih, tapi menyelamatkan teman yang sedang dalam bahaya sudah menjadi kewajibannya bukan? Dan untuk apa dia berterimakasih pada orang yang ingin mencelakai temannya padahal ia saja menghentikan tinjunya kala Wonwoo menahan tangannya, itu artinya Mingyu tidak berniat untuk menghentikan serangannya. Masih pada posisinya, Wonwoo terduduk di kasur diselimuti selimut putih tebal. Nyaman dan hangat, sepertinya rasa itu kembali lagi.
"Akhh!" Wonwoo mengerang, tangannya ditarik paksa oleh Mingyu. "Apa yang k-kau?" Wonwoo buka suara, sementara Zuho di sebelahnya tampak kaget.
"Mingyu! Mau di bawa kemana Wonwoo?" Zuho berteriak, tersiksa melihat Wonwoo ditarik dengan kasarnya oleh Mingyu.
"Hak ku membawanya kemana saja hyung, kau tidak perlu repot-repot lagi menjaganya. Puluhan pelayan ku tidak akan membiarkannya menangis ataupun pingsan seperti yang sudah kau lakukan." Mingyu menyeringai, nada suaranya direndahkan beberapa oktaf.
"Mungkin mereka tidak akan melakukannya, tapi bagaimana denganmu?" Zuho mengambil sikap perlawanan. "Kau pasti sudah merencanakan sesuatu padanya!" Zuho membentak.
"Akh..S-sakit!" Wonwoo mengaduh, tangannya mati rasa dicengkram erat oleh Mingyu.
"Lepaskan tanganmu darinya Kim Mingyu!" Zuho meninggikan suaranya.
"Dia kekasih ku hyung, hak ku tuk membawanya kemana saja." bisik Mingyu.
Mingyu makin kasar pada Wonwoo, bahkan pria jangkung itu tak segan menariknya hingga ia terjungkal dari ranjang. "W-Wonwoo!" Zuho mencoba membantunya.
"Aku tidak pernah mengizinkan kau menyentuhnya Zuho hyung." Mingyu meninggikan suaranya.
"Persetan!" Zuho membantu Wonwoo berdiri.
Seakan ada api tersulut dari dalam tubuh Mingyu, dadanya sakit melihat Wonwoo menerima Zuho yang membantunya berdiri tetapi berontak ketika ia menyentuhnya. "Ikut aku Jeon!" Wonwoo tertatih-tatih ditarik oleh Mingyu, mencoba menyelaraskan tubuhnya dengan pria jangkung itu.
Meninggalkan Zuho yang memaku menatap kepergiannya, Wonwoo hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Sedih sekali berpisah dengan sang sahabat.
TBC
Hay gaes aku balik, setelah Necessary update(InsyaAllah minggu ini) aku akan hiatus untuk fokus UN! Sm SBM jg sih tp ttp berusaha apdet sdkit2 lah...
Makasih yg udh review, favorite n follow! Aku cinta kaliah gheisss! Btw udah dengerin lagu2 comeback BTS? Enak bgt cius. Stigma mantaps! Itu udh lama sih hehe n dr teaser2nya lagu mrka udh bertebaran...
Aku mau spoiler btw, Zuho dan Wonwoo sbnr'a ada hubungan nih, tp cuma Zuho seorang jja yg tau. Makanya dia perhatian bgt sm Wonu, so meanie shipper tenang aja krna semua udh diatur! Soal tampilan yg berubah, bukan'a aku gk konsisten. Tp kan semua'a udh dikasih di summary, maka'a di sini gk dicantumkan lg n genre jg udh ketauan d chapter2 sblm'a..
Keep RnR yaaa!
