Hari sudah beranjak sore saat Chuuya dan Dazai berkendara menuju gedung apartemen yang ditinggali Chuuya. Matahari, sebagiannya tersembunyi di balik awan, sudah bergantung sangat rendah dilangit. Walau ia baru terbangun dari komanya, Chuuya tetap bisa mengemudi dengan baik. Bisa di bilang, ia mempunyai cukup banyak tenaga sekarang.

Rasanya aneh, seakan kehidupan Chuuya bergeser dari porosnya. Tapi, apa yang salah dengan hal itu? Apa yang salah dengan jatuh cinta terhadap seseorang yang juga mencintainya? Terlebih dengan seseorang yang selalu mencintainya sejak lama.

Kenapa ia menolaknya begitu lama?

Chuuya berusaha fokus pada jalanan yang dilewatinya, mencoba mengabaikan sejenak sebuah kenyataan bahwa Dazai berada di sampingnya. Saat mobilnya sudah mencapai tempat parkir, Chuuya langsung memakirkan mobilnya di samping sebuah mobil sedan putih. Ia membuka pintu mobilnya, bersamaan dengan Dazai yang mengikutinya. Ia berjalan dengan langkah lebar dan menuju pintu lift yang tak jauh dari tempatnya berada.

Seharusnya sekarang ia ke markas lebih dulu, memberikan laporan terhadap apa yang terjadi padanya. Harusnya begitu, tapi ia mengurungkan niatnya.

Tidak ada di antara mereka yang berbicara sedikit pun saat lift merangkak naik. Namun Dazai sempat meraih telapak tangannya, menggenggamnya erat, menautkan jari-jarinya di antara jari-jari Chuuya. Telapak tangannya yang hangat menggenggam tangannya yang tersembunyi oleh sarung tangan hitam. Tidak begitu kerasa, namun pegangan itu terasa erat dan rasanya enggan untuk dilepaskan.

Jadi, mereka menuju kamar Chuuya dengan tangan yang saling berpegangan. Untunglah lorong apartemen itu sedang sepi.

"Jika kau ingin sesuatu, katakan saja padaku," kata Chuuya setelah mereka masuk ke dalam apartemen beberapa saat kemudian. Pegangan tangan itu sudah lepas saat Chuuya membuka pintu.

"Kau tidak ke markas?" tanya Dazai. Ia menggantungkan mantelnya di sebuah gantungan dekat dengan pintu. Sementara Chuuya melepas mantel dan topinya dan melemparnya ke sembarang arah.

"Tidak. Aku perlu istirahat yang cukup. Selain itu..."

Memotong kalimatnya, Chuuya berbalik badan dan menatap Dazai yang ada di belakangnya. Dengan cepat ia merangkul leher pria itu dan mengecup bibirnya sejenak.

"...aku punya urusan yang penting yang harus kuselesaikan dulu di sini karena seseorang ingin menginap di tempatku, bodoh." Wajah Chuuya memerah saat melanjutkan kata-kata itu.

Dazai terkekeh kecil. "He, begitu? Kalau kau bilang begitu..." Ia menarik pinggang Chuuya mendekat dan memeluknya erat-erat. Kemudian ia menciumnya hangat. Saat Dazai mengangkat kepalanya, ia meletakkan dahinya di dahi Chuuya. Jantungnya berdegup kencang hingga ia bisa merasakan getarannya yang tidak beraturan.

"Aku tidak akan menolak."

Bibir mereka bertemu lagi, dengan kecupan-kecupan ringan yang perlahan berubah menjadi cepat dan ganas. Chuuya semakin mendekapnya erat, memperdalam ciuman itu hingga ia melenguh pelan. Lidah mereka bertarung. Tangan Dazai meraba-raba tubuh Chuuya yang masih berbalut pakaian. Sesak, Chuuya meremas rompi hitam Dazai. Dengan tangkas, Dazai membopong kedua kaki Chuuya hingga memeluk pinggangnya. Ia membawa dirinya dan Chuuya menuju sebuah ruangan yang ia tahu adalah kamar tidur Chuuya, sementara lidahnya masih bertaut nakal dengan lidah penyuka wine itu. Ia membuka pintu, melangkah ke arah ranjang berukuran double size dan merebahkan tubuh Chuuya di atasnya.

Dazai menindih tubuhnya, memperhatikan mata Chuuya yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Ia tersenyum, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Chuuya, mendekatkan bibirnya di telinganya.

"Chuuya," bisiknya menggoda.

.

.

.

"Kita lanjutkan yang tadi sekarang, ne?"

.

.

.


LAST CHAPTER : Aku sudah mengingat semuanya...

Warn: Cuma 1 doang kok. Mengandung lemon. Harap bersiap-siap :v


Atsushi berjalan pelan di atas trotoar, melangkah menuju apartemennya. Melas, shock, masih tidak percaya apa yang ia alami hari ini. Ia pikir kehidupannya akan berjalan dengan tenang, tapi tidak disangka akan berjalan cukup buruk.

Dazai dan Chuuya, bercinta di ruang perawatan. Yang benar saja.

Bukan cemburu, bukan. Ia hanya tidak bisa memercayai apa yang ia lihat. Karena saat melihat mereka berdua, ia malah membayangkan dirinya sendiri dengan Akutagawa berada di posisi yang sama dengan kedua orang yang lebih tua darinya itu. Merasakan kenikmatan sementara situasi mereka sedang tidak bagus karena salah pemilihan tempat, bukankah itu cukup luar biasa? Mungkin ia harus mencobanya sesekali dengan Akutagawa...

TIDAK! TIDAK! ITU SAMA SEKALI TIDAK BAGUS! Jerit Atsushi dalam hati dan mengutuk dirinya sendiri karena membayangkannya.

Langkahnya benar-benar cepat, ingin segera pulang dan tidur. Lupakan ochazuke untuk hari ini, ia tidak punya uang yang cukup dan pikiran yang tenang untuk membeli makanan favoritnya itu.

Sesuatu menahannya melangkah, kerah putih dari kemejanya ditarik paksa. Atsushi dengan wajah kesal berbalik badan dan wajahnya mulai memerah saat ia tahu bahwa orang yang menahannya adalah Akutagawa Ryuunosuke... dengan penampilan yang berbeda.

"A-Akutagawa?!" panggilnya.

"Yang benar itu Ryuunosuke, kan?"

"Ah, benar juga." Atsushi teringat. Akutagawa dengan penampilan kasual dan kacamata itu sangat berbeda dengan yang biasanya. Untuk penyamaran, Atsushi harus memanggilnya 'Ryuunosuke'.

Akutagawa melepas pegangannya pada kerah kemejanya. Atsushi menundukkan kepalanya, menyembunyikan semburat merah yang ada di pipinya. Jujur saja, Akutagawa dengan penampilan seperti ini sangatlah tampan.

"Kau tidak lupa janji kita, kan?" tanya Akutagawa.

"H-hah? Janji apa?" Atsushi balik bertanya kebingungan.

"Ke apartemenku. Chuuya-san sudah bangun dari komanya, bukan?"

"Ah, benar. Chuuya-san memang sudah sadar dan... HAH?! APARTEMEN?!"

Shock bukan main, Atsushi berteriak di hadapan Akutagawa. Ia jelas-jelas tidak ingat apa yang ia katakan dengan Akutagawa beberapa hari yang lalu. Sejenak ia mengingatnya, membuka kembali memori otaknya. Dan seketika wajahnya memerah sempurna. Benar juga, ia sendiri yang meminta 'kencan' dengan Akutagawa di apartemen lelaki dari Port Mafia itu.

"A-ah, begitu ya..." kata Atsushi.

"Kalau kau belum siap, kita ke tempat makan dulu. Tadi kulihat ada restoran yang menyediakan ochazuke. Akan kutraktir kau hari ini," kata Akutagawa. Atsushi mengangguk dan kembali memerah saat tangan Akutagawa menggenggam tangannya. Ia memang lemah terhadap makanan kesukaannya dan orang ini.

Berdua, mereka melangkah menuju sebuah restoran Jepang yang tak jauh dari sana. Tangan yang saling bertaut, degup jantung yang cukup keras di tengah kesunyian kota Yokohama yang damai. Atsushi mencuri pandang ke arah Akutagawa, menatap kekasihnya yang terpaku pada jalanan yang dilewatinya. Ia tersenyum, mempererat genggaman itu hingga rasanya sangat nyaman. Ia berkata pada dirinya sendiri untuk tetap seperti ini.

Dan setelah itu...

"Dazai-san? Dan... Chuuya-san?" tanya Akutagawa memeriksa telinganya sendiri. Mereka sudah duduk di meja dekat jendela di sudut ruangan, di mana orang-orang lebih sedikit di banding di dekat pintu masuk restoran. Atsushi baru saja selesai menceritakan apa yang dilihatnya tadi.

Atsushi mengangguk sambil mengunyah nasi ochazuke-nya. Pipinya muncul sedikit semburat merah. Bibir Atsushi merengut. Hal itu tampak sangat imut di mata Akutagawa karena selain bibirnya yang sedikit mengerucut kesal, pipinya menggembung karena masih mengunyah nasi. "Aku tak percaya mereka melakukan hal itu di ruangan seperti itu," katanya setelah menelan makanannya.

"Kau mengatakan hal itu seperti tidak pernah melakukannya saja," goda Akutagawa.

"A... a..." Atsushi kehilangan kata-kata. "RYUUNOSUKE!" Hampir saja ia menyebutkan nama 'Akutagawa' di tempat umum seperti ini.

Akutagawa terkikih geli. Matanya menyipit di balik kacamatanya. Senyumannya terkembang sangat manis. Mata Atsushi membulat saat melihat semua itu. Sudah berapa kali ia melihat sisi Akutagawa yang seperti ini?

"Tapi aku benar, kan?" tanya Akutagawa.

"Humph." Atsushi hanya menggembungkan pipinya.

Tangan pucat Akutagawa meraih telapak tangan Atsushi yang terbalut sarung tangan. Jarinya yang menyentuhnya menemukan suatu tonjolan di jari manis kanannya. Ia menarik sarung tangan itu—melepasnya—memperlihatkan jemari-jemari Atsushi yang begitu indah. Tepat di jari manis tangan kanannya, terpasang sebuah cincin emas yang dibelikan Akutagawa untuknya. Masih dipakai, walaupun sudah lama sekali diberikan. Sama seperti dipakai Akutagawa di jari manis tangan kanannya.

Sebuah simbol bahwa mereka selalu bersama.

Akutagawa memandang cincin itu penuh arti. "Seperti kita sudah menikah, ya."

"Hu'um." Atsushi mengangguk. "Jika kau ingin menganggapnya begitu."

Dengan pelan, Akutagawa memberi cincin itu ciuman singkat. Ia melirik ke arah Atsushi yang wajahnya sudah sangat memerah. Ia melepaskan kecupan itu, tapi tangannya tidak mau melepaskannya. Senyuman penuh arti terkembang di wajah Atsushi. Bisikan dan lirikan mulai dirasakan oleh mereka dan wajah Atsushi refleks melihat ke seluruh sudut restoran. Semua orang sudah memperhatikan mereka berdua.

"Manisnya..."

"Lihat, mereka berdua pakai cincin yang serasi! Jangan-jangan mereka tunangan!"

"Mama, apa mereka menikah?"

"Hush, Sayako! Jangan berkata seperti itu."

"Aku tidak tahu bagaimana bilangnya, tapi mereka pasangan yang sangat cocok."

Hidup Nakajima Atsushi sebagai anggota dari Agensi Detektif Bersenjata sudah berakhir, ya... pikir Atsushi melas.

Tidak, Atsushi. Masih belum.

"Jinko, kau sudah selesai makan?" tanya Akutagawa dengan nada berbisik.

"Eh? Sudah, sih."

"Kalau begitu kita langsung ke apartemenku. Kita akan membahas soal pernikahan."

"EEEEEHH?!"

Kata-kata yang diucapkan Akutagawa sukses membuat satu restoran ricuh dengan tepuk tangan yang meriah dari seluruh pengunjung restoran. Sudah dipastikan—dalam imajinasi Atsushi—Kunikida akan memarahinya habis-habisan jika ia tahu hal ini.

Sisanya, silakan kalian berimajinasi—secara liar—sendiri apa yang terjadi pada mereka selanjutnya.


Chuuya's Point of View

Hawa yang panas, pakaian yang tergeletak berantakan di bawah ranjang, suara hembusan napas yang berat dan pendek, kasur yang berderit karena bebannya yang terlalu berat dan aroma musk dari sebuah lotion lubricant juga keringat. Jika kalian bisa membayangkannya, memang itulah yang terjadi. Suasana 'kencan panas' yang seperti biasanya dimulai malam ini.

Setengah berpakaian, aku menatap Dazai yang berada di atas tubuhku. Wajah Dazai tersembunyi di dadaku, mengecup sisi-sisinya yang sangat ia suka. Aku membiarkan Dazai berbuat sesuka hatinya, termasuk bagian dimana Dazai memasukkan 2 jarinya yang basah akan cairan dingin lubricant memasukiku.

"U-mph!" Aku menutup mulut, tidak ingin berteriak terlalu kencang. Memang, aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Tapi kali ini berbeda, karena Dazai menambahkan lubricant yang tidak pernah kucoba.

Kedua jari itu keluar masuk, seperti ingin menusukku segera. Dazai tahu dimana letak titik kelemahannya, karena itulah ia memainkan jarinya di sudut itu. Ia melakukannya dengan tempo normal, namun itu sudah cukup untuk membuatku ingin berteriak.

Sensasi aneh dari lubricant itu memabukkanku, ditambah jemari Dazai yang bermain di dalam diriku. Tubuhku menggelinjang, tidak nyaman namun aku menyukainya. Geli, dan sedikit rasa gatal yang kian memuncak. Bisa kurasakan sendiri, cairan precum sudah membasahiku. Jari-jari kakiku meremas seprai, keringat membasahi pelipisku. Bagian dalam diriku menginginkan Dazai melakukan lebih dari ini dan spontan tubuhku memberikannya spot yang pas untuk dimanja; melengkungkan punggungku sendiri agar Dazai bisa memasukkan jarinya lebih dalam. Ini lebih memabukkan dari pada sebuah wine berharga mahal seperti Petrus.

Dazai terkejut, tentu saja. Tak perlu menggunakan kata-kata untuk memintanya lebih, ia bahkan sudah tahu dari gerakan tubuhku. Ia melepasnya, lalu mencium bibirku ganas. Ah, sudah berapa kali kulihat Dazai yang seperti ini? Bukankah ini luar biasa? Lidahnya dengan kasar memenuhi bibirku. Aku menariknya mendekat, membuka mulut, dan membiarkan Dazai menciumku lebih ganas.

Namun, hatiku berkata lain.

Aku berguling. Tubuh Dazai terbawa hingga ia berada di bawahku. Menarik ciuman itu, mataku menatap sorot mata Dazai yang penuh keterkejutan.

"Ini kejutan dariku, makarel bodoh," ucapku. "Kali ini, biar aku yang melakukannya."


Dazai's Point of View

Aku sudah menduga Chuuya akan melakukan ini. Tapi tentu saja itu hanya imajinasi liarku, hanya sebuah ekspetasi.

Ini pemandangan langka.

Tidak pernah Chuuya mau berada di posisi atas saat aku memintanya melakukannya ketika masih berada di Port Mafia. Ia pun tidak mau merubah posisi karena ia menyukai posisi yang seperti biasanya. Tentu saja, aku cukup kaget melihat Chuuya yang kali ini bersedia melakukannya. Sebenarnya, ia belajar dari mana?

Tapi aku sudah menelusuri hal itu. Dari apa yang terlihat di kamar ini, aku tahu apa yang Chuuya lakukan setelah kepergianku. Ia bermain solo di atas kasur ini dan menyebut namaku. Sebenarnya aku meletakkan beberapa kamera pengintai di kamar ini beberapa hari sebelum aku keluar dari Port Mafia. Tentu, Chuuya tidak tahu-menahu soal itu. Dan yang benar saja, Chuuya menyimpan barang-barang seperti vibrator untuk dirinya sendiri dan memakainya setelah ia bekerja. Semua barang itu ia simpan di bawah kasur, di dalam kotak yang berisi tumpukan kertas tak berguna dari seluruh laporan yang ia buat seperti tong sampah. Setelah 2 minggu menggunakannya, ia tidak pernah melakukannya lagi. Yah, aku ingin memergokinya dan memakaikan benda itu pada Chuuya. Tapi aku yakin ia tidak akan suka. Satu-satunya benda yang kutunjukkan padanya adalah sebotol lubricant dan sebungkus kondom yang kutemukan di laci meja nightstand di sisi ranjangnya. Awalnya Chuuya ingin menolak kebenaran bahwa ia menyimpan hal semacam itu. Tapi setelah terpojok oleh diriku, ia mengaku dengan wajah yang sangat panas. Dan ia mengatakan hal seperti ini: "Tapi aku tidak suka pakai pengaman, kau tahu itu."

Memang, semenjak aku masih di Port Mafia, aku tidak pernah memakai pengaman untuknya. Toh, ia juga tidak pernah memintanya. Kalau begitu, kenapa ia menyimpannya?

Kilas balik selesai, dan kembali ke masalah utama.

Nakahara Chuuya, yang berada di atasku, memandangku dengan mata yang penuh dengan gairah. Siapa yang tidak akan menolak jika seseorang meminta untuk dirinya sendiri merubah posisi? Kurasa tidak ada. Dan kurasa Akutagawa tidak akan menolak jika Atsushi-kun, kekasihnya sekaligus juniorku di Agensi, melakukan hal yang serupa dengan Chuuya.

Chuuya mencium bibirku lembut, perlahan turun ke leher dan memberi jejak di sana. "Hati-hati," kataku memperingatkan saat ia menarik kepalanya dan memandangku.

"Tidak akan." Sudut bibir Chuuya membentuk lengkungan yang nakal.

DEG! Jantungku terasa penuh, reaksiku di mana Chuuya memperlihatkan senyuman nakalnya. Selalu seperti itu. Senyuman Chuuya selalu memiliki khas tersendiri.

Chuuya mengecup bibirku, singkat namun sangat jelas diingat. Ia juga mencium seluruh tubuhku, menjelajah bagian-bagiannya dengan jari-jarinya yang mengelus lembut. Napasnya terasa hangat, tampaknya ia menyukai reaksiku. Mungkin Chuuya bisa saja 'naik pangkat' sekarang. Chuuya menciumku lagi, kini dengan sangat ganas dan ada sedikit pengharapan bahwa aku akan membalasnya 3 kali lipat. Aku menuruti permintaannya, dan kubiarkan dia bermain sepuasnya.

Kali ini, aku tidak akan melarikan diri.


Normal Point of View

Chuuya menghentikan pekerjaannya dan menarik diri. Ia menggigit bibirnya yang merah ranum karena dilumat Dazai sejak tadi. Wajahnya sudah memerah lebih dari kepiting rebus yang Dazai suka.

"Dazai..." kata Chuuya memanggil namanya.

"Kenapa? Kau ragu?" tanya Dazai.

Terkejut karena Dazai mengetahui apa yang dipikirannya, Chuuya mengalihkan pandangannya.

"Tak apa, Chuuya. Kau bilang ini kejutan untukku, kan?" Dazai melanjutkan kata-katanya untuk menenangkan Chuuya. "Kau bisa melakukannya."

Chuuya melirik Dazai, menatap senyuman menggoda dari orang yang dicintainya ini dengan intens. Menghela napas, ia hanya mengangguk pasrah. "Baiklah," katanya. Ia mengecup dahi Dazai seraya berbisik, "Bersiaplah. Jangan alihkan pandanganmu dariku. Mengerti?"

Dazai mengangguk setuju, memberi pencerahan pada Chuuya. Beberapa detik kemudian, Chuuya mengangkat pinggangnya sendiri. Satu tangan menggenggam ereksi yang sudah tidak sabar ingin masuk ke dalam dirinya. Sangat berhati-hati, ia mengarahkan ujungnya ke lubangnya dengan perlahan. Tubuhnya seketika bergetar, padahal ia baru saja menyentuh tepi lubangnya.

"Kau unik, Chuuya." Dazai memuji.

"Diam. Dan jangan menggangguku!" balas Chuuya.

"Kurasa malam ini akan kuhabiskan denganmu saja. Bagaimana?"

"Terserah kau saja."

"Kalau begitu, lakukan dengan benar, ya. Chuuya..."

Tidak ingin mengganggu Chuuya, Dazai hanya bisa diam sambil menikmati pemandangan langka dari sisi bawah ini. Chuuya melanjutkan pekerjaannya. Ia perlahan menurunkan pinggulnya. Seketika kepala batang itu sudah masuk ke dalam dirinya.

"Ahn~!" Chuuya mendesah. Alisnya berkedut merasakan sensasi yang sangat familier untuknya. Ia memejamkan kedua matanya, membiarkan tubuhnya merasakan kenikmatan yang luar biasa. Ia bergerak lagi, menurunkan pinggulnya hingga seluruh batang itu menerobos masuk. Kepalanya tersentak ke belakang, berteriak kesakitan dan mengerang penuh nikmat.

"Aaanggh!"

Benar-benar pemandangan yang langka, pikir Dazai. Ia bisa merasakan dirinya diapit keras oleh dinding hangat Chuuya. Entah Chuuya yang kembali menjadi sempit atau dirinya saja yang terlalu besar, ia tidak tahu. Tapi ini sangat nikmat, dan ia tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk melewati momen ini.

Chuuya terdiam sebentar, masih ingin merasakan dirinya yang penuh oleh Dazai. Ujung batang Dazai sudah menyentuh titik prostat yang tersembunyi di sana. Sangat nyaman, ia tidak rela melepaskannya.

Tangan Dazai mencoba meraih bokongnya, namun langsung ditepis oleh Chuuya.

"Sudah kubilang jangan menggangguku, kan?" Chuuya menatapnya tajam.

"Wow. Oke, oke. Silahkan berbuat semaumu, Chuuya."

Menggunakan tangan sebagai penopang, perlahan Chuuya menggerakkan tubuhnya naik-turun. Ia memperdalam tusukannya, semakin keras dan dalam. Ia mendesah erotis, tubuhnya menggeliat menahan kenikmatan. Irama gerakan itu semakin cepat, seiring dengan desahannya yang menjadi-jadi. Kulit berbentur dengan kulit. Keringat mengucur deras. Entah darimana Chuuya mempelajarinya, tapi ia semakin memperdalam tusukan itu. Ia mempercepat irama pada pinggulnya. Kedua tangannya mulai bergerak. Sebelah tangannya mengelus ereksinya sendiri dan sebelahnya lagi memainkan ujung dadanya yang meminta diperhatikan. Ia mengerang karena pekerjaannya sendiri, membuat Dazai meneguk air liur di dalam mulutnya dan menatapnya penuh ketakjuban.

Chuuya bermain solo. Dan Dazai diabaikan begitu saja.

Tangan Dazai meraih pundak Chuuya. Belum sempat protes, Dazai menarik tubuhnya dan memutar hingga posisi mereka berubah kembali tanpa melepas tautan tubuh mereka. Dazai kini ada di atas Chuuya, menahan tubuhnya di bawah.

"Apa-apaan kau?!" seru Chuuya protes.

Dazai mendekatkan bibirnya di telinga Chuuya, kemudian berbisik dengan lembut. "Aku tidak suka diabaikan, kau tahu?" Lalu ia menggigit cuping telinga yang memerah itu.

"Aa! Bodoh! Henti...AAAHH~!"

Tanpa aba-aba yang bisa dimengerti Chuuya, Dazai menggerakkan pinggulnya. Lenguhan dan desahan memenuhi ruangan. Seluruh tubuh Chuuya gemetaran. Adik kecil-nya semakin gencar mengeluarkan precum. Melihat reaksi itu—juga wajah Chuuya yang sedemikian seksi dilihat—Dazai semakin bersemangat menyerang tubuh dalam Chuuya, mengocok perutnya lebih ganas. Lebih kasar, lebih nikmat. Bahkan 'kencan panas' mereka yang sebelum-sebelumnya tidak pernah terasa seperti ini. Dazai tidak bisa menahan lenguhannya sendiri, matanya menatap Chuuya yang sudah mulai tidak kuat.

"Da-Da-Dazai..."

"Yang benar itu Osamu, kan?"

"Osamu... a-aku... nggh... ahh, le-bih... hhaa."

"Aku tahu, Chuuya."

"O-Osamu!"

Chuuya mencapai klimaks terlebih dahulu. Punggungnya melengkung, bergetar menahan puncaknya. Kedua tangannya memeluk Dazai erat. Suaranya seketika berubah serak namun seksi. Seluruh ruangan ini tenggelam dalam ruangan putih di dalam bawah sadarnya karena kenikmatan puncak yang menakjubkan. Dan Dazai menyusul, memuncratkan cairannya di dalam tubuh Chuuya, membuat perutnya sejenak terasa hangat. Tubuhnya lemas dan merosot memeluk Chuuya. Keduanya buta oleh gelombang puncak yang begitu nikmat.

Terdiam sejenak, saling menatap dengan tatapan penuh kabut birahi. Mengatur napas, berhamburan dan begitu hangat terasa di kulit. Bibir mereka sekali lagi menempel satu sama lain. Sentuhan bibir yang lembut menjadi penutup 'kencan panas' mereka. Sedikit demi sedikit, mereka akan membereskan benang-benang cinta mereka yang terserak dan merajutnya kembali. Mereka akan memulai lagi segalanya dari awal.

"Aku mencintaimu," Chuuya berbisik. Dazai yang mendengarnya hanya bisa terkekeh kecil sembari mempererat pelukan mereka.

"Aku pun begitu, Chuuya."


Atsushi menghela napas setelah cemberut selama beberapa menit yang lalu. Tubuhnya yang sudah telanjang bulat dibungkus oleh selimut yang hangat. Telungkup dengan tangan yang tersembunyi di balik bantal, ia memandang Akutagawa yang berada di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang datar. Mereka sudah berada di kamar tidur milik Akutagawa semenjak 2 jam yang lalu. Dan mereka baru saja selesai... ah, sudahlah. Kalian pasti mengerti.

"Kau masih marah?" tanya Akutagawa.

"Ini adalah pertama kalinya kau tidak memakai pengaman," jawab Atsushi dengan nada kesal.

"Masih sakit?"

"Tentu saja!"

Atsushi menggembungkan pipinya, mengalihkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Akutagawa merangkul pundaknya, mengecup pipi kekasihnya sejenak dan kemudian berbisik.

"Nanti juga rasa sakit itu hilang. Mungkin hanya semalam," katanya.

"Tidak mungkin bisa sembuh dalam satu malam kalau kau melakukannya lebih dari 2 kali!" Oh, Atsushi masih marah. "Ditambah dengan Rashoumon yang kau ikutkan kali ini. Catat itu!"

"Tapi kau menyukainya, bukan? Aku masih ingat wajahmu saat kita melakukannya tadi."

"Humph!"

Akutagawa mendengus pasrah. Ia melepaskan rangkulannya, memutar tubuhnya dan membiarkan dirinya tertidur sendiri di samping Atsushi. Namun sebelum ia benar-benar lelap dalam mimpinya, Atsushi sudah menghujaninya dengan satu pertanyaan.

"Bagaimana jika kita tidak pernah bertemu?"

Diam, Akutagawa tidak menjawab pertanyaan itu. Dan Atsushi kembali menghujaninya dengan pertanyaan yang tidak diduganya.

"Bagaimana jika kita tidak pernah mengenal satu sama lain? Bagaimana jika salah satu diantara kita sudah pergi sementara dipertemukan saja belum? Bagaimana jika nasib kita sama dengan Dazai-san dan Chuuya-san? Bagaimana jika salah satu diantara kita mati? Bagaimana jika semua ini berakhir?"

Atsushi menggenggam erat bantalnya, melesak ke dalam bantal dan membiarkan kegelapan melingkupi dirinya. Rasanya ia ingin menangis.

"Aku takut. Aku takut jika hal seperti itu terjadi..."

Akutagawa berbalik, mengelus surai abu-abu kekasihnya. Atsushi mengangkat kepalanya, memandang wajah Akutagawa yang serius. Kemudian ia mengecup dahi Atsushi, begitu lembut dan hangat. Semua perasaan Akutagawa padanya seakan disalurkan secara langsung oleh kecupan itu.

"Kalau kau takut hal seperti itu terjadi, lebih baik menjaganya dari sekarang. Benar, kan?"

Atsushi mengangguk, setuju dengan perkataan Akutagawa. Lalu Akutagawa kembali berbalik badan. Beberapa menit kemudian ia terlelap dalam tidurnya.

Selang beberapa menit, cukup lama waktu yang disita untuk sebuah keheningan. Atsushi kembali menoleh ke arah Akutagawa. Lelaki itu sudah tertidur pulas dengan tubuh terlentang, terlihat dari wajahnya yang tenang dengan dengkuran pelan. Ah, lihatlah wajah polos Akutagawa saat tertidur. Atsushi bersyukur ialah yang melihat ini pertama kali sebagai kekasihnya.

Perlahan Atsushi mendekatkan wajahnya, melihat wajah Akutagawa semakin jelas saat tertidur. Ia mengecup bibir pucat Akutagawa singkat, lalu berbisik.

"Selamat tidur, Ryuunosuke."

Akutagawa berguling dalam tidurnya, tubuhnya menghadap ke arah Atsushi di sampingnya. Kaget, Atsushi mundur 1 langkah. Namun Akutagawa segera memeluknya dan mendekapnya di dadanya.

"Eh? Eeh? Eeeeeeehhh?!"

Panas, wajah Atsushi sudah memanas. Ia menoleh kepalanya ke atas, menatap Akutagawa yang terbangun dan balas menatapnya.

"Selamat tidur juga, Atsushi."

DEG! Jantung Atsushi berdegup keras. Akutagawa memanggil namanya. Biasanya hanya memanggil dengan panggilan 'Jinko' seperti saat pertama kali bertemu. Ia tersenyum penuh arti, mempererat pelukan itu hingga tubuh mereka terasa hangat.

"Mimpi indah."

Kini Akutagawa yang berdegup kencang. Di dalam senyuman kecilnya, ia berkata dalam hati.

Malam ini pun baginya sudah seperti mimpi...

"Besok kau harus mandi, Ryuunosuke."

"Tidak jika kau tidak mau memandikanku."

"HAAAH!?"


Memasuki ruangan, Chuuya melangkah menuju tempat tidur di mana Dazai menunggunya di atas kasur. Hanya mengenakan pakaian kasual sederhana—kaos hitam dengan celana abu-abu—ia mendekati Dazai dan duduk di sampingnya. Dazai segera menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti di hadapannya.

"Kau sangat wangi," pujinya.

"Itu karena baru selesai mandi, bodoh."

Dazai semakin mendekat, ia menyelusupkan wajahnya di sisi leher Chuuya. Menghirup aroma sabun yang begitu wangi di tubuhnya. "A-apa yang kau lakukan?!" Chuuya protes, berusaha menyingkirkan Dazai.

"Aku menyukai wangi tubuhmu." Dazai berkata dengan santai.

"Itu wangi yang sama denganmu karena kau juga pakai sabunku tadi, bego!"

"Kau jutek sekali. Padahal kau sudah jujur pada perasaanmu sendiri."

Wajah Chuuya memerah karena malu. "A-aku hanya tidak suka dengan perilakumu ini, bodoh!"

Mendengus menahan tawa, Dazai merangkul pinggang Chuuya. Mendekatkan tubuhnya hingga bahu mereka menempel satu sama lain.

"Kau tadi sangat hebat, Chuuya." Dazai membuka pembicaraan.

"Ugh, kau melakukan semua pekerjaan."

"Terhormat bagi saya, Nyonya."

"Aku bukan 'Nyonya'!"

"Mungkin lain kali kita akan mencoba posisi baru. Ah, benar juga. Kita sudah melakukan semua posisi yang kita tahu tadi."

"Hoi, jangan berkata seperti kita sudah menikah!"

Dazai menatapnya tajam, begitu intens. Chuuya meneguk air liurnya. Jantungnya seribu kali berdegup lebih kencang. Ah, benarkah seperti ini rasanya jatuh cinta untuk yang kedua kali? Melakukan semuanya dari awal? Terasa indah dan berbunga-bunga. Kalau benar, seharusnya ia lakukan ini dari awal.

"O-oi, Dazai." Tentu saja, Chuuya merasa tidak enak karena ditatap terus-menerus.

"Kau benar-benar mengingatnya? Semua perasaan itu dan apa yang kau rasakan padaku?" tanya Dazai. Ini malah terdengar seperti interogasi, seakan Dazai curiga apa yang sebenarnya dipikirkan Chuuya.

"Bukannya aku sudah bilang padamu, hah? Aku sudah mengingat semuanya," jawab Chuuya ketus. "Lagipula, untuk apa memikirkan hal itu lagi? Kalau kita mengulang semuanya dari awal, masa lalu tidak perlu diungkit."

Terkejut karena jawaban Chuuya, Dazai mengembangkan senyumannya. "Kau benar. Kalau begitu..."

Dazai mendekatkan bibirnya di hadapan telinga Chuuya dan berbisik. Selang beberapa menit saat Dazai membisikkan sesuatu padanya, wajahnya memanas. Ia menarik diri, dengan wajah yang tidak percaya ia menganga. Sementara Dazai hanya tersenyum memandangnya.

"Ka-Kau bercanda, kan?" tanya Chuuya.

Dazai menggeleng, dan sekali lagi jantungnya berdegup kencang. Tangan Dazai menggenggam tangannya. Ia mendekatkan wajahnya di hadapan Chuuya dan kembali berbisik dengan nada penuh permohonan dan erotis.

"Bagaimana, Chuuya? Kau mau menikah denganku?"

.

.

.

.

.

END

A/N: AKHIRNYA SELESEEE! YUHUUUU! *terbang ke arah kasur* dan endingnya sama kayak ff ini, GaJe :v

Oke, ini low apdet sangat. Jawabannya gampang, gue lagi nyoba2 bikin webtun. Baca ya, baca ya~ *maksa* karena webtunnya straight,

Dan maaf bagi yang pengen liat AkuAtsu lagi 'anu', gak bisa dikabulkan sekarang. Soalnya ini berfokus pada Soukoku saja. Tapi tetep ada kan, AkuAtsunya? Muahahahahaha! *digaplok*

Makasih buat para readers yang mau membaca ff gaje ini ampe akhir. Aku terharu~ *hikcu*

Karena ini sudah berakhir... mari kita tutup A/N gaje ini :v

Sekian dan terima kasih! Tunggu FF selanjutnya, beib! XD

Tertanda

Nazaufa Sartez (Kayukibana)


So Many Thanks to...

Shizu yummy, Cylva, moza-kun, satsuki grey, Namika Ichigawa, .5, shianata55, Chinatsu Arakawa, TakoNekoInuPyong, Misacchin, SelenTetrad, Bakai Yamato, Hiro Mineha, OtakuHan, KiriKatsudonRE22, Arisuke F and so many readers and silent readers.

Thanks for read this sh*t fanfic and support!

.

.

.

Gak kok. Gak hiatus kok :v