©Angelsoo Proudly Present

LONG TIME COMING (REMAKE)

Chapter 1

-Do Kyungsoo, Park Chanyeol, dan Oh Sehun-

Rated T-M

Warn : Do Kyungsoo GS!; Remake; typo(s); OOC; sedikit perubahan untuk mendukung jalannya cerita; DON'T BASH PLEASE!

Genre : Romace, Family

Desclaimer : All characters belong to their agency; original story belongs to Sandra Brown

.


.

Mobil Porsche itu meluncur di jalan bagai seekor macan kumbang yang ramping. Menikung tajam di belokan, suara mesinnya mendengung rendah dan dalam hingga terdengar seperti geraman seekor hewan pemangsa.

Do Kyungsoo sedang berlutut di kebun bunganya yang subur, menggali di antara semak-semak di bawah rumpun ligustrum dan mengumpati serangga serangga kecil yang berpesta pora melahap tanamannya, ketika deru mesin mobil itu menarik perhatiannya. Ia menengok ke belakang mengamati mobil itu, lalu mulai panik saat mobil itu berhenti di muka rumahnya.

"Ya ampun, apa sudah sesiang itu?" gumamnya.

Ia meletakkan sekopnya, lalu berdiri dan mengibaskan tanah basah yang menempel di lututnya. Tangannya terangkat untuk mengusap poni dari keningnya sebelum Kyungsoo menyadari ia masih mengenakan sarung tangan berkebunnya yang tebal. Kyungsoo segera melepaskannya dan menaruhnya di samping sekop, sambil terus memperhatikan si pengemudi keluar dari mobil sport itu dan mulai berjalan memasuki pekarangannya.

Kyungsoo melirik arlojinya, dan melihat bahwa ia tidak lupa waktu. Pria itulah yang kepagian untuk pertemuan mereka, dan akibatnya, Kyungsoo tidak bakal memberi kesan pertama yang baik. Kepanasan, berkeringat dan kotor bukan penampilan yang hebat untuk bertemu dengan seorang klien. Padahal ia sangat membutuhkan komisinya.

Sambil memaksakan seulas senyum, Kyungsoo berjalan menyambut tamunya, dengan gelisah berusaha mengingat apakah rumah dan studionya cukup rapi ketika ditinggalkannya tadi waktu ia memutuskan untuk berkebun selama satu jam. Ia sudah berencana untuk merapikannya sebelum tamunya tiba.

Penampilannya mungkin acak-acakan, tapi Kyungsoo tidak mau kelihatan bisa diintimidasi. Keramahan yang diimbuhi rasa percaya diri adalah satu-satunya cara untuk menutupi penampilannya yang tidak menguntungkan ini.

Pria itu masih beberapa langkah darinya ketika Kyungsoo menyapanya. "Halo," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya waktu kita tidak tepat. Saya pikir Anda tidak akan datang sampai beberapa saat lagi."

"Aku memutuskan bahwa sudah waktunya permainan kotormu diakhiri."

Sepatu kets Kyungsoo sedikit terpeleset di atas trotoar saat ia berhenti mendadak. Ia memiringkan kepalanya kebingungan. "Maaf, saya—"

"Siapa kau sebenarnya, Nona?"

"Do Kyungsoo. Anda sangka siapa?"

"Aku tidak tahu siapa namamu. Muslihat apa yang sedang kau mainkan?"

"Muslihat?" Kyungsoo memandang ke sekelilingnya tanpa daya, seolah-olah pohon sycamore besar di halamannya dapat memberi jawaban atas interogasi yang aneh ini.

"Kenapa kau terus-menerus mengirimiku surat-surat itu?"

"Surat-surat?"

Pria itu jelas marah, dan keheranan Kyungsoo tampaknya semakin membuatnya murka. Pria itu melangkah cepat ke arahnya seperti seekor elang mengincar tikus sawah, hingga Kyungsoo harus menengadah untuk menatapnya. Matahari yang cerah berada di balik pria itu, sehingga yang tampak hanya siluetnya.

Pria itu berambut kecoklatan, tinggi, ramping dan mengenakan celana panjang santai dan kaus—gayanya tanpa cela. la memakai kacamata hitam, sehingga Kyungsoo tidak dapat melihat matanya, tapi melihat ekspresi dan cara berdirinya yang begitu garang, Kyungsoo lebih suka tidak melihat matanya.

"Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan."

"Surat-surat itu, Nona, surat-surat itu." Pria itu menekankan kata-katanya sambil mengatupkan giginya yang putih.

"Surat-surat apa?"

"Tidak usah pura-pura."

"Anda yakin Anda berada di alamat yang benar?

Pria itu kembali melangkah maju. "Aku berada di alamat yang benar," ujarnya geram.

"Tampaknya tidak." Kyungsoo tidak suka ditekan seperti itu, terutama oleh seseorang yang tidak dikenalnya mengenai sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya. "Entah Anda gila atau mabuk, tapi bagaimanapun juga, Anda salah. Saya bukan orang yang Anda cari dan saya minta Anda segera meninggalkan rumah saya. Saat ini juga."

"Tadi kau sedang menungguku. Aku bisa melihatnya dari caramu menyambutku."

"Tadinya saya pikir Anda orang dari biro iklan."

"Yah, saya bukan orang biro iklan."

"Syukurlah." Kyungsoo tidak suka kalau harus berbisnis dengan seseorang yang begitu pemarah dan tidak masuk akal seperti orang ini.

"Kau tahu betul siapa aku." ujar pria itu, membuka kacamata hitamnya.

Napas Kyungsoo tercekat dan ia mundur satu langkah karena ia ternyata memang mengenal pria itu. Ia memegang dadanya untuk menahan jantungnya yang berdebar cepat. "Chanyeol," bisiknya.

"Betul. Park Chanyeol. Persis seperti yang kau tulis di amplop-amplop itu."

Kyungsoo terpana melihat pria itu setelah bertahun-tahun lamanya, berdiri hanya beberapa senti di hadapannya. Kali ini pria itu bukan hanya sosok yang dikenalnya di surat kabar atau layar TV. Sosok asli pria itu ada di hadapannya. Tahun-tahun berlalu namun penampilan pria itu masih tetap gagah. Kyungsoo ingin tetap berdiri dan terus memandang pria itu, tapi Chanyeol memandangnya dengan tatapan jijik dan sama sekali tidak mengenalinya.

"Mari masuk, Tuan Park," ajak Kyungsoo dengan lembut.

Beberapa orang tetangga yang sedang menikmati cuaca akhir pekan yang cerah sambil berkebun, berhenti bekerja atau menyirami tanamannya untuk memperhatikan mobil dan tamu Nona Do. Tamu pria yang datang ke rumahnya bukanlah sesuatu yang aneh. Banyak kliennya yang pria dan kebanyakan dari mereka berkonsultasi dengannya di rumah. Umumnya tamu-tamu pria yang datang adalah eksekutif resmi, dan mengenakan setelan bisnis. Jarang sekali yang berambut hingga menutupi dahi, bertampang bintang film, dan mengendarai mobil mewah.

Wilayah hunian di Deoksugung ini bukanlah pemukiman mewah seperti yang ada di sekitarnya. Sebagian besar penduduk di situ berusia paruh baya dan mengendarai sedan yang biasa-biasa saja. Porsche yang berhenti di wilayah itu tentu saja memancing rasa ingin tahu. Dan sepanjang ingatan para tetangganya, Do Kyungsoo tidak pernah hertengkar dengan siapa pun.

Sepatu bersol karetnya berdecit saat ia berbalik dan Park Chanyeol mengikutinya hingga masuk rumah. Kelembapan di luar sana membuat udara AC terasa nyaman, tapi karena tubuh Kyungsoo basah karena keringat, udara yang dingin malah membuatnya merinding. Atau mungkin kesadaran bahwa Chanyeol ada di belakangnya yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Lewat sini." Kyungsoo mengajaknya melewati lorong yang luas, dan menuju teras belakang yang berkaca, yang juga menjadi studionya. Ia merasa seperti di rumah di tempat ini, lebih santai, dan membuatnya lebih mampu menghadapi kenyataan mengagumkan bahwa Park Chanyeol tanpa disangka-sangka kembali memasuki hidupnya lagi.

Saat Kyungsoo berbalik hingga berhadapan dengan pria itu, mata Chanyeol yang hitam jernih sedang mengamati sekeliling studio. Matanya segera memandang mata Kyungsoo bagaikan magnet.

"Jadi?" tanyanya ketus, bertolak pinggang.

Jelas pria itu sedang menunggu penjelasan lengkap atas sesuatu yang sama sekali tidak diketahui Kyungsoo.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang surat apa pun juga, Tuan Park."

"Surat-surat itu dikirimkan dari alamat ini."

"Kalau begitu ada kesalahan dari kantor pos."

"Tidak mungkin. Tidak sampai lima kali selama beberapa minggu. Dengar, Nona eh... siapa tadi?"

"Do. Do Kyungsoo."

Pria itu memandangnya sekilas dengan rasa ingin tahu. "Nona Do, aku sudah melajang selama tiga puluh enam tahun. Sudah lama melampaui masa remaja. Aku tidak ingat setiap wanita yang ku tiduri."

Jantung Kyungsoo kembali melonjak-lonjak tak karuan, dan ia menghirup napas dengan cepat, "Aku tidak pernah tidur denganmu."

Pria itu membuka kakinya sedikit dan memiringkan kepalanya dengan angkuh. "Kalau begitu bagaimana mungkin kau mengaku memiliki seorang anak laki-laki dariku? Seorang anak laki-laki yang keberadaannya tidak pernah kuketahui sampai aku menerima suratmu yang pertama beberapa minggu yang lalu."

Kyungsoo terpana memandang pria itu hingga tak mampu berkata-kata. Ia dapat merasakan wajahnya memucat. Rasanya seolah bumi di bawah kakinya telah lenyap. "Aku tidak pernah punya anak. Dan kuulangi lagi, aku tidak pernah mengirimimu selembar surat pun."

Kyungsoo menunjuk ke arah kursi. "Bagaimana kalau kau duduk dulu?" Ia tidak menawarkan itu demi sopan santun maupun kenyamanan pria itu. Ia khawatir kalau ia tidak segera duduk, lututnya takkan tahan lagi menyangga tubuhnya.

Chanyeol memikirkan tawarannya selama beberapa saat, menggigit sudut bibirnya dengan marah sebelum bergerak menuju sebuah kursi rotan. Ia duduk di sudutnya, seolah bersiaga untuk segera berdiri jika diperlukan.

Menyadari sepatu ketsnya yang kotor, celana pendeknya yang sudah belel dan kausnya yang usang, Kyungsoo duduk di kursi berhadapan dengan pria itu. Ia duduk dengan tegak, merapatkan lututnya yang kotor, dan menangkupkan tangannya dengan gugup di atas pangkuannya.

Kyungsoo merasa telanjang dan rapuh saat mata tajam pria itu bergerak menelusuri dirinya, wajahnya, rambutnya yang acak-acakan, bajunya, dan lututnya yang kotor.

"Kau mengenalku." Chanyeol melontarkan kata-katanya seperti tembakan peluru kendali.

"Siapa pun yang menonton TV atau membaca surat kabar pasti mengenal Anda. Anda adalah astronot paling terkenal setelah John Glenn."

"Karena itu aku jadi sasaran paling empuk bagi setiap orang sinting yang mencari korbannya."

"Aku bukan orang sinting!"

"Kalau begitu kenapa kau mengirimiku surat-surat itu? Kau tahu, cara seperti itu sudah umum. Aku mendapat lusinan surat tiap harinya."

"Selamat, ya."

"Tidak semuanya surat penggemar. Ada beberapa surat orang-orang fanatik yang marah, yang merasa kami melawan takdir Tuhan. Aku menerima banyak tawaran untuk menikah maupun tawaran-tawaran aneh lainnya," ujarnya datar.

"Kau beruntung sekali."

Chanyeol mengacuhkan sindiran Kyungsoo dan terus berbicara. "Tapi surat-suratmu memunculkan ide baru. Kau adalah orang pertama yang menyatakan bahwa aku adalah ayah anakmu."

"Anda dengar tidak? Sudah aku katakan bahwa aku tidak pernah punya anak. Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya?"

"Justru itu maksudku, Nona Do!" sergahnya.

Kyungsoo berdiri. Demikian juga pria itu. Ia mengikuti Kyungsoo yang berjalan menuju meja gambarnya dan menyibukkan diri membereskan pensil-pensil sketsanya dan kuas-kuas catnya ke dalam berbagai wadahnya.

"Kau juga orang pertama yang mengancam untuk membeberkan hal itu seandainya aku tidak melakukan apa yang kau minta."

Kyungsoo berbalik dan Chanyeol berada sangat dekat dengannya. Ia bahkan dapat merasakan celana pria itu di kakinya yang telanjang.

"Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk mengancammu? Kau adalah malaikat dalam program penjelajahan ruang angkasa, diagung-agungkan sebagai pahlawan. Kau menyihir seluruh Korea Selatan untuk terus menonton televisi saat kau dan seorang astronot Korea Utara berjabat tangan untuk kesepakatan damai di luar angkasa. Ada parade yang meriah untuk menyambut kedatanganmu dan para kru. Kau pernah makan malam bersama Presiden dan Ibu Negara. Kalau aku yang bukan apa-apa ini berani menentang orang setenar dirimu, aku pasti sudah gila atau bodoh. Aku bisa pastikan bahwa aku bukan dua-duanya."

"Kau memanggilku Chanyeol."

Setelah ucapannya yang panjang-lebar itu, sergahan tiga kata dari pria itu menjadi pernyataan anti klimaks yang membuat Kyungsoo terkejut. "Apa?"

"Waktu kau pertama kali mengenaliku, kau memanggilku Chanyeol."

"Itu memang namamu, kan?"

"Tapi biasanya orang yang berpapasan di jalan akan memanggilku Kolonel Park, bukan panggilan akrab seperti Chanyeol. Kecuali kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya."

Kyungsoo mengelak pernyataan itu. "Apa yang diminta dari surat-surat yang kau tuduhkan itu?"

"Pertama-tama, uang."

"Uang?" pekik Kyungsoo. "Konyol sekali."

"Lalu pemberitahuan pada publik atas keberadaan anakku."

Kyungsoo melepaskan diri dari impitan pria itu dan meja gambarnya. Kedekatan Chanyeol membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Ia mulai mengatur tumpukan sketsanya yang bertebaran di atas meja kerjanya.

"Aku orang yang sangat mandiri, yang mampu memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak akan pernah menuntut uang darimu maupun dari orang lain."

"Ini pemukiman yang indah, rumah yang besar."

"Milik orangtuaku."

"Mereka tinggal di sini bersamamu?"

"Tidak. Ayahku sudah meninggal. Ibuku terserang stroke beberapa bulan yang lalu dan tinggal di rumah perawatan." Kyungsoo membanting tumpukan sketsanya dan berbalik menghadap tamunya.

"Aku sanggup menghidupi diriku sendiri. Apa urusanmu dengan semua hal ini?"

"Kurasa korban harus mengenal orang yang hendak memerasnya." Dengan suara parau ia menambahkan, "Dalam setiap segi."

Mata pria itu kembali menelusuri Kyungsoo. Kali ini lebih perlahan dan penuh penilaian. Kyungsoo melihat mata itu berhenti di payudaranya, yang nyaris tidak dapat ditutupi oleh kausnya yang basah. Ia dapat merasakan pucuk payudaranya menegang dan gagal untuk meyakinkan dirinya bahwa reaksinya itu adalah akibat penyejuk ruangan, dan bukan tatapan Park Chanyeol.

"Kelihatannya kau harus pergi sekarang," ujar Kyungsoo angkuh. "Sebentar lagi aku akan kedatangan seorang tamu dan aku harus bersiap-siap."

"Siapa yang kautunggu? Orang dari biro iklan itu?" Melihat tatapan kaget Kyungsoo, Chanyeol menambahkan, "Kau menyebutnya waktu aku baru tiba tadi."

"Dia berjanji untuk datang dan melihat sketsa-sketsa yang kutawarkan untuk memperoleh komisi."

"Kau seniman?"

"Ilustrator."

"Kau bekerja di mana?"

"Bekerja sendiri. Aku pekerja freelance."

"Sekarang ini kau sedang mengerjakan proyek apa?"

"Sampul depan Buku Telepon Deoksugung." Alis Chanyeol terangkat, tampak terkesan. "Komisinya lumayan dong."

"Aku belum mendapatkan pekerjaannya." Kyungsoo seharusnya menggigit lidahnya saat kata-kata itu meluncur. Pria itu cukup cerdas untuk mendengarnya.

"Kau sangat rnembutuhkan komisinya?"

"Tentu saja. Sekarang. kalau kau—" Pria itu menahan Iengannya saat Kyungsoo berusaha untuk melewatinya, berjalan menuju pintu depan.

"Pasti sulit sekali ya, hidup dari satu komisi ke komisi berikutnya sementara kau harus mengurus rumah ini dan membiayai perawatan ibumu."

"Aku bisa mengatasinya."

"Tapi kau tidak kaya."

"Memang tidak."

"Karena itulah kau mengirimiku surat-surat ancaman itu, kan? Untuk mendapatkan uang dariku?"

"Tidak. Untuk kesejuta kalinya, aku tidak pernah mengirimmu surat apa pun."

"Pemerasan adalah kejahatan serius, Nona Do."

"Dan tuduhan yang bahkan terlalu konyol untuk dibicarakan. Sekarang, tolong lepaskan lenganku."

Pria itu tidak menyakitinya. Tapi jari-jari yang melingkari lengannya itu membuat Kyungsoo terlalu dekat dengan pria itu. Ia cukup dekat untuk mencium cologne Chanyeol yang seksi dan kesegaran napas pria itu, cukup dekat untuk melihat pusat bola matanya yang gelap yang pernah menghias sampul depan majalah Time yang menyebabkan majalah itu berhasil meraih rekor penjualan tertinggi dalam sejarah penjualannya.

"Kau tampaknya cukup pandai." ujar Chanyeol.

"Apakah itu pujian?"

"Kalau begitu kenapa kau mengirim surat-surat kaleng padaku, lalu menulis alamatmu di amplopnya?"

Kyungsoo tertawa lembut penuh keheranan dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya. Atau barusan itu pertanyaan jebakan? Mana surat-surat itu? Apa aku boleh melihatnya? Mungkin setelah aku membaca surat-surat itu aku dapat memberi penjelasan."

"Memangnya aku bodoh? Aku tidak akan menyerahkannya padamu supaya kau bisa menghancurkan bukti-buktinya."

"Ya ampun," pekik Kyungsoo. la lalu menengadah menatap wajah pria itu yang tampak tegang, dan berkata, "Kau benar-benar serius dengan semua ini, ya?"

"Awalnya tidak. Kau hanyalah satu dari sekian banyak orang sinting. Tapi setelah surat yang kelima, waktu kau mulai mengancam atas tuduhan bahwa aku lah ayah anakmu, kupikir sudah saatnya aku berhadapan langsung denganmu."

"Aku tidak termasuk tipe wanita yang akan menuduh pria mana pun juga sebagai ayah anakku."

"Bahkan pria yang sangat terkenal sepertiku ini?"

"Tidak."

"Seorang pria yang akan kehilangan segalanya jika sampai terlibat skandal?"

"Ya! Lagi pula, aku kan sudah bilang bahwa aku tidak pernah punya anak."

Mereka mendengar pintu depan dibuka dan dibanting kembali hingga menutup. Ada suara orang berlari di ruang depan. Lalu seorang remaja laki-laki yang tinggi-kurus berlari menuju pintu. "Ibu, cepat lihat mobil yang diparkir di depan rumah kita. Mobilnya betul-betul keren!"

Itu Sehun. Do Sehun.

.

.

.

TBC

.


.

A/N : Ada yang udah baca aslinya? Entah kenapa pas baca novel karya Sandra Brown ini, saya langsung keinget Park family. Mungkin efek karena akhir-akhir ini saya banyak nge-follow ig para Chansoo shipper yang suka bikin meme-meme lucu. Hehehehe….

.

Salam kenal semua, deepbow. Mind to review?

.

.

Angelsoo

07012017