Dating Marriage? © Narugankster
Naruto © Masashi Kishimoto
T+
Uzumaki Family
Warning : Typo?
DLDR okay?
Angin musim semi menari indah di atas rerumputan hijau halaman sebuah rumah, dapat dilihat pula kelopak bunga sakura ikut menari mendampingi alur sang angin pergi. Pemandangan yang sayang untuk dilewati keluarga di sana, keluarga yang saat ini sedang berkumpul bersama di depan teras rumah itu.
Sang ayah yang sedang mengajak bercanda si bungsu, si sulung yang sibuk bermain video gamenya, dan tentu sang ibu yang saat ini sedang bersenandung indah sambil menyiram tanaman dan bunga-bunga di perkarangan rumah. Semua tampak asik melakukan kegiatannya masing-masing, sampai akhirnya sang Sulung memecah kesunyian ketika perutnya bergemuruh.
"Kaa-chaan, aku lapar!" Rengek bocah pirang itu manja.
Sang ibu yang mendengarnya menoleh, kemudian wanita cantik itu tersenyum dan menghentikan kegiatannya. Mungkin sudah cukup ia memberi asupan pada tanaman, kini keluarganya yang perlu ia berikan itu. Lagi pula waktu sudah hampir senja, ia harus menyiapkan makan malam.
"Boruto! Kaa-chan sedang sibuk!" Tegur seorang pria kekar, yang saat ini sedang menggendong balita cantik di pangkuannya.
Wanita itu kini sudah masuk ke dalam rumah, "Tidak apa-apa, anata. Lagi pula sebentar lagi waktunya makan malam," ucap wanita bernama Hinata itu, sambil berjalan menuju dapur.
Mengabaikan ejekan sang putra yang merasa menang. Mata biru milik si Pria malah mengekori kemana istrinya pergi. Pria Uzumaki itu memandang dengan tatapan khawatir pada Hinata yang saat ini tengah sibuk mengeluarkan bahan-bahan makanan dari pendingin.
Lubuk hatinya bertanya-tanya, apa dirinya selama ini terlalu membebankan rumah tangganya pada Hinata? Karena selama ini ia begitu sibuk dengan segala kegiatan untuk persiapan dirinya yang dicalonkan menjadi Hokage berikutnya. Memikirkan itu Naruto jadi merasa bersalah.
"Haah," Pria itu menghembuskan nafas, sambil tetap mengelus punggung kecil seorang balita di pangkuannya yang saat ini tengah menghisap jempol.
Tiba-tiba ingatannya seperti terpekik, Pria itu seperti baru mengingat sesuatu. Sesuatu yang penting. Di dongakan kepala bersurai pirang itu, lalu mata birunya mencari seonggok benda yang biasa menggantung di dinding. Ia harus memastikan sebuah tanggal dengan mata tajamnya, tentu tak perlu kacamata untuk melihat deretan angka kecil yang tercetak di benda bernama kalender itu.
Benar! Dugaan Naruto tepat! Besoklah salah satu hari bersejarah dalam hidupnya pernah terjadi. Kenapa Naruto bisa lupa? Pantas saja Kakashi selaku Rokudaime Hokage memberinya libur panjang kemarin. Payah sekali dirinya!
Lagi, kelereng lautnya menatap sang istri yang kini sedang memotong bahan makanan. Dalam benaknya pria itu bertanya-tanya, 'Hinata ingat tidak ya?' kemudian ia mengalihkan lagi pandangannya ke arah sang putra yang masih saja bermain video game keluaran terbaru saat itu.
"Hoii, Boruto!" Panggil sang ayah pelan pada putranya.
"Hn?" Tanggap bocah bernama Uzumaki Boruto itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kecil di genggamannya.
"Heh! Tatap Tou-chanmu kalau sedang di ajak bicara, bocah nakal!" Omel Naruto pada sang anak yang terlihat acuh tak acuh pada dirinya.
Mendengar nada kesal dari sang ayah, Boruto akhirnya menatap ayahnya dengan senyum kikuk. yah ..., dari pada video game yang baru dihadiahkan kakeknya, disita. "Hmm, ada apa tou-chan?
Kemudian dengan perlahan, Naruto menyeret kaki dan bokongnya agar mendekati bocah itu, yang membuat si bungsu Himawari hanya menatap Ayahnya bingung. Lalu pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah sang anak dan berbisik, "Apaakau ingat besok hari apa?"
Melihat tingkah aneh sang ayah, bocah itu mengankat sebelah alisnya. Untuk apa pria itu berbisik? "Besok ..., bukannya hari Selasa?" Jawab Boruto kebingungan.
Mendengar jawaban putranya, Naruto menghelas nafas malas. Ia juga tahu besok hari Selasa. Mungkin percuma saja bertanya pada bocah itu, Himawari yang sedang digoda kakaknya, apa lagi! Mungkin memang, Naruto harus melakukan ini sediri.
Ini bukan pertama kali Naruto mencicipi makanan buatan Hinata. Jauh sebelumnya, saat mereka masih di tingkat Genin, Pria itu pernah mencicipi Nasi kepal lucu bergambar dirinya yang dibuat oleh tangan-tangan kecil sang istri kala itu.
Kini sudah lama waktu berlalu dan Naruto tidak pernah bosan melahap setiap makanan yang Hinata sajikan di atas meja selama bertahun-tahun mereka hidup bersama. Dan tentu kehadiran anak-anak mereka membuat cita rasa dari setiap makanan itu menjadi jauh lebih nikmat, seperti saat ini.
Boruto yang sedang melahap nasi di mangkuknya, Himawari yang makan sambil bermain-main dengan buburnya dan tentu Hinata yang dibuat kerepotan karena ulah putrinya itu.
Naruto tersenyum melihat bagaimana dengan telatennya sang istri membersihkan mulut Himawari yang belepotan berkali-kali. Entah berapa banyak kesabaran yang wanitanya itu miliki, Hinata tetap tersenyum gemas pada sang putri yang seperti mempermainkannya, Hingga Hinata melupakan makanannya sendiri. Menyadari itu hati Naruto merasa miris.
"Hinata," Panggil Naruto lembut pada Istrinya. Dengan senyum manis wanita itu menoleh.
"Ada apa, Anata? Mau tambah supnya?" Tanya wanita itu spontan.
"Tentu-eh? Maksudku bukan itu!" Seperti kebiasaan ia tidak bisa menolak tawaran manis sang istri, tapi bukan itu yang ia inginkan. Hinata sendiri hanya menatapnya penuh tanda tanya. "Besok ..., apa kau ada acara, sayang?"
Sambil menyuapi Himawari, wanita itu menjawab. "Hmm? Acara? tidak ada, Naruto-kun. A ... aku sengaja mengosongkan jadwalku selama kau libur," pipi wanita itu merona.
Sedikit terkejut memang, tapi pria itu akhirnya tersenyum lebar. Lalu mengalihkan pandangan ke putra-putrinya yang sedang asik dengan makanan mereka. "Hei Boruto, Himawari!"
Sambil mengunyah si Bocah laki-laki hanya memberikan tatapan tanya, karena mulut kecilnya penuh dengan makanan. Sedang si gadis kecil itu, malah mengocehkan kata 'Tou-chan' dengan suara lucunya.
"Bagaimana, jika besok kalian bermain di rumah Hiashi Jii-chan semalaman!?" Tanya Naruto pada mereka, yang direspon dengan cara yang berbeda. Boruto menatap tidak percaya, sementara Himawari malah mengulang kata 'Jii-chan' dengan senang.
Hinata sendiri juga sedikit terkejut dengan ajakan mendadak sang suami pada anak-anaknya. Dan untuk apa? Bukankan ia libur untuk main dengan anak-anak mereka? "A ... anata, kenapa mendadak sekali? Ada apa memangnya?"
Naruto hanya tersenyum, tidak berkata apapun dan malah bertanya lagi, "Bagaimana, Boruto? Lusa Tou-chan akan menjemputmu dan kita akan main bersama setelah itu!" Bujuk Naruto tidak mau menyerah.
Boruto menunduk, sebenarnya tidak buruk bermain ke rumah sang kakek karena kakek dan bibinya di sana pasti akan memberikan apapun yang ia minta. Tapi batinnya, ia juga ingin main dengan sang ayah, mengingat belakangan ini ayanya begitu sibuk dengan misi.
Tapi melihat tatapan memohon dari mata yang sama dengannya, membuat bocah itu enggan menolak. "Haah, terserah ayah saja. Tapi janji ya, setelah itu kita main bersama di luar!?" Dengan wajah manyun Boruto menuruti Naruto.
Senang bukan kepalang mendengar jawaban itu dari Boruto yang keras kepala. Refleks Naruto langsung mengusap surai pirang yang sama dengannya, "Anak ayah memang keren! Heheh,"
Sementara yang di puji hanya mengembunkan pipinya yang sudah merona merah. "Terima kasih, makanannya! Aku sudah selesai. Himawari, ayo kita menggambar di kamar." Ucap Boruto yang sudah menghabisi makannya, lalu menggendong si adik ke kamar, atas izin sang Ibu.
Mata violet Hinata, mengikuti kemana arah langkah kaki kecil anaknya pergi. Lalu menatap sang suami yang menyantap makanan masih dengan senyum bahagia. Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepala pasrah, lalu berniat membenahi piring kotor bekas anak-anak mereka. Sampai-
"Biar aku yang cuci piringnya, Hinata!" Wanita itu menoleh lagi, menatap bingung sang suami yang masih tersenyum penuh maksud.
"Ba ... baiklah. Kalah begitu aku lipat cucian dul-"
"Itu juga biar aku saja, sayang!" Potong Naruto, pada ucapan sang istri.
"Ta ... Tapi-"
"Sudahlah, Hinata! Selama aku libur, biar aku yang membantumu. Lebih baik kau mandi dan istirahat di kamar, ya?" Lagi, ucapan Hinata yang belum tuntas dipotong Naruto. Wanita itu Hanya menatap bingung sang suami.
"Memangnya kenapa, Naruto-kun?" Tanya Hinata meminta penjelasan.
"Kau pasti lelah, dari pagi sudah mengurus rumah dan anak-anak. Biarlah sekarang giliranku, kau istirahat saja ya? Kumohoon!" Wajah Naruto memelas.
Hinata tersenyum lembut, akhirnya ia menuruti suaminya dan pergi ke kamar milik mereka untuk bersiap menyegarkan tubuh dengan mandi.
Selepas mandi, sudah sebuah rutinitas, wanita itu berniat untuk menidurkan anak-anaknya dengan sedikit bercerita atau bernyanyi. Tapi niat itu harus ia urungkan begitu langkahnya sampai di depan pintu kamar anak-anak yang setengah terbuka.
Bibirnya tersenyum lembut melihat sang suami yang ternyata sudah mendahuluinya. tapi, di balik tatapan itu juga penuh dengan tanda tanya. Ada apa dengan suaminya hari ini? Kenapa ia meminta anak-anak mereka pergi ke rumah Ayahnya? Memangnya Naruto tidak ingin menghabiskan waktu dengan mereka?
Tiba-tiba, hati wanita itu merasakan kejanggalan. Entah kenapa ia seperti melupakan sesuatu, sesuatu yang begitu penting. Dengan yakin ia pergi ke kamarnya, dan mencari benda kecil yang ada di meja nakas samping ranjangnya bersama Naruto.
Besok? Bagaimana ia bisa lupa? Pantas Naruto bertingkah aneh sedari tadi. Lalu apa yang pria itu rencanakan esok hari dengannya tanpa anak-anak? Begitu banyak pertanyaan yang membuat kepalanya berasap dan pipinya merona hebat. Mungkin Hinata akan menanyakannya nanti.
Tiba-tiba pintu kamar utama di rumah itu terbuka, membuat wanita yang di dalamnya tersentak dan lansung meletakan lagi benda penuh angka itu ke tempatnya semula. Sang wanita lalu tersenyum kikuk, menyambut suaminya.
"Anata ..., anak-anak sudah tidur?" Tanya wanita itu agar terlihat biasa.
"Ya, begitulah. Haah ... Hinata! mereka benar-benar sulit di atur." Jawab pria itu sambil menghampiri istrinya yang duduk di samping ranjang, lalu ikut duduk di sampingnya.
Hinata tersenyum lembut, memaklumi sifat suaminya yang lebih tidak sabaran dibandingkan dirinya. "Mereka masih anak-anak, Naruto-kun. Lagi pula ..., dari pada aku, mereka lebih mirip dirimu. Itu wajar, jika kau kesulitan." Ucap Hinata sambil menyentuh pipi bergaris sang suami, lalu mengusapnya lembut.
"Huu, pasti lebih mudah jika mereka mirip dirimu, Hinata!" Tutur Naruto asal.
"Jangan begitu ..., lagi pula aku senang rumah ini jadi ramai. Oh iya! Kau pasti lelah, Anata. Berputarlah, biar aku pijat bahumu." Tawar Hinata sambil memutar perlahan tubuh sang suami agar membelakanginya.
Seperti terlatih, tangan mungil Hinata begitu piawai menjamah otot-otot bahu Naruto yang tegang karena lelah. Pria itu bahkan sampai memejamkan mata keenakan merasakan tubuhnya di manja sang istri, Naruto merasa ia tidak pernah serileks ini. Sampai matanya terbuka begitu mendengar namanya disebut sang istri.
"Naruto-kun ..., " Panggil Hinata tanpa menghentikan pijatannya.
Masih menikmati pijatan istrinya, pria itu menyahut. "Hmm? Ada apa?"
"Maafkan aku ..., " ucap Hinata dengan rasa bersalah.
Naruto yang mendengarnya menoleh dan kembali menghadapkan tubunya ke arah sang istri. Dilihatnya, Hinata sudah menunduk sedih. "Maaf? Untuk apa?"
Dengan ameythys yang berkaca-kaca Hinata mendongakan wajahnya, menatap Naruto. "Maaf ... karena aku sempat lupa, hari jadi pernikahan kita."
Sekejap, mata Naruto sempat terbelalak. Namun segera digantikan dengan tatapan lembut untuk istrinya. "Tidak apa ..., sebenarnya aku juga baru mengingatnya sore tadi. Hehehe," Tutur Naruto dengan senyuman kikuk.
"Benarkah?"
Naruto tersenyum yakin, dan mengusap gemas surai indigo panjang sang istri. "Iya! Sudahlah, kau dan aku begitu sibuk dengan tugas masing-masing. Wajar jika hanya melupakan sebuah hari."
Naruto kira dengan mengatakan hal bijak seperti tadi, dirinya bisa menenangkan Hinata. Namun matanya malah terbelalak, begitu melihat wanita itu sedikit mengembungkan pipinya yang memerah dengan mata yang berkaca-kaca.
Naruto bertanya-tanya dengan rasa frustasi dalam hatinya, 'apa aku salah bicara? Dan wajah imut apa yang istriku ini tampilkan!? Dia benar wanita dengan dua anak kan!?'
Saat pria itu kebingungan sendiri, tiba-tiba sang istri malah melingkarkan tangannya ke tubuh pria itu. Memeluk erat dan membenamkan wajahnya ke dalam dada bidang sang suami. "Besok bukan hanya sebuah hari biasa, Naruto-kun! Besok ..., adalah hari di mana pernah terjadi peristiwa penting dalam hidupku. Aku kesal pada diriku, karena sempat melupakannya."
Naruto tersenyum maklum mendengarkan penuturan Hinata. Lalu menempatkan dagunya di puncak kepala sang istri sambil ia usap dengan sayang. "Iya aku tahu ..., tapi akhirnya kau ingat kan? Dan itu belum terlambat, masih beberapa jam lagi untuk tanggal berganti." Naruto melepaskan pelukannya dan mempersatukan dahi mereka. "Berhentilah menyalahkan dirimu, sayang." Ucapnya mengecup pucuk hidung mungil Hinata.
Hinata tersenyum malu sambil menganggukan kepalanya pelan. Naruto selalu tahu bagaimana cara memperbaiki suasana hatinya. "Lalu ..., apa yang kau rencanakan esok?" Tanya Hinata tanpa mengubah posisi mereka.
Bibir Naruto bergerak maju ke arah pipi kenyal Hinata. menciumnya ringan, Lalu menyeringai. "Kau tidak mau ini jadi kejutan?" Bisiknya.
Lagi, Hinata merona. "Na ... nanti kalau aku pingsan bagaimana?"
"heheheh ..." kekeh Naruto. "Baiklah ... ehem! Hinata?" Panggil Naruto mencoba serius.
"I ... iya?"
"Besok ... maukah kau berkencan denganku?"
Hinata terpaku mendengar itu, padahal ini bukan pertama kalinya ia diajak kencan oleh pria itu. Jauh sebelumnya, sebelum mereka menikah, kencan merupakan kegiatan wajib saat mereka bebas dari misi.
Tapi entah kenapa, mendengar ajakan itu lagi setelah sekian lama di tengah kehidupan baru mereka menjadi orang tua, membuat jantung Hinata berdesir bagaikan kembali menjadi remaja yang sedang dilanda asmara.
"Ke ... ken ... kencan?" Beo Hinata tergagap.
"Hmm! Sudah lama sekali kan kita tidak meluangkan waktu berdua seharian? Seperti dulu, kita akan pergi ke tempat-tempat yang sering kita kunjungi sebelum menikah. Seperti Ramen Ichiraku, Pusat Kota, Taman, sampai Puncak Bukit Patung Hok-" Ocehan Naruto terpotong oleh tangan Hinata yang menyentuh tangannya.
"Ano, Naruto-kun ..., apa tidak apa-apa, tidak mengajak anak-anak?" Tanya Hinata khawatir.
Naruto balas memegang tangan Hinata dengan tangannya yang diperban. "Tenanglah ..., Boruto dan Himawari pasti mengerti! Lagi pula mereka juga akan bersenang-senang jika ada Hanabi di sana kan? Besoknya kita akan langsung menjemput mereka, dan menghabiskan waktu bersama lagi, bagaimana?"
Hinata menunduk malu, "Ji ... jika menurut Naruto-kun begitu. Aku akan ikut." Wajah wanita itu merona merah, ia merasa begitu senang saat memikirkan hari esok.
Sementara Naruto di hadapannya, harus menelan ludah banyak-banyak saat melihat sang istri memberi reaksi yang begitu menggemaskan. Lagi-lagi ia merutuk dalam hati betapa berbahayanya pesona Ibu dua anak itu.
Hati Naruto berdesir. Tangan berbalut perbannya yang semula berada di atas punggung tangan Hinata, dengan perlahan ia bergerak maju menelusuri lengan bawah dan atasnya, lalu bahu kecilnya, juga leher, sampai terhenti di pipi merona wanita itu.
Hinata yang sedikit tergilitik merasakan sentuhan itu, lalu menatap suaminya. Amethys itu menyadari, jika saat ini Shappire di hadapanya sedang memancarkan kerinduan. Dan ia mengerti harus apa saat pemilik kelereng biru itu bergerak mendekat.
Hinata memejamkan matanya, menerima sebuah ciuman lembut dari sang suami. Ciuman yang awalnya begitu ringan itu terus meningkat menjadi lumatan-lumatan penuh tuntutan. Bahkan Hinata sudah merasa tak berdaya, tulang punggungnya terasa hilang, sampai dengan mudahnya sang suami mendorongnya ke ranjang yang tadi ia duduki. Dan menjadikan malam itu malam yang panjang menuju hari yang sudah dinantikan.
TBC?
or
END?
A/N :
Holaa saya kembali... ahaha akhirnya bisa publish story lagi! sayaa gak berharap banyak, asal kalian terhibur its enough for me. tapi saya gak muna jika review jadi penyemangat tersendiri bagi saya.. tapi saya kembalikan ke reader yang bijak sekalian mau atau tidak mereview. heheh
lanjut gak nih ampe kencan?
Mind to RnR?