Disclaimer by Masashi Kishimoto

Pairing : NaruSaku

Rated : T

Genre : Drama & Romance

Warning : OOC, AU, Typos, Boring, Mainstream etc.

Story by NamiKura10

"Pena Merah Muda"

Tarikan nafas dalam menjadi awal ia memulai kehidupannya kembali di kota kelahirannya, Tokyo. Kota yang selama dua belas tahun ia tinggalkan demi sebuah kewajiban.

Hidup sebagai seorang pewaris tunggal keluarga pebisnis memang tidak mudah, kita di haruskan untuk menempuh pendidikan yang mampu membuat kita layak untuk menjadi generasi berikutnya demi memajukan usaha keluarga. Bahkan kita akan di tuntut untuk mencari pendidikan yang lebih baik walaupun harus di luar negeri.

Inggris, tempat di mana ia menghabiskan waktu dua belas tahun untuk mendapatkan pendidikan yang super layak demi kewajibannya itu.

Kepergiannya tidak sia-sia. Akhirnya dua minggu yang lalu ia resmi lulus sebagai sarjana bisnis di University of Oxford pada usianya yang menginjak dua puluh lima tahun, ia lulus dengan mendapat nilai sempurna.

Siapa yang dapat menyangka, usahanya berbuah dengan manis. Memang benar, usaha akan berbuah manis jika kita berkorban. Ia telah berkorban banyak demi semua yang ia dapatkan saat ini, seperti meninggalkan kota kelahirannya. Ia memang meninggalkannya, tapi bukan berarti ia melupakannya.

Selama dua belas tahun ia menahan rasa rindu dengan kampung halaman. Ia merindukan segalanya tentang Tokyo, ia rindu dengan rumahnya, masakan sang ibu, orang-orang yang ia sayangi dan... yang ia cintai.

Namun sekarang rasa rindu itu akan terhapuskan, karena ia telah kembali untuk memulai hidupnya di kota kelahirannya ini.

"Selamat datang di Tokyo, Naruto-sama. Bagaimana perasaan anda setelah dua belas tahun anda pergi?"

Tidak ada suara ataupun gerakan yang berarti, namun sebuah gerakan kecil pada sudut bibirnya yang menanjak naik sudah sedikit dapat menjelaskan pertanyaan Yamato, pria itu memperhatikannya dari kaca spion di depannya. Namun ia mengerutkan dahi, tertanda tak mengerti dengan senyum itu. Apakah senyum itu tertuju padanya ataukah hal lain?, ia tak mengerti. Atau mungkin... tuan mudanya ini tidak mengerti apa yang ia ucapkan?.

"Kau jangan berfikir selama dua belas tahun aku meninggalkan Jepang, bukan berarti aku tidak mengerti apa yang kau katakan."

Yamato sedikit tersentak, bagaimana sang tuan muda tahu apa yang ada dalam fikirannya. "Ah.. saya kira anda telah lupa dengan bahasa Jepang, ahaha." Ia tertawa ringan, ia begitu malu dengan apa yang di fikirkannya.

Dua belas tahun... memang waktu yang lama, tapi bukan berarti ia lupa dengan bahasa aslinya. Ia mengelengkan kepala, melihat tingkah sopir pribadi keluarganya ini, 'ternyata masih tetap sama' ramah dan... polos.

'Apakah dia juga masih tetap sama?'.

"Sakura-san..."

Pemilik nama itu menoleh, seiring dengan surai merah muda panjangnya bergerak menyibak seirama dengan gerakan kepalanya. Ujung bibirnya menanjak membentuk sebuah kurva lengkungan yang membuat pipi rampingnya melesung, manik emeraldnya memancarkan sinar kehangatan yang mampu membuat siapapun nyaman.

"Ya..?!" Sebuah kata pendek mengalun lembut dari kedua belah bibir tipisnya, ia menujukannya kepada ke tiga gadis yang menatapnya dengan penuh binar.

"Kami mohon berilah tanda tanganmu!"

Sakura menghela nafas. Bukan karena sukar atau marah, tapi karena bahagia. Lagi-lagi ia harus menuliskan sebuah bentuk tulisan yang membuat siapapun yang menyukainya bahagia, atau bahkan sampai histeris ketika mereka telah mendapatkannya.

"Baiklah.." ia tersenyum manis ketika mengatakannya, ia tidak ingin membuat fansnya bersedih atau malah meninggalkannya.

Dengan semangat ketiga gadis itu pun bergegas membuka tas mereka masing-masing, untuk mengambil sebuah buku yang nanti akan mereka berikan kepada Sakura untuk di tanda tangani.

"Ini-..." gadis bersurai coklat memberikan sebuah buku novel berjudul The Pink Pen kepada Sakura, "tapi maaf Sakura-san. Saya tidak membawa pena," dari raut wajahnya dia tampak sedih.

"Ah...aku juga tidak bawa," Sahut teman si gadis bersurai coklat. Mereka bertiga tidak ada yang membawa pena, lalu bagaimana mereka membawa buku tanpa adanya pena?. Itu karena mereka baru membeli buku itu dari toko buku.

Mereka memang tidak menduga, jika mereka akan bertemu sang idola. Niatnya, mereka bertiga hendak memburu diskon besar-besaran di mall ini. Namun malahan mereka mendapati sang idola juga berada di tempat yang sama dengan mereka, mereka pun tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Meminta tanda tangan dari sang penulis novel terkenal, lalu meminta foto bersama. Namun jika tanpa adanya pena, bagaimana mereka bisa mendapatkan tanda tangan?.

Bukannya prihatin, malahan Sakura tersenyum melihat ketiga gadis itu bersedih. "Jangan bersedih, aku bawa pena kok. Tunggu sebentar ya!"

Sebagai seorang penulis novel, bukan berarti Sakura akan menulis di setiap tempat. Ia selalu membawa pena karena tuntutan profesinya yang lain, yaitu sebagai seorang dokter.

Ia memang memiliki dua profesi, yaitu sebagai dokter dan penulis novel. Sebenarnya Ia lebih menyukai profesinya sebagai penulis novel, karena itu memang cita-citanya. Ia tak menyangka, usahanya selama iniberhasil. Sekarang ia adalah seorang penulis novel terkenal, bahkan novel kelimanya yang berjudul The Pink Pen baru saja rilis satu bulan kemarin sudah terjual sepuluh ribu copy, ini adalah rekor untuknya. Ia tidak menyangka banyak yang menyukai novel ini.

Novel yang menceritakan tentang kehidupan nyatanya dengan sebuah pena merah muda, pena istimewa yang di berikan oleh seseorang yang begitu istimewa.

"Pena ini?, apakah pena ini yang anda maksudkan dalam buku novel ini?" Seketika, ketiga gadis itu menjadi heboh setelah Sakura mengeluarkan penanya.

Inginnya ia menggunakan pena biasanya, namun entah kemana penanya itu?. Ia rasa, penanya telah tertinggal di meja kerjanya. Jadi.. terpaksa ia menggunakan pena kesayangannya ini.

Sakura tersenyum di sertai anggukkan kepala di sela tangannya sibuk menorehkan sebuah tulisan abstrak di bagian sampul depan buku novel karyanya, sebuah tanda tangan spesial darinya.

Memang benar, inilah pena yang ia ceritakan dalam buku novelnya bahkan menjadi judulnya. Sebuah pena merah muda yang langkah, mungkin... hanya dirinya yang memiliki. Pena ini bukan hanya sekedar pena, karena pena ini di desain dengan begitu mewah nan elegan. Tak hanya itu, pena ini juga memiliki keistimewaan yang lain yaitu sebagai penyemangatnya. Karena pena ini, ia selalu mengingat seseorang yang telah memberikannya. Orang yang telah dua belas tahun meninggalkannya, orang yang begitu special di hatinya.

"Sudah selesai."

Tiga buku novel telah tertoreh oleh tanda tangannya, tugasnya pun selesai. Ia pun hendak memasukkan kembali penanya ke tempat aman, namun lengannya di cekal.

"Boleh kami melihatnya sebentar?" Si gadis bersurai coklat menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil menatap Sakura dengan puppy eyesnya, ia begitu ingin melihat pena itu secara detail.

Sakura menghembuskan nafas dengan berat, untuk hal ini ia kurang yakin. Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan penanya, lecet atau mungkin di bawa kabur. Ayolah... ini adalah pena kesayangannya, ia tidak ingin kehilangannya. "Baiklah..." sekeras apapun hatinya, siapa yang tidak luluh di pandang seperti itu. Yang terpenting mereka hanya ingin melihatnya bukan memegangnya.

"Forehead..."

Tak hanya Sakura, ketiga fansnya juga ikut tersentak mendengar sebuah teriakkan nyaring dari seorang wanita. Teriakkannya begitu keras bak sebuah terompet yang di tiup di depan microphone, sehingga membuat gendang telinga berdengung.

"Forehead, apa kau memang berniat membuatku jamuran menunggu di depan pintu mall?. Kau tau?, aku sudah menunggumu selama satu jam. Dan kau malah enak-enakan di-..."

Baru sampai, Ino langsung menyerang Sakura dengan omelannya. Siapa coba yang tidak kesal? Menunggu selama satu jam, apalagi ia sangat membenci yang namanya menunggu.

"Kau tau?, di dalam sudah banyak yang menyerbu. Bagaimana kalau kita tidak kebagian?, pokoknya-..."

Masih dengan omelannya, Ino menarik lengan Sakura dengan paksa. Menyeretnya meninggalkan ketiga fansnya, ia tidak ingin kehabisan barang bagus nan murah. Ayolah... siapa yang tidak ingin diskon?.

"O-oke... tapi lepaskan tanganku dulu!, aku mau memasukkan penaku dulu."

Di tengah langkah mereka menuju pintu masuk mall, Sakura berusaha melepaskan cengkraman maut Ino.

"Baiklah.. baiklah.. aku mengerti, pena itu sangat berarti untukmu."

Dengan wajah sebalnya, Ino terpaksa menghentikan langkahnya dan membiarkan sahabat sedari SMAnya itu memasukkan kembali pena berharganya itu.

Sakura menyengir, ia pun bergegas memasukkan pena berharganya dalam tas. Namun saking terburunya, ia memasukkan penanya tanpa melihat dan tanpa sadar pena itu meleset melewati lubang tasnya dan terjatuh di atas lantai paving.

"Baiklah.. ayo!"

Mereka kembali beranjak, Sakura melangkah riang beriringan dengan Ino tanpa merasa kehilangan.

Pena merah muda itu tergeletak dengan naasnya di atas lantai paving, terkadang hampir sebuah kaki menginjaknya. Namun terjadi sebuah keajaiban, pena itu selalu terselamatkan. Mungkin... pena itu juga memiliki kekuatan istimewa?.

Ckrek..

Naruto menjauhkan kamera DSLRnya dan mengamati hasil jepretannya. Cukup bagus, sebuah pemandangan mall besar dengan banyak pengunjung. Ia memotretnya tidak terlalu jauh, sehingga benda-benda kecil pun tampak jelas dalam foto hasil jepretannya.

Ini adalah hobbynya, sejak ia berumur delapan tahun ia sangat suka memotret. Hingga pada umur dua belas tahun ayahnya membelikan kamera ini sebagai hadiah ulang tahunnya. Ia begitu bahagia, sampai ia selalu membawanya kemana-mana bahkan memotret segalanya.

Dan... mall ini adalah pijakan keduanya setelah bandara sebagai awal ia memulai hidupnya kembali di Jepang, jadi ia harus mengabadikannya.

Ia tahu, mungkin nanti saat ia tiba di rumah... sang ibu tidak akan mengampuninya. Salahkan sendiri matanya, terpesona dan ingin mampir sejenak untuk mengabadikannya.

Naruto menajamkan pandangannya pada hasil jepretannya, sampai-sampai sebuah kerutan tercipta di dahinya. Ia begitu penasaran dengan sebuah objek kecil yang bersinar terkena terpaan sinar matahari, benda itu tampak berwarna merah muda. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu, sesekali ia mengawasi jepretannya dan juga tempat di halaman mall itu. Benda itu tampak bersinar di dekat taman yang berada di luar halaman mall, ia pun menghampiri tempat itu.

"Benda ini?"

Ia membulatkan mata, tangannya terjulur ke bawah hendak mengambil benda itu. Setelah dapat, ia mengamati benda itu dengan seksama.

"Pena ini?" Ia bergumam, dengan tatapan tak percaya ia layangkan pada benda itu. "Apa mungkin dia..?" Ia mengalihkan pandang ke dalam mall, dan berfikir untuk mencari seseorang pemilik pena itu di dalam sana. "Semoga dia masih di sana?" Kaki panjangnya melangkah lebar meninggalkan taman untuk menuju ke dalam mall besar itu.

Di tempat keduanya ia berpijak di Jepang, ia tidak menyangka akan menemukan sesuatu yang special dalam hidupnya. Semoga saja ia akan bertemu dengan dia.

"Ino.. apa ini bagus untukku?"

Sakura menunjukkan sebuah mini dress tanpa lengan berwarna soft pink pada Ino. Saat pertama kali melihatnya, ia begitu tertarik untuk membelinya.

Ino memperhatikannya dengan begitu detail, "Emm... sebaiknya kau coba dulu deh!" Ia belum dapat menentukan jika belum di coba.

"Baiklah.." Sakura berbalik dengan membawa baju itu menuju ruang ganti.

Sedangkan di sisi lain, Naruto yang telah memasuki dalam mall memperhatikan sekitarnya. Ia melihat di sebuah toko baju terdapat banyak pengunjung, tak hanya perempuan namun juga ada pengunjung laki-laki di dalam sana. "Apa mungkin dia di dalam sana?, sebaiknya aku periksa ke sana."

Naruto begitu yakin jika dia ada di dalam mall ini, ia pun tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Kesempatan untuk bertemu dengan orang yang selalu mengisi hatinya.

Bertahun-tahun ia tinggal di Inggris, namun tak sekalipun ada yang dapat menggantikannya. Karena dia begitu special.

Naruto mencari dia dengan mengingat ciri khasnya yang begitu ketara, dia begitu berbeda dengan kebanyakan orang. Surainya-lah yang membuatnya begitu berbeda, dengan warna soft pink alaminya yang tidak di miliki kebanyakan orang. Mungkin karena itulah, pencariannya akan menjadi mudah.

Naruto mengerakkan kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di sela-sela banyak orang yang saling berdesakan berebut sebuah diskonan. Di rasa tak menemukannya, ia pun memilih berpindah tempat. Ia melangkah mudur dengan masih mengerakkan kepalanya, namun tanpa sengaja punggungnya menabrak seseorang. Ia pun berbalik menghadap orang itu, tampaklah sesosok wanita bersurai pirang bergaya ponytail tengah menatapnya dengan geram.

"Ah...sorry."

Hanya kata singkat, dan ia pun kembali mencari.

Namun wanita itu tampak heran dengan sebuah benda yang di pegang pria itu, ia merasa tidak asing dengan benda itu. "Hei... tunggu!" Ia memutuskan untuk mencari tahu, karena kata sahabat pinkynya hanya dia yang memiliki benda itu.

Naruto menolehkan kepalanya kembali menghadap si wanita pirang, "ya?" Tanyanya dengan dahi berkerut.

"Apa benda itu milikmu?" Ia begitu penasaran tentang hal itu.

Naruto merasa heran dengan apa yang di pertanyakan wanita itu, "apa maksudmu?" Ia tidak ingin langsung memberitahunya karena ingin tahu apa hubungannya wanita ini dengan pena merah muda ini. 'Apa mungkin wanita ini mengenal dia?'

Ino menghela nafas, "pena yang kau bawa. Apa itu milikmu?" Tanyanya kembali dengan tatapan curiga.

"A-..." mulutnya terbuka hendak mengucapkan sebuah kata namun terbungkam seketika oleh suara handphonenya, "maaf.. aku permisi." Ia memasukkan pena itu ke dalam saku blezernya, dan memilih menyingkir untuk mengangkat telepon.

Ino memandang punggung Naruto yang menjauh dengan curiga, "apa mungkin pena itu milik Sakura?".

"Ino... bagaimana menurutmu?"

Tepat saat Naruto menyingkir, Sakura baru saja kembali dari ruang ganti dengan mengenakan mini dress yang tadi ia tunjukkan kepada sahabat pirangnya itu.

Sakura menyeringit melihat Ino terdiam memperhatikan pintu keluar toko, "Ino... kau mendengarku?"

Ino tersentak, ia pun segera mengalihkan pandangnya menghadap Sakura. "Eh... Sakura.."

"Kau kenapa?"

'Apa mungkin aku harus menanyakannya kepada Sakura?, tapii… belum tentu hanya Sakura yang memiliki pena itu kan?. Atau mungkin pria tadi sengaja memesan pena yang mirip dengan milik Sakura, ya... mungkin saja begitu.'

"Hei... ada apa sih?" Sakura begitu heran melihat sahabat pirangnya ini tiba-tiba melamun.

"Ah.. bukan apa-apa." Ia tidak ingin di pusingkan dengan masalah tadi, saat ini waktunya untuk mereka refreshing. "Wah...baju ini sangat cocok untukmu."

"Benarkah, kalau begitu aku akan membelinya."

"Naruto... kau kemana saja? Kami sudah menunggumu di rumah, dan kau malah-..."

Naruto menjauhkan handphonenya dari telinga, suara ibunya terdengar seperti terompet yang membuat telinganya jebol. Sudah bisa di pastikan, di rumah nanti ia akan habis. "Ah...Kaa-san, maaf. Tadi...ada sedikit kendala di jalan. Jadi...sedikit terlambat, ahaha..." demi sebuah keselamatannya, tak apa-apa kan kalau sedikit membuat kebohongan kecil.

"Oke... Kaa-san maklumi, tapi kau harus cepat sampai di rumah sekarang juga! Titik."

Tutt...tutt..tutt...

Berakhirnya pembicaraan berakhir pula sambungan telepon, sang ibu terdengar marah dan ia tidak ingin kemarahan sang ibu meningkat. Jadi... ia harus cepat sampai di rumah tepat waktu.

Naruto menghela nafas, "hahh~…mungkin besok saja aku akan mencari dia kembali." Ia pun melangkah meninggalkan mall besar itu.

Matanya melebar, mulutnya bergetar, helaan nafasnya terdengar putus-putus dan tangannya terkepal. Ia tidak bisa menahannya lagi, harus segera ia keluarkan.

"Kyaaaa..."

Ia mengeluarkannya dengan sekuat tenaga, sampai-sampai kedua pipinya basah akibat air matanya mengalir dengan paksa.

Keadaan sebuah ruangan yang tidak terlalu besar itu tampak berantakan. Bantal berbalut sarung bermotif bunga sakura tergeletak di atas lantai, badcover merah muda tersibak tak berbentuk di atas ranjang super queen size, lalu beberapa isi tas berhamburan di atas lantai. Sedangkan si pelaku tampak duduk meringkuk menyembunyikan wajah sembab nan kusutnya di kedua belah lututnya yang tertekuk, punggungnya menempel pada sisi ranjangnya. Ia tampak kacau.

"Hiks...hiks..."

Tangisannya dapat menjelaskan keadaannya yang terlihat menyedihkan, ia sangat kehilangan.

"Di mana kau?, kenapa kau menghilang?. Aku harus mencarimu kemana lagi?, hiks...hiks..."

Ia bingung harus mencarinya kemana lagi, ia sudah lelah.

Ia mengangkat wajah, sehingga tampaklah wajah menyedihkan itu. Manik emeraldnya bergulir mengawasi sekitar ruangan itu, semuanya tampak kacau.

"Hiks...hiks..." Ia pun kembali menangis. "Bagaimana semua ini bisa terjadi?, aku telah berjanji untuk menjaganya dengan baik. Pena yang membuatku mengingatnya selalu, sekarang telah hilang. Aku harus mencarinya di manaa... hiks..hiks..." kesedihannya pun semakin bertambah.

Cklek...

"Forehe-... astaga...ada apa ini?" Ino membulatkan mata melihat isi kamar Sakura yang tampak berantakan. Ia pun beralih memandang Sakura, dan semakin di buat terkejut dengan keadaan sahabat pinkynya itu. Ia pun mengambil langkah seribu mendekati sang sahabat, "kau kenapa?" Tanyanya dengan cemas.

"Hiks...hiks..." Sakura menjawab dengan tangisannya.

"Sakura... cepat jelaskan padaku! Ada apa ini?" Ino semakin di buat cemas.

"Dia..di-dia...telah hilang...hiks..hiks..."

"Apa maksudmu dia? Bicaralah yang jelas!" Ino menuntut Sakura dengan geregetan.

"Pena kesayanganku telah hilangg...hiks..hiks..."

"APA?" Ino berteriak dengan keras, ia begitu terkejut mendengarnya. Sebab Sakura selalu menjaga pena kesayangannya itu dengan baik, dan tidak pernah sekalipun hilang. Namun ia jadi ingat sesuatu, "jangan-jangan..."

Sakura menoleh ke arah Ino dengan cepat, "jangan-jangan apa?" Tanyanya dengan antusias.

"Pria bule tadi... yang membawa penamu."

"Apa...bagaimana kau bisa tau?" Sakura begitu terkejut mendengarnya, bagaimana bisa penanya berada di tangan orang lain? Padahal ia sudah menyimpannya dengan baik. "Jangan-jangan tadi..." ia menatap Ino dengan tajam, "ini semua gara-gara kau" ia menuding Ino dengan tajamnya.

Ino melotot menatap Sakura, "kenapa aku?" Ia tidak terima di tuduh seperti itu.

"Ya...ini semua gara-gara kau pig, gara-gara kau penaku hilang. Kau menarikku begitu saja dan membuat penaku terjatuh, kau harus bertanggung jawab!" Sakura melipat kedua tangannya di depan dada, ia menuntut Ino dengan mutlak dan tidak ingin di bantah.

"A-apa...kenapa aku, itu semua karena kau-..." Ino menghentikan perkataannya ketika mendapat pelototan dari Sakura, jika terus di lanjutkan sudah pasti ia akan kalah. "O-oke...aku akan bertanggung jawab, kau puas?!" Lebih baik ia mengalah.

Sakura mengusap kedua pipinya yang basah sambil mengeluarkan seringainya, "bagus..aku beri kau waktu satu minggu, jika kau tidak mendapatkan penaku. Maka kau harus membuatkan pena yang sama persis dengan penaku yang hilang, kau mengerti?" Ujarnya dengan penuh penekanan.

"Hahh~…baiklah..." Ino hanya bisa pasrah, semoga saja ia bisa menemukan pria itu.

'Maafkan aku Naruto! Aku berjanji akan menemukan pena itu kembali. Semoga pena itu bisa di temukan, karena tanpa pena itu aku merasa kehilanganmu. Naruto'

"Pena ini masih sama seperti saat aku baru memberikannya pada dia" ujung bibir tipisnya terangkat membetuk sebuah senyuman manis, "pasti...dia merawatnya dengan baik. Terima kasih Sakura-Chan, karena kau telah menjaga pena ini dengan baik." Ia begitu bahagia melihatnya.

"Nar..."

"Naru..."

"Naruto..."

Ia tersentak kemudian menoleh ke asal suara, "ah...Nagato-Nii. Ada apa?" Ia menatap Nagato dengan linglung.

Nagato mendengus, ia lalu mengambil langkah mendekati Naruto yang tengah duduk di atas sofa di dalam kamarnya. "Kau kenapa?, kenapa kau melamun sambil tersenyum begitu?" Ia mengambil tempat di samping Naruto.

"Tidak. Tidak ada apa-apa?" Dustanya mencoba mengelak.

"Jangan membodohiku, aku ini sepupumu. Sejak kecil kita selalu bermain bersama, dan aku sudah hafal bagaimana dirimu. Ayolah..ceritakan padaku!"

'Mungkin...Nagato-Nii tau tentang Sakura, apa sebaiknya aku tanya padanya?' Ia tengah bergelut dengan otaknya, dan keputusannya... 'baiklah...aku akan coba bertanya kepada Nagato-Nii, mungkin dia bisa membantuku.'

"Nagato-Nii...apa kau tau tentang Sakura Haruno saat ini?"

Nagato sempat heran, namun sejurus ia tersenyum. "Apa kau masih belum bisa melupakannya?" Tanyanya dengan nada jahil.

"Sudahlah...jawab saja!" Naruto menuntut dengan sebal.

"Baiklah...baiklah...dia sekarang adalah seorang kepala rumah sakit Tokyo City dan juga seorang...penulis novel."

"Apa...penulis novel?" Naruto begitu terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka, Sakura akan menjadi seorang penulis novel. 'Selamat Sakura...akhirnya kau berhasil.'

Sebenarnya Sakura memang sangat menyukai membaca dan menulis apalagi ia bercita-cita menjadi penulis novel terkenal, ia tahu itu semua karena ia adalah sahabat Sakura sejak kecil. Waktu SD, Sakura pernah memenangkan lomba membuat cerita pendek. Dan waktu SMP kelas satu ia juga pernah memenangkan lomba membuat novel dengan mendapat juara satu, ia memang sangat pandai membuat cerita. Dia pernah mengatakan padanya, karena mendapat dukungan darinya dia begitu semangat dalam menulis. Namun saat dua belas tahun yang lalu, terpaksa ia harus meninggalkannya karena sebuah tuntutan. Saat itu ia dan Sakura tengah duduk di bangku kelas delapan, ia masih ingat waktu itu. Sakura tampak tidak rela melepaskannya, begitu pula dengan dirinya. Lalu sebelum satu hari keberangkatannya ke Inggris, ia memberikan sebuah kenang-kenangan kepada Sakura. Kenang-kenangan itu adalah pena merah muda ini. Jauh-jauh hari ia sengaja memesan dan mendesain pena ini khusus untuk Sakura, dan memberikannya di saat kepergiannya. Karena ia tahu Sakura sangat suka menulis. Dan ia berpesan pada Sakura, 'jangan pernah putus asa dalam menulis! karena aku yakin kau bisa. Meskipun aku pergi, tapi aku akan selalu mendukungmu. Jika kau merindukanku dan butuh sebuah dukungan, tataplah pena ini dan bayangkan diriku yang selalu mendukungmu. Kau jangan pernah menyerah Sakura-Chan, yakinlah! Karena aku akan selalu mendukungmu.' Meskipun kami berada di tanah yang berbeda, tetapi aku tidak pernah lelah untuk mendukungnya. Dan akhinya...dia berhasil mendapatkannya.

"Naruto...kau mendengarku?"

Naruto kembali tersentak, "ah...ya. Aku mendengarmu, jadi...dia seorang dokter?" Ternyata dia juga berhasil menyakinkan kedua orang tuanya.

"Hm...dia menjadi kepala rumah sakit."

"Hebat. Akhirnya dia berhasil, aku bangga mendengarnya."

Nagato menyeringit, tak mengerti dengan apa yang di katakan sepupunya ini. "Apa maksudmu?"

Naruto tersenyum, "dia telah berhasil mengapai citanya. Dan juga berhasil membuat keluarganya bangga, dia memang hebat."

"Owh... memangnya apa cita-citanya, menulis novel atau dokter?" Tanya Nagato masih tidak mengerti.

"Menjadi penulis novel adalah cita-citanya, dan dokter adalah tuntutan keluarganya."

"Owh..." Nagato hanya dapat ber'oh'ria mendengar cerita Naruto.

'Jadi...dia menjadi kepala rumah sakit Tokyo City, baiklah...besok aku akan menemuinya.' Naruto begitu bahagia akhirnya ia akan bertemu kembali dengan orang specialnya.

Tiba-tiba ingatan Nagato kembali, "ya ampun..aku lupa, tadi aku di suruh bibi Kushina untuk memanggilmu turun untuk makan malam. Ayo sebaiknya kita segera turun, aku tidak ingin kena jitakkan maut ibumu itu." Nagato bangkit dari sofa, tak lupa ia juga menarik Naruto untuk ikut.

"Baiklah...baiklah..aku akan menyimpan ini dulu."

"Rumah sakit Tokyo City, itu dia."

Di seberang jalan sana, berdiri sebuah bangunan bertingkat lima. Sudah jelas di sana tertulis rumah sakit Tokyo City, dan ia akan kesana.

Naruto kembali menutup kaca mobilnya, ia pun menjalankan mobilnya hendak menuju gedung itu.

"Ah...sial, kenapa macet sekali sih. Lebih baik ku parkirkan mobilku di sini saja."

Memang, hari senin adalah hari terpadat dari biasanya. Entah mengapa, setiap hari senin selalu terjadi kemacetan.

"Eh...itu Sakura 'kan?" Baru keluar dari mobilnya, Naruto melihat Sakura keluar dari dalam taksi. "SAKURA..." ia tahu ini konyol, namun karena rasa bahagiannya tanpa sadar ia berteriak memanggilnya. Antara ia dan Sakura terhalang oleh jalanan yang luas, mana mungkin Sakura mendengarnya.

Namun Sakura merasa kalau ada seseorang yang memanggilnya, ia celingukkan setelah kepergian taksi yang di tumpanginya. Serasa tak ada yang memanggil, ia pun berbalik menuju gerbang masuk rumah sakit.

"SAKURA..." Melihat Sakura berbalik, ia kembali berteriak. Bahkan kakinya mulai melangkah lebar nan cepat, namun saat sampai di pinggir jalan terpaksa ia menghentikannya. Ia lihat Sakura terus melangkah memasuki gerbang. Ia pun semakin gelapan, ia tidak ingin kehilangan jejak Sakura lagi.

Dengan nekat, ia berlari menyebrangi jalan dan memaksa semua kendaraan yang hendak lewat untuk berhenti.

Sebelum sampai di pinggir jalan, ia kembali berteriak. "SAKURA..." ia berusaha menghentikan Sakura.

Dan berhasil. Sakura menoleh dan mencari seseorang yang memanggilnya, kali ini terdengar jelas.

"SAKURA..."

Ia membulatkan mata ketika mengetahui si pelaku. Di sana di tengah jalan berdiri seorang pria bersurai pirang dengan mengenakan sebuah kemeja biru dengan di balut blezer berwarna hitam dan celana kain berwarna senada, pria itu tampak berbeda dengan yang dulu.

Mereka saling terpaku dengan perubahan meraka, dan saling melemparkan senyum kebahagian dan kerinduan.

Tinn...tinn...tinn...

Sakura tersadar dari keterpakuannya, ia berlari menghampiri Naruto ketika melihat sebuah truk berjalan cepat dari arah kiri Naruto.

Sedangkan Naruto, tampak masih tenggelam dalam keterpakuannya.

"NARUTOOO...AWASS..."

Brukk...

Semua orang yang berada di dekat lokasi kejadian tampak berlari menghampiri si korban. Sedangkan si pelaku terus menjalankan truknya tanpa rasa bersalah.

"Bagaimana...apa masih terasa sakit?"

"Tenanglah! Aku sudah tidak apa-apa. Tapi bagaimana dengan dirimu?"

"Huhh~…syukurlah." Sakura menghela nafas lega, syukurlah Naruto hanya terkena luka lecet di dahinya akibat tergores jalanan aspal. "Dasar bakaa... apa yang kau lakukan tadi? Bagaimana kalau kau tertabrak hah?" Ia memukul-mukul lengan Naruto dengan ringan, ia begitu kesal dengan tindakan pria itu. Untung saja ia berhasil menariknya, menyelamatkannya dari maut yang tidak di inginkan.

Naruto berusaha menghindar namun tidak bisa, karena ia tengah berbaring di atas ranjang pasien. Ia tahu kalau ia memang salah dan pantas mendapatkan ini dari Sakura, ia memang ceroboh.

"Aww...o-oke maafkan aku! Kau tau? Tadi itu aku terpaku kecantikanmu tau, jadi...aku tidak mendengar suara truk itu. Aww...please...hentikan ini! Kau membuatku bertambah sakit." Di sela menghindar, ia juga berusaha menghentikan Sakura dengan perkataannya.

Dan... berhasil, Sakura menghentikan pukulannya. Tangan terkepalnya mengambang di udara, sedangkan wajahnya tampak terhiasi dengan rona merah tipis. Mulutnya kaku dan membisu, bahkan sesuatu dalam dadanya berdentum dengan kerasnya bak sebuah drum yang di tabuh. Dan anehnya juga tiba-tiba badannya bergetar dan bulu kuduknya meremang, ia merasakan perasaan bahagia yang sangat saat mendengar sebuah pujian atau mungkin...pengakuan tidak sengaja yang di lontarkan sahabat lamanya ini. 'Aku merasakannya kembali' innernya bersorak penuh kegembiraan.

Pantas saja, selama dua belas tahun ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini bila berdekatan dengan seorang pria. Karena Naruto selalu memenuhi otak dan hatinya, tidak ada yang bisa mengantikan sosok itu.

Awalnya ia dan Naruto hanyalah sahabat sedari SD sampai SMP, dan ia menganggap Naruto hanya sekedar sahabat. Namun anggapannya berubah, di saat ia mulai merasakan yang namanya CINTA. Ia mulai merasakannya saat ia berumur sepuluh tahun, ia jatuh cinta kepada sahabat karibnya. Naruto Namikaze.

Ia mengenal Naruto sebagai sosok periang, ramah, peduli, dan baik hati. Namun tidak hanya itu saja sih, Naruto orangnya juga sangat jahil. Pokoknya Naruto itu segalanya baginya.

Ia tak menyangka, Naruto yang dulunya hanyalah bocah ingusan namun memiliki otak yang lumayan sekarang menjadi sosok pria tampan nan menawan dan juga keren, bahkan otaknya pun semakin encer juga.

"Hei...kau kenapa?"

Suara baritone Naruto menyadarkannya, ia pun bergerak cepat berbalik memunggungi Naruto dengan ekspresi malunya. "A-aku tidak apa-apa." Mungkin Naruto akan sadar dengan sikapnya ini setelah mendengar suaranya yang bergetar.

Benar saja, sekarang ini Naruto tengah menyeringai. Ia bermaksud menggoda Sakura lebih jauh, "hei...kau tersipu dengan perkataanku? Ayo jujur saja!" Ia berujar dengan nada jahil.

"Apaan sih?..enggak lah, mana mungkin aku tersipu dengan perkataanmu itu." Ia mengelak dengan galak.

"Jujur saja! Aku sudah jujur padamu, dan sekarang kau harus jujur padaku."

Nada itu terdengar menjengkelkan di telinga Sakura, ia pun tidak tahan lagi. Dengan wajah kesalnya, ia kembali berbalik menghadap Naruto yang terduduk di atas ranjang dengan tatapan horornya. "Berani sekali kau menggodaku seperti itu."

Naruto memudarkan seringainya ketika melihat perubahan wajah Sakura yang tadi tampak manis dan sekarang berubah menjadi horor, jujur.. ia sedikit takut melihatnya. "O-oke... maafkan aku! Aku tidak akan mengejekmu lagi, piece." Ia menampilkan senyum paksa plus menunjukkan kedua jarinya membentuk huruf v.

Sakura menghela nafas, mencoba meredakan kemarahannya. "Ternyata kau tidak berubah, masih bersikap sama, jahil." Ujarnya dengan bibir mengerucut.

Naruto menyengir, "kau juga. Masih sama seperti dulu, suka marah."

"Itu karena kau yang menjahiliku duluan." Sewotnya.

Naruto menatap Sakura yang tengah cemberut dengan senyum manis, "ternyata kita masih sama seperti dulu ya?, aku begitu merindukan saat-saat seperti ini." Nadanya terdengar serius.

Sakura merubah bibirnya menjadi sebuah senyuman, "iya..aku juga merindukannya."

"Lalu...apa kau tidak merindukanku?" Ia bertanya dengan tiba-tiba.

"Eh...eum..." Sakura berekspresi seperti tengah berfikir, "apa ya...menurutmu...aku terlihat merindukanmu tidak?" Sengaja ia membuat Naruto sedikit kesal.

"Mana aku tau, kau yang merasakannya bukan aku."

Sakura tersenyum melihat Naruto mengambek, wajah tampan itu tampak lucu jika tengah cemberut. Ia lalu mendekatkan wajahnya tepat di dekat telinga Naruto dan membisikkan sebuah kalimat yang mampu membuat Naruto merona samar.

"Aku sangat merindukanmu, sampai-sampai kau tidak pernah hilang dari fikiranku."

Naruto tersenyum simpul, ia berbalik menatap Sakura yang berada dekat dengannya. Ia mengambil kedua tangan Sakura dan memaksanya untuk duduk di atas ranjang berhadapan dengannya, "bahkan kau tidak tau, bagaimana rasa rinduku padamu. Aku bahkan tidak bisa tidur karena terus memikirkanmu, kita memang bodoh."

"Apa maksudmu?" Dengan polosnya Sakura bertanya.

"Kau tau? Di zaman seperti sekarang ini, kita bisa berhubungan meskipun kita berada dalam negara berbeda. Dengan menggunakan email, kau pasti memilikinya kan?. Sudah pasti karena kebodohan kita ini, kita menderita selama dua belas karena menahan rasa rindu. Kita memang bodoh kan?"

"Tidak...aku tidak bodoh, kau yang bodoh. Kenapa kau tidak meminta emailku?" Sakura tidak suka jika harus dikatai bodoh.

Naruto mendengus, "oke..oke..Aku yang bodoh karena lupa meminta emailmu, sekarang lupakan itu!. Aku ingin tanya serius padamu, apa kau sudah memiliki pasangan?" Kedua manik sapphire blue Naruto menatap kedua manik emerald Sakura dengan intens.

"Belum.." jawab Sakura dengan polos, sambil terus tengelam dalam keindahan kedua manik Naruto.

"Kalau begitu..maukah kau menemaniku seumur hidupmu, agar kita tidak pernah lagi merasakan kerinduan yang amat dalam. Aku ingin kau selalu berada di sampingku, menemaniku di setiap waktu. Aku ingin kau selalu berada di sampingku selamanya. Jadi..maukah kau mengarungi masa depan bersamaku?"

Ia tak butuh yang namanya pacaran, toh..mereka bisa saja pacaran setelah menikah. Dan...itu lebih baik. Lagipula, ia telah menyiapkan segalanya. Ia jamin Sakura akan hidup layak setelah menikah dengannya, semuanya telah ia siapkan sebelum ia pulang ke Jepang. Apa lagi yang Sakura butuhkan darinya, harta? Cinta? Atau kasih sayang?. Sudah pasti ia akan memberikan itu semua kepada Sakura. Dan juga..umur mereka sudah tidak muda lagi, sudah sepantasnya untuk membina rumah tangga.

Sakura terdiam, ia masih mencerna semua perkataan yang terlontar dari mulut Naruto.

Memang benar, selama ini ia mencintai Naruto. Tapi...apa tidak perlu mencoba pendekatan dulu? Jujur, ia sedikit canggung karena setelah dua belas tahun berpisah. Lagi pula...apa ia pantas untuk Naruto? Ia telah mengingkari janjinya kepada Naruto untuk menjaga pena pemberiannya.

"Naruto...apa aku ini pantas untukmu?"

"Apa maksudmu? Bukankah kau juga mencintaiku?"

"B-bukan begitu, tapi...aku telah mengingkari janji kita."

"Janji yang mana?" Naruto lupa tentang hal itu.

"Pena merah muda, kau menyuruhku menjaganya. Namun aku telah menghilangkannya." Sakura menunduk, ia menyembunyikan kesedihannya. Namun tiba-tiba pena itu muncul di depan wajahnya, ia pun segera mengangkat wajah menatap Naruto dengan tak percaya. "Pena ini?"

Naruto tersenyum, "karena pena ini yang membawaku padamu. Pena ini...yang membuat kita tidak akan pernah terpisahkan, walaupun...selama dua belas tahun kita berjauhan. Karena pena ini, kau selalu menjaga hatimu. Karena pena ini, kau bisa menjadi seperti sekarang ini. Dan...karena pena ini, kita akan bersatu. Jika kau mau menerimaku?!"

Sakura merasa lega, ternyata pena kesayangannya berada pada orang yang tepat. "J-jadi...pena ini ada padamu?"

Naruto mengangguk, "hm...aku menemukan pena ini di halaman mall. Bagaimana bisa pena ini tergeletak di sana?"

Sakura menyengir, "maaf! Aku tidak sengaja. Aku sangat sedih saat tau pena itu hilang, karena pena itu begitu berarti untukku. Tapi syukurlah, ternyata pena itu aman karena ada padamu."

"Hahh~…okelah, jadi apa jawabanmu?" Naruto kembali menatap Sakura dengan serius.

Sakura kembali di buat terdiam. Bukankah ini yang ia inginkan, tapi kenapa rasanya berat sekali untuk menerima. Apa karena ia takut kehilangan cita-citanya?.

Naruto mengerti dengan keraguan Sakura, "jadi...kau tidak menerimaku? Baiklah tak apa, aku bisa memakluminya." Naruto melepas genggamannya dan berbalik memutar badan memunggungi Sakura, ia tidak ingin memaksa. Bila ini memang ini nasibnya, mau bagaimana lagi?.

"B-bukan itu maksudku, a-aku mau. Tapi..apa aku pantas untukmu?, aku ini seorang dokter dan penulis novel. Apa kamu tidak takut kalau aku akan mengabaikanmu atau tidak bisa melayanimu dengan baik?" Naruto salah faham, bukan ia menolak tapi ia ragu dengan dirinya sendiri. Ia percaya Naruto tidak akan melarangnya untuk terus berkarya, namun ia hanya kurang percaya diri tentang hal itu.

Naruto tersenyum, ia kembali berbalik menatap Sakura dengan teduh. "Aku mengerti dengan kesibukanmu, aku pun juga akan sangat sibuk. Aku akan coba mengerti dengan keadaanmu, dan kuharap kau juga bisa mengerti keadaanku." Ia memang belum yakin tentang hal itu, namun mana ia tahu jika belum di jalani. "Jadi..kau mau?"

Sakura mengangguk, tidak ada lagi keraguan dalam hatinya setelah mendengar perkataan Naruto. Ia percaya dengan Naruto. "Hm...aku mau."

Naruto tersenyum lebar, ia menarik Sakura membawanya ke dalam dekapannya. "Aku mencintaimu Sakura-Chan, sejak dulu sampai sekarang."

Kelopak lentiknya terpejam, bibirnya melengkung ke atas dengan lebar. Ia begitu bahagia, tak menyangka bahwa ia akan bersatu dengan Naruto. Cinta pertama dan akhirnya, "aku juga sangat mencintaimu Naruto-Kun, juga sejak dulu sampai sekarang."

Beberapa menit mereka saling berbagi kehangatan dalam dekapan, mencoba menguarkan rasa rindu yang selama ini bersarang. Perlahan, mereka melepaskan dekapan. Saling menatap dengan lembut, dan saling berbagi senyum manis. Keduanya tampak bersemu, namun semu Sakura lebih pekat.

"Apa kau pernah berciuman?"

"B-belum." Sakura menjawab dengan grogi.

"Kalau begitu kita sama, mau mencobanya?" Naruto mendekatkan wajahnya lebih dekat dengan wajah Sakura, sampai dahi mereka berbenturan dan melekat.

"Eum..." Sakura mengulum senyum malu, ia mengangguk kecil di sela dahi mereka bertaut. Perlahan ia menutup kelopak matanya di rasa hembusan nafas Naruto menerpa ujung hidungnya.

Naruto tersenyum, ia mendekatkan bibirnya lebih dekat dengan bibir Sakura. Sampai hidung mereka saling bergesekkan.

Cup..

Berdebar-debar, bulu kuduk meremang dan rasa bergejolak. Itu yang mereka rasakan saat bibir mereka saling berbenturan, rasanya begitu manis dan memabukkan.

Awalnya hanya kecupan ringan, namun beralih menjadi sebuah pagutan mesra yang mengairahkan. Naruto yang mendominasi. Ia tidak pernah menyangka, beginikah rasanya berciuman. Ia memang sering melihat sahabatnya di Inggris melakukan hal ini, namun waktu itu ia sama sekali tidak tertarik melakukannya. Walaupun waktu itu banyak gadis yang ingin mencicipi bibir sexynya. Namun mungkin setelah ini... ia akan ketagihan untuk melakukannya bersama Sakura.

Sakura sendiri merasakan hal yang sama, ia tidak tahu jika berciuman itu sangat menyenangkan.

Cklek...

"Sak-... aww..." Ino kembali berbalik sambil menutupi kedua matanya dengan telapak tangan, "maaf. Apa aku mengganggu?" Ia begitu malu karena memergokki dua orang yang tengah berciuman panas.

Seketika Naruto dan Sakura melepaskan pagutan mereka dengan paksa. Sakura tampak merona dengan pekat karena malu dan sedikit kesal karena di ganggu, sedangkan Naruto pun sama.

"A-ada apa kau mencariku?" Sakura bertanya dengan mulut bergetar karena malu.

Ino berbalik menghadap Sakura, namun ia terkejut melihat pria yang tengah duduk di atas ranjang bersama Sakura atau pria yang telah berciuman dengan Sakura. "Kau..?" Mata melotot melihat pria itu, ia lalu mengambil langkah cepat menghampiri mereka. "Kau yang mengambil pena Sakura kan?, cepat kembalikan!" Ia menuding Naruto dengan tajam.

Naruto menaikkan sebelah alisnya, menatap heran Ino yang tiba-tiba marah kepadanya.

Sebelum terjadi kesalah pahaman lagi, Sakura segera bertindak. "I-ino...pena itu sudah ada padaku lagi, lihat!" Sakura menunjukkan penanya kepada Ino.

Ino bernafas lega, "Oke...jadi, aku tidak perlu mengantinya kan?"

Sakura mengeleng, ia tahu sahabat pirangnya ini tidak akan bisa mengantinya. "Ngomong-ngomong ada apa kau mencariku?" Kedatangan Ino tiba-tiba telah menganggu kemesraannya dengan Naruto.

"Tapi...kalian memiliki hubungan apa?, aku lihat kalian cukup akrab. Bahkan sampai berciuman..." Ino sengaja menggoda mereka atau lebih tepatnya Sakura.

Sebelum terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, Sakura segera menyeret Ino ke pojok ruangan. "Ino...dia adalah pria yang sering aku ceritakan padamu, kau ingat namanya kan?" Sakura mengatakannya dengan suara rendah agar Naruto tak mendengarnya.

"Owhh...jadi dia Naruto Namikaze, tampan juga. Jadi...kalian sudah bersatu nih?"

"Ya..begitulah. ayo aku kenalkan padanya!" Sakura menyeret Ino kembali menuju Naruto. "Naruto...perkenalkan Ino Yamanaka teman dekatku." Ia memperkenalkan Ino di saat ia sampai di dekat Naruto.

Naruto tersenyum dengan paksa, dan membalas jabatan itu. "Naruto Namikaze, salam kenal."

"Salam kenal." Balas Ino dengan senyum ramah.

"Jadi...ada apa kau mencariku?"

"Ah...aku cuma mau menyerahkan berkas ini, baiklah..aku pergi dulu. Kalian bisa melanjutkannya lagi, bye." Dengan tampang tak berdosanya, Ino keluar ruangan itu setelah menyerahkan berkas itu pada Sakura dan tak lupa ia juga menutup pintunya.

Naruto dan Sakura menghela nafas secara bersamaan, mereka lalu saling pandang dan tertawa kemudian. Mereka mentertawakan kecerobohan mereka, karena tidak mengunci pintu terlebih dahulu. Ya...mau di apakan lagi, toh sudah terjadi. Lagipula mereka akan memiliki banyak waktu untuk melakukan itu atau bahkan lebih dari itu nanti.

Mungkin karena sebuah pena merah muda akhirnya Sakura dapat mengapai semua yang ia inginkan, cita-citanya dan juga cintanya.

END

A/N : Saya mohon maaf jika ada kesamaan isi cerita, karakter dan kejadian dalam cerita ini. Dan atas kelebihan dan kekuarangannya mohon di maafkan. Piece..V...

Semoga menghibur ya...!

Mohon kritikan dan sarannya, atau mungkin sequel..? Review...please...!

Salam Dattebayou by NamiKura10