Hello, Minna-san!

It's been a year already since our last meeting, right? I'm deeply sorry for not writing this whole time.

Bagi kalian yang ingin mendengar pembelaanku yang tidak penting, silahkan mampir ke profil. Terimalah, kalau sudi, permintaan maafku ini.

Dormitory kali ini masih mengangkat tema yang sama: ketidak cocokan antara Bon Filles dan Bad Four. Bertemakan akademi Hidden Leaf dan alur hidup kedelapan tokoh yang agak kompleks. Semoga berkenan membaca, karena Dormitory selanjutnya akan kuhapus demi kenyamanan bersama.

HAPPY READING!


Presented to you by: dibaliksendu


.

DORMITORY

.


We're just trying to find some meaning in the things that we believe in.

Science and Faith, The Script –


[SAKURA]

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul dua siang saat mobil yang dikendarai aku dan kakakku sampai di depan sebuah bangunan besar berwarna putih berpadu coklat tua dan abu-abu. Gaya minimalisnya, juga desainnya yang kelewat mewah membuatku hampir tak percaya bangunan ini adalah asrama yang akan kutempati setahun ke depan. Atau lebih, kalau diingat aku berstatus murid pindahan sekarang.

Sasori, kakakku yang kemarin baru mengecat rambutnya jadi coklat tua itu sedang sibuk mengangkat koper-koperku keluar dari bagasi Volvo V60 yang dipinjamnya dari Ibu. Mobil keluaran 2011 itu adalah kesayangan Ibu kami sampai Sasori harus memohon dulu agar bisa meminjamnya. Pria dua puluh empat tahun itu mana mau mengorbankan Koeniggsegg kesayangannya hanya demi mengantarku ke asrama.

"Wow," kata Sasori saat ia selesai membawa koperku yang terakhir. Matanya menatap asramaku (yang mana terlalu mewah untuk ukuran asrama biasa dengan empat orang penghuni) yang baru.

"Kau kejatuhan durian runtuh atau bagaimana?" dengusnya, kali ini sembari menatapku. "Ayah mimpi apa, sih, sampai menyekolahkanmu di tempat semewah ini?"

Aku mengangkat bahu. "Nasibmu sedang sial atau memang Ayah tidak menyayangimu karena membiarkanmu sekolah di sekolah negeri."

Giliran Sasori mendengus kali ini. "Itu karena aku nakal."

"Gotcha. Kau baru saja menjawab pertanyaanmu sendiri. Nah, Kakakku sayang. Sekarang bantu aku membawa ini semua ke kamarku di dalam lalu kau bisa menikmati milkshake vanilla buatanku secepatnya."

Sasori sangat menyukai milkshake vanilla yang kubuat. Kakakku itu tidak mau mengakui kalau milkshake buatanku sangat enak. Tapi juga tidak terima kalau kukatai seleranya saja yang rendahan. Mengerti maksudku, kan?

Dengan sisa tenaganya yang hampir habis, Sasori mengangkat kembali koper-koperku yang luar biasa berat itu. Saat berangkat dari rumah tadi, ia hampir menelanku bulat-bulat sambil meneriakiku bertanya apa yang kumasukkan ke dalam tas-tas besar itu. Aku hanya mengangkat bahu, dan dia bungkam setelah Ayah memelototinya.

Bagian dalam rumah minimalis itu bahkan lebih gila lagi. Asrama mana (yang berisi hanya empat orang, tolong garis bawahi itu) yang memiliki fasilitas selengkap ini. Ruang tengah, ruang TV di lantai dua, ruang makan, dapur dengan perlengkapan komplit dan pendingin ruangan dimana-mana.

"Sialan, Saki. Aku benar-benar ingin menukar kelaminku sekarang," gumam Sasori takjub. Aku tertawa.

[][][]

Sebulan yang lalu, Ayah tiba-tiba menyerahkan brosur sebuah sekolah tepat saat aku baru pulang. Sekitar jam empat sore, kalau aku tak salah ingat. Tulisan di depan brosur itu tercetak jelas berbunyi Hidden Leaf Private Academy. Sekolah akademi; dengan sistem asrama. Aku tidak perlu bertanya untuk memastikan kalau Ayah ingin aku pindah kesana. Tahun keduaku baru tiba, liburan musim panasku bahkan belum dimulai saat Ayah melanjutkan. Katanya, keluarga kami akan pindah dari Suna ke Konoha karena perusahaannya sedang membangun beberapa departement store, apartemen dan sebuah mall baru disana.

Sasori jelas senang sekali. Bagi pria itu, Suna tak lebih dari sebuah kota kecil dengan penduduk yang sedikit. Mungkin hanya beberapa ratus ribu. Beda jauh dibanding Konoha yang sudah mencapai angka jutaan penduduk. Teknologi disana lebih maju, jaringan lebih cepat dan yang lebih baik bagi Sasori adalah; tequila disana lebih enak ketimbang beer di bar kecil di Suna. Yang hanya ada satu-satunya.

Omong-omong soal Sasori, setelah susah payah meletakkan koperku di lantai dua, pria itu buru-buru pulang setelah Ibu membawelinya soal mobil. Ibuku, Mebuki, adalah wanita paling sibuk sejagat raya. Hobinya adalah belanja. Dan baginya, tas Hermes jauh lebih berarti ketimbang anak-anaknya sendiri. Well, barusan aku melebih-lebihkan, sih. Tapi begitulah Ibu. Dia bisa menggila saat ada barang baru yang limited edition. Cukup gila untuk menghancurkan kaca Koeniggsegg Agera milik Sasori kalau dalam satu jam pria itu tak mengembalikan Volvo kesayangannya.

Bagi Ibu, Volvo-nya adalah sahabat sejatinya.

Aku sudah berganti baju memakai sebuah kaos tanpa lengan longgar dan hotpants ketat warna baby pink saat suara berderak kecil mengusikku. Aku menoleh, mengalihkan perhatian dari secangkir coklat panas yang sedang berusaha kubuat. Seorang gadis pirang berjalan menuruni tangga dengan celana bahan ketat dan tank top abu-abu. Pantatnya sintal dan sangat eye catching sampai aku tidak punya minat melihat wajahnya. Pikiran selanjutnya yang mampir ke kepalaku adalah; apa rasanya meraba pantat sesintal itu, dan menusuknya dengan jariku sendiri?

Sial. Aku baru memberi kalian satu fakta baru.

Aku seorang lesbian.

"Kau orang baru?" tanya si pirang yang wajahnya ternyata lebih menarik ketimbang pantatnya. Pipinya tirus, dagunya runcing dan bulu matanya lentik. Rambutnya panjang berwarna pirang alami dan diikat tinggi menjadi ekor kuda. Dan yang lebih menarik ketimbang semuanya, adalah bibirnya. Penuh dan berwarna merah muda.

Favoritku.

Aduh, sial. Aku basah.

"Ya," jawabku, berharap si pirang tidak mendengar ada getaran di dalamnya. "Aku Sakura. Haruno Sakura."

Si pirang tersenyum. Membuatku tak tahan ingin menyerang bibirnya detik itu juga. "Aku Yamanaka Ino. Kamarku tepat di seberang kamarmu. Betah-betah disini, Haruno."

"Panggil Sakura saja, tolong. Kau kedengaran sedang berbincang dengan Ayahku kalau begitu," aku mendengus. Yamanaka Ino tertawa.

"Baiklah. Kupanggil kau Sakura, dengan begitu kau takkan memanggilku Yamanaka. Cukup adil, kurasa?"

Aku ikut tertawa. Tawa bahagia, yang sesaat kemudian hilang saat Ino kembali bicara: "Omong-omong, jidatmu lebar juga, ya?"

[][][]

Ada empat orang yang tinggal di rumah bernomor G-17 ini. Yamanaka Ino adalah yang pertama. Gadis pirang itu adalah penghuni pertama yang bertemu denganku di dapur tepat saat ia menuruni tangga. Cantik, dengan badan kurus yang kujamin akan membuat siapa saja ingin meraba seluruh bagiannya. Aku berani bertaruh, Ino akan jadi public figure tercantik seantero Jepang kalau dia mau. Kamarnya tepat di seberang kamarku, di sebelah kiri tangga.

Kedua, adalah Wu Tenten. Seorang gadis berambut coklat keturunan Cina yang sepanjang hari terus memegang PSP seolah benda besi itu dilem ke tangannya. Rambutnya ia gelung terus sepanjang waktu. Katanya untuk mempermudah main game karena rambut panjangnya seringkali mengganggu. Ia tidak senang bicara banyak soal keluarganya, tapi merupakan gadis pertama yang akan kuhubungi saat ada pria brengsek yang mau melakukan hal menjijikan padaku.

Ketiga, dan yang paling pemalu di antara kami semua, Hyuuga Hinata. Seorang gadis bermata amethys yang nyaris kukira buta. Saat kuperhatikan lebih dalam, iris matanya memang berwarna kelabu nyaris putih. Gadis itu terus bicara gagap sepanjang waktu sampai kukira ia punya semacam gangguan mental. Tapi tentu saja, aku tidak akan mengatakan hal itu terang-terangan di depan wajahnya. Sejauh ini, Hinata tampak bukan tipe yang terlalu senang bicara.

"Jadi sebelumnya kau tinggal di Suna?" tanya Ino. Tangannya memeluk semangkok kecil salad buah. Di depannya, duduk aku dengan sebungkus keripik kentang kesukaanku.

Aku mengangguk.

"Serius, deh. Tempat itu nggak banget. Maksudku, memangnya kalian bisa ya, hidup dengan segala keterbatasan itu?" ia melanjutkan. "Ayahku pernah tinggal disana selama beberapa bulan untuk menyutradarai sebuah film disana. Tentang seorang gadis desa atau apalah itu. Aku hanya mengunjunginya selama beberapa hari dan tidak tahan karena tidak menemukan kafe dimanapun."

"Serius deh, Ino. Kau ini memangnya tidak bisa hidup sehari saja tanpa ke kafe atau salon atau tempat fancy manapun seumur hidupmu, ya?" Tenten mendengus. Ia mem-pause game di PSP miliknya dan menyambar sebungkus keripik yang masih baru.

"Tenten, darling. Perempuan seperti kita mana bisa hidup tanpa memperhatikan penampilan? Tidak heran deh, kau masih single sampai sekarang."

Aku melirik Ino lewat sudut mataku. Kesimpulan pertama; Ino benar-benar tipe kesukaanku. Seorang wanita yang benar-benar wanita. Sekali lihat, orang bisa langsung tahu betapa berharga tubuhnya itu untuk Ino. Appearence is every woman's crown, katanya. Merawat diri tak cukup hanya dengan merawat wajah, atau rambut, atau tubuh saja. Untuk cantik, dibutuhkan totalitas. Aku setuju. Aku ingin menyentuh Ino secepat yang aku bisa.

Tapi mustahil. Bagaimana reaksi ketiga gadis ini kalau mereka tahu aku penyuka perempuan? Kurasa sebaiknya tak menunjukkannya dan mari bersikap normal.

"Ta-ta-tapi... kurasa penampil-penampilan tid-tidak se-sepenting it-tu," Hinata susah payah menguatarakan pikirannya. Aku hampir menyuruhnya menulis saja apa yang ingin dikatakannya tapi menelan kembali kalimatku sebelum itu sempat menyakitinya.

Ino menelan kunyahan terakhir stoberinya sebelum meletakkan mangkuknya di atas karpet ruang televisi yang cukup besar untuk jadi tempat kami bicara.

"Sayangku, sekarang ini semua pria hanya peduli pada dua hal; wajahmu, atau apakah kau bersedia mengangkanginya di kencan pertama. Wanita cantik selalu tampak mahal. Setidaknya sampai mereka mulai bertindak murahan. Sementara para lelaki tidak punya cukup banyak waktu untuk mengenal kepribadian kita. Kau mengerti maksudku?" jelasnya panjang lebar. Hinata hanya mengangguk. Aku bertaruh gadis lugu itu tidak sepenuhnya mengerti.

"Aku sepenuhnya setuju pada Ino, sih. Meski aku masih tidak mau membuang waktu untuk tampil berkelas atau cantik di depan siapapun," kata Tenten.

Ino menggeleng. "Dengar, kau harus bisa tampil berkelas untuk menggaet pria berkelas juga."

"Se-seperti U-Uchiha?" Hinata menyebut satu nama. Ino mendengus, Tenten juga. Aku diam saja, tidak mengenal siapa Uchiha yang mereka maksud.

"Uchiha?" aku memutuskan menyudahi keherananku dengan bertanya.

"Kau tidak tahu Uchiha?" tanya Tenten, tampak terkejut.

Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu Uchiha. "Aku tahu Uchiha itu siapa dan apa saja yang mereka miliki mengingat koran dan majalah selalu menampilkan wajah salah satu dari mereka di halaman depan. Pertanyaanku adalah; Uchiha yang mana yang sedang kalian bicarakan?"

"Well, ini akan jadi peringatan pertama buatmu, Jidat," aku mendengus mendengar panggilan baru yang Ino buat untukku. "Uchiha yang kami bicarakan disini adalah si bungsu dari keluarga inti mereka. Anak kedua Uchiha Fugaku. Pangeran yang jarang tampil di muka umum. Uchiha Sasuke."

"Ini hanya peringatan untukmu, Sakura," Tenten mencondongkan tubuhnya. "Kuberi tahu, jangan jatuh untuk si Uchiha itu kalau tidak mau jadi gila dalam waktu dekat."

"Hei," Ino berseru, protes. "Aku pernah naksir Uchiha Sasuke dan tidak gila, kalau boleh kutambahkan."

"Kau hanya kembali waras setelah meditasi rutin, Ino. Berhenti bicara seolah kau tidak mengejarnya seperti orang kesetanan dan meletakkan bekal di lokernya setiap pagi di tahun pertama."

Ugh, si Uchiha itu membuatku iri.

"Dengar, itu hanya sebuah kegilaan gadis baru akil balig. Setidaknya, aku tidak cukup gila untuk mengangkanginya di ruang kesehatan seperti Uzumaki," Ino membela diri. Lagi-lagi menyebut nama yang tak kukenali.

"Uzumaki memang yang paling gila," Tenten berkomentar.

Hinata mengangguk malu, setuju.

Aku mendengus, berniat mencari tahu siapa itu Uzumaki dan bagaimana bentuk Uchiha Sasuke esok hari.

[][][]

to be continued