"Apa kau sudah gila?!"
Minkyung memantulkan tone yang cukup keras, membuat suasana kamar yang semula hening menjadi ribut setelahnya. Gadis cantik itu tengah duduk diatas ranjang besar dengan wajah heran. Sedangkan gadis yang baru saja ia bentak, terlihat sibuk bebenah diri didepan meja rias.
"Aku serius." balasnya santai.
"Tapi itu beresiko. Bagaimana kalau ternyata Mingyu mengenalimu?"
"Tidak akan. Dia belum pernah melihatku sebelumnya."
Minkyung bergerak mendekat, "Maksudmu? Bukankah kau bilang Mingyu mengetahui Wonwoo darimu?"
Nayoung, gadis cantik dengan mata besar itu menatap lekat, "Memang. Tapi tidak secara langsung."
"Hhh.… rasanya aku hampir gila. Kau benar-benar gadis liar. Pemikiranmu itu jauh diatas kata normal, Nayoung."
Minkyung membanting tubuhnya keatas ranjang, merasakan kepalanya berputar sebab sahabatnya memiliki otak diluar ukuran normal manusia pada umumnya. Sementara itu, Nayoung terlihat acuh. Dirinya lebih memilih kembali menata rambutnya dengan telaten. Sembari bercermin, satu sudut bibirnya terangkat, "Wonwoo… aku datang."
.
OoO
.
ChocolateNut
.
OoO
.
Wonwoo tersenyum riang saat melilitkan handuk pada tubuhnya. Dirinya merasa segar setelah hampir dua jam menghabiskan waktu didalam kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa bantuan Eunha. Wonwoo memang sengaja, sebab dirinya ingin mandiri dalam melakukan hal apapun. Lagipula dengan begitu, Eunha tidak akan terlalu kelelahan mengurusnya. Ia sempat merasa bersalah ketika mendengar penuturan Jihoon kemarin malam. Ia merasa buruk karena membiarkan Euha tidak sempat mengurus dirinya sendiri dan melupakan makan siang demi mengurus dirinya. Oleh sebab itu, Wonwoo bertekat untuk belajar menghafal letak perabotan kamar supaya mudah ketika akan melakukan sesuatu.
Seperti saat ini contohnya.
Wonwoo keluar kamar mandi pelan-pelan. Tangannya meraba-raba udara, mencari pegangan apapun yang dapat diraihnya. Wonwoo tersenyum begitu mendapati sebuah lemari kecil didekat ranjang. Eunha bilang, semua pakaian dalamnya berada disana.
"Sudah selesai?"
Wonwoo berjingkat ketika suara berat menyapa telinga. Napas hangat tiba-tiba terasa lembut menyentuh kulit leher basah, menciptakan nuansa tersendiri pada saraf-saraf tubuh sang gadis.
"T-tuan." Wonwoo gugup, sebab kini tangan besar melingkar manis pada perutnya.
"Kau lama sekali." Ucapnya sambil mengecup pundak Wonwoo yang terekspose.
Wonwoo mencoba berontak. Perasaannya menjadi tidak enak ketika Mingyu bersikap seperti ini. Apalagi Wonwoo masih dalam keadaan setengah telanjang, sebab hanya ada handuk mini yang melilit tubuhnya hingga pangkal paha.
"K-kau…m-mau apa?"
Mingyu bergerak cepat, mengunci tubuh Wonwoo pada pelukan dari belakang. Memenjarakan tubuh itu untuk dapat dikecupinya sepuas hati.
Wonwoo merinding. Rasa dingin yang melanda diusir dengan cepat oleh kecupan pada cuping telinganya.
"Aku merindukanmu."
Mingyu menyibak rambut basah Wonwoo kesamping, memperlihatkan pundak putih yang begitu anggun.
Wonwoo merapatkan pegangan tangannya pada handuk yang melekat, sambil menggigit bibir ia mencengkeram handuk mininya.
"Emmhh-" Wonwoo melenguh ketika rasa panas menjalar pada tiap sendi tubuhnya. Wonwoo tahu jika itu adalah lidah Mingyu yang sedang menari-nari dipundaknya.
Wonwoo berpegangan pada kepala ranjang, membiarkan handuknya setengah melorot karena tangan Mingyu yang bergerak-gerak.
"Kau harum." Ucapnya serak.
"T-tuan… k-kau-"
"Aku sedang ingin."
Wonwoo melebarkan matanya. Tubuhnya menegang ketika tangan besar itu meremas dadanya dari balik handuk tipis.
"T-tapi-"
Perkataannya terhenti ketika Mingyu merubah posisi. Membuat tubuhWonwoo terlentang diatas ranjang. Mata tajam sudah penuh gairah. Apalagi saat melihat payudara penuh yang setengah mengintip dari balik handuk itu.
Mingyu mendekatkan wajahnya. Begitu dekat hingga hidungnya menyentuh ceruk leher basah sang gadis manis.
"Sudah saatnya kau membayar satu hutangmu."
Wonwoo terdiam. Perkataan yang baru saja diucapkan Mingyu terasa seperti belati tajam yang menggores kulitnya. Perih.
Wonwoo memang pernah berkata bahwa dirinya bersedia menjual diri pada Mingyu untuk menebus uang yang sudah diberikan pada Ayah tirinya. Tapi Wonwoo tidak menyangka jika Mingyu benar-benar mengambil hati ucapannya itu. Ia pikir perlakuan manis Mingyu beberapa hari ini adalah murni karena laki-laki itu sudah mau membuka diri. Tapi nyatanya? Wonwoo hanya dijadikan alat pemuas nafsu.
Gadis itu tersenyum getir. Bukankah memang itu tujuan Mingyu dari awal?
"Begitukah?" tanyanya dingin.
Mingyu berhenti mengecup leher putih Wonwoo. Memperhatikan wajah manis yang menatapnya kosong. Tidak ada gairah disana. Yang ada hanya sorot keputus asaan. Tapi begitulah Mingyu. Ia tidak mau ambil pusing tentang bagaimana perasaan gadis yang sudah disentuhnya sebegitu jauh.
"Jika aku melakukannya, berapa ribu won yang terbayar?" Mingyu mengangkat sebelah bibirnya ketika pertanyaan itu keluar bagaikan seorang pelacur. Apa Wonwoo sedang memberi sebuah penawaran?
"Berapa yang kau mau?" Mingyu menyibak handuk yang menutupi setengah paha Wonwoo. Mengelusnya pelan, memberi irama lembut pada detakan dada sang gadis manis.
"Hargaku tidak murah, Tuan Kim."
Mingyu kembali tersenyum, "Bagaimana jika harga yang setara dengan toko bungamu?"
Wonwoo terdiam. Toko bunga? Maksudnya kios bunga yang pernah dimiliki Almarhum Ibunya dulu? Setahu Wonwoo bangunan yang ada dijajaran kompleks Gangnam itu berharga cukup tinggi.
"Apa harga itu sudah cukup untuk menebus uang yang kau beri pada Ayah tiriku?"
"Em…" Mingyu memasang pose berpikir, "Belum."
"Ha?!" Wonwoo bergerak gelisah, "Apa kau yakin? Bukankah harganya cukup tinggi?"
"Memang."
Wonwoo mengumpat dalam hati. Sebenarnya berapa banyak uang yang Mingyu keluarkan untuk membelinya?
"5 toko seperti itu lagi, baru lunas."
"Apa?! Bukankah itu harga yang sangat tinggi?" Wonwoo bertanya dengan nada yang diluar ekspektasi.
Mingyu mengangguk-angguk, meski ia tahu Wonwoo tidak akan melihatnya.
"Ap-apa hargaku setinggi itu?" Wonwoo menggigit bibir setelah bertanya. Ia bahkan sudah lupa dengan posisinya. Dibawah Mingyu, dengan tubuh setengah telanjang. Jumlah yang diucapkan Mingyu benar-benar membuatnya lupa dengan semuanya. Inigila.
"Memangnya kenapa?" Mingyu kembali mendekatkan wajahnya, kali ini ia menyentuh pipi Wonwoo yang mulai berisi. Mengecupnya pelan, berkali-kali.
"T-tidak." Setelahnya Wonwoo diam. Ia bingung pada keadaannya. Haruskah ia menolak Mingyu atau menerima saja perlakuannya? Tapi mengingat tentang uang yang sangat banyak itu Wonwoo jadi berkecil hati. Haruskah ia benar-benar menjadi pelacur untuk Mingyu?
Tok… tok… tok…
Dua makluk itu menoleh pada sisi pintu kamar, "Ini saya, Tuan." Ucap seorang laki-laki.
Mingyu segera bangkit, ia tahu suara siapa yang sedang berada dibalik pintu kayu itu. Paman Seungcheol.
"Aku akan segera keluar." Ucapnya tegas.
Mata tajam Mingyu menatap Wonwoo sesaat. Lalu tangannya yang besar menarik tangan kurus itu pelan, mengajak sang gadis manis duduk pada sisi ranjang.
"A-ada apa?" Wonwoo bertanya begitu ia merasakan ada yang aneh. Sejenak melupakan percakapan yang terjadi beberapa menit yang lalu.
"Jangan keluar kamar." Setelah berkata demikian, Mingyu beranjak pergi. Meninggalkan sang gadis manis dengan sejuta tanya dikepalanya.
Mingyu yang arogan, ternyata masih saja sama.
"Memangnya kapan aku pernah keluar kamar?" gumamnya.
OoO
.
ChoclateNut
.
OoO
Mingyu melihat Paman Seungcheol berdiri tegak diatas tanjakan tangga terakhir. Menatapnya dengan tenang, seolah berusaha merangkul emosi Tuan Muda yang bisa meledak kapan saja.
"Dimana dia?" tanyanya tanpa basa-basi.
Seungcheol tentu tahu siapa yang dimaksud.
"Taman belakang."
Setelah itu Mingyu langsung berjalan ketempat yang diutarakan, menghampiri seseorang yang sangat ia antisipasi sebelumnya.
Mata Tuan Muda itu memicing ketika sosok Jun berdiri membelakanginya sembari menatap hamparan kebun bunga buatan. Meletakkan kedua tangan didalam saku celana sembari mengamati setiap pergerakan Jun dari jarak itu.
Paman Seungcheol menghela napas, seolah dirinya sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Menikmati harimu?"
Yang disapa menoleh. Sedikit kaget sebab pertanyaan seperti itu jarang sekali keluar dari bibir Mingyu.
"Ahh… aku merasa segar disini," Jun tersenyum ringan, "kau pintar sekali memilih tukang kebun. Semua bungamu mekar begitu indah."
Mingyu masih diam, menatapnya dingin seolah tidak ingin menanggapi obrolan basa-basi murahan seperti itu.
"Ada perlu apa kau kemari?"
Senyum Jun menghilang, tergantikan raut muka yang sulit diartikan.
"Kau sudah melarangku datang ke kantorku, apa sekarang kau melarangku datang kerumahku?"
Mingyu menaikkan sebelah bibirnya, "Kantormu?... Rumahmu?"
"Eung." Jun mengangguk.
"Sejak kapan ini menjadi rumahmu?"
Jun yang berada ditengah taman bunga bergerak menuju kesisi lain, kearah kumpulan bunga mawar merah yang tertata rapi pada pot-pot mini.
"Ahh… aku lupa, ini kan rumahmu. Aku juga lupa jika kau yang membangunnya sendiri. Karena seingatku, semua harta yang diwariskan padamu itu adalah milikku juga."
"Omong kosong."
"Aigoo… kenapa kau selalu bersikap seperti ini, hah? Kau sama sekali tidak berubah." Jun tersenyum mengejek.
Sebenarnya bisa saja Mingyu membalas, tapi membicarakan masalah harta dan warisan disaat seperti ini sangatlah tidak etis. Apalagi ia tahu bahwa niat Jun sebenarnya bukan karena hal itu.
"Berikan nomor telepon Appa, lalu kau bisa pergi."
"Kau mengusirku?"
Mingyu setajam anak panah itu rasanya cukup membuat Jun mengerti bagaimana keadaan emosi seorang Kim Mingyu.
"Yha… kau tidak sopan sekali. Bagaimanapun juga, aku ini adalah hyungmu." Jun kembali berjalan kesisi lain, kali ini kakinya menghampiri sebuah kolam ikan yang dibuat dangkal.
"Omong-omong… dimana gadis peliharaanmu itu? Kau tidak ingin mengenalkannya padaku?" Jun berbalik, menatap Mingyu dengan senyum menyebalkan dibibirnya.
"Jika kau datang hanya untuk hal ini, lebih baik kau segera angkat kaki." Mingyu menjawab datar.
Jun tertawa. Diam-diam mata tajam miliknya melirik pada sebuah jendela kaca lantai dua yang terbuka. Ia menemukan seorang gadis manis, dengan handuk mini melekat ditubuhnya, sedang sibuk menyisir rambut basahnya yang kusut.
Sekejap Jun terpikat.
'Gadis itu… Gadis manis itu… Sepertinya tidak asing.'
"Paman, antarkan dia pulang." Mingyu bersuara, menyadarkan Jun dari lamunan.
Tanpa berkata lagi, Mingyu mulai melangkahkan kaki. Pergi meninggalkan Jun, dengan raut wajah datar seperti biasa.
Begitulah Kim Mingyu. Ia tidak akan betah berlama-lama berada dalam keadaan yang penuh dengan basa-basi. Lagipula semakin lama dirinya menanggapi ucapan Jun, sama halnya dengan menumpuk emosi yang akhirnya bisa berujung perkelahian fisik.
Memang benar, Mingyu menghindari hal seperti itu. Mingyu cukup mengantisipasi atas sikapnya yang pernah keterlaluan pada Jun. Yang membuat kakak tirinya itu masuk Rumah Sakit karena patah tulang rusuk semasa mereka di sekolah menengah dulu.
Mingyu bukan lagi anak laki-laki yang akan melakukan kontak fisik untuk menyelesaikan emosinya. Ia lebih suka bermain otak. Dengan kecerdasannya. Dengan perhitungan resiko kedepannya.
OoO
.
ChoclateNut
.
OoO
BRUK!
Wonwoo berjingkat. Sisir yang tengah dipegangnya jatuh ke lantai. Belum sempat bibirnya berucap, sebuah tarikan kasar ia rasakan pada lengannya. Wonwoo merasakan nyeri saat permukaan dinding membentur punggungnya. Kemudian sebuah hembusan napas berat terdengar.
"Kau tidak mendengar ucapanku?! Kenapa kau membantah, hah?!" Mingyu berteriak didekat telinga Wonwoo. Membuat sang gadis manis mengkerut takut.
"Ap-apa salahku?"
"Sudah kubilang jangan keluar kamar! Apa kau tuli?!"
Hati Wonwoo mencelos. Bibir Mingyu begitu mudah mencacinya. Rasa nyaman yang sempat hinggap dihatinya, kini hilang sudah.
"Aku tidak kemana-mana, Tuan. Sedari tadi aku-"
"Ke balkon?" Mingyu meremas lengan Wonwoo semakin kuat.
"Aw…s-sakit…" cicitnya. Manik Wonwoo menyipit, menahan perih sebab kuku Mingyu terasa akan merobek kulitnya.
"Kau belum tahu bagaimana seharusnya kau bersikap, Jeon Wonwoo." Mingyu mendekatkan kepalanya, menyentuh cerukan leher putih dengan hidung. Mengecupnya sebentar, lalu menghisapnya kuat.
"Eunghh…" Wonwoo melenguh. Ia merasa jika Mingyu bukanlah sosok Mingyu yang tadi pagi. Mingyu yang sekarang seperti…. Sosok yang memperkosanya beberapa minggu yang lalu. Sosok yang mencuri kegadisannya dengan paksa.
"Lep-pashh.." Wonwoo mencoba berontak, tapi kedua tangannya dicengkeram kuat. Mingyu semakin leluasa menghisap leher Wonwoo saat kepala gadis itu menoleh kesamping. Ia menghisapnya dengan beringas, seolah leher putih itu adalah sebuah lahan untuknya meluapkan amarah.
"Kau harus tahu bagaimana cara seorang Kim Mingyu menghukum budaknya yang membangkang."
"Aakh!" Wonwoo menjerit saat tubuhnya dibanting diatas ranjang. Paha mulus yang hanya tertutup handuk mini tersingkap, memperlihatkan kemolekan yang semakin membuat Mingyu tidak tahan untuk mengelusnya.
"J-jangan, Tuan." Wonwoo meratap. Sebab bayangan buruk mengenai rasa sakit itu kembali membayangi kepala.
Mingyu tidak mengindahkan ucapan Wonwoo. Ia bergerak naik, mengunci tangan gadis itu diatas kepala menggunakan satu tangannya, sementara tangan yang lain bergerak kebawah, mengelus pipi tirus.
"Sayang sekali, kau tidak bisa melihat bagaimana cantiknya wajahmu sendiri." Bisiknya.
Wonwoo bergetar, suara Mingyu yang berat benar-benar membuatnya ketakutan. Ia tidak bisa berkata apa-apa sekedar untuk menjawab kalimat itu, sebab ia hanya bisa menggigit bibir untuk menahan air mata supaya tidak jatuh dari pelupuk.
"Kau tahu…aku paling tidak suka jika ada yang tidak mendengar ucapanku."
"Eungg…" Wonwoo melenguh setelah Mingyu berhasil membuka tautan handuk ditubuhnya, remasan lembut pada buah dadanya membuat sekujur tubuh itu menegang.
"Dan aku tidak suka jika orang lain melihatmu dalam keadaan tidak berbusana."
"Akkhh…" kali ini Wonwoo menahan jeritan saat tangan nakal itu menyentil putingnya. Mingyu bergerak semakin keatas, mendekatkan bibirnya pada belahan manis bibir Wonwoo yang digigit kuat.
"Anggap saja, ini waktumu membayar satu hutang itu."
Tangan Mingyu meremas dada Wonwoo semakin bertempo, membuat bibir sang gadis melenguh tertahan. Mingyu membungkam bibir itu dengan bibirnya. Ia kecap lembut, dengan hisapan-hisapan pelan.
Wonwoo tidak lagi tegang oleh perlakuan Mingyu. Ia pikir perkataan kasar Mingyu akan membawa dampak buruk pada sentuhan-sentuhannya. Tapi nyatanya Mingyu hanya menggertak, sebab apa yang dilakukan Mingyu bisa membuat tubuhnya seringan kapas.
Mingyu benar-benar sudah menanggalkan handuk ditubuh Wonwoo, hingga tubuh molek itu kini terpampang didepan mata. Tubuh Wonwoo masih indah dan halus seperti saat pertama kali ia menyentuhnya. Bedanya, kali ini Wonwoo tidak terlalu berontak seperti waktu itu.
Mingyu melepaskan tautan tangannya dari tangan Wonwoo. Memberi ruang pada sang gadis manis untuk bergerak bebas. Dan kini, tangan Wonwoo berada didepan dadanya.
Mingyu tidak masalah, sebab ia sudah membuat Wonwoo mabuk oleh ciumannya. Wonwoo terlihat begitu menikmati saat lidahnya bergerak masuk, mencari-cari ruang untuknya berjelajah. Apalagi tangannya yang lain masih bergerak pada kedua dada gadis itu, hingga membuatnya merasakan hangat yang begitu menenangkan.
"Eungghh…" tubuh Wonwoo menggeliat saat Mingyu membuka kedua pahanya. Dengan bibir masih terpaut, laki-laki itu memasukkan satu jari kedalam vagina Wonwoo.
"Akkh—nngghh.." Wonwoo semakin menggeliat. Tapi Mingyu menahannya dengan sentuhan lembut pada pipi Wonwoo. Mata gadis itu, mengunci tatap dirinya barang sekejap.
"Kau…milikku."
.
.
TBC
.
.
Nyong Anyeong…
Jongsoo balik setelah sekian lama :v
Ada yang rindu ChocolateNut?
Maapkeun Jongsoo yang ga menepati janji untuk update cepet.
Udah gitu adegan naenanya dipotong lagi kan :D
Sumpah, Jongsoo ga kuat bayangin Wonwoo diena-ena Mingyu dan dia pasrah-pasrah aja, jadi yah…. diskip aja deh ya :D
Jangan lupa review setelah baca.
Jongsoo pen tahu reaksi kalian terhadap fiksi ini.
Masukan dan kritikan tetep ditampung kok, asal pake bahasa yang sopan.
Terimakasih…
