RUBIC CUBE

.

.

.

EAT JINNIE

.

.

.

CHAPTER 4

Namjoon mengusak rambutnya kasar, merematnya hingga sedemikian rupa. Ini sudah dua jam setelah Seokjin berhasil di bawa masuk ke Unit Gawat Darurat. Dan satu setengah jam yang lalu, Namjoon berhasil membuat ibunya menangis histeris saat mengatakan Seokjin dilarikan ke Rumah Sakit karena tidak sadarkan diri.

Namjoon masih cukup waras dengan tidak mengatakan penyebab semua ini adalah dirinya, ia akan mengatakannya nanti, setelah ibunya merasa lebih tenang, walau sejujurnya Namjoon tidak meyakini hal tersebut.

.

.

.

Ibu Namjoon tampak tergopoh setelah turun dari mobil yang ditumpanginya, raut wajahnya tampak gusar, dengan jejak air mata yang belum mengering. Sang ibu berlari secepat yang ia bisa, mengabaikan teriakan suaminya yang terlihat cemas karena sang istri berlari tanpa memperhatikan sekelilingnya.

Namjoon menegakkan kepalanya kala sang ibu memegang bahunya begitu erat, begitu menuntut penjelasan terhadap Namjoon, menanti berbagai kalimat apa yang akan Namjoon katakan kepadanya, namun Namjoon hanya mampu menundukkan kepalanya sedalam yang ia bisa. Rasa bersalahnya terlalu tinggi, ia sudah menata hati dengan sedemikian rupa, jika kedua orangtuanya tidak memaafkannya atau bahkan menyuruhnya hengkang dari rumahnya saat ini juga. Ia sudah sangat siap.

Namun apa yang Namjoon bayangkan seolah lenyap begitu saja, ketika sepasang tangan kekar dan hangat berhasil melingkupi tubuhnya yang tampak gemetaran. Itu lengan kekar ayahnya...

"Tidak apa-apa Namjoon, kau pasti sangat cemas melihat keadaan Seokjin, kau sudah melakukan hal yang tepat dengan membawa Seokjin ke Rumah Sakit secepat yang kau bisa. Ayah bangga padamu." Ujar sang ayah sembari menpuk lembut punggung Namjoon.

Hati Namjoon seakan tercubit mendengar penuturan sang ayah. Ayahnya sama sekali tidak mencurigai Namjoon, tidak menuduhnya melakukan hal yang buruk terhadap Seokjin. Ayahnya mempercayainya. Dan kenyataan itu justru membuat Namjoon semakin tersudut dalam rasa bersalah.

.

.

.

Matahari sudah sepenuhnya meninggalkan peradaban, menyisakan gelap yang begitu mengintimidasi, tidak bersahabat, tidak terasa hangat. Terlalu dingin, hingga rasanya mampu membekukan siapa dan apa saja. Namjoon baru menyadari mengapa Seokjin sangat membenci gelap, ia sendiri baru merasakannya. Gelap begitu menyesakkan, mencekik hingga sedemikian rupa hingga rasa-rasanya Namjoon tidak mampu lagi bernapas. Dan beberapa waktu yang lalu, Namjoon mengurung Seokjin dalam kegelapan. Membiarkan Seokjin menghadapi kengerian itu sendirian, sungguh ironi.

Namjoon menyandarkan punggungnya pada sofa di dalam ruang rawat Seokjin, ayahnya masih sibuk menenangkan sang ibu yang masih menggenggam tangan Seokjin begitu eratnya, nyaris tidak mau melepaskan barang sedetik saja. Sang ibu beberapa kali menitikan air mata, masih setia memanggil nama Seokjin agar pemuda itu mau membuka kelopaknya, meyakinkan semua orang bahwa ia baik-baik saja. Namun itu semua seperti sia-sia, saat beberapa waktu yang lalu, dokter yang menangani Seokjin memanggil kedua orangtua Namjoon untuk memasuki ruangannya, menjelaskan secara terperinci mengenai keadaan Seokjin. Dan Namjoon mendengarnya, dengan sangat jelas.

.

.

.

"Asam lambung Seokjin sangat tinggi, hal itu memicu lambung pasien bekerja diluar kemampuannya, saya menduga, beberapa waktu terakhir ia tidak makan dengan baik, dan... apakah ia memiliki riwayat alergi yang buruk terhadap beberapa jenis makanan? saya menemukan beberapa ruam merah pada tubuh pasien, cukup banyak dan merata, tetapi itu bukan hal yang serius, dalam beberapa hari ruam-ruam tersebut dapat menghilang, serta terapi untuk asam lambung pasien dapat kami atasi dengan baik. Hanya saja... saya menduga pasien mengalami serangan panik yang serius sebelum ia sempat dibawa ke Rumah Sakit. Hal itu yang menyebabkan kesadaran pasien menurun, serta gangguan pernapasan yang membutuhkan penanganan khusus karena rasa panik yang ia alami benar-benar ada pada tahap serius. Pasien tidak mampu mengendalikan kerja otaknya untuk mengontrol tubuhnya sendiri hingga saat ini, termasuk dalam mengendalikan kerja paru-parunya, oleh karena itu kami terpaksa memasang Ventilator untuk sementara waktu, hingga keadaan pasien membaik. Dukungan dari keluarga adalah yang terbaik untuk proses pemulihan terhadap pasien, jadi jangan lelah untuk terus menyemangati pasien."

.

.

.

Namjoon memainkan kuku-kuku jarinya, merasa pandangannya memburam karena selaput air mata yang siap ia tumpahkan kembali. Ia benar-benar gila, ia baru saja bermain dengan nyawa kakaknya. Jika selama ini Namjoon mengata-nagatai Seokjin dengan sebutan idiot atau autis, Namjoon akhirnya mengakui, dirinyalah yang idiot, bahkan lebih autis dari siapapun.

"Kau tidak mau menjelaskan sesuatu pada eomma, Namjoon?"

Namjoon mengangkat kepalanya, menatap lamat-lamat kedua kelopak mata sang ibu yang tampak begitu merah karena terlalu lama menangis. Namjoon mengulum bibirya gugup, ia sendiri bingung harus menjelaskannya dari bagian mana. Ia sendiri tidak tahu.

Sang ayah menghampiri Namjoon secara perlahan, menepuk pelan pundak Namjoon, "katakan saja nak, tidak apa-apa, kami siap mendengarkan semuanya. Saat ini Seokjin sudah baik-baik saja, tidak ada yang harus ditakutkan lagi."

Namjoon menarik napasnya dalam, kemudian memberanikan diri untuk menatap mata kedua orang tuanya, "salahku. Semua memang salahku eomma, appa..."

Namjoon dengan segenap keberanian yang ia miliki, mulai menceritakan segalanya, dengan sangat terperinci. Membuat sang ibu kembali meneteskan air mata sembari memeluk tubuh Seokjin yang masih berdiam diri, menggumamkan beribu kata maaf karena tidak bisa menjaga Seokjin dari anak kandungnya sendiri. Sementara sang ayah, menatap Namjoon dengan tatapan tidak percaya, serta gurat kecewa yang mendalam.

Namjoon menangis, bahkan tersedak air matanya sendiri, ia sangat terluka, dan yang paling menyakitkan, Namjoon terluka karena perbuatannya sendiri.

.

.

.

Pagi datang dengan begitu cepat, nyaris semalaman Namjoon tidak tidur, ia sibuk memeluk tubuh ibunya untuk meminta maaf, mengakui bahwa dirinya memang sangat bodoh karena sudah melakukan tindakan yang sangat buruk terhadap kakaknya sendiri. Hal itu membuahkan hasil, sang ibu dengan mata berkaca-kaca mulai memeluk Namjoon, mengatakan bahwa apa yang Namjoon lakukan sebenarnya sudah sangat keterlaluan, tetapi bagaimanapun juga, Namjoon sudah mau bertanggung jawab dengan mengakui semua kesalahannya serta bertindak cepat ketika Seokjin membutuhkan penanganan. Dan itu membuat satu beban di pundak Namjoon mengendur, walaupun orangtua Namjoon masih tampak mendiamkan Namjoon.

Namjoon kini terduduk di samping ranjang Seokjin, mengamati bagaimana raut teduh itu tertidur begitu pulasnya, lalu pandangan Namjoon tertuju pada mulut Seokjin yang masih setia dijejali benda bernama Ventilator, terlihat sangat mengganggu dan menyakitkan. Namjoon mengusap dahi Seokjin yang nampak berkilap karena keringat dingin, ia merasakan suhu tubuh kakaknya memang berada di atas normal. Namjoon mendesah lirih, "maafkan aku, aku menyesal. Kau... benar-benar tidak mau bangun? Eomma menangis semalaman sampai matanya bengkak, kau... tidak kasihan?" Namjoon menarik napasnya panjang, "maafkan aku Seokjin, aku tidak tahu kalau akan jadi seperti ini, maafkan aku. Pasti rasanya sakit 'kan? Kalau kau bangun, aku akan menuruti semua kemauanmu, a-aku akan belikan rubik atau puzzle baru untukmu. Aku akan belikan banyak. Banyak sekali kalau kau mau. Aku bahkan membelikanmu coat bagus dengan uang tabunganku sendiri, aku tidak akan minta ganti uangnya pada appa, nanti dipakai ya kalau sudah sembuh, coat itu sangat cocok untukmu, apalagi kalau dipakai saat hari bersalju, pasti sangat bagus. Jadi cepat bangun ya."

Namjoon menggenggam tangan Seokjin erat, menempelkan telapak tangan Seokjin pada pipinya sendiri yang sudah basah karena jejak air mata.

"Maafkan aku Seokjin... hyung."

Dan kelopak mata Seokjin perlahan terbuka, ketika telinganya mendengar Namjoon memanggilnya dengan sebutan hyung untuk pertama kalinya, dalam sepuluh tahun terakhir.

.

.

.

Ventilator yang terpasang pada Seokjin sudah boleh dilepaskan, kini tergantikan oleh sebuah selang oksigen yang lebih nyaman. Semua orang merasa sangat bahagia ketika Seokjin secara tiba-tiba mampu mendapatkan kesadarannya kembali. Namun hal buruk lainnya terjadi. Seokjin menjadi terlalu pendiam, ia bahkan tidak mengucapkan satu kalimatpun sejak tersadar beberapa jam yang lalu. Saat seluruh keluarga Seokjin berkumpul, Seokjin menangkap kehadiran Namjoon di dekatnya, ia langsung gemetar, menangis dengan kerasnya, dan mengamuk. Seokjin melemparkan apapun yang ada di dekatnya, mulai dari gelas, rubik yang dibawakan oleh ibunya, hingga benda-benda lainnya. Seokjin baru bisa tenang ketika sang ibu memeluknya dengan erat, merapalkan berbagai kalimat menenangkan untuk Seokjin, mengatakan bahwa semua sudah baik-baik saja, lalu menimang Seokjin dalam pelukannya, sehingga pemuda itu kembali tertidur.

Ini kali pertama Namjoon mendapati Seokjin mengamuk sedemikian hebat, dan ia tidak mengetahui alasan mengapa Seokjin melakukan hal itu, hingga sang ibu menjelaskan, bahwa Seokjin mengalami tantrum. Menurut ibunya, sepuluh tahun lalu Seokjin cukup sering mengalami hal tersebut.

.

.

.

Seokjin tertidur dengan begitu pulas, masih ada jejak air mata yang tertinggal di pipi merah mudanya, hal itu membuat Namjoon tersenyum, kemudian menghapus jejak air mata tersebut dengan kedua ibu jarinya. Namjoon mengambil sebuah handuk yang direndam ke dalam air hangat, ibunya sudah siapkan untuk membasuh tubuh Seokjin, dan Namjoon dengan senang hati menggantikan tugas sang ibu.

Pemuda itu memeras handuk hangat tersebut higga setengah kering kemudian mengusapkannya pada wajah dan lengan Seokjin secara bergantian dan dengan perlahan. Setelah selesai dengan wajah dan lengan Seokjin, Namjoon membuka kancing piyama Rumah Sakit Seokjin dengan hati-hati, takut membangunkan tidur nyenyak Seokjin. Namjoon kembali memeras handuk hangat yang ada di tangannya, kemudian membasuh bagian leher hingga dada Seokjin secara berulang kali.

Ketika Namjoon memeras handuk untuk membasuh bagian perut Seokjin, pemuda itu dikejutkan oleh sesuatu. Bekas luka. Ya... bekas luka melintang yang cukup besar pada bagian pinggang belakang hingga sebatas pusar Seokjin, sangat panjang dan sedikit mengerikan. Namjoon tanpa sadar merasa tangannya sedikit gemetaran. Ia melempar handuk basahnya asal, kemudian memasangkan kembali kancing piyama Seokjin dengan tergesa-gesa, hingga kemudian ia berlari meninggalkan ruang rawat Seokjin, memilih untuk menenangkan dirinya sementara waktu sebelum mencari tahu dari mana bekas luka itu berasal.

.

.

.

"Eomma... bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Ibu Namjoon yang baru saja meyesap tehnya perlahan menurunkan gelas yang sedang di genggam, "ya Namjoon, tentang apa?"

"Tentang Seokjin..." Namjoon meneguk sedikit Americano di tangannya sebelum kemudian melanjutkan, "tentang bekas luka yang ada di bagian pinggang hingga perut Seokjin. Bolehkah aku mengetahuinya?" suara Namjoon semakin mengecil ketika pertanyaan itu terlontar, "kemarin aku tidak sengaja melihatnya. Setahuku itu bukan luka yang disebabkan oleh tindakan medis, dan terlihat sangat menyakitkan. Apakah eomma menyembunyikan sesuatu tentang Seokjin dariku?"

Netra sang ibu tampak menghindari tatapan Namjoon, bola matanya terlihat begitu gamang dan bergetar ketika pertanyaan Namjoon terlontar. Ibu Namjoon memegang gelas keramiknya menggunakan kedua tangannya. Meremas lebih tepatnya, karena buku-buku jari sang ibu nampak memutih.

"Eomma tidak menyembunyikan apapun tentang Seokjin, Namjoon. Eomma hanya tidak mau mengingatnya kembali," sang ibu menarik napas panjang sebelum kemudian melanjutkan, "luka itu... luka itu Seokjin dapat dari ayah kandungnya. Kalau tidak salah, saat itu usia Seokjin sembilan tahun. Luka dari pecahan botol minuman keras, itu yang eomma ingat. Ayahmu yang menyelamatkan Seokjin," ibu Namjoon terlihat kesulitan mengatur emosinya, berusaha menyembunyikan genangan air mata yang mulai tampak dengan cara meneguk perlahan teh yang ada di hadapannya, "malam itu hujan turun sangat lebat, kebetulan ayah Seokjin adalah rekan kerja ayahmu... ia tidak pernah menceritakan tentang keberadaan Seokjin pada siapapun, namun malam itu ayahmu menemukan Seokjin, di pekarangan rumahnya sendiri, meringkuk memohon ampun ketika ayahnya dengan tega memukul Seokjin menggunakan sebuah kayu hingga tubuh kecilnya terpelanting, mengejang, nyaris hancur mungkin. Eomma... eomma bahkan tidak bisa mengingatnya dengan baik. Tidak bisa mengingat seburuk apa keadaan Seokjin saat kali pertama ia diselamatkan. Bekas luka yang kau lihat sudah ada di tubuh Seokjin sesaat ayahmu menyelamatkannya. Masih terlalu baru, dan tidak mendapatkan perawatan apapun. Terlalu menyakitkan Namjoon," ibu Namjoon tampak bergetar, menggenggam lebih erat gelas keramik di genggaman tangannya, "ayahnya tidak mau menerima keadaan Seokjin yan memang berkebutuhan khsus. Ibu Seokjin meninggal saat melahirkan Seokjin, dan itu membuat ayah Seokjin memupuk dendamnya terhadap Seokjin. Iblis itu tidak mau menerima Seokjin! Dia menyiksanya Namjoon, dia membuat Seokjinku terluka!" Ibu Namjoon menjerit frustasi, mulai terisak kembali, seperti tidak ada kata lelah mengeluarkan air mata untuk Seokjin.

Namjoon menggenggam tangan ibunya dengan erat, hal itu justru membuat ibu Namjoon menumpakan lebih banyak air mata, menangis sesenggukan hingga pundaknya bergetar hebat. Namjoon bangkit dari duduknya, berjalan mendekat untuk memeluk tubuh sang ibu, membiarkan kepala sang ibu berlabuh pada dada bidangnya, Namjoon memeluk sang ibu dengan sangat erat, beberapa kali menggelengkan kepala guna menghalau lelehan air mata yang siap tumpah kapan saja tanpa persetujuan Namjoon.

"Tidak usah dilanjutkan jika eomma tidak sanggup," ujar Namjoon dengan suaranya yang terdengar bergetar, "jangan dilanjutkan eomma... aku mohon." Pertahanan Namjoon runtuh, ia terisak bersama ibunya, mengabaikan tatapan aneh dari berpasang bola mata pengunjung caffee tempat Namjoon dan ibunya singgah.

.

.

.

Namjoon menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi di ruang tunggu Rumah Sakit. Setelah mendengar penjelasan ibunya mengenai Seokjin, ia seperti tidak bisa berpikir dengan jernih, bayang-bayang wajah Seokjin ketika meminta belas kasihan padanya tampak begitu jelas, hingga membuat Namjoon tidak tenang. Andai saja saat itu Namjoon tidak asal memperlakukan Seokjin, ini semua tidak akan terjadi. Penyesalan memang selalu datang belakangan, itu yang selalu Namjoon dengar dari mulut orang lain.

Hingga detik ini keadaan Seokjin masih seperti sebelumnya, Seokjin tetap tidak mau berbicara pada siapapun, tidak mau dibujuk, lebih sering mengalami tantrum, selalu mendapat mimpi buruk di tengah-tengah tidur nyenyaknya, hingga memuntahkan kembali apa yang telah ia makan. Tiap kali Namjoon datang menemui Seokjin, pemuda itu selalu mengamuk bahkan menangis histeris hingga butuh dua orang atau lebih untuk menenangkan Seokjin.

Trauma... Itu yang Namjoon dengar dari seorang seorang dokter yang merawat Seokjin.

Seokjin sangat mudah mendapatkan trauma. Semua itu disebabkan oleh keadaan psikologisnya yang memang tidak begitu baik sejak ia kecil, Seokjin sudah mendapatkan puluhan kali therapi untuk mengatasi masalah traumanya. Termasuk trauma terhadap kekerasan yang dialaminya sewaktu kecil.

Dan kali ini, Seokjin akan menjalani therapi untuk menghilangkan traumanya terhadap gelap, sekaligus... terhadap Namjoon.

.

.

.

TBC

*NOTE

Ventilator: Suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi

Tantrum: ledakan emosi, biasanya dikaitkan dengan orang-orang dalam kesulitan emosional, yang biasanya ditandai dengan sikap keras kepala, menangis, berteriak, menjerit-jerit, marah, bahkan tindak kekerasan.

Hai, berjumpa lagi denganku. Maaf karena gak bisa update cepat seperti apa yang aku janjikan :" maaf juga karena chapter ini terlalu pendek, bahkan aku merasa chapter kali ini benar-benar kehilangan feel-nya. Ada banyak ide di kepalaku untuk mengisi chapter ini, sangking banyaknya, aku sendiri bingung harus memulai dari mana, hingga akhirnya aku malah terkesan asal, padahal aku sudah semaksimal mungkin mengetik ini.

Btw, aku juga mempublish Rubic Cube di akun Wattpad, untuk kalian yang lebih menikmati membaca fanfic di Wattpad, bisa mengunjungiku di eat_jinnie

Terimakasih untuk semua yang sudah meriview, itu sangat membantuku dalam mengerjakan tiap chapter yang akan aku ketik kemudian.

Tolong jangan ada silent reader diantara kita. Itu menyakitkan kalau kalian mau tau LoL...

Sekian, sampai jumpa di chapter selanjutnya, dan mohon maaf lahir batin..

Salam cinta

Jinnieta Riseline