"M-m-menggauli?" Saya tergugu.
Yoongi bangun. Matanya sedikit terarah ke bawah, tapi entah titik pastinya di mana. Ada raut yang tak bisa saya deskripsikan. Yang jelas Yoongi nampak sedikit ... kecewa?
"Jimin," dia duduk bersimpuh. Tangannya mengepal di atas paha. Dia sempat menggigit bibir, mungkin untuk menghilangkan keraguan yang entah apa. Saya hanya diam memerhatikan, sampai Yoongi melanjutkan bicaranya, "kau selalu memperlakukanku dengan baik. Kau menghargai aku sebagai kekasihmu, bukan pelampiasan nafsu. Kau juga pernah bilang kalau kau bisa menjagaku sampai pernikahan kita, malam pertama ini akan jadi hadiah yang luar biasa bagimu, jadi—" Yoongi meremat kerah piyamanya, lalu mengangkat wajah, dan tatapan kami pun bertemu, "—a-aku mau menyerahkan diriku sekarang."
Glek! Saya meneguk ludah. Takjub dengan perkataan Yoongi barusan, "Se-serius?"
"Iya...," angguknya.
"T-tadi kau bilang kalau kau capek, jadi aku—"
"P-park Jimin, hentikan kecanggungan ini! Kalau kau bersikap seperti itu aku juga jadi ketularan!" Dengan gerakan cepat, Yoongi menutup muka dengan kedua tangan lantas bersujud di atas kasur sampai wajahnya terkubur.
"M-ma-maaf ... tapi serius kau—"
"Iya!"
Tiba-tiba Yoongi menegakkan badannya lagi. Saya kaget. Dia menahan bobot tubuhnya dengan kedua tangan di kasur. Badannya condong ke depan hingga bokongnya sedikit terangkat. Seperti kucing! Alih-alih nampak sensual, saat itu dia malah nampak menggemaskan. Seperti ada sesuatu yang berbunyi kyun di dada saya. Saya menahan diri untuk tidak langsung menerjangnya dan mengelus, membelai perutnya serta memainkan susunya seperti kebiasaan yang sering saya lakukan kalau menemukan kucing di jalan. Dan Yoongi jelas tak bisa diperlakukan seperti itu!
"Aku kan istrimu sekarang. Bukankah sudah sewajarnya aku menyerahkan diriku padamu? Jadi mari ... lakukan saja. Aku sudah siap." Dia kembali duduk dengan tenang—ah, maksud saya, duduk biasa seperti sebelumnya. Hanya saja, pipinya jadi sedikit memerah.
"Kau mau ... mulai dari mana?"
"Dari mana saja, terserah padamu."
Sebetulnya saya telah memikirkan beragam cara untuk memulai agenda penting ini. Sebagai pria sehat yang suka menonton vidio porno, tentu saya punya banyak referensi. Tapi anehnya ketika berhadapan langsung dengan Yoongi, tingkat kecanggungan bertambah seribu persen hingga saya tak berkutik. Rencana-rencana yang telah tersusun rapi berlarian meninggalkan gentong di kepala. Apakah Yoongi tipe yang suka diserang? Atau sukanya diperlakukan lembut? Atau justru dia sukanya mendominasi? Saya tak tahu-menahu.
Malam pertama memang jadi kesempatan bagi pasangan pengantin untuk lebih mengenal satu sama lain dari sisi seksual. Tentang kebiasaannya, atau kesukaannya, atau juga sesuatu yang membuatnya puas. Dan saya jelas harus memberikan kesan yang bagus untuk Yoongi. Jadi saya putuskan untuk memulai dengan cara yang lembut saja.
"Apa kau mau minum anggur dulu? Tadi kuintip, di salah satu kado kita ada anggurnya."
Saya duduk di kasur dengan satu kaki masih menapak lantai. Saya dekati dia yang tak lagi duduk bersimpuh. Dia bersila. Punggung kaki dan sedikit tungkainya dia pertontonkan mungkin tanpa sengaja. Itu sangat putih dan nampak mulus. Saya merasa seperti seorang pria dari zaman kerajaan yang bisa dibuat tertegun hanya karena melihat sedikit dari bagian tubuh orang lain.
"Tidak, aku tidak mau anggur. Aku tidak ingin mabuk dan melupakan semuanya di esok hari. Aku ingin tetap sadar sampai ... ah, bicara apa aku ini?"
Yoongi tertawa, meringis, sambil menggigit jari telunjuknya. Selain malu dia juga nampak gelisah. Saya menebak-nebak apa yang ada di pikirannya. Apakah itu sama dengan apa yang sedang saya pikirkan?
"Kalau kau maunya begitu, aku akan turuti. Jadi, tidak ada anggur malam ini."
"Ya."
Setelah anggukan Yoongi berhenti, kami hanya saling diam selama beberapa saat.
KENAPA?!
Saya menahan geram dalam hati. Tidak boleh begini! Malam pertama kami haruslah menjadi sesuatu yang spektakuler hingga tak terlupa sepanjang masa. Saya ingin kesempatan ini menjadi sejarah yang patut diingat oleh kami di kemudian hari.
"Em... Jimin?"
"Ya?"
Akhirnya Yoongi yang duluan buka suara.
"Bisakah ... kau memelukku?"
"O-oke."
Yoongi menggeser duduk, saya merentangkan tangan untuk merangkulnya. Saat dia masuk ke dalam pelukan, tak sangka kedua tangannya melingkari badan saya dengan begitu erat. Tanpa sempat bertanya mengapa, saya keburu didorong jatuh telentang dengan Yoongi yang menindih saya. Lain dengan saya yang kebingungan, dia terkikik puas setelah itu.
"Kena kau," begitu katanya.
Saya merasa dejavu. Sepertinya Yoongi pernah membanting saya sebelum ini. Iya, kan? Pernah, bukan?
"Yoongi—"
Wajah saya tahu-tahu ditangkup, dan belum selesai saya bicara, bibir saya sudah dibungkamnya dengan ciuman. Baru saja saya hendak memagut, dia menarik bibirnya dan memundurkan kepala. Sial, saya gagal mendapat apa yang saya mau.
"Park Jimin~" bisiknya sesat. Yoongi nakal rupanya.
"Yoongi, kenapa—"
"Jimin, kau tak melulu harus menunggu aku yang meminta. Lakukan saja semaumu. Sudah kukatakan aku milikmu, kan? Kepuasan seorang suami adalah tanggung jawab istri. Jadi, apapun yang kau inginkan, aku akan lakukan."
"Mana ada istri yang berkata seperti itu?"
"Lho? Kenapa?"
"Biasanya para istri akan mengomel karena suaminya minta ini-itu."
"Kau belum minta apa-apa jadi tak usah diperkarakan. Lagipula barusan kau bilang biasanya, memangnya kau pernah punya pengalaman dengan seorang istri?"
"Belum, sih. Itu survei."
"Kau lucu!" Yoongi tertawa sembari membelai-belai rambut saya.
Rasanya seperti sedang dibodohi. Karena tak terima ditertawakan, saya bertekad untuk memimpin permainan dan membalikkan situasi. Bagaimanapun, saya mesti menaklukkan Yoongi malam ini. Saya ingin membuatnya menjeritkan nama saya dalam nyeri dan nikmat yang tiada tara!
"Oh—"
Saya membalik posisi. Yoongi yang kini telentang di atas kasur. Dua kakinya saya lebarkan hingga ada spasi yang cukup di antaranya untuk saya menyusup. Saya membungkuk rendah. Dengan kedua siku di antara lengan Yoongi yang terangkat, saya menumpu badan.
"Kalau begitu ... bagaimana kalau kita ... mulai dari sini?" ucap saya. Wajah kebingungan itu saya tertawakan, lalu bibirnya yang sedikit terbuka saya sambar.
"Hihi." Dia sempat tertawa di antara ciuman kami. Satu tangannya membelai rambut belakang saya, dan satunya lagi bertengger di pundak saya. Suara seksinya lolos setelah dipancing, "Amh, mmh, mmmh..."
Bibirnya yang kenyal dan lembut nan manis seperti permen itu membuat saya menginginkannya lagi dan lagi. Saya gigit gemas bibir bawahnya. Lalu saat itu saya selipkan lidah untuk merangsek masuk ke dalam mulut Yoongi. Ada lidah yang menyambut saya di antara geliginya yang kecil dan rapi. Kami berbagi saliva, saling memeras. Saya terus mengajaknya bergelut di dalam mulut sambil sesekali mengambil napas. Saya tahu tempo yang saya buat tak jelas; tak cepat tak juga lambat, dan mungkin bisa dibilang berantakan. Tapi Yoongi menikmatinya karena dia tetap menerima ciuman dan belitan lidah saya tanpa protes. Hanya ketika dia meremat rambut saya dengan sedikit keras, saya tahu kalau dia bermaksud memberi tahu saya agar melepaskan ciuman itu barang sejenak.
"Hah, hah ... Ya ampun, Jimin, aku ngos-ngosan..."
"Bibirmu basah."
Yoongi menatap saya dengan pandangan yang sulit diartikan ketika saya menyeka jejak bening di sekitar bibir dan dagunya. Ini belum apa-apa. Baru permulaan. Yoongi mungkin masih terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Ciumannya dijarah. Saya tak ingin lagi menahan diri sebab durasi malam pertama kami mungkin saja akan molor sampai besok siang kalau saya terus bersikap kaku dan canggung. Yaah, mumpung sudah sah, kebablasan tidak masalah, bukan?
"Kau mau mulai dari mana lagi? Apa kau suka kalau aku—" saya mengecup lehernya, "meninggalkan tanda cintaku di sini?" lalu menghisapnya berkali-kali hingga ketika dilepaskan, ada jejak kemerahan di kulit putih pucat itu. "Dan di sini?"
"A-ahh..."
Saya lanjut menandai bagian lehernya yang lain. Kalau bisa, semua ingin saya beri jejak. Lengannya, perutnya, pahanya, punggungnya, bokongnya—uh, saya tak sabar untuk itu. Saya harus menjelajah dan menjamahinya satu-satu, sampai puas. Sampai saya kenal betul seluk-beluk Min (Park) Yoongi secara fisik.
Yoongi tak menolak saat saya membuka seluruh kancing piyamanya. Kulit pucat yang bersih itu terpampang nyata di depan mata. Dadanya, perutnya. Berkah Tuhan sungguh tak terkira bagi orang yang bersabar. Saya menahan haru, ingin mengepalkan tangan untuk menandai kemenangan tapi juga merasa tak pantas untuk melakukan itu. Akhirnya saya putuskan untuk segera memberdayakan kedua tangan yang menganggur untuk—
"Oh, Jim!"
—meremas dadanya.
Serius, dadanya benar-benar montok! Itu dada yang saya impi-impikan selama ini; dada yang selalu terintip tapi tak pernah benar-benar dapat saya nikmati. Saya sengaja memerhatikan ekspresinya ketika dadanya diremas dengan kuat lalu berubah lembut dalam sekejap. Karena merasa ukurannya pas di genggaman, saya meremasnya berkali-kali sampai Yoongi menggelinjang resah. Tentu, masih dalam kecepatan lamban karena saya mau mendengar suara rintihnya yang pelan dan lirih.
"Jimin apa kau suka ... itu?"
Saya tidak tahu yang Yoongi maksud adalah itu yang mana. Kegiatan meremas dadanya? Atau putingnya yang mencuat tegang karena dirangsang? Titik berwarna kemerahan itu seperti menantang saya untuk mendekatkan bibir dan mengisapnya. Jujur saja saya pernah beberapa kali memimpikan diri saya yang bisa menyusu pada Yoongi sampai susunya keluar.
Astaga. Memikirkan itu saja sudah membuat celana saya sesak.
"Jimin... enggh..."
Kepala Yoongi otomatis mendongak waktu saya menyungkurkan kepala di dadanya dan meraup salah satu dari kedua puncak bukit itu. Astaga, ini enak. Ada bau khas Yoongi yang bisa saya hirup. Entah itu keluar dari puting susunya atau dari mana. Baunya membuat saya kesal, karena wangi dan menggairahkan.
"Ahhsss ... sakit ... emh, jangan digigit..."
Yoongi meringis tertahan, dengan kaki yang bergerak menggesek kain sprei, menjepit pinggang saya dan semakin menyempitkan spasi ketika saya mengisap putingnya dengan kuat. Semakin kuat, dan saya mengakhirinya dengan satu isapan kasar. Saya melepaskan puting itu untuk melihat apakah fantasi saya terwujudkan di dunia nyata atau tidak.
Oh, tidak. Tidak!
Titik di tengah putingnya mengeluarkan sesuatu berwarna putih pekat yang walau hanya sedikit sekali tapi masih bisa saya lihat dengan jelas. Saya terbelalak takjub. Saking takjubnya saya mau pembuktian lebih, maka saya remas lagi dada itu hingga cairannya keluar lebih banyak. Itu tidak bisa dibilang banyak sih, masih sama sedikitnya, benar-benar kurang dari setetes. Tapi itu luar biasa!
"Yoongi kau bisa mengeluarkan sus—"
"Jangan berbicara sambil menatap dadaku seperti itu..." Yoongi menutup hidung dan mulutnya dengan punggung tangan, mencoba menyembunyikan semburat malunya dari saya.
"Dadamu mengeluarkan—"
"Kau menghisap dan meremasnya terlalu kuat, jadi..."
Saya tak bisa menunggu penjelasannya karena puting yang satunya sudah lebih dulu mengajak saya untuk berkenalan. Maka saya isaplah bagian itu dan Yoongi kembali bersuara. Kali ini saya sengaja melakukannya sambil menatap Yoongi. Saya tahu dia juga memerhatikan saja. Hanya saja dia lebih memilih untuk sering-sering berpaling muka.
"Ahstaga...," katanya.
Pelan-pelan saya berhenti mengisap. Hal terakhir yang saya lakukan pada puting itu adalah menjilatnya. Yoongi lagi-lagi menahan desah. Saya menarik tangan itu supaya tak lagi ada penghalang dan suaranya bisa saya dengar dengar jelas. Ya, jelas sekali ujung desahan itu.
"Ahhnng…"
"Aku masih penasaran."
"Emmhhh ... aku tidak tahu, kadang-kadang memang bisa keluar begitu. Entah kenapa."
Saya tak melepaskan perhatian dari dadanya. Saya pengangi lagi bukit empuk nan lembut itu. Dua-duanya, bukan hanya satu sisi. Saya pijati, sebisa mungkin dengan tekanan paling minim. Saya tentu juga ingin memanjakan Yoongi dan saya pikir salah satu caranya adalah ini. Karena kalau dicontek dari vidio yang sering saya tonton, biasanya pijatan di payudara bisa memberi rangsangan dan kenikmatan lebih jika dilakukan dengan benar.
"Jimin."
"Ya?"
"Dadaku bukan squishy..."
Saya otomatis melepas tawa setelah disadarkan oleh Yoongi. Ampun, saya terlalu asyik memainkan dadanya. Sepertinya esok hari, ini akan jadi bagian favofit saya dari Yoongi. Mudah-mudahan dia tidak keberatan kalau saya minta pegang dadanya tiap sepuluh menit sekali.
"Jimin, buka bajumu, ayo. Kau licik. Aku juga ingin melihat dada dan perutmu."
"Baiklah."
Saya mundur sedikit, memberi ruang pada diri sendiri untuk menanggalkan pakaian. Karena saya mengenakan piyama sama seperti Yoongi, ini agak merepotkan. Saya tak terlalu suka membuka kancing karena kancingnya tak hanya satu tapi banyak. Setelah sedikit bersabar, akhirnya saya bisa melepas apa yang saya kenakan. Piyama itu saya lempar begitu saja ke lantai, lalu saya kembali ke posisi semula dengan senyum tipis. Saya melakukan ini supaya terlihat keren, sebab saya ingin Yoongi terkesima.
"Astaga., Jimin. Aku tak menyangka dadamu sebidang ini."
"Oh, tentu," kata saya dengan penuh percaya diri. Yoongi membelai dada saya, lalu turun sampai ke perut. Dia sedikit menusuk celah antara kotak-kotak otot perut saya sebelum membuka mulutnya tanda kagum. Lantas saya bertanya, "Kau suka?"
"Iya."
"Kau mungkin akan suka juga dengan—" Saya melirik ke bawah.
Yoongi terkekeh kecil, lantas berbisik di telinga saya, "Kalau begitu mari lepaskan semuanya."
Saya turun dari kasur untuk menanggalkan celana yang masih menggantung di pinggang. Yoongi pun turun mengikuti saya. Hanya saja dia malah memilih untuk memunggungi saya ketimbang berdiri berhadapan. Mungkin dia malu? Entahlah. Yang penting buka baju.
Saya melepaskan celana, lalu celana itu saya buang sembarang, dan nasibnya sama seperti bagian atasnya, teronggok di lantai. Satu-satunya yang terisa di badan saya hanyalah celana dalam. Saat hendak melepas kain ketat itu, saya tertegun melihat bagian belakang Yoongi—pada garis pinggulnya yang ternyata jauh lebih curvy dari yang saya kira.
Dia melepas celana dalamnya pekan-pelan. Bokong kencangnya jelas nampak di depan mata saya. Saya terdiam karena tiba-tiba merasa lapar, haus, penuh dahaga, ingin sesuatu, tapi juga ingin banyak hal ketika melihat bagian yang terbelah garis tengah itu. Sumpah, itu seperti bakpao putih panas yang mulus.
"Jimin aku malu," kata Yoongi, masih dengan badan yang memunggungi saya. Kedua tangannya terlipat memeluk diri sendiri. Dia hanya menolehkan kepalanya sedikit supaya bisa melihat saya yang berdiri di belakangnya. Lalu saya baru ingat kalau celana dalam saya masih terpasang. Segeralah saya lepaskan itu.
"Aku juga malu, tapi sudahlah."
Jreng, teman saya bertemu Yoongi. Mata Yoongi membola dan tatapannya terarah pada bagian tengah selangkangan saya. Ah, Yoongi tak pernah melihatnya selama kami tinggal bersama. Tapi apa wajar bila dia seterkejut itu? Dia bahkan tak lepas-lepas memandangnya selama beberapa saat. Saya yang dibuat gelisah, takut-takut teman saya ini tak cukup memuaskan bagi penglihatannya.
"Yoongi?"
"Y-ya?"
"Berbaliklah."
"Mm, oke."
Kami saling berhadapan. Saya tentu tak bisa menghindari gerak reflek yang membuat mata saya menyorot dari atas kepala sampai ke ujung kaki untuk memindai fitur-fitur yang ada pada dirinya. Semua lengkap. Dada dan kemaluannya membuat saya gemas. Bahkan lemak yang sedikit bertumpuk di perutnya pun nampak menggemaskan. Dia benar-benar wujud dari tubuh ideal menurut saya. Karena saya tak pernah suka tubuh yang ramping dan kurus seperti pensil. Tidak empuk kalau dipeluk.
"Jadi..." Yoongi memalingkan wajahnya.
"Mungkin kita mesti lebih berdekatan lagi, supaya ... kita terbiasa."
Saya mengambil langkah dan menggapainya, lantas menariknya dalam pelukan. Kulit bertemu kulit. Sentuhan kali ini terasa berbeda, sangat. Saya dapat merasakan Yoongi yang benar-benar Yoongi, tanpa ada penghalang apapun. Kulitnya sungguh mulus dan licin. Nyamuk pun mungkin terpeleset kalau mau hinggap di sana.
"Kau hangat."
Kata-katanya, walau pendek, membuat saya senang. Yoongi menyungkurkan wajahnya di bahu saya. Bibir tipisnya diam-diam memberi kecupan-kecupan kecil. Saya tak mau kalah, telinga Yoongi saya kecupi. Saya susuri leher sampai bahunya dengan bibir. Saya rangkul pinggangnya lebih erat supaya kami lebih rapat lagi dalam pelukan ini. Yoongi mendongak. Sesuatu menuntun kami untuk mempertemukan bibir. Kami berciuman untuk yang kesekian kali. Dan gesekan di bawah sana menghantarkan gelenyar yang besar hingga kami tahu bahwa sudah bukan waktunya lagi untuk pemanasan.
Bruk! Saya membanting Yoongi ke kasur. Jatuhnya dia dan naiknya saya membuat per kasur berderit. Yoongi menggeliat cari posisi nyaman sembari memandang saya dengan mata penuh afeksi dan senyuman yang manis tapi menggoda. Kali ini tanpa saya minta, Yoongi telah melebarkan kakinya sendiri. Itu cukup lebar hingga saya bisa melihat kemaluan dan lubang merah mudanya dengan jelas. Saya merangkak, bersimpuh di hadapannya, dan kaki-kaki itu seperti perangkap yang otomatis tertutup ketika mangsanya sudah didapat. Tungkainya mengapit pinggang saya. Dengan iseng dia menggesek jari-jari kakinya ke kulit punggung saya. Oh benar-benar, Yoongi memang penggoda yang ulung!
Cup, cup cup, bibir dikecup-kecup. Belaian adalah bumbu penyedap. Saya suka ketika dia memainkan rambut saya. Saya juga suka ketika dia menangkup wajah saya hanya untuk mendapat ciuman yang lebih dalam. Permainan kecup-mengecup dan belai-membelai itu lama-lama membuat hawa terasa semakin panas dan kami pun mulai berkeringat. Kemaluan Yoongi sudah begitu lembab, dan ketika disentuh, dia begitu saja menjadi basah.
"AAKHH—"
Saya memijat-mijatnya, hingga Yoongi melengkingkan suaranya dan orgasme pertama telah ia dapatkan. Tangan kiri saya terlumuri cairannya. Ini cukup untuk mengoyak goa yang saya tuju. Setelah dia orgasme, jujur saja saya ingin cepat-cepat mengejar. Ingin cepat-cepat memulangkan belut milik saya ke dalam rumahnya yang gelap dan misterius itu. Belut saya sudah siap, tapi saya butuh ancang-ancang supaya Yoongi tidak terkejut. Pelan-pelan saya belai bokongnya. Ugh, begitu kenyal dan ketika ditangkup seketika membuat saya ingin menamparnya keras-keras. Tapi tidak, itu nanti saja. Sekarang saya hanya harus menemukan goa yang saya cari.
"AH! JIM!"
Yoongi mengeratkan kalungan tangannya di leher saya ketika lubangnya dimasuki satu jari. Ini baru satu jari. Saya yakin Yoongi tak mengapa. Habis lubangnya saya putari dengan telunjuk, saya lanjut memasukkan jari tengah, lalu saya lakukan gerakan gunting. Yoongi melenguh pendek-pendek seirama gerak gunting yang menutup-terbuka dengan cepat.
"Yoongi, apa tiga oke?"
"Uhhh, apahh?" Dia tak begitu mendengar apa yang saya katakan.
Sudahlah, tusuk saja, Park Jimin.
"AWHH!"
Saya menyodok lubang itu dengan tiga jari lurus. Yoongi terlihat agak kesakitan tapi saya tak bisa berhenti sampai di sini. Saya teruskan sodokan tiga jari itu sampai Yoongi memekik dengan suara lengking lagi seperti tadi. Setelah dirasa cukup, giliran belut yang sesungguhnya datang ke goa. Penis saya sudah begitu tegang dan ada sensasi sakit ketika dipegang. Saya butuh Yoongi.
"Jiminn..."
"Yoongi, aku masuk, ya?"
Mata Yoongi yang semula terbuka, kembali tertutup rapat ketika saya mengarahkan kepala penis saya ke lubangnya. Lubang itu masih terbuka habis disodok jari, jadi saya mesti segera masuk ke dalamnya sebelum dia menyempit lagi.
"AHH!"
Saya menghentak satu kali dan Yoongi terjengit. Dia menjerit. Punggung saya jadi korban cakarannya yang kuat.
"Ahh! Ahngggh! Jim—ahhh!"
"Sakitkah?"
Belut saya sudah benar-benar masuk ke goa. Saya membenamkannya sembari lebih merapat dan mengangkat bokong Yoongi sedikit lebih tinggi. Saya lihat dia masih mengerutkan dahi. Dengan tangan yang membelai rambut, saya berusaha menenangkannya.
"Hhh..."
Mata Yoongi berkedip tapi tak benar-benar tertutup atau terbuka. Dia seperti berada di tengah-tengah antara sakit atau nikmat. Habis dia menyunggingkan sedikit senyum, saya tahu bahwa pilihan saya untuk menyentak tak benar-benar buruk baginya. Tapi saya merasa mesti bertanya sekali lagi untuk memastikan.
"Yoongi, sakitkah?"
"Uuh...," matanya terbuka lebih lebar. Dia mencari saya untuk dipeluk erat, "ini ... kali pertamakuuh. Aku sungguh belum terbiasa. Jadi tolong ... perlakukan aku dengan lembut, ya, hmm?"
"Oke. Apapun yang kau inginkan, Sayang."
Saya mencium bibirnya, mengajaknya kembali berbelit lidah supaya fokus Yoongi teralihkan. Sementara di bawah sana, pinggul saya mulai bergerak untuk memberi dorongan-dorongan kecil supaya belut saya bisa dimanja dalam goanya. Rasanya sempit, tapi betul-betul hangat. Dindingnya melonggar tapi juga menjepit ketat. Seperti dipijat tapi lebih nikmat.
Mungkin karena sudah naluri, hentakan-hentakan kecil itu menjadi lebih besar dalam waktu singkat. Saya menjadi tak sabaran. Saya melepaskan ciuman karena saya pikir Yoongi tak lagi perlu beradaptasi dengan penyatuan ini. Saya mau melihat wajah erotisnya. Rambutnya yang lepek dan berantakan, juga keringat di kulitnya yang lembab membuat air liur saya mengencer. Saya menghentak-hentakkan pinggul sampai bunyi becek terdengar keras. Yoongi tak berdaya, hanya bisa terengah-engah, mengerang, menggelinjang, dan menyebut nama saya berkali-kali seperti rapalan mantra. Kedua tangan Yoongi saya tahan di atas kepalanya supaya dia masih tetap sadar bersama saya. Benar saja, pandangan mata yang remang itu langsung tertuju pada saya. Buru-buru saya gigit lengan dalamnya yang tebal. Yoongi memekik sakit tapi saya tak peduli.
"Jimin, akuhhh ... aku mauhh—"
Yoongi kejang. Cairan hangat mengalir dari kemaluannya Itu terasa basah di perut. Saya tidak bisa menahan dia yang klimaks duluan. Jadi tujuan saya sekarang hanya satu, yaitu mengejar ketertinggalan.
Dan saya pun dengan penuh semangat menghentak goanya lagi…
"Ahhh!"
Saya melepaskan klimaks orgasme di dalam lubang itu. Lelah tapi lega rasanya. Ingin berebah, tapi sayang. Jadilah saya bertahan dalam posisi itu sembari mengecupi lutut Yoongi yang sudah tertekuk lama. Saya lirik Yoongi yang tak bersuara. Dia hanya bernapas saja setelah menjerit tadi. Matanya terpejam tanda ia kelelahan. Tapi setelah diperhatikan lebih seksama ada senyum tipis yang tersungging di bibirnya.
"Jimin ... kau keluar banyak, ya? Rasanya penuh...," katanya, dengan lamban.
Saya tidak sadar seberapa banyak semen yang saya keluarkan barusan. Yang jelas lubangnya semakin licin saat disodok—lagi.
"Tunggu, Jimin, jangan dulu—aahh!"
Ups, saya bukan sengaja memulai ronde kedua, hanya ingin tahu saja soal yang tadi.
.
.
.
.
Setelah cuti selama tiga hari, saya kembali mengajar di hari Senin. Dan seperti yang sudah saya duga, pernikahan saya dan Yoongi akan menjadi topik panas di sekolah. Guru-guru menggoda, murid-murid sama adanya. Ada beberpa anak perempuan yang terang-terangan mengaku patah hari karena sekarang saya sudah resmi beristri. Maaf, saya tak ada keinginan untuk berpaling. Yoongi yang cuma satu-satunya itu jelas tak akan ada tandingannya.
"Ayy... pengantin baru, langsung pulang begitu saja padahal belum lama bel berbunyi. Kangen istri di rumah, ya?"
"Berisik, ah."
Di jam pulang sekolah, Kim-ssaem yang baru masuk ke ruang guru serta-merta berkata begitu saat melihat saya membereskan barang dan hendak pulang. Kalau tidak ada kewajiban, untuk apa pula berlama-lama di sekolah? Lebih baik pulang temani istri.
"Malam pertamanya belum cerita-cerita…"
"Buat apa juga saya cerita? Ish. Pingin tahu saja."
"Habisnya saya tidak mungkin tanya pada Min-ssaem, kan? Eh tapi, mungkin Seokjin bisa tanya."
"Jangan pengaruhi kekasih Anda untuk melakukan hal-hal seperti itu. Dasar guru mesum tukang menghasut."
"Iih, Park-ssaem sensi amat, sebel deh."
Saya bergidik waktu dia bertingkah sok imut. Tanpa mau basa-basi lagi saya lekas menenteng tas dan meninggalkan meja.
Kalian mau tahu kemana Yoongi?
Dia tak mengajar. Sehari sehabis acara pernikahan, dia mulai sakit. Saat itu demamnya tinggi dan dia tak bisa kemana-mana. Dokter bilang dia harus istirahat setidaknya tiga atau empat hari. Maka dari itu, mulai hari ini dan beberapa hari ke depan, saya akan terus pulang cepat demi dirinya. Kan kasihan kalau saya berlama-lama di sekolah sementara Yoongi sendirian di rumah. Dia butuh makan dan buaian. Sudah kewajiban saya untuk menjaga dan mengurusnya.
"Yah! Guru-guru sekalian, jangan dulu pulang, saya membawa oleh-oleh kiriman dari kakak saya untuk dibagi-bagikan!"
Seseorang masuk ke ruang guru dengan satu kardus besar yang dia bawa. Itu Jung-ssaem. Guru-guru lain menghampirinya karena ingin tahu apa oleh-olehnya. Saya lihat dia buru-buru merobek selotip kardusnya dengan cutter.
"Kakak saya mengirimkan paket oleh-oleh ini dari Jepang. Katanya banyak oleh-oleh yang berupa makanan," Jung-ssaem berujar, sembari mengeluarkan satu per satu bungkus makanan dari dalam kardus. Lalu dia melihat pada saya, "Park-ssaem, sini."
Saat para guru mengambil bungkusan pilihannya sendiri, saya dipanggil.
"Apa?"
"Ini, untuk Anda dan Min-ssaem. Oh, sekarang apa saya harus memanggilnya Park-ssaem juga ya? Tapi itu membingungkan."
"Hahaha! Ya sudah seperti biasa saja, apa susahnya." Dia membuat saya ingin tertawa. "Terima kasih ya, oleh-olehnya."
"Eh, mau langsung pulang?"
"Yep. Sampai jumpa besok!" Setelah menerima bungkusan itu saya melambaikan tangan untuk pamit.
Keluar dari ruang guru, saya perlu melewati koridor. Banyak anak murid yang sudah menggendong tasnya dan bersiap pulang seperti saya. Mereka membungkuk hormat ketika saya lewat. Saya turuni tangga, dan saya mendengar riuh dari banyak orang yang berkerumun. Saya baru sadar apa yang terjadi ketika saya telah benar-benar sampai di ujung tangga itu. Di tengah-tengah koridor lantai satu, seorang murid lelaki dengan sebuket mawar di tangannya tengah bersimpuh di hadapan Jin-ssaem.
"Jadilah pacar saya, Jin-ssaem."
"Soobin, kamu ini masih bocah, ngapain sih?"
"Aku diterima apa ditolak, ini, Seonsaengnim?"
"TERIMA! TERIMA! TERIMA!"
Anak-anak murid yang berkerumun itu bersorak. Jin-ssaem mengelus dahi. Dari kejauhan saya memerhatikan mereka sambil tertawa. Tak sangka, Jin-ssaem menyadari keberadaan saya.
"EH SAYANG KAMU MAU KEMANA?!" serunya sambil menunjuk ke arah saya.
Aduh! Gawat! Saya tak mau ketularan jadi pusat perhatian gara-gara ini! Dan apa tadi katanya? Sayang? Oh, Sayang? Mungkin itu sebentuk pengalihan dari murid yang tengah menyatakan cinta padanya itu, tapi kenapa saya merasa senang, ya?
Saya kabur. Sekali dua kali saya menengok ke belakang, untuk memastikan Jin-ssaem masih mengejar saya atau tidak. Syukurnya tidak, jadi saya bisa bernapas lega. Segera saya berjalan ke tempat parkir kendaraan untuk mengambil sepeda motor.
Karena kemampuan masak saya yang belum berkembang dengan baik, saya putuskan untuk membeli makanan di luar, kalau-kalau Yoongi lapar nanti. Jadi dari sekolah saya tak langsung meluncur ke rumah, melainkan mampir dulu ke restoran Cina untuk membeli tumisan sayur dan daging. Inginnya makanan cepat saji sih, tapi tak bisa, mengingat perut Yoongi mungkin tak akan bisa diajak kompromi saat ini.
Jalanan macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama. Saya tiba di rumah tepat sebelum matahari tenggelam. Sedikit lebih lambat dari waktu yang sudah saya perkirakan. Saat hendak masuk, saya heran karena pintunya tak terkunci. Seingat saya, saya menguncinya tadi pagi. Tapi bisa saja tidak, atau, ada maling?
Dengan was-was saya sisir ruang tamu, ruang tengah, dan lurus menuju ke dapur. Tapi sebelum sampai di ruang paling ujung itu saya mendengar denting bunyi alat makan dan suara-suara mencurigakan. Diam-diam saya ambil raket nyamuk di dinding untuk menyerang maling yang bisa saja masuk untuk mencuri sekaligus memakan makanan yang tersedia di kulkas. Saya mengendap-endap ... mengendap-endap...
"Kok sedikit sih, berapa gelas air yang kamu masukkan ke sini?"
"Dua."
"Kan sudah kubilang tiga setengah! Kalau dua nanti keras agar-agarnya!"
"Kan enak keras, Kook, daripada lembek, susah dipotongnya."
"Ya tapi nanti kalau jadinya keras seperti karet bagaimana?"
Saya terdiam di tempat saya berdiri. Ternyata di dapur saya tak ada maling, melainkan dua anak yang sedang berseteru tentang takaran air untuk agar-agar.
Masih tanya mereka siapa? Jelaslah si bocah Kim dan bocah Jeon!
"Eh! Park-ssaem sudah pulang!"
"Yaay!"
Mereka berseru girang menyambut kepulangan saya. Jungkook segera lari pada saya, lalu menarik lengan saya untuk ikut bersamanya ke meja dapur. Kompor menyala, semilir aroma buah dari agar-agar yang hampir mendidih tercium di hidung. Tadinya saya hendak marah, tapi tak jadi karena rasa-rasanya keberadaan mereka di rumah saya, dan meja yang berantakan ini seperti membawa saya berkhayal tentang masa depan di mana anak-anak saya sibuk main masak-masakan di dapur.
Tapi saya lupa sesuatu.
"Tunggu, kenapa kalian bisa ada di sini? Pintunya kan saya yang kunci dari luar tadi pagi."
"Min-ssaem yang bukakan," jawab Taehyung.
Saya merogoh saku celana. Ada dua kunci. Kunci motor dan kunci rumah. Ah, benar. Yoongi memegang kunci rumah yang asli, sementara saya pegang yang duplikatnya. Tidak aneh kalau ada yang bisa masuk meski bukan saya yang bukakan pintu.
"Pulang sekolah kami langsung kemari, berniat menjenguk Min-ssaem. Kami sudah bawakan jajanan tapi katanya Min-ssaem kepingin agar-agar jadi kami buatkan," tutur Jungkook. Saya hanya mengangguk paham.
"Ya sudah kalian selesaikan buat agar-agarnya. Saya mau masuk ke kamar."
"Wooow… Park-ssaem, masih sore, lho." Taehyung menyeringai dengan alis yang naik-turun genit. Saya geram.
"Ya memang kenapa kalau masih sore? Apa yang kamu pikirkan? Saya hanya mau masuk kamar untuk melihat gurumu, aduh!"
Saya tinggalkan mereka begitu saja tanpa mau bercakap lebih. Mau buat agar-agar, mau apa kek, terserah, saya tidak peduli. Saya hanya tidak ingin diganggu. Maka dari itu setelah melewati mulut kamar, saya segera menutup pintu rapat-rapat.
"Yoongi?"
Lampu tak menyala. Cahaya jingga dari jendela menerangi Yoongi yang terlelap di atas kasur. Dia tak terusik walau dipanggil. Ketika didekati dan diperhatikan wajahnya, tak ada raut sakit lagi seperti kemarin. Wajahnya lembut, tidurnya damai. Saya sentuh lehernya dengan punggung tangan, tak ada panas berarti. Dia mungkin sudah sembuh dan hanya butuh tidur banyak untuk pemulihan.
Syukurlah. Saya senang kalau dia cepat sembuh.
"Ini apa?"
Saya menemukan sebuah buku tulis di atas meja nakas. Saya ambil buku itu karena penasaran. Ada satu pena yang menyelip di antara halaman-halamannya. Saya buka bagian itu dan saya simpan penanya di genggaman. Ada kalimat-kalimat panjang yang ditulis tangan. Setelah melirik Yoongi sekilas—untuk memastikan apakah dia akan bangun atau tidak—saya memutuskan untuk membaca tulisan itu diam-diam.
.
.
.
4 September 20xx, 11.53 am
Surat untuk Jimin
.
Ada hal-hal yang ingin kutulis. Aku bisa saja mengatakannya langsung, tapi ... ya... ingin saja.
.
Jimin, kau menghitung tidak, sudah berapa lama kita kenal? Aku tidak. Hehe...
Coba kalau saja aku ingat tanggal berapa kita berkenalan, bagaimana cuaca hari itu, sepertinya romantis, ya?
Menurut Jimin, aku ini bagaimana? Apakah membosankan? Pemarah? Tidak sabaran? Aku sering menyesali sifatku yang buruk. Oke, itu memang cuma perasaanku. Tapi aku berusaha untuk terlihat baik pada orang-orang juga padamu. Karena kupikir, meski awalnya pura-pura, itu akan menjadi kebiasaan. Eng ... yang bagaimanapun juga, itu tetap aku, sih.
Ah, Jimin, aku melantur, ya. (—ㅅ—)
Intinya adalah, aku bersyukur kamu mau jatuh cinta padaku. Kamu menikahiku. Kamu mau menjalani hidup bersamaku. Baik-buruknya aku, tolong terima dan maaf bila menyusahkanmu.
Tapi Jimin, aku benar-benar ingin tahu apa yang kaupikirkan tentangku, tentang rumah tangga kita, tentang masa depan? Ah, yaa. Kita pasti akan membicarakan ini, tapi aku rasanya tak sabar saja menduga-duga begini.
.
Jimin, menurutmu, bagaimana tentang anak-anak?
Aku ingin punya bayi. Aku tahu aku tidak boleh pesimis, tapi kemungkinan buruk bisa saja terjadi, kan?
Aku menyukai anak-anak. Tapi aku punya ketakutan tentang ini. Sebenarnya begini, aku takut tak bisa mendidik anak. Aku takut memperlakukan anakkku seperti alat. Aku ingin mereka menjalani hidup dengan bebas dan bahagia, tapi tak mengecewakanku. Aku egois, ya?
Aku tak meragukanmu, Jimin. Aku yakin kamu akan menjadi ayah yang dihormati, penyayang.
Selama ini aku melihatmu sebagai orang yang sangat bisa diandalkan. Terima kasih, ya. ( ㅅ) 3 3
.
Sebenarnya aku malu sekali, akhirnya aku menikah. Semua orang menyelamatiku. Akuserasa menjadi putri yang khusus disorot dunia. Bahkan langit pun terlihat menyilaukan sekali, sehingga aku menunduk saja. Buat apa berlama-lama menatap langit, sementara di sisiku ada pangeran tampan yang senyumnya menyejukkan?
Kalau bersamamu, aku tidak akan takut apapun.
Aku seperti remaja labil, ya? (—ㅅ—)
Tapi aku sungguh-sungguh, Jimin. Aku berjanji akan selalu mendukungmu, aku akan merengkuhmu kalau kau lelah. Aku akan mejadi penyejuk kala kau gerah. Ehehehe... kadang Jimin suka marah-marah tidak jelas. Semoga kita bisa saling terbuka ya, sekarang.
.
Benar, Jimin. Rasanya baru kemarin kita berkenalan. Aku sudah mengenalmu, tapi masih ada hal yang tak kuketahui tentangmu. Tapi itu bukan masalah, kan? Karena kini, seumur hidupku akan selalu bersamamu. Kita akan saling memahami satu sama lain. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Satu yang takkan terpisahkan. Seperti tulang rusuk yang sempurna bersama tubuh inti.
.
Aaah... (ㅅ) aku malu mengatakan ini. Eh, ini tulisan, kan ya... Ahehe, bahkan menyampaikan lewat tulisan saja aku malu. (/ㅅ/)
.
Jimin, surat ini kamu sembunyikan saja di tempat yang tak bisa kutemukan, ya. Aku malu.
.
Aku tak tahu apa lagi yang harus kutulis, ya, ya, masih banyak hal yang ingin kuungkapkan. Hah... yasudahlah. Nanti kalau ingat, aku akan bicara langsung saja. Kamu juga, katakan saja apa-apa yang ada di pikiranmu, ya. Kalau tidak diucapkan, kadang tidak bisa dipahami, kan? Misal begini, aku bisa saja tidak tahu mau Jimin apa dan aku khawatir itu membuat kita salah paham. Begitu...
.
Eh, tapi mungkin lain kali aku akan menulis surat begini lagi. Ini lumayan romantis, kan? Hehehe.
.
Aku sayang Jimin.
.
.
.
"Enggh… lapar… Jimin kapan pulang ya…?"
Saya mendengar suara Yoongi. Buku itu saya taruh kembali di tempat semula. Saat melihat Yoongi, dia sedang menggeliat, mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Wajahnya terkubur di bantal. Saya tak berniat untuk memberitahu kalau saya sudah duduk di sampingnya sedari tadi. Saya sengaja diam sampai dia sadar sendiri.
Lama-lama Yoongi jadi gelisah. Dia berkali-kali mengubah posisi dan berguling-guling. Saya menahan kikik geli dalam kulum bibir. Dia seperti bingung mau menuruti perut yang lapar atau hasrat yang menyuruhnya untuk tetap di kasur.
Akhirnya saya mengalah, saya bisikkan sesuatu di telinganya, "Aku sudah pulang, Sayang…"
"Hah? Jimin?"
Yoongi mendadak bangun dan matanya terbelalak kaget. Tingkahnya sangat manis dan lucu. Saya jadi ingin tertawa. Dia mendudukkan diri di kasur, lalu saya tarik dia ke dalam pelukan.
"Aku juga sayang Yoongi," ucap saya.
"Kenapa kamu tiba-tiba berkata seperti itu?"
"Ingin saja. Omong-omong, kalau kau sudah sehat, aku mau melihatmu memakai kostum kucing yang dihadiahkan oleh Seulgi, ya."
"E-eh?"
"Kostum kucing yang ituu, kau juga lihat kan waktu kita buka kado bersama? Yang one piece, yang satu set dengan sarung tangan, telinga dan ekornya."
"T-tapi, kenapa?"
"Kupikir itu cocok untukmu."
Yoongi menunduk dengan bibir yang merengut lucu. Dia meremat-remat pakaian saya. Sepertinya dia ragu untuk menerima permintaan itu. Tapi setelah beberapa saat ditunggu, akhirnya dia menjawab, "Baiklah…"
"Nanti dalamnya tidak usah pakai apa-apa lagi ya."
"Tapi—"
"Kan? Baru saya bilang. Masih sore, Pak…"
"Aduh, aduh, Park-ssaem…"
Dua anak murid saya berdiri di depan kamar dan mereka telah membuka pintu tanpa permisi. Sudah begitu mereka mendengar percakapan kotor kami barusan. Ah! Selalu saja. Selaluu saja! Bahkan setelah menikah pun, kehidupan saya rasanya tak akan pernah tentram!
Apa yang harus saya lakukaaan?
.
.
.
.
.
END
(beneran!)
.
.
Terima kasih banyak buat semua yang udah baca dan setia ngikutin WOPSM dari awal sampe sini. Makasiiihhhh banyak! Makasih buat vote dan komentarnya juga. Saya seneng lho baca-bacain komen kalian wkwk. Maafkan kalo suka nggak bisa bales satu-satu. Tapi tetep saya baca dan nikmati kok.
Maapin ensinya nggak hot wkwk saya bingung mau ngapain ini bapak satu kalo lagi esek-esek sama istrinya. Karakternya kikuk begitu sih jadi yaaa, seadanya aja gituannya juga hehe. Maapin juga kalau bagian ini baru dipublish setelah sekian lama. Saya baru ada kesempatan buat nulis. Maklum, peqerja… sibuk di kantor, giliran ga sibuk disibuk-sibukin hehe.
Seperti yang pernah saya bilang waktu itu, WOPSM bakal ada fanbooknya. Tapi nggak dalam waktu dekat ini karena saya juga harus bikin persiapan, ketambahan sama project lain yang mesti dikebut juga. Jadi tunggu saja tanggal mainnya ya.
Sampai jumpa di cerita lain! Babay!
Salam sayang dari Kuncen, muah!
.
Surat untuk Jimin ditulis oleh keikokukaien (wattpad)
(makasih banyak juga buat kamu yang udah nulis ini dan mau dipalakin buat dipublish hehehe)
