Chapter 1: The First Impression and Imitation

Rambut pirang Platinum yang tersisir rapi kebelakang dengan gel, memakai jubah terbaik dari lemari pakaiannya yang berwarna lebih teduh atau lebih gelap dari matanya yang kelabu, Draco Malfoy yang berusia lima tahun tampak terlihat seperti pureblood child yang menggemaskan dan sempurna. Pakaiannya melekat di satu padukan dengan baik, bahkan rambut yang terang itu menambah kesempurnaannya.

Sayang penampilannya yang bersih dan berkilauan itu tidak sesuai dengan kesedihan abu-abu yang menyedihkan di dalam dirinya.

"Tegaplah!" Perintah ayahnya tajam seperti pisau. Kepala anak laki-laki itu langsung terangkat, Punggungnya tegak.

Draco mengerling mengintip ke arah ayahnya yang berjalan menuju ruang tamu dan duduk di kursi favoritnya sambil membaca koran, Daily Prophet .

"Yes father." Draco bergumam, berusaha tidak merajuk.

Rupanya usahanya tidak cukup membuahkan hasil. Sebuah kerutan menutupi wajah cantik ibunya saat dia menatapnya. Alis cokelat gelap itu terangkat sedikit.

"Draco," Ibunya mengingatkan.

Draco terengah lesu dan menyilangkan lengannya, menatap lantai yang dipoles di bawah kakinya untuk menghindari tatapan menuntut orang tuanya. Refleksinya di lantai menatapnya, tampak cemberut, seolah-olah dia mengisap permen lemon asam.

Draco menduga jauh di lubuk hatinya, di sudut pikirannya yang terdalam dan paling gelap, dia bertingkah seperti seekor anak kuda yang selalu dicemohkan Blaise kepadanya. Dan Draco tidak bisa menahannya.

Draco membenci hari Minggu. Benci yang semacam kebencian khusus yang disediakannya untuk tugas yang diberikan tutor kepadanya dan keluarga Weasley. Dan untuk alasan yang bagus juga. Minggu adalah hari terpendek dalam seminggu. Dalam satu menit hari sudah pagi, dan dalam sekejap mata hari menjadi malam. Orang tuanya selalu sibuk. Dan - yang terburuk dari semuanya - sebuah acara khusus berlangsung setiap hari Minggu yang mana akan dia nikmati seperti seorang anak Muggle yang menikmati kunjungannya ke dokter gigi aneh.

Sunday Tea.

Dia tidak pernah bisa mengerti bagaimana orang tuanya bisa berdiri tegap menghadapi para tamu yang diundang lebih dari satu menit. Orang-orang itu jahat, mengukurnya dengan tatapan dingin mereka. Draco berharap lebih dari sekali agar dia bisa menanggapi mereka dengan tendangan ke pergelangan kaki, bukan senyum yang biasanya disisipkannya. Parahnya lagi para wanita bahkan tidak lebih baik. Draco beberapa kali kehilangan indra penciumannya karena parfum jahat para wanita yang mereka semprotkan ke badannya. Dan lagi dalam hitungan detik mereka merusak rambut kebanggaan Draco sehingga ia harus membawa para peri rumah beberapa menit sekali untuk menyempurnakannya kembali, mengusapkan jari keseluruh rambutnya. Dan semakin lama Draco merasa semakin sulit untuk tidak meludahi wajah mereka saat mereka mengapitnyanya seperti boneka porselen dan menarik pipinya gemas.

Tapi Sunday Tea Minggu ini berbeda. Pureblood lainnya tidak datang, yang akan datang hanya pureblood pendatang baru di lingkaran sosial orang tuanya meskipun pureblood ini adalah bagian dari keluarga yang telah ada selama berabad-abad, kaya akan kekayaan dan pengaruhnya.

Seorang pureblood pendatang dengan istri yang tidak biasa.

Istrinya bukan pureblood. Dia bahkan bukan orang kaya baru, yang pasti bisa diterima. Atau bahkan Half-blood. Itu bisa saja over-looked, meski hanya sedikit. Tidak, dia sebenarnya adalah penyihir kelahiran Muggle. Seorang darah lumpur.

Ketika Draco diberitahu berita ini saat sarapan pagi, dia hampir meludahkan jusnya.

Mudblood?Seorang Mudblood masuk ke rumah mereka? Yang lebih penting lagi, ayahnya sebenarnya akan mengizinkannya?

Dia berpaling ke ayahnya, membutuhkan penjelasan. Yang mana Ibunya telah memberikannya.

Lily Evans-Potter adalah seorang penyihir, tampaknya salah satu orang terbaik dibidang medis yang pernah dilihatnya selama bertahun-tahun, mendapat pengakuan besar atas pekerjaannya di London, bukan hanya di seluruh Eropa tapi hanya sampai di beberapa bagian di Amerika Utara. Dan dia adalah teman baik Snape.

Informasi pertama berhasil mengangkat alis Draco, tapi yang kedua? Mulutnya hampir terjatuh.

Snape? Ayah baptisnya, Severus Snape

"Aku bertemu Lily berkat Severus," kata Ibu. "Dia sudah sampai di rumahnya saat aku mampir untuk minum teh. Ternyata desas-desus tentang kecemerlangannya bukanlah rumor. Dia cukup mengesankan."

Draco berpaling ke ayahnya yang mengangkat bahu dengan mudah.

"Untuk kelahiran muggle, sepertinya Lily sangat jarang," sambil mengolesi mentega di roti panggangnya. "Kurasa Potter lah yang lebih buruk."

Potter. Potter. Draco samar-samar akrab dengan namanya. Ah! Sekarang dia ingat. Potter seperti James Potter, yang bertugas sebagai Auror untuk Kementerian. Jika dia mengingatnya dengan benar, dia adalah satu dari sedikit orang di Kementerian yang ayahnya tidak memanggap sebagai gangguan total.

Aneh, bukan alasan mengapa Draco merajuk. Itu karena satu orang tambahan yang akan dibawa oleh kedua Potter.

Anak mereka, Harry. Menurut Ibu, dia hampir mendekati usianya. Seorang anak yang "menakjubkan".

"Kupikir kalian berdua akan berteman dengan baik, Draco." ibunya tersenyum.

Suara mendengus muncul dari ayahnya saat dia melirik ke arah Draco, sebuah senyuman sinis tersungging dibibirnya. Itu menunjukkan bahwa, Draco sama sibuknya seperti ayahnya. Draco hafal dengan baik tugasnya untuk mengawasi anak-anak tamu mereka.

Draco tidaklah bodoh. Dia tahu ada motif di balik Sunday Tea. Bukan hanya untuk bercakap-cakap dengan mereka, Draco juga harus membangun lingkarannya sendiri. Untuk berteman.

Sayang sekali bagi orang tuanya, Draco menemukan setiap anak yang mendampingi tamunya adalah pengganggu.

Awalnya, dia tidak keberatan menjamu para tamu yang lebih muda. Sebenarnya dia menyukainya. Dipercaya untuk menangani anak-anak sementara orang tuanya menjamu para orang tua memberinya kebanggaan. Hal itu membuatnya merasa penting. Dewasa. Plus, itu berarti ia memiliki seseorang selain orang tuanya dan para elf rumah untuk diajak bicara. Seseorang yang seusianya untuk memamerkan mainan barunya, dan untuk dimainkan. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan itu berubah menjadi membosankan. Anak-anak yang dibawa tamu orang tuanya tidak menyenangkan lagi. Tidak ada yang bisa menahan perhatiannya lebih lama dari beberapa detik sebelum ia benar-benar bosan. Selain itu, mereka hanya mengganggu.

Tidak diragukan lagi Harry pasti sama seperti yang lainnya.

Api hijau meraung dari perapian. Tamu mereka akhirnya tiba. Draco menguatkan dirinya.

Tolong biarkan teh sore ini berlalu dengan cepat , Draco memohon pada Merlin. Please . Please.Pretty please..

Orang pertama yang bisa keluar dari Floo adalah seseorang dengan kaki panjang berbalut jeans, pria yang jangkung seperti Ayah, mengenakan pakaian Muggle meski terlihat sangat berkualitas sehingga Draco menerima pelanggarannya. Rambutnya sangat gelap, warna hitam yang dark, dan acak-acakan. Di balik kacamatanya, sepasang mata gelap bercahaya dengan sirat aneh saat dia memandang ke arah keluarganya. Berbeda dengan pria-pria lain yang pernah datang kerumahnya, pria itu melambaikan tangannya dengan tatapan yang nyaris tidak Draco mengerti, pria itu berlutut dan tersenyum padanya. Senyuman bersahabat yang tulus.

Senyuman yang langka , pikir Draco sambil memperhatikan pria itu. Jadi ini James Potter. Sepertinya dia tidak terlalu buruk. Meski bajunya bisa lebih baik, sepertinya dia baik-baik saja.

"Oh my, orang tuamu pasti mengajarimu untuk menahan diri, mereka mengatakan bahwa kau adalah anak laki-laki yang imut, bukan pemuda yang tegap," James mengerling melewati bahunya untuk tersenyum kepada orang tuanya. "Aku akan mengawasinya dengan baik jika aku adalah kau, Narcissa, aku bisa melihat lelucon nakal pada pandangan bocah ini yang bahkan bisa tumbuh menjadi heart-breaker."

Ibunya memutar matanya, sebuah senyuman kecil berkedut di bibirnya. Ayahnya tampak geli.

James mengedipkan mata pada Draco, seolah mereka memiliki rahasia. Sebelum Draco bisa bereaksi, Floo kembali meraung.

Seorang wanita muncul dari api yang masuk ke ruangan dengan keanggunannya sehingga membuat Draco tertegun, sempat berpikir bahwa dia keturunan pureblood. Dia sudah pasti memiliki tampang pureblood. Meskipun dia tidak setegak ibunya, ada sesuatu yang mencolok tentang dirinya. Sesuatu yang menarik perhatian. Rambut merah bergelombang jatuh di bahunya dan sepasang mata hijau yang paling mencolok tersenyum saat ia menunduk menatapnya.

Dan dia tidak sendiri.

Melekat di tangannya, memeganginya seolah-olah wanita itu adalah garis hidupnya, yaitu seorang anak laki-laki bertubuh kecil. Dia persis seperti versi miniatur James. Dia adalah kebalikan Draco dalam hampir segala hal. Rambutnya gelap dan liar yang berlawanan dengan rambut pirang putih Draco. Mata hijau yang menusuk di balik kacamata berbingkai bulat besar itu melawan abu-abu merkuri Draco. Kemeja merah dan hitam dan celana jeans sangat jauh dibanding jubah Draco.

Draco tidak tahu seberapa dekat dia memperhatikani anak itu sampai sentuhan tangan ibunya di bahunya menyadarkannya kembali.

Ibunya tersenyum pada wanita itu. "Halo Lily."

"Narcissa," Healer wanita yang terkenal itu -teman Severus-tersenyum. "Senang bertemu denganmu lagi."

"Aku juga," Ibu tersenyum pada anak laki-laki yang terlalu takut untuk menatap matanya. "Halo Harry."

"Halo Mrs. Malfoy."

"Nah, Harry, jangan memanggilku seperti itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, panggil Aunt Narcissa atau Cissa."

Hal itu tentu mengejutkan. Biasanya butuh waktu setahun untuk tamu yang datang sebelum mereka bisa memanggil nama depan Ibu.

"Ini anakku, Draco," kata Ibu. "Kalian berdua bisa bermain bersama hari ini."

Harry tampak seperti baik-baik saja di mana dia berada, dekat sisi ibunya, menunduk menatap lantai. Ibunya tidak setuju. Dengan senyum lembut, dia melepaskan tangannya dan menyenggolnya ke depan.

"Tidak apa-apa, Harry. Jangan malu."

Harry akhirnya mendongak. Draco, yang pada saat ini sudah siap untuk berpura-pura bahwa dia sakit untuk menghindari pertemuan ini, menarik napas tajam.

Karena begitu dekat dengannya, Draco melihat betapa menakjubkan mata itu. Besar, cerah, dan sangat hijau. Seperti dua buah emerald dengan cahaya tertentu di dalamnya sehingga membuatnya bingung dan menggelitiknya. Meskipun ibu anak laki-laki itu memiliki warna mata yang sama, Harry hanya tampak ... lebih untuk Draco. Lebih besar, lebih cerah, lebih cantik.

Melihat ke mata itu, Draco merasakan sesuatu meluncur di dalam dirinya saat mata hijau hijau itu menatapnya. Sesuatu yang aneh yang bergerak seperti ular, memicu kehangatan aneh yang melingkar di perutnya. Ia hampir menggigil.

Ibunya sekali lagi menyadarkannya kembali saat dia dengan lembut menyenggolnya lebih dekat. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia akan mengulurkan tangan, Harry akan menerimanya, dan kemudian mereka akan pergi ke kamarnya atau ruang bermain sementara orang-orang dewasa tinggal di sini. Mengetahui isyaratnya, Draco mengulurkan tangannya dan menunggu dengan sabar untuk Harry. Tapi anak itu entah tidak tahu isyratnya atau tidak peduli dengan tangannya, membuat Draco tidak menahan apa pun kecuali udara yang menyelimuti jari-jarinya.Harry tidak menerima tangannya.

Namun, Harry mengikuti Draco saat dia mengantarkan mereka ke lantai atas ke arah sayap bagian kamarnya. Harry tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi matanya berkata cukup saat melihat ke atas rumah, melihat-lihat lukisan, patung, lampu gantung, dan potret Malfoy dan Black masa lalu yang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Mata emerald hijau cerah itu melebar seperti piring saat mereka memasuki kamarnya. Draco tersenyum, senang.

Kamarnya tentu sangat mengesankan jika dia memang bilang begitu sendiri. Ukuran dua kamar tidur utama digabung menjadi satu, itu besar dan sangat lebar, dilukis dengan nuansa biru dan perak ringan. Sinar matahari mengalir dari jendela yang lebar dan terbuka. Tempat tidurnya, sebuah kanopi poster King-size, didorong ke dinding dengan tirai bergoyang sedikit karena angin sepoi-sepoi yang menerobos masuk ke ruangan. Tepat di seberang perapian. Bangku mainan besar dipasang di sekitar ruangan, dengan yang terbesar berisi yang terbaik dari harta karunnya tepat di depan tempat tidurnya.

Dia mengharapkan anak laki-laki berambut hitam itu segera bergegas ke peti mainannya untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Hampir setiap anak yang datang ke kamarnya telah melakukan itu, bertindak seolah-olah merekalah pemilik kamar itu. Dia ingat suatu waktu ada beberapa gadis dengan rambut pirang stroberi merobek-robek peti mainannya, pergi dari satu ke yang lain, mengabaikan tatapan Draco dan jeritan agar dia berhenti, melemparkan mainan ke samping untuk mencari boneka. Dia beruntung karena dia belum mulai belajar sihir, jika tidak, tidak akan ada yang tersisa darinya selain potongan rambut pirang dan mimpi buruk merah muda yang membaur dengan ibunya.

Yang mengejutkan, Harry tidak melakukan itu.

Draco berbalik untuk menatap mata hijau emerald yang menatapnya kembali, menunggu. Untuk apa, dia tidak tahu. Bingung, dia menganggukkan kepalanya sekali. Harry mengambil itu sebagai izin untuk pergi ke karpet Persia putih dan bermain dengan kereta api yang dibuang dan dilemparkan Draco tadi malam.

Saat Harry bermain, Draco bersandar di pagar tempat tidurnya dan melihat teman barunya.

Dia pasti tidak seperti anak-anak lain. Dia jauh lebih tenang, lebih pendiam. Meskipun dia lebih kecil dari Draco, ada perasaan cerdas yang berkilau di mata hijau yang berbicara dengan kedewasaan, yang membuat Draco merasa rendah diri. Namun, tidak dengan cara yang buruk. Ada juga rasa malu di sana, yang mengaduk sesuatu di dalam dirinya, membuatnya ingin menarik anak itu keluar dari cangkangnya.

Dia memutuskan untuk melakukan hal itu.

"Keretanya biasa saja, tidak ada apa-apa dibandingkan mainanku yang lain," kepala Harry mendongak dari kereta ke arahnya. "Ingin melihat?"

Harry tidak langsung menerima tawaran itu, tidak segera. Harry memperbaiki kacamatanya dengan tatapan aneh melihat benda yang dia pegang di lantai bawah. Seolah-olah dia sedang diuji. Setelah berkenalan dengannya selama beberapa menit, Draco bisa melihat bahwa temannya adalah orang yang bersikap hati-hati. Hal itu membuatnya bertanya-tanya bagaimana bedanya dengan anak-anak lain dari lingkungannya. Dia tampak seperti tipe yang menyelinap ke sudut yang sunyi untuk menyendiri dengan bukunya sementara anak-anak yang lain bermain.

Itu berarti dia sangat hati-hati.Draco memutuskan bahwa itu bukan hal yang buruk. Itu tentu berbeda. Kemudian Draco mulai melihat Harry adalah anak laki-laki yang berbeda. Draco tersenyum kecil pada bocah itu dan memberi isyarat kepadanya untuk maju. Harry menatapnya beberapa saat sebelum memenuhinya, mengangkat dirinya dari lantai dan berjalan menghampirinya.

Draco menempelkan ibu jarinya ke moonstonenya , menjelaskan bahwa mainan itu ajaib dan hanya bisa dibuka dengan tanda tangannya, yang merupakan cetakan jempolnya. Begitu ibu jarinya dipindai dan diterima, kuncinya hilang dan terbuka. Draco dengan penuh semangat memamerkan apa yang dipegang. Kereta dan sosok yang menjadi hidup dengan sentuhan tangannya, terbang di atas kepala mereka dan berjalan mengelilingi ruangan. Yaitu tokoh miniatur sekecil pinky . Sapu mainan yang didapat dari ayahnya selama bertahun-tahun, masing-masing berada di puncak dan melaju dengan cepat, meski tidak ada lebih luar biasa dari benda aslinya.

"Ibu ingin menunggu sampai aku lebih tua untuk mendapatkan sapu sungguhan," Draco menggerutu, menenangkan bocah disampingnya. Ayahnya memberinya sapu itu pada Natal tahun lalu, "Kemungkinan besar sampai aku mendapatkan suratku untuk Hogwarts."

Harry menggelengkan kepalanya, bibirnya berubah menjadi sedikit kerutan. Draco menganggap itu sebagai tanda bahwa dia setuju dengannya. Dia senang melihat dia bukan satu-satunya yang menolak kesenangan mengendarai sapu sebenarnya.

Dia menyimpan mainan terbaik untuk yang terakhir. Hadiah yang baru-baru ini didapat dari ibunya untuknya dari kunjungannya di Rumania: seekor ular perak dan hijau sepanjang lima kaki yang terbuat dari kaca halus dan paling tidak bisa dihancurkan.

"Itu favoritku."

"Bagaimana bisa?" Harry bertanya, penasaran. Ada dua kata pertama yang dikatakan anak laki-laki itu sejak mereka bersama. Draco merasa senang bisa mewujudkannya.

"Perhatikan," Harry menatapnya penuh tanya, Draco tersenyum dan meletakkan ular itu ke tanah, menyuruh Harry berdiri di sampingnya. Ketika mereka telah memberikan sedikit ruang di antara mereka dan mainannya, dia melihat ke arah si ular, menggulingkan lidahnya di atas mulutnya. Draco ingat apa yang Ibunya katakan kepadanya, bagaimana seseorang harus menggunakan nuansa dan perintah untuk melepaskan kekuatan di dalam diri mereka. " Perubahan. "

Untuk sesaat tidak ada yang terjadi. Ular itu masih menjadi sebuah patung. Harry melihat mainan itu, lalu ke Draco. Draco mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang dia lakukan salah.

Kemudian kedua anak laki-laki itu sadar akan getaran yang berdenyut di kaki mereka. Mereka melihat ke atas. Permata yang bertatahkan pada tubuh ular mulai bergeser, mengatur diri mereka ke tempat-tempat tertentu ke sana-sini, sementara tubuh masih bergerak, memutar dan melengkung, sampai batu terakhir dipasang. Setelah selesai, ular itu berpindah dari sebuah karya seni ke makhluk yang sebenarnya.

"Wow," kata Harry dengan napas tersengal, matanya lebar. Senyuman melengkungkan di bibir merah muda itu saat ular itu mulai bergerak. "Keren."

Dia tidak hanya mendapat kata-kata dari bocah itu, tapi juga pujian. Dan tersenyum. Kebanggaan Draco tumbuh saat melihat senyuman itu, yang mengubah wajah Harry menjadi -berani mengatakannya-cantik. Dia balas tersenyum, senang. "Ibu tidak akan membiarkanku memiliki hewan peliharaan Dia pikir mereka terlalu berantakan, dan dia khawatir tentang perabotan Jadi, ini dia buat untukku .. Namanya Slyther .. Dengan suaraku, dia bisa berubah menjadi seekor ular yang sebenarnya dan tetap seperti itu untuk waktu yang kuinginkan. "

Ular itu berkedip beberapa kali, seolah-olah butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi barunya, sebelum melihat ke arah dua penontonnya. Lidahnya mengintip dari bibirnya yang tertutup rapat, diikuti desisan tajam yang memperingatkan adanya masalah jika dia terganggu.

Penasaran, Harry berlutut di depan ular itu dan mengulurkan tangannya. Mata makhluk itu menyipit, pergi dari wajah anak itu ke tangannya. Hewan peliharaannya pasti melihat sesuatu di mata Harry, sesuatu yang baik, karena, tidak seperti saat-saat sebelumnya ketika orang-orang memberi isyarat pada ular dan digigit, dia mendatangi Harry dan mengusap lidahnya di atas kulitnya. Harry terkikik dan menunggu beberapa saat, membelai kepala ular itu. Sebagai tanggapan, ular itu memejamkan mata saat dia mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi untuk meraih tangan anak itu, ia tampak puas. Jika Slyther adalah kucing, Draco membayangkan dia akan mendengkur saat ini.

Aku suka yang ini, tuan , kata Slyther pada Draco, nada datarnya sangat menyenangkan. Tangan yang baik

Seperti Paman Severus, Slyther tidak mudah untuk menyenangkan bila menyangkut orang. Sebelum Harry, satu-satunya orang yang diizinkan menyentuhnya tanpa rasa takut akan gigitan adalah Draco. Namun dalam hitungan detik dengan kesabaran yang mantap, Harry praktis menyuruh Slyther makan dari tangannya.

Dia punya tangan yang bagus, Draco setuju. Mereka berdua adalah pasangan yang baik sejauh ini. Mereka pucat, hampir pucat seperti marmer. Dan tampak lembut. Mata Draco menatap wajah Harry. Dia juga memiliki mata yang bagus. Dan senyum yang bagus. Dan tawa. Draco menyukai tawanya. Dia ingin mendengarnya lebih banyak. Draco tak ingin berpisah dari tawa itu.

Mengikuti Slyther, Draco meraih tangan dan lututnya. Draco mencuri perhatian Harry, dia mencemberutkan bibirnya, menekuk lidahnya, dan membiarkannya mendesis. Suara yang keluar sama sekali tidak terdengar seperti Slyther. Kedengarannya seperti ular, meski tidak kuat. Kedengarannya menyedihkan; Lebih menyedihkan Tapi sepertinya usahanya sama sekali tidak sia-sia.

Itu mendapat reaksi yang dia inginkan.

Harry tertawa. Dia benar-benar tertawa. Ia ingin lebih lama lagi bersamanya, selain dia dengan Slyther. Matanya bersinar seperti hiasan emerald yang indah saat mata itu menatapnya, menyebabkan senyuman menyebar di wajah Draco saat kehangatan meringkuk di perutnya. Harry memutuskan untuk ikut bersenang-senang, berlutut dan berlutut, mendesis ke Draco. Desisnya tidak lebih baik dari Draco. Meski begitu, hal itu menyebabkan mereka tertawa bersama.

Tidak ada yang mundur dari sebuah tantangan, Draco mendesis mendesis kembali. Harry mendesis sebagai balasannya. Tidak lama kemudian keduanya mendapati diri mereka terlibat dalam pertempuran mendesis, melihat siapa yang paling nyaring meskipun mereka berdua terdengar mengerikan, saling tertawa dengan wajah dan suara konyol mereka.

Draco tidak ingat pernah bersenang-senang dengan anak-anak lain seperti ini. Lagi pula, anak-anak lain tidak seperti Harry. Tidak ada yang tenang seperti Harry , Dan seriusnya. Tidak ada yang mendekati kekonyolannya. Draco telah menduga ada sesuatu yang terkubur jauh di dalam kediaman-nya yang tertutup, dan dia merasa lega bahwa di balik keseriusannya masih ada humor. Draco terlihat sangat konyol, sangat aneh dengan cara yang lucu, dengan lidahnya menonjol sepanjang bibir yang Draco sisihkan untuk mendekat dan melihat Harry lebih jelas. Lalu mendekat dan mendekat. Dia tidak menyadari seberapa dekat sampai lidahnya menyentuh lidah Harry, bibirnya menutupi bibir Harry.

Tubuh Harry terdiam. Tawa terhenti tiba-tiba.

Uh oh.Ketakutan mulai menusuk perut Draco saat ia perlahan mundur, takut pada apa yang mungkin dilakukan atau yang akan Harry lakukan.

Keduanya menatap satu sama lain untuk beberapa saat yang terasa hampir selamanya, saling menunggu satu sama lain, melihat siapa yang akan melakukan langkah pertama, sampai akhirnya dipecahkan oleh tawa. Harry yang memulainya; Bibirnya yang masih mendidih bergetar sedikit sampai senyum mulai tumbuh, menyebar di wajahnya. Senyuman itu kemudian berubah menjadi cekikikan. Harry terkikik cekikikan, terjatuh ke punggungnya, tawa meledak darinya. Draco mendapati dirinya mengikuti Harry, bibirnya bergetar tak terkendali, cekikikan memanjat tenggorokannya, sampai akhirnya mereka tertawa terbahak-bahak.

"aku pikir kita melakukan salam penghormatan ular." Harry tertawa cekikikan, kata-katanya menyadarkan tawa mereka yang sudah keras menjadi volume yang lebih tinggi.

"konyol." Draco berhasil mengatakannya di antara cekikikan.

Harry tertawa lebih keras, yang membuat Draco tertawa dua kali lebih keras. Sampai beberapa saat kemudian kedua bocah itu akhirnya bisa mengendalikan diri dan menahan napas.

"Kau sangat aneh." Draco menyatakan.

"Kau juga aneh." Harry berargumentasi, mengingatkannya dengan tatapan runcing yang mana yang membuatnya 'salut'

Draco membuka mulut untuk memprotes, lalu berhenti sejenak, memikirkannya kembali. Kalau dipikir apa kata anak laki-laki itu ada benarnya. "Baik, kita berdua aneh."

"Dan omong kosong konyol."

"Itu juga, tapi kau yang pertama," Harry terkikik. "konyol."

Sedikit kejahatan yang menyentuh senyumannya, menunjukkan lapisan lain di bawah permukaan yang memuakkan. Seorang anak nakal yang menggelitik Draco sama seperti sisi konyolnya. "aneh." Desisnya.

"konyol." Draco mengulangi dengan desisan, menjentikkan lidahnya. Anak laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Butuh waktu lebih lama bagi mereka untuk menarik napas. Setiap kali salah satu dari mereka mencoba mengendalikan diri untuk mengendalikan tawanya, yang dibutuhkan hanyalah menatap sekilas ke wajah satu sama lain dan mereka kehilangan kendalinya lagi, tertawa dua kali lebih keras.

Sepuluh menit kemudian, perutnya terasa sakit karena begitu banyak tawa, anak-anak itu terbaring di lantai. Draco menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dalam desahan. Dia menatap Harry. Matanya terpejam, wajahnya memerah, dan senyumnya yang lesu membalikkan bibirnya.

Dia menyukai anak laki-laki yang aneh dan pendiam ini. Dia sangat menyukainya. Dia menyukai rambut hitamnya yang liar yang mengingatkannya pada seekor surai singa. Matanya yang tidak biasa adalah warna hijau paling dalam dan paling terang yang pernah dia lihat. Senyumnya, tawanya, kehadirannya yang tenang dan kekonyolannya. Dia menyukai segala sesuatu tentang dia.

Harry . Draco tersenyum. Dia menyukai suara itu. Harry-nya. bocah laki-laki miliknya.

Sambil berpaling ke sampingnya, dia mengumumkan "Kau adalah sahabat terbaikku."

Harry menegang, tubuhnya benar-benar diam. Dia mengintip ke atas Draco, kejutan bersinar di matanya bersamaan dengan rasa takut.

Itu bukan reaksi yang diharapkan Draco. Dia seharusnya tidak takut. Senyuman Draco mereda. "Apa yang salah?"

Harry mendongak, lalu pergi. Tindakan itu membuat Draco mendekatinya.

"Katakan padaku, ada apa?"

Menggigit bibirnya, Harry bergumam "Aku tidak pernah punya teman baik sebelumnya. Atau teman yang sebenarnya."

Pengakuan itu mengejutkan Draco. "Kenapa tidak?"

Dia mengangkat bahu. Dia meletakkan kepalanya di tangannya saat dia berguling ke sisinya, menghadap Draco. "Anak-anak di sekolah tidak menyukaiku, mereka mengira aku adalah orang aneh."

Orang aneh?Kata itu menggetarkan dan membuatnya panas, kemarahan berkobar di dalam diri Draco yang menggelegak seperti ramuan yang siap meledak. Hinaan itu menyengat seolah-olah ditujukan padanya.

"Orang aneh?" Ulangnya. Harry mengangguk. "Mengapa mereka berpikir begitu?"

"Sepupuku Dudley, Dia tidak menyukaiku. Dia mengatakan kepada semua orang di sekolah bahwa saku adalah orang aneh. Mereka semua percaya padanya .. Beberapa menjauhiku, dan yang lain membantunya mengejekku."

Draco tiba-tiba terpukul dengan dorongan besar untuk menemukan Dudley dan kelompoknya dan mengirisnya menjadi beberapa bagian seperti yang dia lihat ketika uncle Severus melakukannya pada beberapa tikus yang dia butuhkan untuk ramuannya. "Muggle?"

Harry mengerutkan kening bingung.

"Orang yang tidak seperti kita, orang yang tidak bisa melakukan sihir."

Dia mengangguk.

Tentu saja.

"Mereka idiot."

perkataanya mendapat senyuman dari Harry.

"Aku juga tidak pernah memiliki teman baik, aku tidak menyukai anak-anak lain, mereka tidak semenyenangkan sepertimu."

Senyumnya melebar.

"Lagi pula kau harus menganggapnya sebagai hak istimewa," kata Draco pada Harry. "aku tidak berteman dengan siapa saja."

Kata-katanya sama seperti yang dia harapkan- membuat Harry tertawa.

"Kau sangat bodoh." Harry berkata di antara cekikikan.

"Tidak, tidak, tidak Harry, kupikir kita sudah setuju bahwa kaulah yang pertama."

"Aneh

"Konyol."

Mereka kembali tertawa cekikikan.

Ini akan menjadi awal persahabatan yang indah.