Six Adversary
author : norenship23
.
Cast : Renjun || Jeno || Mark || Jaemin || Haechan || Jungwoo || Yukhei
Lenght : Chaptered
Genre : Romance, School life, Friendship, AU
Rate : T
Desclaimer : Cast milik tuhan, agensi, dan orang tua masing-masing. Sedangkan komposisi cerita milik saya.
Warning : BxB, BoysLove, alur cepat, typo's
Big thanks to : tryss, natns88, crybaby0331, KM-FARA, CherryBomb127, It's YuanRenKai, Fuxk'inSwagirl, YoonCha, kookies, kyungie love, Park RinHyun-Uchiha, marklis247, Cheon yi, Byunki, dan tengkyu yang sudah mampir, kasih favs, dan follow
.
.
Jeno menciumnya.
Renjun terpaku dan membeku. Tubuhnya terlalu terkejut karena tindakan tiba-tiba Jeno yang berhasil membuat seluruh pikirannya mendadak kosong. Kedua matanya bahkan tak mampu berkedip saking kagetnya. Jantungnya berpacu gila seperti hendak melompat dan mendobrak tulang rusuknya. Tubuhnya seketika melemas bagai tersengat ribuan volt listrik yang membuatnya tak bedaya.
Tidak jauh berbeda dengan Renjun, Jeno juga merasakan hal serupa. Jantungnya memaksa untuk memompa lebih cepat. Segala penat dan fikiran yang menumpuk di otaknya bagai hilang larut dalam ciuman. Ia merasakan sensasi manis aneh yang menenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir tipis milik Renjun. Matanya sontak memejam. Kedua tangannya bergerak menangkup pipi Renjun, menariknya semakin dekat dan membawanya lebih dalam.
Ini gila!
Setelah cukup lama mematung dan tidak berkutik, akhirnya Renjun didera kesadaran. Kenyataan tentang hubungan mereka yang berlabel musuh dan juga pertengkaran mereka yang baru saja terlewati merasuki pikirannya, mengambil alih ketidakwarasan yang sempat hinggap akibat ciuman mendadak itu.
Dalam hati ia mengumpat, menyumpahi dirinya sendiri yang dengan anehnya hanya diam tanpa melakukan perlawanan akan sikap Jeno yang tidak terduga. Ini salah! Sebelum semuanya terlambat, Renjun segera memberontak guna melepaskan ciuman dari Jeno. Kedua tangan kecilnya berusaha sebisa mungkin mendorong dada bidang Jeno supaya menjauh, namun usahanya gagal karena kekuatan Jeno lebih besar dibandingkan energi yang dimilikinya. Bukannya terbebas, Renjun kini semakin terkunci akibat Jeno yang semakin merapatkan tubuhnya ke dinding, menabur bubuk ketakutan di benak Renjun.
Sebisa mungkin Renjun mengunci mulutnya rapat-rapat, tidak memberi kesempatan Jeno yang bisa saja mengambil kesempatan lebih. Telapak tangannya telah dingin dan berkeringat, menandakan kalau ia dilanda ketakutan luar biasa.
Ini tidak benar! Sepenuhnya salah!
Dengan ketakutan dan amarah yang berpadu, Renjun kembali memupuk kekuatan dalam dirinya untuk mendorong Jeno menjauh. Kedua tangannya kembali berusaha mendorong Jeno dengan lebih kuat. Kakinya ikut memberontak dengan cara menginjak kaki Jeno sekuat mungkin. Dan berhasil. Jeno seketika melepaskan ciumannya dan mundur beberapa langkah sembari merintih karena kakinya baru saja diinjak dengan begitu keras.
"Kau menginjak kakiku, si..." ucapannya terpotong saat ia mendongak dan menangkap wajah Renjun yang terlihat sangat terluka. Mata hazelnya mengisyaratkan kekecewaan begitu jelas.
Tidak mau membuang waktu lebih banyak dengan sang tersangka, Renjun segera beranjak keluar dari ruang musik. Langkahnya sedikit gemetar dan matanya sedikit bunar karena air yang menggenang di pelupuk matanya. Jeno mengamati punggung sempit Renjun yang kini mulai menghilang setelah pintu ruang musik kembali tertutup, menyisakan dirinya sendirian dengan berbagai emosi campur aduk dalam benaknya.
"Apa yang telah kulakukan?"
Jeno merasakan kepalanya pening saat mengingat kejadian barusan. Dimana pertengkarannya dengan Renjun malah membawanya melakukan tindakan bodoh yang menurut akalnya sendiri sangat tidak masuk akal. Apa yang ada dipikirannya saat itu hingga membuatnya memilih untuk mencium musuhnya sendiri? Jeno bahkan tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Semuanya berjalan begitu saja, tanpa kendali.
"Bodoh! Kenapa kau melakukan itu huh?" omelnya pada dirinya sendiri. Perasaan marah, kecewa, tidak percaya, dan menyesal bercampur jadi satu. Otaknya lagi-lagi dipaksa mengingat memori dimana ia dengan anehnya mencium Renjun, menangkup wajahnya, menghimpit tubuh kecilnya ke dinding, dan merasakan sesuatu yang nyaman menyapa dirinya.
Tidak! Jeno menggelengkan kepala guna mengusir memori itu. Kenapa ia begitu bodoh? Dimana akal sehatnya saat itu? Bagaimana kalau ada yang tau tentang kejadian ini? Ia bisa malu dua kali lipat kalau sampai ada orang lain yang mengetahuinya.
Jeno mengedarkan pandangannya menyapu keseluruh penjuru ruangan. Matanya mencoba mencari sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi bukti kejadian tanpa terduga ini. Untung saja diruang ini tidak ada CCTV atau sejenisnya, membuat Jeno bernafas lega karena itu artinya tidak akan ada yang tau tentang tragedi ini selain dirinya dan Renjun.
.
.
.
.
Renjun membasuh mukanya yang kusut dengan air bersih yang mengalir berulang kali dengan geram. Kerah seragamnya hampir basah akibat terkena cipratan air, begitu pula dengan poninya. Tapi ia tidak peduli. Yang ia inginkan sekarang hanyalah melarutkan segala ingatan kejadian yang baru saja menimpanya.
Kedua tangan Renjun berpegangan pada pinggiran wastafel, mencoba menyangga tubuhnya yang masih terasa gemetar. Matanya menatap banyangan dirinya sendiri di cermin, memperhatikan kondisinya yang jauh lebih kusut dari dugaannya. Pandangan netranya berhenti tepat saat ia melihat kearah bibirnya sendiri, dan sontak otaknya membawanya kembali mengingat kejadian di ruang musik beberapa saat yang lalu.
"Sial!" entah ini umpatan yang keberapa kali, ia tidak tau. Renjun kembali membasuh mukanya, mencoba melunturkan memori itu lagi.
"Yaa!"
Renjun tersentak saat sebuah suara menyapa telinganya. Suara bernada dingin, sarkastik, dan tidak bersahabat. Apa itu Jeno? Tidak mungkin! Renjun sangat mengenal karakter suara Jeno, dan suara barusan bukanlah suara Jeno. Lagipula tidak mungkin juga Jeno berani menunjukkan batang hidungnya setelah kejadian barusan.
Renjun yang awalnya masih membasuh muka, langsung mendongak dan menatap cermin wastafel. Ia mendapati sosok Kim Jungwoo sedang bersandar pada salah satu pintu bilik kamar mandi seraya menatapnya sinis.
Jungwoo melangkahkan kakinya menuju wastafel yang ada di sebelah Renjun, menyalakan keran air dan membasuh kedua tangannya dengan pelan. "Kau sudah membasuh mukamu hampir sepuluh kali dan mengucapkan kata 'Sial' hampir lima belas kali. Menurutku itu rekor yang keren untuk anak teladan sepertimu." ucapnya.
"Itu bukan urusanmu!" entah mendapat keberanian dari mana, Renjun menjawabnya dengan nada ketus. Jungwoo sontak melirik tidak suka. Hey, dia sudah susah payah menghitung aktivitas Renjun yang sebenarnya tidak penting baginya, tapi malah jawaban ketus yang didapatkannya.
"Berani sekali? Kau mau merasakan kepalan tanganku?" tanya Jungwoo kesal.
"Pukul saja! Kalau bisa buat aku amnesia sekalian!"
Jungwoo tidak percaya ini. Ternyata Huang Renjun yang selama ini ia tau sebagai salah satu murid yang takut padanya, kini malah menantang Jungwoo untuk merasakan kepalan tangannya. Sungguh tidak dapat dipercaya.
"Apa kau sudah merencanakan sesuatu untuk membuatku dan Yukhei dekat lagi?"
Renjun menghela nafas panjang. Oh astaga, apakah berandal seperti Jungwoo ini tidak peka terhadap situasi yang menyelubungi Renjun saat ini? Pikiran Renjun sedang tidak beres akibat kejadian di ruang musik tadi, dan sekarang Jungwoo malah menambah beban pikirannya.
"Aku belum merencanakan apapun." jawab Renjun sembari membenahi poninya yang basah terkena air.
"Belum? Astaga, sepertinya aku salah mengandalkanmu,"
"Kita baru sepakat beberapa jam yang lalu, dan kau sudah menangihnya sekarang? Seharusnya kau memberiku waktu setidaknya sampai besok untuk berpikir." protes Renjun sebal.
Jungwoo mendengus. "Otakmu saja yang lamban!" cibir Jungwoo malas. Ia lalu mengeringkan kedua tangannya yang basah dengan saputangan berwarna putih yang diambilnya dari dalam saku celananya. Setelah selesai, ia berkaca sebentar sembari memuji ketampanan yang terukir di wajahnya.
"Baiklah aku akan menunggunya sampai besok. Tapi sebagai ganti kesabaranku yang berharga ini, kau harus benar-benar memberinkanku rencana yang keren. Ingat!" tutur Jungwoo sebelum beranjak keluar dari kamar mandi.
Renjun membuang nafasnya panjang, lalu dengan malas mulai mengeringkan wajah dan tangannya yang basah menggunakan tisu. Meskipun didalam otaknya memori itu tak kunjung luntur, tapi setidaknya ia cukup tenang sekarang.
.
.
.
.
"Dari mana saja?"
Itulah pertanyaan pertama yang menyambut Renjun setelah ia berhasil mendudukkan tubuhnya di bangkunya yang nyaman. Renjun mengerling sejenak kearah Yukhei, lalu tersenyum tipis. "Ruang musik." jawab Renjun sekenanya.
"Apa terjadi sesuatu denganmu?" tanya Yukhei lagi.
Renjun yang baru saja mengeluarkan minumannya dari dalam ransel langsung menoleh kearah teman sebangkunya yang kini sedang menunggu jawabannya sambil bertopang dagu.
"Tidak ada," jawab Renjun bohong. Mana mungkin juga ia jujur kalau memang tadi sempat ada tragedi antara dirinya dan Jeno. Yukhei mengangguk paham sembari menggumamkan kata 'oh' sebagai respon. Namun sedetik kemudian, laki-laki berambut coklat gelap itu kembali menatap Renjun dengan pandangan tidak percaya.
"Kau tidak bohong, kan?"
"Ke...kenapa aku bohong? Memang tidak ada yang terjadi kok." balas Renjun terbata. Kenapa juga sih Yukhei tidak kunjung percaya saja? Renjun bukan tipe orang yang mudah menyembunyikan ekspresi, jadi kalau terus didesak seperti ini, dengan mudah Renjun pasti akan ketahuan.
"Mmm, begitu ya?" Yukhei akhirnya mengalah untuk tidak bertanya lagi walau ia tahu kalau sebenarnya ada sesuatu yang terjadi dengan Renjun tadi.
Renjun membuka tutup botol minumannya dan langsung meneguknya hingga setengah. Air yang segar langsung mengaliri kerongkongannya yang kering. Ditutupnya kembali botol itu dan memasukkannya kedalam ranselnya.
"Boleh aku tanya satu hal lagi, Renjun-ah?" tanya Yukhei hati-hati.
"Tanya saja!" balas Renjun santai.
Yukhei terdiam sebentar, berusaha menyusun kalimat yang akan ia tanyakan supaya terdengar wajar. "Ehm, apa kau dan Jeno..." Yukhei membiarkan kalimat itu menggantung, membuat jantung Renjun seolah melompat karena terkejut. Kedua bola matanya goyah, wajahnya berubah gugup.
Melihat ekspresi Renjun yang sedemikian rupa, membuat Yukhei yakin akan apa yang ada di pikirannya. Ia sontak tersenyum, lalu menepuk bahu Renjun beberapa kali. "Ini adalah awal yang baik."
"A...apa?"
"Tidak ada." jawab Yukhei tanpa menghilangkan senyumannya. "Aku mau ke ruang studio dulu. Bye!" dan Yukhei langsung berlalu meninggalkan Renjun dengan berbagai pertanyaan baru. Awal yang baik? Apa maksudnya?
.
.
.
.
"Aku membawakan ini untukmu. Semoga kau cepat sehat!" ungkap Jaehyun sembari mengulum senyum memikat yang selalu ia tebarkan ke semua orang. Diletakkannya bingkisan berisi beberapa buah segar yang baru saja ia beli keatas nakas.
"Terima kasih, hyung!" balas laki-laki berambut hitam sembari ikut tersenyum.
Jaehyun mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang rumah sakit, lalu mulai bersuara lagi. "Hobimu balapan mobil ternyata tak kunjung hilang dari SMA dulu," ujarnya. "Sudah ada enam kali kau dirawat karena kecelakaan akibat hobimu itu. Tidakkah kau merasa jera?"
Laki-laki itu terkekeh pelan. "Seorang keturunan Dong sepertiku tidak akan mudah jera, hyung. Lagipula lukaku kali ini tidak parah, hanya lecet di beberapa bagian. Ibuku saja yang terlalu berlebihan hingga menyuruhku menetap di rumah sakit selama beberapa hari. Ini benar-benar membuatku bosan."
"Ya, Dong Winwin memang kuat dan berani. Tapi bagaimanapun juga, ibumu benar. Ibu mana yang tidak khawatir melihat anaknya sendiri hampir terjun ke jurang karena balapan liar?" tanya Jaehyun simpati.
Ekspresi Winwin berubah menyesal saat mengingat raut muka ibunya yang begitu khawatir karena ulahnya. Ya memang, sedari dulu Winwin sangat hobi melakukan balapan liar. Alasannya karena memang menyenangkan dan dirinya bisa mendapatkan uang bila memenangkan balapan itu. Ia selalu mengatakan pada ibunya kalau ia baik-baik saja walaupun tak disangkal ia pernah hampir mati berkali-kali karena hobinya itu.
"Sebagai teman sejak SMA, aku tidak mau kau menghancurkan masa depanmu yang cerah hanya demi balapan liar." kata Jaehyun lirih. Winwin dapat menangkap nada kesedihan yang terlontar dari kalimat nasihat itu.
"Aku tidak mau nasibmu sama seperti Taeyong hyung."
Hati Winwin mencelos mendengarnya. Ia dapat melihat Jaehyun menunduk, meratapi kesedihan yang perlahan mengambil alih suasana. Winwin sangat mengenal siapa itu Taeyong. Saat SMA dulu, dimana dirinya dan Jaehyun duduk di kelas sepuluh, mereka berdua adalah orang yang paling sering dijadikan objek bulan-bulanan kakak kelas. Winwin masih sangat ingat siapa saja kakak kelas yang selalu mengganggunya dan Jaehyun. Mulai dari Taeil, si rambut merah bata yang sok dalam segala hal, lalu Yuta si dagu lancip yang tidak pernah absen menyuruh ini itu, kemudian Hansol yang senantiasa mengganggu tanpa henti, dan terakhir Taeyong si pangeran tampan yang kasar.
Meskipun dalam daftar, Taeyong termasuk salah satu kakak kelas yang senantiasa mengusik kehidupan remaja SMA macam mereka berdua, namun Taeyong sedikit berbeda dari ketiga temannya. Awalnya Taeyong memang termasuk musuh Winwin dan Jaehyun. Laki-laki berparas tampan itu sangat sering menjahili dua adik kelas itu tanpa lelah. Sampai akhirnya, label musuh dan sifat pengganggunya luntur sedikit demi sedikit sejak Jaehyun menyelamatkan Taeyong dari serbuan gangster yang hendak memukulinya. Winwin beranggapan kalau Taeyong menaruh hati pada Jaehyun sejak kejadian itu, tapi ia enggan berkomentar karena takut Taeyong akan memberinya pukulan penuh kasih di wajahnya.
Lambat laun, Taeyong yang merupakan kakak kelas pengganggu berubah menjadi teman yang baik bagi Jaehyun dan Winwin, yah walaupun kadang Taeyong sedikit tsundere. Ditambah lagi, Taeyong dan Winwin punya hobi yang sama, yaitu balapan liar. Winwin sendiri kaget saat Taeyong tiba-tiba mengajaknya balapan dan menyuruh Jaehyun sebagai penonton sekaligus jurinya.
Saat itu adalah masa paling menyenangkan yang Jaehyun dan Winwin rasakan bersama Taeyong. Dimana mereka dapat merasakan persahabatan yang unik. Dimana mereka berjanji akan selalu bersama sampai tua. Dimana mereka tidak akan pernah menyakiti dan akan selalu menjaga satu sama lain.
Kita harus berjanji kalau kita akan selalu saling menjaga, saling peduli, dan saling percaya. Ayo kita lalui kehidupan yang sulit ini bersama-sama! Kita harus tetap menggenggam satu sama lain dan jangan sampai ada yang berniat melepaskannya.
"Seharusnya saat itu aku tidak egois."
Winwin tersentak saat kalimat itu terlontar bersama isak tangis yang memilukan dari mulut Jaehyun. Sudah hampir satu tahun ia tidak melihat Jaehyun menangis, dan sekarang ia melihatnya lagi. Air mata penyesalan yang selalu berhasil membuat hati Winwin ikut tersayat olehnya.
"Ini bukan salahmu, hyung. Ini semua salah orang yang sudah menyabotase mobil Taeyong hyung. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri!" ujar Winwin dengan suara bergetar. Tangannya menepuk bahu Jaehyun menenangkan.
"Tapi kalau saja aku tidak meninggalkannya saat itu, dia pasti..."
"Pasti apa?" potong Winwin cepat. "Berhenti, hyung! Aku tau ini berat bagimu. Kau tidak salah tapi kau yang harus menanggung beban disalahkan banyak orang karena kau dituduh sebagai dalang dari kerusakan rem mobilnya. Aku memang tidak tau bagaimana rasanya jadi kau. Tapi kumohon, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kau tidak salah!"
"Bagaimana aku bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri? Aku memang bukan pelaku atas kerusakan rem mobilnya, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku seharusnya tidak menuruti permintaannya untuk meninggalkan dirinya sendirian."
Winwin menghela nafas, mencoba mencari oksigen lebih banyak guna menenangkan sahabatnya ini. Ia tau, kejadian saat itu pasti sudah membuatnya tidak bisa tidur tenang hingga sekarang. Kejadian mengerikan yang pasti membuat mental Jaehyun didera perasaan bersalah seumur hidup. Bukan masalah rem blong yang membuat kecelakaan itu terjadi, namun kejadian dimana Jaehyun harus memilih antara hidup sendiri atau mati bersama Taeyong.
Bila disuruh mengingat, Winwin enggan untuk mengulang memori buruk itu lagi. Walau ia tidak ada sangkut pautnya dalam kejadian itu, namun tetap saja kedua sahabatnyalah yang mengalami masa sulit, sehingga membuatnya mau tidak mau ikut merasakan pening karenanya.
.
Seoul, 23 April 2015
"Sesuai dugaan, hyung benar-benar keren!" komentar Winwin sembari menepuk bahu Taeyong sebagai bentuk pujian. Taeyong hanya tersenyum simpul mendengarnya, lalu kembali memainkan bola sepak di kakinya yang lincah.
"Kau tidak mau memujiku juga?" tanya Taeyong setelah dirasanya cukup bermain dengan bola sepaknya. Kedua netranya menatap Jaehyun, mengamati aktivitasnya yang sedang menyeka peluh di wajah akibat bermain futsal yang menguras tenaga.
"Untuk apa memujimu? Bisa-bisa kepalamu semakin besar!" ejek Jaehyun seraya tersenyum santai. Taeyong hanya mendengus mendengarnya. Ini bukan kali pertama Jaehyun mengejeknya, sudah sangat sering bahkan tidak terhitung berapa kali jumlahnya. Tapi meskipun begitu, Taeyong tak pernah marah. Entahlah sihir apa yang ditabur oleh Jaehyun, tapi Taeyong tak bisa menyangkal kalau dirinya tidak pernah bisa marah didepan Jaehyun.
"Hyung!" Taeyong menoleh kearah Winwin, meminta penjelasan karena laki-laki asal China itu baru saja memanggilnya dan menyiku lengannya. "Ponselmu..."
Taeyong segera meraih ponselnya yang bergetar dari tangan Winwin. Keningnya sontak berkerut saat matanya menangkap nomor tidak dikenal yang sedang menghubunginya sekarang. Tanpa ambil pusing, Taeyong segera mengangkatnya.
"Halo?"
"..."
"Siapa kau?"
"..."
Taeyong mengerling singkat kearah Jaehyun setelah mendengar rentetan kalimat dari penelepon misterius di seberang sana. Kedua bola matanya bergerak gelisah.
"Ya, aku kesana sekarang."
Sambungan diputus secara sepihak oleh penelepon misterius itu. Taeyong menghela nafas panjang lalu memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Ia bangkit berdiri kemudian meraih mantel hitam yang tergeletak di kursi dan segera memakainya.
"Kau mau kemana?" tanya Jaehyun dengan alis terpaut.
Bukannya menjawab pertanyaan Jaehyun, Taeyong malah meraih mantel Winwin dan menyerahkannya pada pemiliknya. "Kau ikut aku!" ujarnya yang berhasil membuat Winwin terkejut. Jaehyun juga sama, ia malah lebih tidak mengerti dengan situasi ini.
"Kemana, hyung?" kini giliran Winwin yang bertanya. Tangannya sibuk memakai mantelnya walau pikirannya dilanda kebingungan.
"Balapan!" jawab Taeyong singkat. "Dan kau, Jae! Kau tidak perlu ikut kami!"
"Tapi kenapa?" tanya Jaehyun tidak terima. Hey, mereka bertiga bersahabat, dan sudah menjadi rutinitas kalau Jaehyun menemani Taeyong dan Winwin saling beradu kecepatan dalam mengendarai mobil mereka. Namun kenapa sekarang ia tidak boleh ikut?
"Ikuti saja ucapanku! Kembalilah kerumah dan kerjakan tugasmu!"
Tanpa berkata lagi, Taeyong segera berjalan menjauh dan hilang setelah masuk kedalam mobil sport mewahnya. Winwin menepuk bahu Jaehyun pelan sambil mengangguk guna menenangkan, lalu segera menyusul Taeyong masuk kedalam mobil.
Jaehyun mengamati kepergian mobil itu dengan emosi campur aduk. Entah kenapa firasatnya terasa tidak enak. Ia takut sesuatu yang buruk akan menimpa kedua sahabatnya. Setelah berperang dengan perasaanya sendiri, akhirnya Jaehyun memutuskan untuk mengikuti Taeyong dan Winwin pergi.
.
Taeyong memakirkan mobil sport mewahnya secara asal di daerah lapang yang luas, lalu beranjak turun untuk menemui sang penelpon misterius yang dengan sangat menyebalkan mengganggu waktu berkualitasnya bersama kedua sahabatnya. Winwin mengikuti Taeyong menuju tempat yang cukup jauh dari letak mobil mereka, meninggalkan mobil sport milik kakak kelasnya tanpa kecurigaan sedikitpun. Ia hanya mau mengikuti Taeyong meski hanya berguna sebagai bala bantuan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, tanpa tau kalau sekarang mobil sport itu sedang didekati dua orang mencurigakan yang mencoba menyabotase sistem rem pada mobil itu.
"Yuta?"
Taeyong dan Winwin berhenti mendadak saat melihat sosok Yuta sedang bersandar pada badan mobil sport berwarna merah menyala miliknya yang tak kalah mewah dari mobil Taeyong. Laki-laki asal Jepang itu menegakkan tubuhnya, lalu memainkan kunci mobilnya dengan senyuman licik terpampang begitu jelas. "Apa kabar, kawan lama?"
"Jadi kau orang yang meneleponku tadi?"
"Tepat sekali." jawab Yuta santai. "Dan...aku tadi menyuruhmu untuk membawa Huang Jaehyun, bukan dia!"
"Tidak ada bedanya antara Jaehyun dan Winwin. Sekarang cepat katakan, apa masalahmu?" desis Taeyong tak sabar.
Yuta menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringaian, kemudian maju selangkah mendekat. "Bukannya sudah kukatakan? Aku ingin balapan denganmu! Tapi aku mau Jaehyun juga ikut!"
"Kenapa Jaehyun harus ikut?"
"Kurasa akan lebih menyenangkan bila ada rekan yang menemani kita saat kita sedang fokus mengemudi. Lihat, aku juga membawa temanku Ten untuk ikut. Jadi, aku mau Jaehyun juga ikut dalam balapan ini!"
"Alasanmu terdengar konyol dan tidak masuk akal, kau tau? Kalaupun kau berniat membawa rekan, aku bisa mengajak Winwin. Dia lebih berpengalaman di dunia balap."
"Tapi aku mau Jaehyun!"
"Kenapa harus Jaehyun? Apa kau bisa jelaskan alasannya?" desis Taeyong tajam. "Lagipula dia tidak ada disini, jadi percuma saja!"
Yuta kembali terkekeh menikmati permainan yang ia ciptakan. "Oh ya? Lalu dia siapa?"
Taeyong dan Winwin sontak menoleh kearah yang ditunjuk Yuta dengan dagu lancipnya, dan seketika mata mereka melebar saat mendapati sosok Jaehyun sedang berdiri tak jauh dari mereka. Taeyong mengepalkan tangannya menahan amarah. Kenapa Jaehyun harus kesini?
"Hey, Jae! Kau masih mengingatku?" sapa Yuta basa-basi. Senyum kemenangannya tak mampu disembunyikan lagi. Rencananya sudah mulai menemukan lampu hijau saat batang hidung adik kelas berambut blonde itu muncul.
Yuta menghampiri Jaehyun yang masih terpaku ditempatnya, lalu merangkul pundak Jaehyun dengan gerakan sok akrab. "Aku mau bertanding dengan kakak kelas favoritmu Lee Taeyong, tapi sepertinya dia membutuhkan rekan untuk menemaninya balapan. Kau mau kan menjadi rekannya?"
"Sudah kubilang Winwin akan menjadi rekanku!" bantah Taeyong setajam samurai, namun tak berhasil membuat Yuta berhenti.
"Aku bertanya pada Jaehyun, astaga! Please, biarkan dia yang menjawab!"
Taeyong memberikan tatapan 'jangan-terima-tawaran-itu' pada Jaehyun. Dalam hati ia berharap semoga adik kelas super keras kepala itu tidak menyetujui apa yang dikatakan Yuta. Tapi harapan tinggallah harapan, karena sekarang Jaehyun menjawabnya dengan anggukan tegas. "Ya, aku akan menjadi rekan Taeyong hyung!"
Akhirnya dengan berat hati, Jaehyun akan menjadi rekan Taeyong saat melakukan balapan liar melawan Yuta. Di sepanjang perjalanan menuju mobil sport mewahnya, Taeyong tak henti-hentinya mengomeli Jaehyun yang begitu keras kepala hingga tak menuruti ucapannya.
"Kita harus mengecek mesinnya dulu!" usul Jaehyun sebelum Taeyong masuk kedalam kursi pengemudi. Taeyong menoleh dengan malas, lalu mendengus lagi.
"Aku sudah mengeceknya sebelum datang kesini! Tidak akan ada apa-apa!"
"Tapi tidak ada salahnya kan, hyung?"
"Terserah!"
Taeyong masuk kedalam mobil dan menempati kursi pengemudi, sedangkan Jaehyun sibuk mengamati berbagai mesin mobil dengan seksama. Ia tidak tau apapun tentang mobil, apalagi soal mesinnya, tapi ia tetap bersikukuh mengecek sistem mobilnya. Ia tidak mau ada kejadian yang tidak diinginkan nantinya.
"Baik-baik saja kan?"
"Hmm."
Seorang wanita cantik bertubuh cukup tinggi berdiri di antara dua mobil sport mewah milik Yuta dan Taeyong. Wanita itu membawa sebuah bendera bermotif kotak-kotak berwarna hitam dan putih.
"Kau siap?" Taeyong menoleh kearah Yuta dan Ten yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Cih, Taeyong tidak suka senyuman itu. Mereka saja belum menang, tapi senyumnya terlalu menyombongkan.
Taeyong dan Yuta menyalakan mesin mobil mereka secara bersamaan, menimbulkan bunyi deru mobil yang halus namun begitu menegangkan. Winwin yang berada di tepi arena hanya berdoa dalam hati, berharap balapan ini akan cepat selesai tanpa ada sesuatu yang terjadi. Kekhawatiran pada dirinya muncul saat Yuta dengan sepihak menyuruh Jaehyun sebagai rekan Taeyong, padahal dirinya sendiripun bisa menjadi rekan Taeyong. Ia takut kalau Yuta merencanakan sesuatu yang entah apa pada Taeyong dan Jaehyun.
Wanita cantik itu meniup peluitnya keras-keras seraya mengibarkan bendera itu tinggi-tinggi. Kedua mobil sport itu langsung melaju dengan kecepatan penuh, meninggalkan bekas roda kehitaman pada aspal yang mereka lalui.
Yuta berhasil mendahului Taeyong menggunakan kecepatan mobil sport nya yang secepat angin, membuat Ten yang duduk di kursi sampingnya tertawa penuh kemenangan. "Lebih cepat, hyung. Kita kalahkan mereka!"
"Tidak perlu khawatir. Bagaimanapun juga, kita yang pasti akan menang!"
Taeyong menginjak pedal gas mobilnya dengan pandangan penuh konsentrasi pada jalur balap yang dilaluinya. Tak ia pedulikan Jaehyun yang terlihat sedikit ketakutan karena kecepatan mobil yang ia kendarai melebihi batas. Ia harus bisa menyalip Yuta, atau kalau tidak ia akan positif kalah.
Dengan tiba-tiba Yuta sedikit melambatkan laju mobilnya, memberi kesempatan Taeyong supaya bisa mendahuluinya. Mendapat kesempatan, Taeyong segera memaksimalkan kecepatan mobilnya untuk menyalip. Dan berhasil. Mobil sport merah menyala milik Yuta sudah ada cukup jauh dibelakang mobilnya.
"Dia bodoh atau bagaimana?" komentar Taeyong sembari melirik spion guna melihat mobil Yuta yang makin lama makin jauh. Ada apa ini? Seharusnya dia mengejar atau berusaha menyalipnya kembali, tapi kenapa sekarang Yuta terlihat begitu santai?
"Hyung, awas!"
Taeyong hampir saja menabrak ranting pohong yang menjulur ke arah jalanan, untung saja dia bisa mengendalikan mobilnya dengan baik. Ia kembali melirik spion, dan mobil Yuta tidak ada dalam jangkauan bayangan spionnya. Kemana anak itu?
Dengan ragu, Taeyong mencoba sedikit mengurangi kecepatannya. Dan betapa terkejutnya dia saat tau rem mobilnya tidak berfungsi seperti semula. Didera kepanikan, Taeyong mencoba menginjak pedal rem itu terus menerus, mencoba menghentikan mobilnya yang melaju dengan kecepatan tinggi.
"Sial! Kenapa ini?" umpatnya panik.
"Ada apa, hyung?" Jaehyun ikut cemas saat melihat ekspresi Taeyong yang tidak mengenakkan. Kedua tangannya berpengangan pada sabuk pengaman secara reflek.
"Sial! Rem nya tidak berfungsi!"
"Hah?"
Jantung Jaehyun berpacu cepat secapat mobil yang ia naiki sekarang. Matanya bergerak gelisah, telapak tangannya basah, dan ia ketakutan.
"Bukannya sudah kubilang kita harus mengecek mesin mobilnya dulu? Sekarang bagaimana? Apa kita akan mati?"
"Diamlah!" bentak Taeyong gusar. Ia sudah cukup panik dengan adanya rem blong, tapi Jaehyun malah memperkeruh keadaan dengan membuat suasana jadi makin kacau.
"Aku tidak mau mati!" cicit Jaehyun ketakutan. Matanya memejam, memanjatkan doa dalam hati supaya ada keajaiban yang memberkatinya.
Melihat ketakutan Jaehyun membuat Taeyong tidak tega. Sebisa mungkin ia tetap mengendalikan laju mobilnya sembari berharap mobilnya akan berhenti tiba-tiba. Sungguh, ia juga takut sekarang.
"Buka sabuk pengamanmu!"
"A...apa?"
"Tidak ada waktu! Cepat buka!"
"Ta...tapi?" dengan ragu, Jaehyun melepaskan sabuk pengamannya dengan tangan gemetar. Matanya telah panas dan pikirannya terus digelayuti pikiran negatif.
"Sekarang buka pintunya dan lompatlah!"
"Hah? Kau gila? Kau ingin aku mati?"
Taeyong mendesah kasar. "Ini cara terbaik untuk menyelamatkanmu, bodoh! Lompat sekarang atau kau akan mati!"
"Kalau aku melompat dari mobil yang melaju dengan kecepatan gila seperti ini, aku juga bisa mati! Pikirkan itu!"
"Kubilang lompat sekarang! Kau bisa mati kalau tetap disini!"
"Aku tidak mau!"
"Jeball. Lakukan demi aku!"
"Aku tidak mau!"
Taeyong dapat melihat pagar jembatan besi terpampang jelas beberapa puluh meter didepan mereka. Kekuatan Taeyong tak lagi cukup untuk mengontrol laju mobil ini yang semakin menguras tenanganya. Tidak ada waktu, Jaehyun harus selamat! Tanpa aba-aba, ia melepaskan alat kemudinya dan mendorong tubuh Jaehyun hingga terdorong keluar dari badan mobil. Taeyong dapat melihat Jaehyun terguling cukup banyak dengan menyedihkan, tapi sedikit untung karena Jaehyun terguling di tanah rerumputan, bukan aspal yang pastinya akan lebih menyakitkan.
Taeyong kembali menggapai alat kemudinya dengan gemetar. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah karena beberapa detik lagi ia pasti akan menabrak batas besi jembatan itu. Taeyong mencengkeram alat kemudinya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih, mengucapkan selamat datang pada kematian yang sebentar lagi akan menjemputnya.
BRAK
Bunyi benturan keras antara mobil sport mewah Taeyong dengan pembatas jembatan besi itu memekakkan telinga. Begitu memilukan, menegangkan. Belum cukup hanya terbentur, pembatas jembatan itu roboh dan membuat mobil itu beserta pengemudinya terjun bebas menuju sungai yang ada dibawah sana.
"Hyu...hyung!" rintih Jaehyun yang ternyata masih setengah sadar walau tubuhnya telah terguling berulang kali. Tubuhnya lecet sana-sini, meninggalkan bercak darah dan bau anyir olehnya. Matanya yang berat menatap nanar kejadian mengerikan yang sempat ia saksikan. Ia satu-satunya saksi atas kejadian kecekalaan mengerikan ini. Air mata tak mampu lagi dibendung saat ia kembali teringat Taeyong yang mungkin saja bisa mati karena kecelakaan itu. Dalam benaknya ia menyesal. Ia menyesal kenapa ia bisa terdorong dengan mudah dari mobil itu dan meninggalkan Taeyong merasakan kecelakaan itu sendirian.
"Hyung...ma...maaf!"
Dan setelah itu, seketika pandangannya menjadi gelap dan ia tidak mengingat kejadian apa lagi yang selanjutnya terjadi.
-Flashback end.-
.
.
.
Renjun duduk diam di kursi meja makan sambil menatap kosong kearah kimbab spesial yang baru saja dimasak secara khusus oleh Yixing, ibunya. Pikirannya telah terbang memikirkan perdebatannya dengan Jeno di ruang musik tadi sebelum tragedi ciuman itu terjadi. Perdebatan mengenai kakak masing-masing. Dimana Jeno selalu saja menghina Jaehyun sebagai parasit yang telah mencelakai kakak Jeno.
Sebenarnya Renjun bingung dengan apa yang terjadi sekarang. Ia butuh penjelasan dan penerangan. Ia tidak bisa disuruh berpikir sendiri tanpa kebenaran yang jelas. Memang sih ia salah karena dari dulu tidak pernah bertanya pada Jaehyun akan perihal benar atau tidaknya. Maka dari itu ia tidak mau membuang waktu lagi. Ia ingin segera tau masalah apa yang sebenarnya terjadi dengan Jaehyun dan kakak Jeno yang bahkan Renjun sendiri tidak tau namanya. Bodoh memang, tapi mau bagaimana lagi?
"Kenapa tidak dimakan?"
Renjun tersentak saat suara lembut ibunya menginterupsi keadaan. Lamunannya langsung buyar seketika. Ia tersenyum singkat, kemudian menjawab, "Aku berniat memakannya bersama dengan Jaehyun hyung."
"Oh, begitu ya."
"Kenapa Jaehyun hyung belum pulang juga? Padahal ini sudah jam tujuh malam." tanya Renjun penasaran.
Yixing terlihat berpikir, lalu menggeleng tidak tau. "Entahlah. Tadi pagi dia bilang kalau dia sedang banyak tugas. Mungkin saja ia sedang belajar kelompok dengan teman kuliahnya."
Renjun mendesah kecewa. Bagaimana tidak kecewa? Ia ingin sekali segera menemui kakaknya itu dan menginterogasinya secara paksa. Tapi Jaehyun malah belum pulang juga.
"Ayo ikut ibu!"
"Kemana?"
"Ke rumah sakit."
"Hah? Memangnya ibu sakit?"
Yixing mengangguk sembari mengulas senyum damai. "Kaki ibu sedari lima hari yang lalu terasa kaku. Padahal ibu sudah meminum obat untuk menghilangkan rasa kaku nya, tapi sepertinya ibu harus memeriksakannya ke dokter."
"Oh." gumam Renjun simpati. "Baiklah, aku akan mengantar ibu. Tunggu sebentar, aku akan ambil mantel."
Setelah semuanya siap, Renjun segera mengunci pintu rumahnya dan mengantar ibunya ke rumah sakit menggunakan taksi. Tak sampai setengah jam, mereka telah sampai di sebuah rumah sakit besar yang cukup terkenal di kota metropolitan, Seoul. Renjun mengantar ibunya menemui resepsionis dan menunggu di kursi tunggu. Renjun mengamati ibunya yang kini berjalan kearahnya bersama seorang dokter cantik meski sudah terlihat tua.
"Ibu akan diperiksa sebentar. Kau tunggu disini ya?"
"Ya, bu."
Yizing segera mengikuti dokter cantik itu pergi. Renjun menghela nafas bosan. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Biasanya di jam seperti ini ia menghabiskan waktunya untuk belajar atau setidaknya membaca buku ensiklopedia di kasurnya yang nyaman, tapi sekarang ia harus menetap disini.
Semakin didera rasa bosan, akhirnya Renjun memutuskan untuk berjalan-jalan guna sekedar menghilangkan rasa jenuh. Kakinya berjalan tanpa arah mengelilingi rumah sakit luas yang mewah ini. Matanya terus bergerak menyusuri setiap sudut rumah sakit tanpa henti.
Renjun masuk kedalam lift dan menekan tombol angka secara sembarangan. Ia tidak masalah mau dibawa kelantai berapa, asalkan ia bisa melepas jenuh dengan melihat hal baru di rumah sakit ini. Pintu lift terbuka dan tanpa pikir panjang Renjun segera melangkah keluar.
Lantai yang entah keberapa ini terlihat lebih mewah daripada lantai sebelumnya. Lorong nya terang benderang dengan kebersihan yang luar biasa. Renjun melangkahkan kakinya menuju ujung lorong, mendapati satu ruangan tertutup yang sepertinya berukuran lebih besar daripada ruang lainnya.
Diliputi penasaran, Renjun sedikit mengintip dari balik sela tirai yang tertutup rapat. Sepertinya ini ruangan khusus untuk pasien konglomerat atau setidaknya pejabat. Mungkin, itu hanya tebakan asal-asalan Renjun saja.
"Permisi, apa kau keluarga dari pasien yang dirawat di ruangan ini?"
Renjun reflek menoleh kearah suster bertubuh mungil dengan senyum memikat yang baru saja menyapanya. Kim Taeyeon, itulah nama suster itu yang tertera di kartu identitasnya yang mengalung di lehernya.
"Ehhmm, sebenarnya aku ti..."
"Kalau memang iya, anda diperbolehkan masuk."
"Ta...tapi?"
"Kunci khusus anggota keluarganya sudah terbuka, itu artinya anda diperbolehkan menjenguk. Tapi mohon untuk tidak terlalu mengganggu pasien karena keadaannya masih sangat kritis."
"Oh...ya, baiklah. Terima kasih!"
Suster Kim itu membungkuk hormat lalu berjalan menjauh, meninggalkan Renjun dengan kebingungan yang menyergap. Lah, awalnya dia berada disini kan hanya untuk melihat-lihat kondisi sekitar, sekarang ia malah dianggap anggota keluarga pasien yang hendak menjenguk.
Masuk? Tidak? Sebenarnya Renjun tidak mau masuk karena memang ia tidak kenal dengan pasien itu dan tujuannya kesini bukan untuk mampir menjenguk orang sakit, tapi entah kenapa instingnya menyuruhnya untuk masuk selagi ada kesempatan. Tidak baik, memang. Tapi insting Renjun selalu saja menang.
"Waah!" Renjun dibuat terkagum oleh keadaan kamar rawat ini. Mewah, hanya satu kata itu yang menggambarkan. Sudah jelas sekali kalau yang dirawat dikamar ini adalah orang kaya. Mata Renjun menyapu seluruh isi ruangan, dan matanya terpaku saat menangkap sosok laki-laki tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit ditemani dengan berbagai alat medis yang jumlahnya begitu banyak.
Dengan ragu Renjun menapakkan kakinya mendekat, dan wajah laki-laki itu terlihat semakin jelas. Sangat tampan, tapi pucat. Hati Renjun terasa teriris entah kenapa. Melihat alat medis yang menemani tubuh laki-laki itu membuat benak Renjun iba.
Renjun berjalan pelan menuju kertas berisi identitas pasien yang terletak di papan ranjang, lalu matanya seketika melebar saat membaca nama pasien itu.
Lee Taeyong
Tunggu! Sepertinya Renjun pernah mendengar nama itu. Tapi dimana? Renjun mencoba mengingat-ingat dimana ia pernah mendengar nama itu.
"Teman yang mengajariku memasak, namanya Lee Taeyong."
Ah ya. Renjun ingat. Apa jangan-jangan pasien tampan ini adalah teman dari Jaehyun? Mungkin saja. Pasien ini tampan, sesuai dengan apa yang dikatakan Jaehyun saat itu. Ya, Renjun sangat yakin kalau ini adalah Taeyong, teman yang Jaehyun ceritakan waktu itu.
"Berani sekali kau masuk kesini, Huang?!"
Deg.
Renjun terpaku mendengar teguran itu serta bunyi pintu yang tertutup dengan keras. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat sebagai respon. Dengan hati-hati ia berbalik, dan...
"Je...Jeno?"
.
.
.
TBC
.
.
.
Annyeong chingudeul, pada kangen aku gak wkwk
Akhirnya chap 7 updet yeheeyyy /tepuktepukbahagia/
Aku minta maaf untuk adegan kiss nya kalau seandainya gak nge feel ya, serius aku gak jago bikin gituan, jadi maaf sekali lagi kalo gak dapet feelnya. Dan akhirnya di chap ini terungkap kronologi kecelakaannya si bang tiwai huhuhu. Mungkin kalau ada diantara kalian yang ngerasa ff ini membingungkan, gak jelas, aneh, jelek, dan gak sesuai ekspetasi aku sungguh minta maaf sekali lagi ya hueheh.
Aku mau mengucapkan terima kasih banyak buat yang udh usul soal haechan yang bakal digimanain di ff ini, aku sudah memikirkan usul kalian jadi makasih banget hueheh.
Oh ya aku minta maaf kalau chap ini kurang maksimal ya chingu. Beberapa akhir ini aku kena writer block jadi agak susah mikirnya, tapi untung masih tetep bisa lanjut wkwk.
Dan buat Miss xk yang ternyata Jaewin shipper, maaf ya karena disini aku bikinnya jaeyong huehhe. Tapi tetap aku masukin si bang icheng jadi tiga sahabat itu, jadi tetep bisa deket sama jahe tenang aja hueheh.
Makasih buat yang sudah menyempatkan untuk mampir baca, kasih fas, follow, bahkan review berharga kalian yang nambah semangat aku buat melanjutkan ff ini. Makasih sekali lagi ya chingudeul. Silakan kalau mau saran, kritik, pendapat, boleh isi di kolom review yaa.
.
Monggo Review nya
.
Balasan Review :
tryss = wkwk iya nih seharusnya gaboleh. Emang dasar Jeno hueheh. Makasi yaa
natns88 = jahat emang, aku aja kesel wkwk. Tengkyu dah nunggu wkwk. Makasii yaa
crybaby0331 = ciyee gak sabar ciyee. Tapi sori ya kalau gak nge feel huhu. Tengkyu udah nyemangatin puasa ya huhehe. Semangat juga deh dari aku wkwk. Makasih yaa
KM-FARA = sama ku juga gereget sama jeno wkwk. Makasi yaa
CherryBomb127 = bener tuh, balas dendam sama modusnya beda tipis wkwk. Kan gawat kalo keterusan hueheh. Tengkyu dah nungguin updetnya. Makasi yaa
It's YuanRenKai = suka kalo jeno tsundere gini wkwk. Semangat kenapa hayo /kepogue/. Iya niatnya mau bikin mereka jadi sohib, tapi sabar ya hueheh. Tengkyuu dan ungguin. Makasi yaa
Fuxk'inSwagirl = iyaa motong nanggung banget wkwk. Maafkeun tak bias kukondisikan yg chap ini, maaf deh, ntar yang lain gak bakal motong kok wkwk. Duh ku gaterlalu bisa bikin moment yang nyerempet gituan hueheh. Maaf ya. Rated nya juga aman huehe. Makasi yaaa
YoonCha = suka gak ya? Kayaknya suka gaksuka tuh hueheh. Entahlah si jeno emang nyebelin. Tengkyu udah ungguin loh ya. Dan semangat juga buat kamu puasanya. Makasi yaa
kookies = maaf kalo gak tepat ya hueheh, sengaja sih wkwk. Gak diapa-apain kok, Cuma di kisseu doing wkwk. Makasi yaa
kyungie love = tau tuh kalo ketagihan biar tau rasa wkwk. Makasi yaa
Park RinHyun-Uchiha = lah ya itu seharusnya gitu. Duh tengkyu ya dah mau ngingetin si njuun beserta aku sekalian. Makasi yaa
marklis247 = lah anjir tegang manis wkwk. Lah ya untung dicium wkwk. Makasi yaa
Cheon yi = astag ternyata udah nunggu dari jaman dinosaurus masih ada ya wkwk, sopry deh baru kasih moment mereka sekarang hueheh. Emang sok gengsi dia, ksel jug ague wkwk. Dan sama-sama ya, sedih juga si kalo ada yang dihapus, padahal kan enak kalo rame. Tapi gapapa, semoga tetep banyak ff noren lagi kedepannya. Dan tengyu sarannya buat si haechan ya hueue. Makasi yaa
Byunki = tau tuh jeno mah gitu, sok gengsi padahal mau wkwk. Tengkyu ya saran untuk nasib dedek haechannya, sedang kupikirkan kok huehehe. Makasi yaa
.
Sekali lagi terima kasih untuk yang sudah mendukung ff ini. Terima kasih banyak.
.
norenship23, 16062017
