One Foot In The Grave

(Pertemuan kembali)


Original Story

Novel One Foot In The Grave by Jeaniene Frost

Saya bukanlah pengarang aslinya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan Novel ini saya jadikan versi chanbaek.

Selamat membaca.

Api cinta menyala kembali.


Dengan diiringi selimut ketegangan saat seseorang mengincar nyawa Bek. Kris, yang menginginkan Bek menjadi miliknya. Ditambah rasa cemburu saat wanita vampir masa lalu Phoenix masuk dalam kehidupan mereka.

Setelah dengan lancang meninggalkan vampir itu. Apakah Phoenix masih tetap mencintai Bek? Apakah janji Phoenix masih berlaku untuknya?

.

.

BAB 6

.

.

"Daehyun?" seruku dengan perasaan tidak percaya. "Daehyun? Kau yang membuatku harus datang jauh jauh dari Virginia?"

Daehyun juga tidak melihatku. "Kau menghancurkan hidupku!" teriaknya. "Pertama, kekasihmu yang sinting meremukan tanganku, kemudian kau ternyata belum mati, dan sekarang makhluk-makhluk ini menculikku! Aku mengutuk hari saat pertama kali bertemu denganmu!"

Aku mendengus. "Aku pun begitu, Brengsek!"

Lazarus menatapku dengan sorot curiga. "Dia bilang kau mencintainya. Kau hanya berpura-pura tidak peduli padanya, agar aku tidak membunuhnya."

"Kau mau membunuhnya?" Mungkin aku lupa dengan waktu yang hanya tinggal terasa lima belas menit, atau mungkin aku hanya merasa muak. "Silahkan

saja! Ini, aku bantu!"

Aku mengeluarkan pistol dari bagian belakang celanaku dan menembakkan ke arah Daehyun. Lazarus dan vampir lain terperangah melihat perubahan situasi ini, dan aku mengambil keuntungan dari sana. Tembakanku yang berikutnya medarat di wajah Lazarus, aku tidak mau repot-repot menembak jantungnya, karena aku ingin ia tetap hidup. Lazarus memiliki informasi yang kubutuhkan jika aku hidup, dan aku terus menembakkan peluruku hingga habis ke wajahnya, sementara tanganku yang lain melemparkan belati ke tubuh lima vampir sisanya.

Mereka menyerangku. Taring menancap dan mengoyak kulitku sebelum aku melemparkan mereka. Ini adalah pergumulan yang kasar, berguling di atara bebatuan yang tajam, menghantam dan mengoyak tubuh yang bukan milikku. Aku sama sekali tidak memedulikan apa pun saat aku berusaha untuk mempertahankan belati tetap tergenggam di tanganku dan mencegah taring mereka mengenai leherku. Aku memang tidak pernah keberatan mati demi Phoenix, tidak peduli Phoenix mengetahuinya atau tidak. Tapi lain halnya jika mati demi si pengecut Daehyun. Bisa dikatakan aku masih menyimpan dendam kesumat pada Daehyun.

Vampir terakhir berhasil kulumpuhkan dengan tikaman di jantungnya, dan jam tanganku menunjukkan bahwa waktuku kurang dari tiga puluh detik lagi. Lazarus, yang masih belum mati setelah seluruh wajahnya diterjang peluru perak, merangkak ke arah Daehyun. Daehyun, yang masih hidup, mengerang tak berdaya dan mencoba untuk mundur. Tidak ada waktu untuk mengorek keterangan dari Lazarus, apalagi membunuhnya dan sekaligus menyelamatkan Daehyun. Bahkan nyaris tidak ada cukup waktu untuk melakukan salah satunya.

Tanpa berpikir, aku menarik Daehyun dan menggendongnya di atas bahuku, sambil berlari ke mulut gua. Daehyun menjerit dan memakiku di sela-sela napasnya. Waktunya habis, tepat pada saat aku melihat sercecah cahaya dari arah mulut gua. Di belakangku, aku juga mendengar Lazarus berlari, tapi jauh tertinggal dariku. Lazarus tidak akan berhasil keluar. Begitu pula denganku. Waktunya sudah habis.

Bukannya ledakan roket, yang terdengar justru suara-suara orang. Gerakan masuk ke dalam gua. Dua sosok memasuki gua saat aku hampir tiba di sana. Ternyata Taewoo dan Donghae. Aku berteriak karena aku tahu mereka tidak bisa melihatku dalam kegelapan.

"Jangan tembak!"

"Tahan tembakkan, itu Bek!" teriak Taewoo.

Apa yang terjadi selanjutnya terlihat seperti bayangan kabur, meskipun dalam ingatanku hal itu akan selalu berputar dalam gerakan lambat.

"Target datang dengan kecepatan tinggi, arahkan senjata!" seruku. Aku menunduk guna memberi mereka ruang bebas untuk menembak. Taewoo, yang dalam posisi siaga, menembak membabi buta ke arah kegelapan di belakangku. Donghae, yang telah menurunkan pistolnya untuk mencariku di tengah kegelapan, justru berhadapan langsung dengan Lazarus.

Terdengar suara gelegak mengerikan saat Lazarus mengisap darah Donghae. Aku berteriak, menjatuhkan Daehyun, dan bergegas mengejar Lazarus. Lazarus melemparkan Donghae kepadaku dengan kekuatan penuh, dan tubuh Donghae yang berat membuatku jatuh terkapar. Darah yang hangat terciprat ke wajahku saat aku mengunci lenganku dileher Donghae, untuk mencegah darahnya keluar lebih banyak. Sementara itu Taewoo masih menembak, dan Lazarus melemparkan Taewoo ke dinding gua, lalu melarikan diri. Di luar terdengar lebih banyak suara tembakkan, saat pasukan penjaga di sekeliling gua menembaki sosok yang melesat keluar dari mulut gua.

"Ada anggota yang terluka, ada anggota yang terluka!"

Heechul berlari ke dalam gua dengan membawa senter, diikuti oleh Seok dan tiga orang lain. Aku melepaskan kemejaku untuk menyumbat luka di leher Donghae.

Donghae nyaris tidak bisa bicara, tapi masih tetap berusaha. "... ngan... biarkan... ku... mati..."

Hanya ada satu kesempatan. Mungkin itu pun sulit dilakukan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Seok.

Aku mengabaikan Seok, mengambil belati, aku menyayat leher vampir yang kubawa. Darah mengalir dari sana, tapi tidak cukup. Aku mematahkan leher vampir itu dan melepaskan kepalanya, kemudian aku memutarbalikkan tubuhnya, dan memegangi kakinya.

"Buka mulutmu, Donghae. Paksa dia menelan darah vampir ini," perintahku. Oh Tuhan, semoga belum terlambat. Semoga belum terlambat!

Heechul membuka paksa bibir Donghae dengan wajah bersimbah darah. Heechul juga ikut berdoa dengan lantang. Aku menendang mayat vampir itu sekeras mungkin untuk membuat lebih banyak darah mengalir turun, dan Heechul memaksa Donghae untuk menelannya.

Kulit di sekitar Donghae bereaksi terhadap darah vampir, tapi efeknya tidak terjadi dengan cukup cepat. Aliran darah dari leher Donghae melambat, bahkan lubangnya mulai menutup. Tapi tidak lama kemudian jantung Donghae berhenti berdetak. Donghae tewas.

Aku berlari keluar gua, meraung dengan kedukaan besar. Anggota pasukan yang lain sedang mencari di area sekitar, dan aku menarik salah satunya yang berada paling dekat denganku.

"Ke mana dia pergi? Apa kau melihat ke arah mana dia pergi?"

Salah satu anggota pasukan, Kelso, memucat saat melihat tubuhku penuh dengan darah. "Kami tidak tahu. Seseorang mengatakan vampir itu, tapi yang kami lihat hanyalah pepohonan. Kami sedang mencarinya sekarang. Dia pasti belum terlalu jauh."

"Yang benar saja," geramku. Master vampir yang berlari dengan kecepatan penuh, sekalipun dalam keadaan terluka, bisa melesat sembilan puluh kilometer per jam. Tidak mungkin Lazarus bisa terkejar. Tapi tidak mungkin aku akan melepaskannya begitu saja.

Tiga orang anggota pasukan masih mengerubungi tubuh Donghae yang sudah tidak bernyawa. Heechul terisak keras, dan mata Taewoo dipenuhi air mata.

"Vampir itu berhasil melewati pasukan penjaga," ujarku tanpa basa-basi. "Aku akan mengejarnya. Taewoo, pasangkan pemancar pada tubuhku dan minta tim untuk mengikutiku. Aku tegaskan padamu sekarang, aku tidak peduli peraturan, karena aku mengubahnya detik ini juga. Saat aku mendapatkan vampir itu, hanya yang mematuhi perintahku yang akan kuizinkan untuk terus bersamaku. Jika kau tidak mematuhiku, kau bisa mundur bersama dengan yang lain. Aku tidak akan membiarkan ada anak buahku yang tewas lagi, tidak peduli apa pun yang dikatakan Gongyoo. Siapa pun yang ingin hadir saat aku menghabisi vampir itu, ikut denganku. Katakan pada yang lain untuk mundur sampai kita kembali lagi."

Taewoo dan Heechul langsung berdiri. Seok ragu-ragu. Aku menatap Seok tanpa berkedip.

"Takut, Seok?"

Seok balas menatapku dengan sorot tajam. "Tidak. Satu-satunya yang takut di sini hanyalah kau, Komandan."

"Kalau begitu perintahkan yang lain untuk berjaga dan kau ikuti aku. Kita akan lihat kau terbuat dari apa."

Seok menolehkan kepalanya pada Daehyun, yang masih bergelung ketakutan. "Bagaimana dengan dia?"

"Serahkan ke paramedis. Dia terkena luka tembak."

"Vampir itu menembaknya?" tanya Taewoo terkejut. Biasanya vampir tidak pernah menggunakan pistol. Kenapa mereka harus menggunakannya, saat gigi

mereka jauh lebih kuat?

"Bukan mereka. Aku. Ayo, cepat bergerak; setiap detik sangat berharga."

Seok menggendong Daehyun di punggungnya dan menuju ke sumber cahaya tanpa berkomentar. Aku mendengar Seok memerintahkan pasukan untuk berjaga, sementara kami memeriksa gua untuk mencari korban yang masih selamat. Saat Seok melakukannya, aku menutup mata Donghae. Ketika Seok kembali, aku memegangi senter di depanku, agar mereka bisa melihat ke mana arah mereka.

"Lewat sini."

Saat kami melewati area di mana aku membunuh vampir yang lain, aku mulai bicara.

"Baiklah, semuanya, aku hanya akan mengatakannya sekali. Ambil belati, tarik satu vampir, dan aku tidak peduli sekalipun kalian harus mengisap darah dari testikel mereka, selama kalian bisa mengalirkan sebanyak mungkin darah mereka ke tubuh kalian. Manusia bisa meminum setengah liter darah vampir sebelum tubuh mereka secara otomatis mengeluarkannya lagi. Aku ingin masing-masing dari kalian meminum setengah liter darah vampir, dan lakukan sekarang. Vampir yang membunuh Donghae adalah seorang Master, dan dia mampu berlari lebih dari setengah kilometer per menit. Kita tidak punya waktu untuk mempertimbangkan mortalitas. Mayat-mayat ini akan semakin mengeriput setiap detiknya. Terserah kalian, mau ikut atau tidak."

Setelah selesai bicara, aku memberikan contoh dengan menyayat leher mayat vampir yang ada di depanku, lalu mengisap darahnya. Selama sedetik, tidak ada seorang pun yang bergerak. Aku mengangkat kepala dan menatap mereka dengan mata berkilau kehijauan.

"Apa kematian Donghae bisa terbalaskan jika perut kalian selemah itu?"

Komentarku berhasil. Segera saja terdengar suara isapan dan cairan yang tertelan di sekitarku. Rasanya sangat tidak enak, mengingat mayat-mayat itu mengalami proses pembusukan, tapi bahkan setelah mati, darah vampir masih menyimpan kekuatan. Setelah beberapa kali isapan kuat, aku merasa perubahan mulai terjadi. Segera setelah darah itu tidak lagi terasa menjijikan, aku menyingkirkan vampir yang kuisap darahnya, dengan tubuh gemetar.

"Semuanya berhenti." Perintahku.

Terdengar seruan lega. Dengan darah campuranku, butuh usaha yang lebih kuat bagiku untuk berhenti. Sementara yang lain tidak merasa dorongan kuat untuk meminum darah seperti aku.

"Bek?"

Taewoo mengulurkan tangan untuk menyentuhku, tapi aku menepisnya. Detak jantung Taewoo terdengar lebih keras di telingaku, dan aku mencium bau

darah, keringat, serta air mata Taewoo. Itulah tujuannya. Aku bisa mencium partikel-partikel Taewoo sekarang—dan yang lainnya.

"Jangan sentuh aku. Tunggu." Tanganku mengepal. Samar-samar aku teringat Phoenix menindihku di atas tempat tidur, menahanku agar tidak mengincar lehernya. Kendalikan dirimu, Bee, semua akan berlalu...

Setelah beberapa kali menarik napas, aku bisa berpikir jernih lagi. Dengan cepat aku pergi ke tempat Lazarus tergeletak setelah aku menembaknya. Aku mengendus darah yang tercecer di sana, kemudian menjilatnya, membiarkan aroma Lazarus memenuhi hidungku. Dengan puas aku berbalik pada Taewoo.

"Aku bisa mencium aromanya. Pasangan alat pemancar di tubuhku dan ikuti aku dengan mobil. Saat aku berhenti bergerak itu berarti dia sudah berhasil kulumpuhkan. Kita akan mencari tahu apa yang diketahuinya."

"Bek..." Taewoo menatap tangannya sendiri dengan takjub, kemudian menoleh ke sekeliling gua. Aku tahu Taewoo merasakan perubahan pada semua indranya. "Aku merasa..."

"Aku tahu. Ayo berangkat."


tbc.