JY present
HanSa Mental Hospital: JunHao Ver.
.
Cast: JUNHAO!
Other Cast: Seungcheol! Jisoo! Jihoon! Mingyu! Seungkwan! Lai Kuan Lin!
Rate: M
Length: Chaptered
Disclaimer: SVT belongs to Pledis Entertainment, the plot is mine.
.
Chapter One
.
.
Warning: OC bertebaran! Typo(s)! GenderSwitch! Mature Content! etc.
Inspired by Joker–Harley Quinn.
.
.
.
"Minghao, kau gila."
"Terima kasih, kau orang kedelapan yang mengatakan hal seperti itu, Jihoon eonni," Minghao mengedip manis pada Jihoon, gadis berkulit pucat yang tengah mengemudikan mobilnya, mengantarkan Minghao dengan rasa tak ikhlas sebesar besarnya menuju tempat kerja barunya.
"For God sake, kau benar benar jadi gila setelah lulus dari psikologi ya?"
"Hey, harusnya eonni bangga aku bisa bekerja di rumah sakit jiwa HanSa. Masuk sana tidak mudah tau," bibir Minghao mengerucut, bentuk protesnya pada Jihoon yang terus cursing di balik kemudinya.
Jihoon mengerang kesal, sesekali ia melirik Minghao yang justru tampak antusias dengan wajah secerah matahari di musim panas. "Bahkan HanSa tak bisa disebut sebagai rumah sakit jiwa, bodoh! Penjara, disana penjara untuk orang sakit jiwa kelas berat, Hao!"
"Lalu aku harus membatalkannya? Tidak, terima kasih. Gajinya lumayan kalau eonni mau tau," yang lebih muda mendengus, diabaikannya Jihoon yang semakin menggeram kesal.
"Kau– ah, terserah kau saja brengsek."
.
.
Minghao menatap bangunan rumah sakit jiwa dihadapannya tanpa berkedip. Disini lah dia, rumah sakit jiwa HanSa. Oh astaga, bahkan penampilan rumah sakit jiwa itu saja sangat manis dan menentramkan, ia jadi heran kenapa tempat sebagus ini harus menjadi 'penjara' untuk orang sakit jiwa.
Jihoon sudah meninggalkannya dua menit lalu, dengan segala amukannya dan cursingnya, gadis pucat itu melaju pergi bersama mobilnya. Minghao menarik nafasnya dalam, mengumpulkan oksigen yang cukup untuk menghilangkan kegugupannya.
"Jadi Minghao, mulai sekarang kau akan bekerja disini. Hwaiting!" ucapnya asyik bermonolog ria dengan tangan terkepal, menyemangati dirinya sendiri yang sebenarnya tidak segugup itu.
Setelah beberapa detik berlalu, ia mulai melangkahkan kakinya menuju pos penjaga di gerbang rumah sakit itu. Wah, bahkan rumah sakit jiwa yang satu ini punya penjagaan yang nampaknya sangat ketat.
"Permisi, saya Xu Minghao, dokter baru," pria dalam pos penjagaan terkesiap dari tidur siangnya. Ia menatap Minghao tajam, dari atas sampai ujung kakinya. Jujur, Minghao sampai risih mendapat tatapan seperti itu.
"Ah, kau dokter baru itu nona? Nama saya Lai Kuan Lin, mari saya antarkan ke dalam," Minghao tersenyum tipis, kurvanya bergerak mengucap terima kasih pelan. Gerbang setinggi lima meter dihadapan Minghao bergerak mundur, membuka jalan bagi Minghao yang terkagum untuk yang kesekian kalinya.
Yeoja itu melangkah di belakang Kuan Lin, mengikuti langkah sang penjaga pos yang ternyata lebih cepat dari yang ia kira. Tak sampai satu menit, Kuan Lin dan Minghao sudah sampai di depan pintu besar bercat putih gading, persis seperti cat keseluruhan bangunan rumah sakit jiwa itu.
"Ini adalah ruang pusat, silahkan masuk Minghao–ssi."
"Oh terima kasih, Kuan Lin–ssi," Minghao mengangguk hormat sebelum Kuan Lin pergi meninggalkannya, kembali ke pos penjaganya mungkin. Sekali lagi, Minghao menarik nafasnya dalam, menenangkan dirinya.
"Permisi," Minghao mendorong pintu raksasa itu, kepalanya melongok kedalam, mencari objek apa saja yang bisa ia kenali.
"Ah, Minghao–ssi? Masuklah!" Sebuah suara berkharisma menyambutnya. Minghao melangkah masuk, bibirnya tak lepas melengkungkan senyuman pada seorang pria yang tampaknya hanya lebih tua beberapa tahun dari Minghao. Namja yang kini tengah duduk di kursi kebesarannya.
Minghao duduk di kursi di depan meja kerja pria tersebut, berhadapan langsung dengan pemilik rumah sakit jiwa HanSa. Minghao sendiri sebenarnya kaget saat melihat pemilik rumah sakit 'mengerikan' terkenal ini ternyata hanya seorang pria muda dengan lesung pipi yang sangat manis.
"Baik, perkenalkan nama saya Choi Seungcheol. Kau bisa memanggilku tuan Seungcheol di lingkungan rumah sakit ini, tapi kalau diluar, kau bisa memanggilku Seungcheol oppa."
"Ah baik, tuan."
Tuan Seungcheol memajukan tubuhnya, meminta fokus Minghao sepenuhnya. Jantung Minghao berdegup, ia yakin, pasti tuan Seungcheol akan membicarakan hal serius padanya.
"Aku tak perlu pengenalan panjang lebar mengenai rumah sakit ini kan?"
Minghao menggeleng.
"Sudah banyak pelamar sepertimu yang ingin bekerja disini, dan sebagian besar dari mereka memilih untuk keluar dari sini, kecuali segelintir orang yang bahkan aku sendiri khawatir mereka akan tertular kegilaan pasien disini," tuan Seungcheol menarik nafasnya sejenak, menjeda ucapannya yang masih lumayan panjang.
"Aku harap kau akan bertahan, karena kami memang membutuhkan tenaga disini. Semua pasien sama, mereka memiliki tingkat ketidakwarasan yang ekstrem tentu saja. Tak ada yang mudah ditangani disini. Jadi–," Minghao menahan nafasnya, menanti kalimat final dari bibir tuan Seungcheol.
"–nyamankanlah dirimu secepat mungkin."
Minghao meremas jarinya, berusaha meredakan kegugupan yang perlahan menjalari setiap jengkal tubuhnya. Rasanya dingin, persis seperti bilah pisau yang ditempelkan ke kulitmu.
"Dan ini data pasienmu, Minghao–ssi. Juga beberapa peralatan yang kau butuhkan mungkin, semuanya ada di dalam map," Minghao mengulurkan tangannya, menerima map merah yang disodorkan tuan Seungcheol. Jemarinya bergerak mantap, membuka lembar penutup map. Yang pertama ia lihat adalah foto seorang pria dengan surai semu hijau dan hidung mancung.
"Namanya Wen Junhui, ia ada di bangsal 17–A. Kim Mingyu akan mengantarkanmu kesana, ia sudah menunggu diluar," Minghao terkesiap, belum sempat ia baca data pasien barunya, ia sudah ditugaskan mengunjungi pria bernama Wen Junhui.
Minghao menunduk hormat, menyampaikan salam perpisahaan pada sang atasan. Ia melangkahkan tungkainya berat ke arah pintu dimana ia masuk tadi. Baru saja jemarinya meraih gagang pintu, ia sudah dipanggil kembali oleh tuan Seungcheol. Minghao menoleh, menemukan Seungcheol yang tersenyum manis padanya.
"Warna rambut blondemu sangat bagus, cocok denganmu Minghao–ssi."
Minghao tersenyum lebar mendengarnya.
.
.
"Jadi, Mingyu–ssi," kini Minghao tengah berjalan berdampingan dengan seorang pria setinggi tiang dengan kulit tan dan wajah manis, menuju bangsal pasien Minghao.
"Ya?"
"Berapa banyak pelamar yang mengundurkan diri dari sini?"
"Cukup banyak, tidak tidak.. Banyak, Minghao–ssi," Minghao mengangguk lucu, tak menyadari bahwa Mingyu sedari tadi sibuk melirik map merah di tangannya. "Yah, sebagian besar disebabkan oleh pasienmu."
"Kau tau pasienku?"
"Yah, map merah. Pasien dengan map merah yang tersisa hanya psikopat itu," Mingyu menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu bangsal, Minghao yang berdiri di sampingnya menatap nomor yang tertera di pintu bangsal.
"17–A."
"Yap, hanya sampai disini aku mengantarmu. Selamat bersenang–senang, okay? Ada bel perawat di dalam bangsal, dan ada remote darurat yang sudah diberikan tuan Seungcheol right? Gunakan disaat kau mulai merasa terancam atau sejenisnya."
Semengerikan itu kah?
"Sampai jumpa, Minghao–ssi!" Minghao melambaikan tangannya pada Mingyu yang mulai beranjak meninggalkannya. Sekali lagi, ia membuka mapnya. Meski sekilas, ia membaca profile pasiennya yang ternyata tak sebanyak yang ia kira. Yah, meski di halaman selanjutnya dan selanjutnya, tumpukan kertas riwayat pasien terlihat.
Minghao menghela nafasnya, sebelum akhirnya menggesekkan kartu pegawainya yang diberikan tuan Seungcheol pada perangkat pengunci bangsal bersamaan dengan remote darurat yang tersembunyi di balik kantung jas putihnya.
"Tuhan, tolong selamatkan aku."
.
.
Minghao duduk di kursi ditengah bangsal, berhadapan dengan pemuda yang tak kalah tinggi dari Mingyu, dan– oh astaga, bisakah pemuda itu berhenti tersenyum miring seperti itu? Minghao tak bisa fokus dengan data yang ia baca.
"Wen Junhui–ssi–"
"Jun oppa, sayang," Minghao menarik nafasnya, masih dengan senyuman ia menatap Jun ramah. Padahal kenyataannya, ia ingin melemparkan kursi yang ia duduki ke kepala Jun.
"Okay, Jun oppa. Perkenalkan, nama saya Xu Minghao. Ku lihat, kau dari Anshan eh? Saya dari Shenzen."
"Eum, baik cantik."
Bahkan baru beberapa menit Minghao duduk di bangsal ini, tapi ia rasa ia sudah mulai gila. Ya, ia gila karena pasien di depannya kini. Senyum itu, tatapan tajam itu, hidung itu, wajah itu, tubuh itu.. Minghao pasti sudah mulai gila.
"Em, okay. Ku harap kau bisa sembuh secepat–"
"Aku belum pernah mendengar kabar tentang pasien yang sembuh disini. Kecuali jika kau yang merawat kurasa. Siapa saja pasienmu?"
"Ah, baru kau Jun–ssi."
Jun menautkan alisnya tak suka, tubuhnya yang semula duduk tegak kini ia dekatkan pada permukaan meja, yang otomatis semakin dekat dengan jarak pandang Minghao.
"Kubilang Jun oppa, bukan?" Minghao mendadak mengerut di kursinya, tatapan mengintimidasi sang pasien benar–benar membuatnya tak bisa berkutik. Minghao mengangguk pelan seraya menunduk.
"Jangan ulangi kesalahanmu, atau aku yang akan menghukummu sayang," Minghao mulai merogoh saku jas putihnya, mencari keberadaan remote darurat yang tampaknya perlu ia pegang sekarang. Siapa tau ia akan menekannya detik ini juga bukan?
"Apa yang kau cari? Jangan bilang remote darurat! Seungcheol sialan itu," Jun mengangkat tangan kanannya yang sedari tadi ia letakkan di paha, menunjukkan pada Minghao apa yang ada dalam genggamannya.
Remote darurat Minghao. Oh, dan bonus kartu pegawainya.
Minghao semakin mengerut dalam duduknya. Ia kalah, seringai Jun menunjukkan itu. Sial, bahkan ini baru beberapa menit sejak ia masuk ke dalam ruangan serba putih itu!
"Tolong kembalikan, Jun–ssi," suara Minghao bergetar, ia bisa mendengarnya sendiri. Jun yang semula menyeringai, kembali menautkan alisnya dalam. Minghao mengatupkan bibirnya canggung, baru sadar bahwa ia melakukan kesalahan.
"Kau bilang apa?"
"J–Jun oppa, tolong kembalikan padaku..."
Jun tertawa, cukup keras hingga menggema disana. Namja itu meletakkan kartu pegawai dan remote darurat Minghao di meja. Buru–buru Minghao mengambil kembali baang miliknya sebelum Jun mengubah keputusannya.
Tawa Jun berhenti, tatapan tajamnya kembali menusuk Minghao yang mengenggam kartu pegawainya erat erat.
"Kau bohong, baby girl."
Minghao segera berlari ke arah pintu bangsal, meninggalkan Jun yang diam saja di kursinya. Minghao tak ingin menoleh, secepat kilat ia membuka pintu bangsal dan keluar dari sana dengan nafas terengah dan tubuh gemetar. Tubuhnya limbung ke belakang hingga akhirnya ia jatuh terduduk, cukup keras suaranya mengisi lorong rumah sakit yang sepi.
"God God God, Jihoon eonni please help me..."
.
.
.
–TBC–
a/n: Hayyy, JY muncul dengan satu FF baru nih! Mian kalau nggak mirip sama Joker–Harley soalnya memang cuma terinsiprasi aja ehe.
Entah kenapa punya ide untuk bikin FF satu ini, dan akhirnya selesai dalam waktu 2 hari.
Kurang ngebut apa coba?:""
.
.
Untuk sementara JunHao dulu kayy? Dari kemarin ngebet pengen bikin FF untuk kapel ini. Kasian mereka jarang ada FFnya:"
Dan untuk kapel lain.. Entahlah mau bikin atau tida he /slap.
Mungkin sih bikin, tapi ntah kapan. Mau fokus ke lapak sebelah, soalnya ini cuma selingan aja, buat cari ide wkwk.
Enaknya gimana ya? Bikin untuk kapel lain tida ya?
.
.
Don't forget to RnR juseyo!
XOXO,
Jinny Seo [JY]
